Cinta itu bukan
sesuatu yang abadi. Itu yang aku pelajari bukan dari tempat kuliah sekarang. Bintanglah
yang mengajariku hal ini. Bintang, ya, namanya Bintang. Seorang pemuda yang
entah sejak kapan menjadi dekat denganku.
Dia adalah seorang
pengajar dikampusku, belum bisa dikatakan sebagai dosen karena dia masih
bersatus sebagai dosen percobaan. Aku tidak mengerti tentang hal itu, jadi aku
tidak ingin bertanya apa-apa tentang hal yang nanti hanya bikin aku pusing
dengan segala peraturan, syarat dan hal lainnya tentang menjadi dosen. Lagipula
hal ini tidak terlalu penting untuk aku ceritakan.
Mungkin lebih
baik aku bercerita tentang Bintang terlebih dahulu. Secara fisik, boleh
dikatakan dia pemuda yang tergolong tampan. Sebagai pengajar, dia orang yang
rapi tapi karena umurnya yang masih seumuran dengan mahasiswa, dia menjadi
pengajar yang lebih keren
dibandingkan dengan pengajar lain.
Bagaimana dia
berpakaian, berbicara, dan mengajar. Semuanya sangat menyenangkan dan
memudahkan meski pelajaran yang dia ajarkan sesuatu yang dia ajarkan adalah
pelajaran yang sering “dimusuhi” oleh mahasiswa. Ya, termasuk aku yang tidak
begitu cerdas dalam menangkap pelajaran. Namun semuanya menjadi mudah saat dia
dengan gayanya yang khas memberikan pengetahuan yang bisa dimengerti oleh otak
pas-pasan seperti aku.
Banyak hal yang
dia ajarkan kepada kami tentang hal-hal di luar pelajaran. Terutama tentang
hidup, tentang pertemanan, dan tentang cinta. Hal-hal ini yang menjadi
pembicaraan yang menarik walau dia tidak pernah membicarakan pada saat
mengajar.
Kami biasanya
berbicara dengan santai pada saat bertemu di luar perkuliahan, entah itu saat
bermain basket, bermain musik, atau sekedar duduk di atap gedung kampus. Tidak
segan bahkan kami para murid ini bercanda tanpa kenal batas dengan dia.
Singkat kata,
jarak antara “dosen” dan mahasiswa menjadi tidak terasa. Ya, Bintang,
benar-benar seperti bintang di antara gelapnya perkuliahan.
“Cinta itu
tidak ada yang abadi.” katanya dengan nada datar. Bintang duduk di pagar tembok
pembatas, sementara aku berdiri di sampingnya. Meskipun tergolong tomboy tapi
aku tidak berani untuk duduk seperti Bintang, aku takut terhadap ketinggian.
Lagipula, aku masih memakai pakaian seragam Sekolah Kedirgantaraan ini. Tidak
mungkin untuk memanjat pagar tembok pembatas setinggi hampir satu meter ini.
Aku menoleh dan
menatap Bintang yang berkata sambil tetap memandang sebagian kota Jogjakarta
dari atap gedung berlantai lima ini. Awalnya aku hanya mengernyitkan dahi,
walau sebagian besar aku setuju dengan kata-katanya. Dikhianati pada saat
merasakan cinta pertama adalah kisah hidupku, dan sampai sekarang aku tidak
bisa lagi menemukan kata cinta. Bahkan terhadap mantanku yang baru saja aku
putuskan karena hubungan jarak jauh, aku tidak menemukan kata cinta.
Namun Bintang
mempunyai kisah lebih menyakitkan, setelah berpacaran selama 3 tahun, dia harus
kehilangan sang kekasih. Dan bukan karena perselisihan atau lainnya, melainkan
karena Gadis, orang yang dia cintai, harus menyerahkan nyawa terhadap penyakit
yang bernama leukemia.
Dan dari
sinilah aku mengetahui kelamnya dulu hidup seorang Bintang. Sesuatu yang hanya
aku di antara mahasiswa lainnya, yang tahu bahwa Bintang adalah mantan junkie, dan kenakalan remaja lainnya. Bertemu
dengan Gadis, adalah cahaya bagi Bintang, gadis itu yang membuat pecandu
narkoba ini bersedia untuk menjalani kehidupan dengan “bersih”. Dan Gadis juga
yang mengajarkan untuk menyayangi hidup semenjak dia divonis menderita
leukemia.
Perkataan Gadis
yang menggugah jiwa Bintang, membuatnya merasa perlu untuk menyampaikan pesan
“menyayangi hidup” dari Gadis kepada remaja lainnya. Itulah mengapa dia menjadi
pengajar dan giat membantu beberapa lembaga sosial masyarakat.
Kembali masalah
cinta, singkat kata aku dan Bintang sepakat bahwa cinta tidak ada yang abadi.
Begitulah menurut seorang yang ditinggal mati kekasihnya dan seorang yang
dikhianati berkali-kali oleh cinta pertamanya.
Merasa hampir
sama dalam nasib percintaan, aku dan Bintang menjadi semakin akrab. Bahkan kami
berdua mempunyai satu “ritual” yang selalu kami lakukan berdua. Menatap langit
malam kota Jogjakarta dari gedung ini, malam penuh bintang dan lampu kota
seakan menjadi satu dalam pandangan mata. Dan kami hanya saling membisu hanyut
dalam pikiran masing-masing, hanya untuk menikmati keindahan langit malam
dengan Cornetto Disc Love, eskrim rasa vanilla kesukaanku. Dia tidak pernah
absen untuk memberikan eskrim itu jika sedang melihat bintang-bintang.
Pertemanan aku
dan Bintang semakin berkembang, bahkan kami secara sengaja menamakan hubungan
kami sebagai adik dan kakak. Ya, seperti adik dan kakak kandung. Kebetulan dia
anak tunggal, sehingga merasa senang mempunyai seorang adik. Aku sebagai anak
bungsu pun sangat suka bisa bermanja terhadap seorang kakak.
Hubungan ini
berlanjut hingga aku memasuki tahun kedua di kuliahku, Bintang semakin sibuk
dengan urusan menjadi dosen tetapnya. Waktu pertemuan kami semakin berkurang
seiring dengan seringnya dia pulang-pergi menuju Bandung, tempat kuliah dia.
Menyaksikan
malam tanpa Bintang pun sudah mendekati bulan ketiga, kesepianku tidak bisa
terobati hanya dengan SMS atau telpon dari dia. Sampai akhirnya aku menemukan
Januar, teman satu kelas kuliahku. Tidak aku pungkiri kalau aku mendekati dia
karena merasakan kesepian. Berawal dari seringnya kami bertemu saat mengisi
acara musik tiap minggu pagi yang di adakan di salah satu daerah di Universitas
Gadjah Mada.
Dengan
memanfaatkan kedekatan sebagai sesama anggota band, Januar secara
terang-terangan memberikan tanda kalau dia menyukaiku, mulai dari SMS atau
telpon tiap malam, makan siang dan malam bersama. Bahkan Januar terang-terangan
mengungkapkan perasaan sukanya terhadapku di depan yang lain. Entah itu
puisi-puisi yang dia buat di Facebook kemudian dia tag ke diriku, atau kartu-kartu
ucapan yang kemudian dia tempelkan di pintu kamar kos ku.
Aku tidak
menyembunyikan hal ini kepada Bintang, karena aku takut dia akan menanggapi hal
ini dengan berbeda. Aku khawatir kalau dia menyimpan perasaan lain terhadap
aku. Dan reaksinya yang berbahagia atas diriku, membuatku lega. Dia tidak
mempermasalahkan apapun asalkan aku dan Januar benar-benar bahagia. Aku tahu
dia mengatakan dengan tulus dan jujur.
Aku sangat
bersyukur karena Januar juga tidak mempermasalahkan hubungan adik-kakak-ku dengan
Bintang. Dia berjanji tidak akan mengganggu hubungan aku dengan Bintang jika
memang Bintang adalah sosok “kakak” buat aku. Dan akupun mulai membuka diri
untuk melangkah maju untuk menerima Januar.
Sejak itu,
hari-hariku dipenuhi dengan Januar. Bahkan jika aku boleh berlebihan, dunia ini
hanya ada aku dan Januar. Meski begitu, aku tetap tidak bisa menemukan perasaan
cinta. Aku tidak tahu kenapa tapi takut untuk mencintai tetap bersemayam. Meski
aku akui, Januar adalah orang yang bisa dipercaya. Aku hanya bisa menyayangi
Januar, sayang yang teramat sangat. Namun tetap saja hanya sayang bukan cinta.
Cornetto Disc
Love, eskrim yang selalu Januar berikan tiap kali berkunjung malam ke kosku.
Ya, sejak dia tahu aku menyukai eskrim rasa vanilla, dia tidak pernah absen
untuk memberikan eskrim itu. Dia bilang, daripada bunga yang hanya bisa
dipandang, lebih baik aku memberikanmu eskrim. Lebih sehat.
Satu April
2010, tanggal itu tidak akan bisa aku lupakan. Bukan karena orang merayakan hal
itu sebagai April Mop tapi karena tepat pada pukul 7 malam, saat aku dan dia
sedang duduk berdua di teras kosku. Listrik di rumah tempat aku kos, dan
beberapa rumah lain di dekatnya padam. Aku mengira ini hanya pemadamam biasa
dari PLN, namun saat secara samar-samar aku melihat cahaya dengan macam-macam
warna aku menyadari ada yang janggal.
Cahaya merah,
kuning, biru, hijau, dan entah apalagi aku tidak bisa melihat dengan jelas.
Cahaya-cahaya itu bergerak di jalan depan kosku, dari arah kiri-kanan jalan,
dan berhenti tepat di depan pagar rumah. Aku menoleh Januar yang hanya
tersenyum dan menggandeng tanganku untuk mendekat.
Mataku yang
mulai terbiasa dengan gelap, mulai menangkap bayangan-bayangan orang yang
memegang lampu-lampu kecil. Berjajar membentuk barisan sehingga lampu-lampu
kecil itu memperlihatkan susunan kalimat “I Love You So Much, Please Be My
Girl” sementara beberapa orang lainnya membentuk bunga dengan lampu-lampu itu.
Tanpa sadar mulutku
terbuka, dan sesaat setelah tersadar aku menutup mulutku dengan kedua tangan karena
kagumku tidak bisa aku hentikan. Ingin rasanya aku mengucapkan kata ‘so sweet’ tapi belum sempat terucap,
sayup-sayup terdengar alunan alat musik. Lagu-lagu yang aku suka dimainkan
secara medley, ah aku sungguh bahagia
sekali.
Dan dimalam
itu, aku dan Januar resmi menjadi sepasang kekasih.
*****
“Hoi!” teriak
Bintang, memanggil diriku yang masih berusaha mencari dirinya yang baru saja
turun dari kereta. Dia bergerak sekuat tenaga, berdesak-desakan dengan
penumpang lain yang juga berebut untuk segera pulang ke rumah atau menuju
tempat lain.
Ya, hari ini
Bintang kembali ke Jogjakarta. Urusan di kampusnya sudah selesai walau dia
bilang harus menunggu pelantikannya. Namun, kampusku masih memperbolehkan dia
untuk magang sebagai dosen sehingga dia tidak menolak untuk kembali mengajar di
sini.
“Oleh-oleh!”
todongku begitu Bintang mendekat. Dia tersenyum masam sambil menjitak ringan
kepalaku.
“Dasar Bronto!”
tawanya ringan. Bintang biasa mengejekku begitu jika aku mulai kumat gila
makannya, Bronto atau Brontosaurus.
“Udah lama?”
tanyanya sambil mengajakku untuk melangkah keluar dari Stasiun Tugu. Menuju
mobil Januar yang diparkir di luar.
Aku menggeleng,
“Ga ko, paling
sepuluh menitan.”
“Kenapa Je
tidak ikut?” Bintang mengambil kunci mobil yang aku sodorkan. Je adalah nama
panggilan sayangku kepada Januar tapi Bintang ikut-ikutan memanggil Januar
dengan sebutan itu, entah sejak kapan aku lupa.
“Dia lagi ada
rapat dikampus, biasa dia kan Ketua UKM Musik.” jelasku sambil bergegas membuka
pintu mobil setelah Bintang membuka kunci dengan remote.
“Lama ga dia
rapatnya? Laper ni.” kata Bintang sambil mengarahkan mobilnya keluar dari area
parkir Stasiun Tugu.
“Mau makan apa
emang?” tanyaku.
“Steak!” kata
Bintang.
Dan aku
langsung menonjok bahunya, aku tahu dia sengaja mempermalukan aku. Sejak
kejadian daging mental saat aku pertama kali makan steak dengan Bintang, dia
selalu mengejekku tentang hal itu. Sejak saat itu pula aku anti untuk makan
steak di tempat umum.
“Nasi goreng
kambing aja.” kataku sambil mencubit lengannya, untuk menyatakan bahwa aku
masih sebal.
Bintang hanya
tertawa kecil dan mengarahkan mobil menuju warung nasi goreng kambing yang
terletak tidak jauh dari Rumah Sakit Mata Dr. Yap Jogjakarta. Warung makan
kecil yang merupakan favorit kami.
*****
Mimpi, ya ini
semua hanyalah mimpi. Ini tidak mungkin terjadi. Aku menangis meraung-raung,
tidak peduli dengan orang lain. Aku tidak peduli lagi dengan orang lain, aku
hanya ingin dia kembali. Aku hanya ingin Je kembali. Kembalikan Je!
Aku merasakan duniaku
serasa dijungkirbalikkan, aku tidak bisa mengenali siapa yang ada dihadapanku.
Aku tidak mengerti kata-kata yang mereka ucapkan, atau air yang sedari tadi
mereka paksakan untuk masuk ke dalam mulutku. Aku terpaku pada sesosok manusia
yang terbalut dengan kafan putih itu.
Aku hampir
kehilangan sadar saat seseorang memelukku dengan lembut. Hangat. Sangat hangat
bagi jiwa yang dingin membeku ini. Lebih hangat dari pelukan Je atau cinta
pertamaku. Seperti saat Mama memelukku, ya ini hampir serupa. Mama, aku ingin
Mamaku. Seseorang panggilkan Mamaku, aku butuh dia untuk bersandar. Aku
memerlukan dia untuk mengerang kepada Tuhan karena mengambil Je dariku.
“Cinta itu
tidak ada yang abadi.” bisik sosok itu berkali-kali.
Kalimat itu
merasuk ke dalam kalbuku, menjalar ke setiap nadi-nadiku. Seakan memberi cahaya
bagi gelapnya pandangan hati ini. Namun aku sudah tidak bisa menemukan
kekuatan. Aku berdiam di dalam gelap.
*****
Aku terbangun,
mendapati diriku terbaring di kamarku. Kepalaku terasa sakit, pusing, dan
badanku sangat lemas. Aku mencoba mencerna apa yang terjadi, begitu tersadar
dengan kematian Januar, aku memaksakan untuk segera berdiri. Namun sakit
langsung menyerang kepalaku setelah aku menegakkan badan. Aku terjatuh kembali
ke tempat tidur.
Bintang
menyeruak masuk setelah membuka pintu dengan terburu, aku merasa dia mendengar
saat aku terjatuh. Dia menatapku lama, airmataku kembali mengalir. Dengan
segera dia mengambil tisu yang berada di atas meja belajarku.
Mama muncul
dari balik pintu, wajahnya terlihat sangat khawatir. Bintang melangkah mundur
dan membiarkan Mama untuk mengurusku. Mama mengusap wajah dan kepalaku,
mengucapkan beberapa patah kata sambil menangis. Saat itu aku masih tidak bisa
mencerna kata-katanya, mataku hanya tertuju pada Bintang. Teringat kembali
dengan cerita saat dia kehilangan Gadis. Inikah rasanya kehilangan Bintang,
inikah mengapa matamu selalu terlihat sedih walau kamu sedang tertawa.
*****
Dua bulan sudah
berlalu sejak Januar meninggal, perasaan tersiksa setiap teringat tempat-tempat
yang biasa kami kunjungi, atau benda-benda yang membuatku kembali teringat
perlahan-lahan berkurang. Senyumku perlahan bisa mengembang walau hanya berupa
segaris tipis tapi memang hanya setulus itu aku bisa tersenyum.
Aku semakin
memperbanyak frekuensi bermain dengan teman-teman, berusaha agar tidak ada
waktu bagiku untuk melamun. Bahkan ke Pantai Parangtritis, Angkringan (warung
makan) Kali Code, Bukit Bintang, atau tempat lain yang biasa aku datangi dengan
Je, aku kunjungi bersama dengan teman-temanku. Ini adalah komitmenku untuk
melangkah maju. Jika Bintang bisa, maka akupun bisa, karena aku dan dia
sama-sama manusia. Begitu pikirku sederhana.
Hari ini pun
aku baru saja kembali dari Plaza Ambarukmo bersama teman-teman kampus, dan aku
mendapati Bintang sedang berdiri menungguku di depan rumah. Ini kesekian
kalinya dia menungguku, dia selalu mengkhawatirkan diriku jika aku pulang
malam.
Aku tersenyum,
dan kemudian mengepalkan tanganku ke hadapannya. Dia balas memukul kepalan
tanganku dengan kepalan tangannya. Salam yang sudah lama tidak kami lakukan
sejak dia pergi ke Bandung.
Dia tidak
berkata apapun selain mengelus kepalaku, dan berlalu menuju motornya. Aku
membalikkan badan, melambaikan tangan saat dia melajukan motornya.
*****
“Eh?” aku terkejut
saat Bintang menyatakan perasaannya melalui telpon.
Aku tidak
menyalahkannya, sudah empat bulan sejak saat itu aku dan dia dekat dalam artian
yang berbeda. Aku sudah menyadari perasaan Bintang saat dia sering menemani
diriku tiap malam melalui telpon. Sejak aku kembali kesulitan tidur malam,
Bintang selalu menelponku dan menemani hingga aku tertidur. Dia dengan rela
harus tidur hanya tiga-empat jam sehari walau harus bekerja di siang harinya.
“Kenapa ‘eh’?”
kata Bintang saat aku terdiam cukup lama. Aku bisa mendengar suara nafasnya,
mungkin dia juga sedang berbaring di tempat tidur seperti diriku.
“Aku takut..”
kataku pelan.
“Takut dengan
apa?” suara Bintang terdengar lembut.
“Takut jatuh
cinta.” entah kenapa aku berkata seperti itu, walau yang aku maksud adalah
takut untuk kehilangan lagi.
“Aku akan
membuatmu jatuh cinta padaku. Aku janji.” kata Bintang dan kemudian melanjutkan
untuk menutup telpon terlebih dahulu. Sesuatu yang tidak pernah dia lakukan
karena dia selalu menunggu sampai aku tertidur.
Aku
menghembuskan nafas, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku akui aku sudah menjadi
ketergantungan dengan Bintang, karena hampir 24 jam tiap hari dia selalu
mengisi hariku. Entah hanya sekedar lewat sms, telpon, atau mengunjungiku. Dan
yang lebih membuatku semakin tergantung dengan Bintang, adalah telpon malam
ini.
Tanganku
bergerak dengan sendirinya. Mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Bintang.
Klo kmu bs menunjukkan
bintang-bintang di siang hari, aku akan mencoba untuk mencintaimu.
*****
Bintang bergegas
menarik diriku untuk segera turun dari motor, menuju gedung serba guna yang ada
dibagian tengah. Aku tidak mengerti, hari ini tidak ada yang ulang tahun. Tidak
aku ataupun dia. Pikiranku malah masih memikirkan kenapa Bintang menjauh sejak
aku mengirimkan pesan itu.
“Tutup mata.”
katanya saat kami berdiri di depan pintu ganda tempat masuk ruang serba guna.
Aku mengikuti
saja, berusaha agar tidak membuat Bintang marah atau kenapa. Aku khawatir dia
marah karena SMS konyolku itu.
Rupanya dia
tidak percaya denganku, kemudian menutup mataku dengan jaketnya. Aku tertawa
kecil, kemudian kau mendengar suara pintu dibuka perlahan. Bintang menarik
tanganku perlahan memasuki ruang serbaguna, beberapa detik kemudian dia
berhenti. Kemudian dia membisikkan sesuatu.
“Bukalah matamu
jika pintu hatimu juga terbuka.” bisiknya di telinga kananku. Kemudian dia
beralih ke telinga kiriku, “Tapi berteriaklah jika kamu tidak bisa membukanya.”
Aku tidak
begitu paham dengan kata-kata Bintang, aku berdiam diri. Lama aku tidak lagi
mendengar suara dari Bintang. Hening, sangat hening. Membuat semua pikiranku
berlari-lari, begitu banyak namun tidak sedikitpun memberatkan. Aku merasa
tenang, nyaman dengan kesunyian ini. Sampai seperti saat aku melihat
bintang-bintang bersama Bintang.
Tanganku
bergerak dengan sendirinya, membuka jaket yang menutup mataku. Gelap, keadaan
di dalam ruangan sangat gelap, dan aku menemukan titik-titik cahaya kecil. Saat
mataku terbiasa dengan keadaan gelap, aku baru menyadari bahwa itu bukan sekedar
cahaya. Susunan-susunan ratusan bahkan ribuan cahaya itu adalah bintang. Ya,
mirip dengan bintang-bintang yang asli. Semua sudut ruangan penuh dengan
bintang, membuat diriku seakan-akan berada di angkasa.
Bintang-bintang
di siang hari gumamku dan kemudian aku terdiam lama di antara bintang-bintang.
*****
Aku mempercepat
langkahku, mendekat ke arah Bintang yang sedang duduk di pagar tembok pembatas
dari atap gedung berlantai lima di kampus. Dia menyadari kedatanganku, namun
tidak menoleh sedikitpun. Dia terus mengamati matahari yang semakin merendah di
ufuk barat.
Aku berdiri di
samping Bintang duduk, dengan satu tarikan nafas aku berteriak dengan keras.
Bintang
menolehku kemudian menyodorkan Cornetto Disc Love kepadaku.
“Apa kamu masih
takut jatuh cinta?”
#####
0 comments:
Post a Comment