Amperis tertawa keras selama
tiga-empat kedipan mata.
"Lalu apa yang akan kamu
lakukan dengan tubuh seperti itu!?"
Airill tersentak, tersadar
tubuhnya sudah letih, perih dengan beberapa luka karena pertarungan dengan kreyzure< yang dia sangka adalah sang Amperis. Dilihatnya
Amperis tersenyum penuh kemenangan seperti ada satu rencana busuk yang pasti
berhasil untuk membunuhnya. Tidak hanya itu, dengan sekali tatap dia juga bisa
melihat dengan jelas mata sang Amperis menyala terang seiring dengan ledakan
dari ruang di bawah.
Api mencuat keluar dari lubang
besar di tengah ruangan. Lantai bergetar sehingga Airill menjadi limbung. Dia
berusaha untuk tetap tegak. Sinar merah bermunculan dari sela-sela bebatuan
lantai yang tidak lagi rapat, semburan udara panas dan lidah api menjilat-jilat
dari bagian lantai yang perlahan terkuak
Airill mundur, getaran di lantai
makin terasa keras. Beberapa batuan lantai berjatuhan membuat mulut-mulut yang
memunculkan api semakin meraja. Belasan lubang api memisahkan antara dirinya
dan Amperis hingga akhirnya api semakin membesar dan menelan sosok Amperis yang
tidak beralih dari tempat berdirinya.
Apa dia bisa bertahan
di dalam panas seperti itu pikir Airill. Bukan mengasihani, tapi api
sudah memenuhi sepanjang lebar ruangan dan hampir menyentuh langit-langit
ruangan ini. Bahkan dari jaraknya yang beberapa puluh kaki, dia bisa merasakan
panas yang sangat. Api ini tidak biasa gumam Airill.
Dia terdiam beberapa saat mencoba mencerna
keadaan saat itu.
Tetapi sesuatu bergerak dari
dalam kobaran api, Airill menyiagakan pedangnya, ada ketakutan yang mengalir di
permukaan kulitnya, menjalar hingga merasuk ke sendi-sendi tulangnya. Makhluk
seperti apa yang bisa bertahan di api sepanas itu. APi bergulung dan kemudian
terbelah untuk memunculkan sosok gelap, hitam, dan besar membelakangi
kontrasnya merah terang yang menyala.
Sosok itu berjalan perlaha
mendekat ke arah Airill. Meski tidak begitu jelas, dia yakin sosok itu adalah
Amperis yang entang bagaimana tidak lagi berbentuk seperti yang terakhir dia
lihat. Sosok Amperis masih terlihat seperti manusia, tetapi menjadi lebih
besar, hampir tiga kali lipat tubuhnya. Aura hitam dan gelap membungkus seluruh
tubuhnya. Memakai pakaian perang hitam legam dan kokoh, dengan sebuah sejata
seperti tongkat tapi lebih pendek dan besar pada bagian ujung. Dia mengenali
senjata itu, gada. Gada milik Amperis hitam senada dengan pakaian perangnya,
dengan beberapa paku dari bagian tengah sampai ujungnya. Entah darimana Amperis
mendapatkan semua itu dalam sekejap, dia tidak ingin memikirkannya. Sekarang
dia hanya memikirkan satu, berharap keberuntungan berada dipihaknya.
Api merah terang berkilat-kilat,
menciptakan bayangan-bayangan yang bergoyang, sesaat membuat Airill mengira
Amperis memiliki sepasang sayap hitam yang lebar di belakang, seperti sayap
seekor Naga. Dia bisa melihat pancaran mata merah terang namun penuh kebengisan
dari balik helm perang sosok Amperis. Desakan aura kegelapan dari Amperis
membuat dia merasa seperti seekor hewan lemah yang berada di depan pemangsa
yang siap menerkamnya.
"Airill-" Amperis
berujar dengan mendesis, seperti cara bicara bangsa Lizathon. "Sudah terlalu banyak kamu mencampuri
urusanku. Sekarang adalah akhir dari perjanjian kita, dan juga akhir dari
riwayatmu!"
"Kamu yang menggali
kuburanmu sendiri Amperis yang Agung." Airill menyahut sambil mempererat
genggamam pada gagang pedangnya, menarik nafas dia mencoba menguatkan hati.
"Jika bukan aku yang
menghancurkan, maka akan ada orang lain yang melakukannya. Kamu sedang sial
saja karena bertemu dengan aku." Airill melangkah maju menghadang Amperis
beberapa kaki di depan.
"Banyak rumor yang
mengatakan kalau siapa saja yang dekat dengan aku, baik kawan atau lawan, pasti
akan menemui kesengsaran." gertak Airill.
Amperis tertawa dengan suara
parau dan kasar.
"Kamu pikir aku takut pada
dirimu, belatung!" Amperis mengacungkan gada berdurinya ke hadapan AIrill.
Cahaya dari api memantul berkilatan dari paku-paku yang kokoh berjajar di gada.
"Kamu pikir kamu bisa mengalahkanku?"
Amperis menyeringai. "Rencanaku dan kerjaku selama belasan tahun sudah
selesai, aku sudah menemukan kekuatan yang tiada banding. Membunuhmu sama saja
seperti menginjak seekor semut. Dan begitu aku melenyapkan kamu, tidak akan ada
lagi yang sanggup menghalangiku untuk menguasai kota ini, kerajaan ini, dan
Erde!" ia berjalan dua-tiga langkah ke depan.
"Cih, membunuh satu makhluk
kotor sepertimu sudah bukan hal yang aneh lagi bagiku. Bahkan semut bisa
mengalahkan seekor gajah." Airill tersenyum, "Matilah kau!"
teriak Airill sambil menerjang dengan pedang terangkat oleh kedua belah tangan
di atas kepalanya.
Amperis siaga, dengan cepat dia
menangkis serangan Airill. Satu ayunan ringan gadanya cukup untuk mementahkan
serangan Airill. Jelas terlihat perbedaan kekuatan mereka.
Pedang Airill berdenting keras
ketika beradu dengan gada Amperis. Percikan api terlihat ketika pedangnya
terpental. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah kebelakang, dia tidak senang
akan hal itu.
Airill menebaskan pedangnya
kembali. Lagi, Amperis menangkis dengan pangkal gadanya. Airill menyerang
dengan serangan beruntun;tebasan kiri, tebasan kanan, dua kali tebasan silang.
Namun sia-sia, Amperis dengan mudahnya menahan dengan tongkat besarnya atau
dengan pelindung besi di tangannya.
Tidak putus asa, Airill
menyerang. Kali ini dengan sedikit tambahan kekuatan hentakan dan lompatan.
Menyerang bagian kaki, pinggang, bahu, dan atas kepala. Tapi tidak ada satupun
serangan Airill yang berarti bagi Amperis, bahkan untuk membuat goresan kecil
pada pakaian perangnya pun Airill tidak mampu. Entah kekuatan apa yang dimiliki
Amperis sehingga baju perang yang biasa itu seakan terbuat dari logam yang
paling kuat dan ringan karena Amperis bisa bergerak dengan mudah.
Airill mundur, mengambil nafas
dan memasang kuda-kuda. Serangan beruntun kilat akan kembali dia gunakan,
memaksakan tubuh yang sudah letih teramat itu bertahan. Dalam satu kedipan
mata, dia melesat. Pergerakan Amperis menjadi sangat lambat di matanya, tubuh yang
sudah terbiasa bergerak dengan kecepatan seperti itu membuat semua inderanya
juga terbiasa untuk bekerja normal dengan kecepatan empat kali lipat dari
biasanya.
Dentingan pedang terdengar
berkali-kali, Amperis sedikit kewalahan dan sedikit goyang. Puluhan tebasan
berhasil Airill lancarkan dan tidak ada satupun yang meleset. Dan diserangan
terakhir, dia menambahkan satu tusukan dalam. Pergerakan terhenti, sesaat dia
melirik Amperis. Tidak sedikitpun ada tanda-tanda serangannya melukai pemiliki
gada berduri tersebut.
Amperis mengayunkan gadanya,
memaksa Airill mundur. Dia menunduk menghindar saat Amperis mengayunkan kembali
gadanya dan balas menusuk pada bagian ketiak Amperis, salah satu daerah yang
tidak bisa dilindungi oleh baju perang. Namun usahanya tidak membuahkan hasil,
pedangnya hanya mengenai jalinan cincin-cincin logam dari rompi rantai Amperis.
Terlambat bagi Airill untuk
menyadari kalau Amperis memakai byrnie, pakaian rantai. Gada hitam Amperis
terayun kembali dengan kecepatan yang lebih dari sebelumnya, dia berusaha untuk
menahan dengan pedangnya tapi Amperis menjepit dengan kuat pedangnya sehingga
tongkat besar berduri itu dengan telak menghantam bagian sisi tubuhnya.
Terlempar dan terseret beberapa kaki, hampir saja ia terjatuh ke salah satu
lubang api kecil.
Airill meringis, memegang
lukanya. Darah mengalir, membasahi baju dan jaketnya yang tercabik. Ditatapnya
Amperis yang berdiri tegak penuh percaya diri menjatuhkan pedangnya dan
menendangnya ke dalam lubang besar yang sudah tertutup dengan kobaran api.
Terbelalak, Airill tidak berpikir
panjang berteriak dan mengejar pedang yang terjatuh ke dalam lubang. Amperis
mengernyitkan dahi, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seorang Airill
sang pembantai begitu mencintai pedangnya dan rela menjatuhkan diri ke dalam
lubang api yang bisa membinasakan dirinya.
#####
0 comments:
Post a Comment