Airill – Chapter 9


Amperis tertawa keras selama tiga-empat kedipan mata.

"Lalu apa yang akan kamu lakukan dengan tubuh seperti itu!?"

Airill tersentak, tersadar tubuhnya sudah letih, perih dengan beberapa luka karena pertarungan dengan kreyzure< yang dia sangka adalah sang Amperis. Dilihatnya Amperis tersenyum penuh kemenangan seperti ada satu rencana busuk yang pasti berhasil untuk membunuhnya. Tidak hanya itu, dengan sekali tatap dia juga bisa melihat dengan jelas mata sang Amperis menyala terang seiring dengan ledakan dari ruang di bawah.

Api mencuat keluar dari lubang besar di tengah ruangan. Lantai bergetar sehingga Airill menjadi limbung. Dia berusaha untuk tetap tegak. Sinar merah bermunculan dari sela-sela bebatuan lantai yang tidak lagi rapat, semburan udara panas dan lidah api menjilat-jilat dari bagian lantai yang perlahan terkuak

Airill mundur, getaran di lantai makin terasa keras. Beberapa batuan lantai berjatuhan membuat mulut-mulut yang memunculkan api semakin meraja. Belasan lubang api memisahkan antara dirinya dan Amperis hingga akhirnya api semakin membesar dan menelan sosok Amperis yang tidak beralih dari tempat berdirinya.

Apa dia bisa bertahan di dalam panas seperti itu pikir Airill. Bukan mengasihani, tapi api sudah memenuhi sepanjang lebar ruangan dan hampir menyentuh langit-langit ruangan ini. Bahkan dari jaraknya yang beberapa puluh kaki, dia bisa merasakan panas yang sangat. Api ini tidak biasa gumam Airill.

 Dia terdiam beberapa saat mencoba mencerna keadaan saat itu.

Tetapi sesuatu bergerak dari dalam kobaran api, Airill menyiagakan pedangnya, ada ketakutan yang mengalir di permukaan kulitnya, menjalar hingga merasuk ke sendi-sendi tulangnya. Makhluk seperti apa yang bisa bertahan di api sepanas itu. APi bergulung dan kemudian terbelah untuk memunculkan sosok gelap, hitam, dan besar membelakangi kontrasnya merah terang yang menyala.

Sosok itu berjalan perlaha mendekat ke arah Airill. Meski tidak begitu jelas, dia yakin sosok itu adalah Amperis yang entang bagaimana tidak lagi berbentuk seperti yang terakhir dia lihat. Sosok Amperis masih terlihat seperti manusia, tetapi menjadi lebih besar, hampir tiga kali lipat tubuhnya. Aura hitam dan gelap membungkus seluruh tubuhnya. Memakai pakaian perang hitam legam dan kokoh, dengan sebuah sejata seperti tongkat tapi lebih pendek dan besar pada bagian ujung. Dia mengenali senjata itu, gada. Gada milik Amperis hitam senada dengan pakaian perangnya, dengan beberapa paku dari bagian tengah sampai ujungnya. Entah darimana Amperis mendapatkan semua itu dalam sekejap, dia tidak ingin memikirkannya. Sekarang dia hanya memikirkan satu, berharap keberuntungan berada dipihaknya.
Api merah terang berkilat-kilat, menciptakan bayangan-bayangan yang bergoyang, sesaat membuat Airill mengira Amperis memiliki sepasang sayap hitam yang lebar di belakang, seperti sayap seekor Naga. Dia bisa melihat pancaran mata merah terang namun penuh kebengisan dari balik helm perang sosok Amperis. Desakan aura kegelapan dari Amperis membuat dia merasa seperti seekor hewan lemah yang berada di depan pemangsa yang siap menerkamnya.

"Airill-" Amperis berujar dengan mendesis, seperti cara bicara bangsa Lizathon. "Sudah terlalu banyak kamu mencampuri urusanku. Sekarang adalah akhir dari perjanjian kita, dan juga akhir dari riwayatmu!"
"Kamu yang menggali kuburanmu sendiri Amperis yang Agung." Airill menyahut sambil mempererat genggamam pada gagang pedangnya, menarik nafas dia mencoba menguatkan hati.

"Jika bukan aku yang menghancurkan, maka akan ada orang lain yang melakukannya. Kamu sedang sial saja karena bertemu dengan aku." Airill melangkah maju menghadang Amperis beberapa kaki di depan.

"Banyak rumor yang mengatakan kalau siapa saja yang dekat dengan aku, baik kawan atau lawan, pasti akan menemui kesengsaran." gertak Airill.

Amperis tertawa dengan suara parau dan kasar.

"Kamu pikir aku takut pada dirimu, belatung!" Amperis mengacungkan gada berdurinya ke hadapan AIrill. Cahaya dari api memantul berkilatan dari paku-paku yang kokoh berjajar di gada.

"Kamu pikir kamu bisa mengalahkanku?" Amperis menyeringai. "Rencanaku dan kerjaku selama belasan tahun sudah selesai, aku sudah menemukan kekuatan yang tiada banding. Membunuhmu sama saja seperti menginjak seekor semut. Dan begitu aku melenyapkan kamu, tidak akan ada lagi yang sanggup menghalangiku untuk menguasai kota ini, kerajaan ini, dan Erde!" ia berjalan dua-tiga langkah ke depan.

"Cih, membunuh satu makhluk kotor sepertimu sudah bukan hal yang aneh lagi bagiku. Bahkan semut bisa mengalahkan seekor gajah." Airill tersenyum, "Matilah kau!" teriak Airill sambil menerjang dengan pedang terangkat oleh kedua belah tangan di atas kepalanya.

Amperis siaga, dengan cepat dia menangkis serangan Airill. Satu ayunan ringan gadanya cukup untuk mementahkan serangan Airill. Jelas terlihat perbedaan kekuatan mereka.

Pedang Airill berdenting keras ketika beradu dengan gada Amperis. Percikan api terlihat ketika pedangnya terpental. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah kebelakang, dia tidak senang akan hal itu.

Airill menebaskan pedangnya kembali. Lagi, Amperis menangkis dengan pangkal gadanya. Airill menyerang dengan serangan beruntun;tebasan kiri, tebasan kanan, dua kali tebasan silang. Namun sia-sia, Amperis dengan mudahnya menahan dengan tongkat besarnya atau dengan pelindung besi di tangannya.

Tidak putus asa, Airill menyerang. Kali ini dengan sedikit tambahan kekuatan hentakan dan lompatan. Menyerang bagian kaki, pinggang, bahu, dan atas kepala. Tapi tidak ada satupun serangan Airill yang berarti bagi Amperis, bahkan untuk membuat goresan kecil pada pakaian perangnya pun Airill tidak mampu. Entah kekuatan apa yang dimiliki Amperis sehingga baju perang yang biasa itu seakan terbuat dari logam yang paling kuat dan ringan karena Amperis bisa bergerak dengan mudah.

Airill mundur, mengambil nafas dan memasang kuda-kuda. Serangan beruntun kilat akan kembali dia gunakan, memaksakan tubuh yang sudah letih teramat itu bertahan. Dalam satu kedipan mata, dia melesat. Pergerakan Amperis menjadi sangat lambat di matanya, tubuh yang sudah terbiasa bergerak dengan kecepatan seperti itu membuat semua inderanya juga terbiasa untuk bekerja normal dengan kecepatan empat kali lipat dari biasanya.

Dentingan pedang terdengar berkali-kali, Amperis sedikit kewalahan dan sedikit goyang. Puluhan tebasan berhasil Airill lancarkan dan tidak ada satupun yang meleset. Dan diserangan terakhir, dia menambahkan satu tusukan dalam. Pergerakan terhenti, sesaat dia melirik Amperis. Tidak sedikitpun ada tanda-tanda serangannya melukai pemiliki gada berduri tersebut.

Amperis mengayunkan gadanya, memaksa Airill mundur. Dia menunduk menghindar saat Amperis mengayunkan kembali gadanya dan balas menusuk pada bagian ketiak Amperis, salah satu daerah yang tidak bisa dilindungi oleh baju perang. Namun usahanya tidak membuahkan hasil, pedangnya hanya mengenai jalinan cincin-cincin logam dari rompi rantai Amperis. 

Terlambat bagi Airill untuk menyadari kalau Amperis memakai byrnie, pakaian rantai. Gada hitam Amperis terayun kembali dengan kecepatan yang lebih dari sebelumnya, dia berusaha untuk menahan dengan pedangnya tapi Amperis menjepit dengan kuat pedangnya sehingga tongkat besar berduri itu dengan telak menghantam bagian sisi tubuhnya. Terlempar dan terseret beberapa kaki, hampir saja ia terjatuh ke salah satu lubang api kecil.

Airill meringis, memegang lukanya. Darah mengalir, membasahi baju dan jaketnya yang tercabik. Ditatapnya Amperis yang berdiri tegak penuh percaya diri menjatuhkan pedangnya dan menendangnya ke dalam lubang besar yang sudah tertutup dengan kobaran api.

Terbelalak, Airill tidak berpikir panjang berteriak dan mengejar pedang yang terjatuh ke dalam lubang. Amperis mengernyitkan dahi, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seorang Airill sang pembantai begitu mencintai pedangnya dan rela menjatuhkan diri ke dalam lubang api yang bisa membinasakan dirinya.

#####

0 comments:

Post a Comment