Irene
melangkah ringan, menembus tembok tebal yang mengelilingi kasti fantasi. Sihir
semacam ini bukan hal yang sulit baginya sebagai penyandang Penyihir Tertinggi
dari Kerajaan Wegdya. Dengan santai dia berjalan melewati bebatuan setebal 2
meter tersebut. Beruntung tidak ada orang di sekitar tembok.
Sesuatu
menyentil pikiran Irene, kenapa tidak ada orang yang berjaga-jaga di atas
tembok. Apa kerajaan ini merasa sangat aman sehingga tidak memerlukan seorang
penjagapun untuk mengawasi di sekitar tembok pertahanan ini.
Rasa
dahaga membuat Irene ingin menuju kedai minum, namun dia yakin kalau kedatangan
ke kedai pada waktu seperti ini pasti akan menarik rasa ingin tahu penduduk
kerajaan fantasi. Seorang wanita yang mempunyai derajat tertinggi di Kerajaan
Wegdya, seorang Faye, julukan untuk penguasa kerajaan di tempatnya.
Walaupun
dia harus memasuki daerah istana dengan sembunyi-sembunyi, Irene tidak
mempedulikannya. Dia ingin menjelajahi tempat ini, pikirannya butuh pembuktian
kalau kerajaan ini benar-benar sebagus cerita-cerita dari para pengelana. Danau
Larenimria, Taman Seribu Kucing, Menara Tanpa Batas, dan banyak cerita-cerita
menarik yang membuatnya ingin membuktikan sendiri.
Akhirnya
Irene memutuskan untuk menuju danau Larenimria, danau ajaib yang katanya mampu
menghilangkan penat dan dahaga siapapun yang meminum airnya. Meski ini baru
pertama kalinya berada di Kerajaan Fantasi, dia sudah menghapal peta dari
mata-mata yang dia susupkan ke Kerajaan Fantasi. Kakinya melangkah menuju Danau
Larenimria yang berdekatan dengan Taman Seribu Kucing, kalau beruntung dia akan
sekalian melihat kucing-kucing istana milik Ratu Penguasa Kastil ini.
Irene
memakai penutup kepala dari jubah hitam yang dia kenakan, mulutnya membaca
mantra yang pendek. Warna padat tubuhnya pun perlahan memudar, menjadi semu
kemudian tak kasat mata. Dia memandang kaki dan anggota tubuhnya yang lain,
tidak ada yang bisa dia lihat. Mantranya berhasil.
Pelan
namun pasti Irene melangkah mengikuti jalan menuju gerbang pintu masuk Istana
Fantasi. Dilihatnya bebatuan datar disusun rapi meski tidak beraturan, namun
seperti ada pola yang indah. Beberapa tiang-tiang dari logam berjajar di
pinggir jalan batu itu, di ujung atas tiang terdapat semacam bola kristal
dengan puluhan cahaya yang bergerak-gerak di dalamnya.
“Ah,
mereka berhasil memanfaatkan ngengat api sebagai penerang.” gumam Irene pelan.
Dia pernah meminta para ilmuwan di tempatnya untuk menjadikan ngengat api
sebagai penerang tapi tidak ada yang berhasil mengembangbiakkan ngengat-ngengat
ini.
Lagi-lagi
Irene merasakan keanehan, gerbang penjaga kedua di kerajaan ini sama sekali
tidak ada penjaga. Dia semakin yakin kalau kerajaan ini benar-benar merasakan
kedamaian. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak memikirkannya dan segera menuju
Danau Larenimria yang berada tidak jauh dari pintu gerbang kedua.
Irene
tiba di danau, berjalan pelan di papan-papan yang disusun rapi untuk berjalan
menuju agak ke tengah danau. Sembari berjalan dia melepaskan penutup kepalanya,
dan mantra tak kasat mata pun buyar.
Angin
tidak berhembus dengan kencang waktu, Irene bisa melihat pantulan dirinya di
permukaan danau. Baretnya sedikit miring walau memang seni memakai topi ini
harus dimiringkan, namun kali ini terlalu miring karena penutup kepala tadi. Baret
merah marun yang sangat penting baginya, diberikan oleh seorang yang sangat
berharga dalam hidupnya.
Irene
menunduk dan kemudian sedikit berjongkok untuk kemudian mengambil air danau,
tidak dengan tangan tapi menggunakan sihir sehingga sebagian kecil air perlahan
naik mendekati tangannya dan membentuk wujud seperti gelas porselen yang biasa
dipakai para bangsawan dan kerajaan.
Dengan
tangan yang satunya Irene menggenggam gelas air tersebut dan segera meminumnya.
Bentuk gelas perlahan menyusut seiring dengan air yang diminumnya, dan benar
saja rasa penatnya menghilang seakan-akan dia baru saja terbangun dari tidur
yang nyenyak.
Berdiri
dia menatap sekeliling, Irene menikmati dinginnya malam itu. Meskipun sudah
lewat purnama tapi cahaya bulan masih mampu menerangi danau dan sekitarnya,
bahkan dia bisa melihat tembok yang diseberang danau. Dia mengitarkan
pandangan, bagian tinggi dari kastil terlihat jelas dari tempat dia berdiri. Di
dekat danau itu terdapat semacam taman yang sengaja dibuat di tengah-tengah
danau. Taman Seribu Kucing, ke sanalah dia akan menuju.
Irene
tidak lagi menggunakan mantra tak kasat matanya, dia berjalan pasti menuju
taman. Namun belum sempat dia masuk ke dalam taman, matanya menatap sebuah
papan yang menempel di salah satu pohon yang menjajari jalan. Dari bentuknya
dia yakin, itu bukanlah papan penunjuk arah. Mendekat sambil membaca mantra,
sebuah api kecil muncul dari telapak tangannya sebagai penerang untuk membaca
apa yang tertulis di papan itu.
“Demi
Dewi Angin, apa yang sedang terjadi di sini?” Irene tersentak meskipun belum
selesai membaca pengumuman tersebut.
Battle
Royale, pertempuran terbuka bagi semua penghuni Kerajaan Fantasi demi untuk
mendapatkan tahta penguasa tertinggi kerajaan ini. Dan apa lagi ini, kandidat
yang menyatakan diri diperbolehkan melakukan apa saja terhadap kandidat yang
lain. Menyerang atau apapun, kandidat yang berdiri terakhir adalah pemenangnya.
Gila! Irene tidak habis pikir, bukan
tentang pertempuran yang tidak mempunyai peraturan ini tapi lebih pada mengapa
ini semua bisa terjadi. Apa yang menyebabkan kerajaan indah ini menjadi ajang
pertempuran.
Irene
memandang keadaan sekitar, barulah dia sekarang mengerti kenapa kerajaan ini
menjadi sepi. Pasti karena Battle Royale ini, entah karena semuanya
berpartisipasi atau mengungsi besar-besaran karena tidak berani untuk
bertempur. Melihat dari hari disahkannya pengumuman ini, dia yakin sudah
berlangsung selama empat-lima hari karena purnama sudah lewat beberapa hari
yang lalu.
Bergegas
Irene mematikan sihir apinya, dan menghilang menuju bayang-bayang hitam
pepohonan. Dia harus segera memastikan apa yang terjadi, dan menghentikan kegilaan
apapun yang membuat ini terjadi. Karena dia ingin memulai hidup baru di tempat
ini. Ya, dia sudah jenuh dengan gelar Faye. Dia hanya ingin menjadi Irene
sampai akhir masa hidupnya.
*****
Matahari
belum menampakkan diri sepenuhnya, namun suara gaduh pertarungan sudah
terdengar. Kika mendekap erat kucing-kucingnya, sudah lima hari dia besembunyi
di rumah kucing-kucing piarannya. Battle Royale yang dicanangkan oleh sang Ratu
membuat dirinya tidak berani untuk menampakkan diri di depan umum.
Kika
mengeratkan pelukannya pada Mito, kucing gemuk kesayangannya. Dia menyesal
karena ikut andil dalam hal ini. Awalnya dia hanya ikut-ikutan untuk meminta
tambahan pemasukan yang akan dia gunakan untuk kucing-kucingnya, namun usia
yang belum genap 13 rasi domba membuatnya salah melangkah. Alih-alih
mendapatkan tambahan uang, sekarang di tangannya terpasang gelang logam perak
dengan ukiran daun clover emas. Tanda
bahwa dia disertakan sebagai peserta Battle Royale, sesuatu yang tidak pernah
dia duga akan seburuk ini.
Rambut
lurus hitamnya mulai kusut di beberapa bagian, Kika merasa risih dengan
kenyataan bahwa dia tidak pernah mandi. Sejak hari pertama, dia memutuskan
untuk bersembunyi sampai semuanya menjadi tenang kembali, entah siapapun nanti
yang akan memimpin kerajaan ini.
Suara
dentuman keras mengagetkannya, kucing-kucingnya mengeram. Bahkan Mito yang
sangat jinak tiba-tiba saja meronta untuk melepaskan diri dari pelukan Kika.
Beberapa luka cakaran langsung menghias lengannya.
Kika
mendengar teriakan-teriakan saling mencaci dari luar, samar namun dia yakin
mengenali pemilik suara itu. Ada dua suara yang dia kenal, ah tidak, ada tiga
suara. Ada tiga orang sedang bertarung tiga arah. Kacau. Smith sang Penjagal,
Tsurai si Penjaga Kebun Barat, dan Andravus Penjaga Kebun Utara. Dua penyihir
tanaman melawan pengendali makhluk buas.
Suara
ledakan kembali terdengar, kali ini lebih dekat. sangat dekat karena dinding
kayu dari rumah kucing menjadi berlubang sebesar kepalan tangan orang dewasa
akibat terkena suatu benda yang terpental dari ledakan. Kika perlahan bangkit
sambil memegang tangannya yang masih terasa perih, dia mendekat ke arah lubang.
Jarak
lubang sedikit di bawah tinggi matanya, Kika pun sedikit menunduk untuk melihat
apa yang terjadi diluar. Dugaannya benar, tiga orang sedang bertarung dengan
sengit. Menyerang tanpa henti, saling menyerang kepada dua lawan dihadapan.
Kika
menggigit bibirnya, perasaan bercampur aduk. Bahkan dia sendiri tidak mengerti
dengan apa yang dia rasakan saat melihat pertempuran ketiga orang itu. Dan
tiba-tiba saja terdengar sebuah suara dari belakangnya, suara yang seharusnya
tidak pernah ada karena selain dia hanya para kucing yang ada di dalam rumah
kucing ini.
“Hei
Kika! Jangan hanya berdiam diri, bertarunglah. Aku tahu dalam dirimu kamu
sangat menginginkan pertarungan ini. Aku tahu kamu menginginkan darah. Aku tahu
siapa kamu sebenarnya. Dan aku akan membangkitkanmu!” suara itu terdengar lirih
dan dingin.
Kika
membalikkan tubuhnya untuk melihat siapa pemilik suara itu. Jantungnya serasa
berhenti berdetak saat mengetahui siapa pengucap kata-kata tersebut.
#####
0 comments:
Post a Comment