BR - Act 1


Irene melangkah ringan, menembus tembok tebal yang mengelilingi kasti fantasi. Sihir semacam ini bukan hal yang sulit baginya sebagai penyandang Penyihir Tertinggi dari Kerajaan Wegdya. Dengan santai dia berjalan melewati bebatuan setebal 2 meter tersebut. Beruntung tidak ada orang di sekitar tembok.

Sesuatu menyentil pikiran Irene, kenapa tidak ada orang yang berjaga-jaga di atas tembok. Apa kerajaan ini merasa sangat aman sehingga tidak memerlukan seorang penjagapun untuk mengawasi di sekitar tembok pertahanan ini.

Rasa dahaga membuat Irene ingin menuju kedai minum, namun dia yakin kalau kedatangan ke kedai pada waktu seperti ini pasti akan menarik rasa ingin tahu penduduk kerajaan fantasi. Seorang wanita yang mempunyai derajat tertinggi di Kerajaan Wegdya, seorang Faye, julukan untuk penguasa kerajaan di tempatnya.

Walaupun dia harus memasuki daerah istana dengan sembunyi-sembunyi, Irene tidak mempedulikannya. Dia ingin menjelajahi tempat ini, pikirannya butuh pembuktian kalau kerajaan ini benar-benar sebagus cerita-cerita dari para pengelana. Danau Larenimria, Taman Seribu Kucing, Menara Tanpa Batas, dan banyak cerita-cerita menarik yang membuatnya ingin membuktikan sendiri.

Akhirnya Irene memutuskan untuk menuju danau Larenimria, danau ajaib yang katanya mampu menghilangkan penat dan dahaga siapapun yang meminum airnya. Meski ini baru pertama kalinya berada di Kerajaan Fantasi, dia sudah menghapal peta dari mata-mata yang dia susupkan ke Kerajaan Fantasi. Kakinya melangkah menuju Danau Larenimria yang berdekatan dengan Taman Seribu Kucing, kalau beruntung dia akan sekalian melihat kucing-kucing istana milik Ratu Penguasa Kastil ini.

Irene memakai penutup kepala dari jubah hitam yang dia kenakan, mulutnya membaca mantra yang pendek. Warna padat tubuhnya pun perlahan memudar, menjadi semu kemudian tak kasat mata. Dia memandang kaki dan anggota tubuhnya yang lain, tidak ada yang bisa dia lihat. Mantranya berhasil.

Pelan namun pasti Irene melangkah mengikuti jalan menuju gerbang pintu masuk Istana Fantasi. Dilihatnya bebatuan datar disusun rapi meski tidak beraturan, namun seperti ada pola yang indah. Beberapa tiang-tiang dari logam berjajar di pinggir jalan batu itu, di ujung atas tiang terdapat semacam bola kristal dengan puluhan cahaya yang bergerak-gerak di dalamnya. 

“Ah, mereka berhasil memanfaatkan ngengat api sebagai penerang.” gumam Irene pelan. Dia pernah meminta para ilmuwan di tempatnya untuk menjadikan ngengat api sebagai penerang tapi tidak ada yang berhasil mengembangbiakkan ngengat-ngengat ini. 

Lagi-lagi Irene merasakan keanehan, gerbang penjaga kedua di kerajaan ini sama sekali tidak ada penjaga. Dia semakin yakin kalau kerajaan ini benar-benar merasakan kedamaian. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak memikirkannya dan segera menuju Danau Larenimria yang berada tidak jauh dari pintu gerbang kedua.
Irene tiba di danau, berjalan pelan di papan-papan yang disusun rapi untuk berjalan menuju agak ke tengah danau. Sembari berjalan dia melepaskan penutup kepalanya, dan mantra tak kasat mata pun buyar.
Angin tidak berhembus dengan kencang waktu, Irene bisa melihat pantulan dirinya di permukaan danau. Baretnya sedikit miring walau memang seni memakai topi ini harus dimiringkan, namun kali ini terlalu miring karena penutup kepala tadi. Baret merah marun yang sangat penting baginya, diberikan oleh seorang yang sangat berharga dalam hidupnya.

Irene menunduk dan kemudian sedikit berjongkok untuk kemudian mengambil air danau, tidak dengan tangan tapi menggunakan sihir sehingga sebagian kecil air perlahan naik mendekati tangannya dan membentuk wujud seperti gelas porselen yang biasa dipakai para bangsawan dan kerajaan.
Dengan tangan yang satunya Irene menggenggam gelas air tersebut dan segera meminumnya. Bentuk gelas perlahan menyusut seiring dengan air yang diminumnya, dan benar saja rasa penatnya menghilang seakan-akan dia baru saja terbangun dari tidur yang nyenyak.

Berdiri dia menatap sekeliling, Irene menikmati dinginnya malam itu. Meskipun sudah lewat purnama tapi cahaya bulan masih mampu menerangi danau dan sekitarnya, bahkan dia bisa melihat tembok yang diseberang danau. Dia mengitarkan pandangan, bagian tinggi dari kastil terlihat jelas dari tempat dia berdiri. Di dekat danau itu terdapat semacam taman yang sengaja dibuat di tengah-tengah danau. Taman Seribu Kucing, ke sanalah dia akan menuju.

Irene tidak lagi menggunakan mantra tak kasat matanya, dia berjalan pasti menuju taman. Namun belum sempat dia masuk ke dalam taman, matanya menatap sebuah papan yang menempel di salah satu pohon yang menjajari jalan. Dari bentuknya dia yakin, itu bukanlah papan penunjuk arah. Mendekat sambil membaca mantra, sebuah api kecil muncul dari telapak tangannya sebagai penerang untuk membaca apa yang tertulis di papan itu.

“Demi Dewi Angin, apa yang sedang terjadi di sini?” Irene tersentak meskipun belum selesai membaca pengumuman tersebut.

Battle Royale, pertempuran terbuka bagi semua penghuni Kerajaan Fantasi demi untuk mendapatkan tahta penguasa tertinggi kerajaan ini. Dan apa lagi ini, kandidat yang menyatakan diri diperbolehkan melakukan apa saja terhadap kandidat yang lain. Menyerang atau apapun, kandidat yang berdiri terakhir adalah pemenangnya. Gila! Irene tidak habis pikir,  bukan tentang pertempuran yang tidak mempunyai peraturan ini tapi lebih pada mengapa ini semua bisa terjadi. Apa yang menyebabkan kerajaan indah ini menjadi ajang pertempuran. 

Irene memandang keadaan sekitar, barulah dia sekarang mengerti kenapa kerajaan ini menjadi sepi. Pasti karena Battle Royale ini, entah karena semuanya berpartisipasi atau mengungsi besar-besaran karena tidak berani untuk bertempur. Melihat dari hari disahkannya pengumuman ini, dia yakin sudah berlangsung selama empat-lima hari karena purnama sudah lewat beberapa hari yang lalu.

Bergegas Irene mematikan sihir apinya, dan menghilang menuju bayang-bayang hitam pepohonan. Dia harus segera memastikan apa yang terjadi, dan menghentikan kegilaan apapun yang membuat ini terjadi. Karena dia ingin memulai hidup baru di tempat ini. Ya, dia sudah jenuh dengan gelar Faye. Dia hanya ingin menjadi Irene sampai akhir masa hidupnya.

*****

Matahari belum menampakkan diri sepenuhnya, namun suara gaduh pertarungan sudah terdengar. Kika mendekap erat kucing-kucingnya, sudah lima hari dia besembunyi di rumah kucing-kucing piarannya. Battle Royale yang dicanangkan oleh sang Ratu membuat dirinya tidak berani untuk menampakkan diri di depan umum.

Kika mengeratkan pelukannya pada Mito, kucing gemuk kesayangannya. Dia menyesal karena ikut andil dalam hal ini. Awalnya dia hanya ikut-ikutan untuk meminta tambahan pemasukan yang akan dia gunakan untuk kucing-kucingnya, namun usia yang belum genap 13 rasi domba membuatnya salah melangkah. Alih-alih mendapatkan tambahan uang, sekarang di tangannya terpasang gelang logam perak dengan ukiran daun clover emas. Tanda bahwa dia disertakan sebagai peserta Battle Royale, sesuatu yang tidak pernah dia duga akan seburuk ini.

Rambut lurus hitamnya mulai kusut di beberapa bagian, Kika merasa risih dengan kenyataan bahwa dia tidak pernah mandi. Sejak hari pertama, dia memutuskan untuk bersembunyi sampai semuanya menjadi tenang kembali, entah siapapun nanti yang akan memimpin kerajaan ini.

Suara dentuman keras mengagetkannya, kucing-kucingnya mengeram. Bahkan Mito yang sangat jinak tiba-tiba saja meronta untuk melepaskan diri dari pelukan Kika. Beberapa luka cakaran langsung menghias lengannya.

Kika mendengar teriakan-teriakan saling mencaci dari luar, samar namun dia yakin mengenali pemilik suara itu. Ada dua suara yang dia kenal, ah tidak, ada tiga suara. Ada tiga orang sedang bertarung tiga arah. Kacau. Smith sang Penjagal, Tsurai si Penjaga Kebun Barat, dan Andravus Penjaga Kebun Utara. Dua penyihir tanaman melawan pengendali makhluk buas.

Suara ledakan kembali terdengar, kali ini lebih dekat. sangat dekat karena dinding kayu dari rumah kucing menjadi berlubang sebesar kepalan tangan orang dewasa akibat terkena suatu benda yang terpental dari ledakan. Kika perlahan bangkit sambil memegang tangannya yang masih terasa perih, dia mendekat ke arah lubang. 

Jarak lubang sedikit di bawah tinggi matanya, Kika pun sedikit menunduk untuk melihat apa yang terjadi diluar. Dugaannya benar, tiga orang sedang bertarung dengan sengit. Menyerang tanpa henti, saling menyerang kepada dua lawan dihadapan.

Kika menggigit bibirnya, perasaan bercampur aduk. Bahkan dia sendiri tidak mengerti dengan apa yang dia rasakan saat melihat pertempuran ketiga orang itu. Dan tiba-tiba saja terdengar sebuah suara dari belakangnya, suara yang seharusnya tidak pernah ada karena selain dia hanya para kucing yang ada di dalam rumah kucing ini.

“Hei Kika! Jangan hanya berdiam diri, bertarunglah. Aku tahu dalam dirimu kamu sangat menginginkan pertarungan ini. Aku tahu kamu menginginkan darah. Aku tahu siapa kamu sebenarnya. Dan aku akan membangkitkanmu!” suara itu terdengar lirih dan dingin.

Kika membalikkan tubuhnya untuk melihat siapa pemilik suara itu. Jantungnya serasa berhenti berdetak saat mengetahui siapa pengucap kata-kata tersebut.

#####

0 comments:

Post a Comment