BR - Act 9


Riesling memicingkan mata saat cahaya terang tiba-tiba menyeruak, tubuhnya sakit tak terkira. Dia yakin benda lengket dan kering yang menempel di wajahnya adalah darah dia sendiri. 

Sesosok bayangan berdiri di antara reruntuhan,  Riesling tidak bisa memastikan siapa pemilik bayangan itu, matanya masih terlalu lemah untuk beradu dengan cahaya. Yang jelas, dia bisa melihat bayangan itu bergerak memindahkan puing-puing perpustakaan yang menimpa dirinya. 

Setelah merasa mendapat bantuan, Riesling akhirnya melemaskan badannya beristirahat. Biarlah orang itu nanti yang menyelamatkan dirinya, tubuhnya sudah tidak mampu lagi untuk melakukan apa-apa. Pikirannya teringat kepada sesosok pria yang dulu pernah menjadi orang tuanya, dalam tidur dia memimpikan pria itu bersanding dengan Faye Irene. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi karena –

“Hei, kamu baik-baik saja?” sebuah tepukan kecil mendarat di pipi kanan Ries. Membuyarkan lamunannya.
Riesling membuka matanya, mengerjapkan mata beberapa kali. Dia mendapati sudah berada di tempat yang berbeda, bukan perpustakaan tempat dia bertarung sebelumnya. Seorang pria memakai tudung kepala berjongkok di dekatnya, dia tidak bisa melihat jelas wajah pria itu. Hanya rambut merah yang sedikit tersembul dari balik tudung yang bisa dia lihat.

Memandang ke sebelah, dia mendapati lawannya duduk bersender di dinding beberapa kaki di belakang si pria. Bernafas pelan, masih tidak sadarkan diri.

“Ka-kamu..siapa?” tanya Riesling mencoba untuk bangun. Namun pusing dan sakit segera mendera kepalanya.

“Rebahkan saja dirimu dulu.” kata pria itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, pria itu berdiri dan berlalu. Riesling mengamati pakaian yang dikenakan sang pria, dia seperti pernah mengenal pakaian itu. Mirip dengan pakaian assassin, namun bukan assassin biasa tapi otaknya masih tidak menemukan jawabannya.

“Jangan takut, Aocchi tidak akan menyerangmu lagi. Aku sudah melenyapkan parasit di kepalanya.” Kata pria itu sambil berlalu. Riesling tidak begitu mengerti ucapan pria itu. 

“Dan Faye baik-baik saja.”

Kalimat yang Riesling dengar sebelum pria itu menghilang di balik gelapnya lorong istana.

*****

Tsurai tertegun menatap mesin perang, benda yang tidak pernah muncul sejak masa-masa damai kerajaan fantasi akhirnya menampakkan diri. Mengitarkan pandangannya dia mendapati yang lain sedang memasang kuda-kuda bersiap untuk menghadapi serangan. Tapi matanya lebih tertuju pada Kika yang tak sadarkan diri di tanah.

Kesempatan pikir Tsurai, dengan segera dia merapal sihir dan menancapkan kedua telapak tangannya ke tanah. Beberapa saat kemudian di bawah tubuh Kika, bermunculan ratusan sulur-sulur yang mengikat tubuh gadis itu dan menarik masuk ke dalam tanah.

Beruntung gerakan dari Dragonfly menyamarkan sihir yang dia gunakan, Tsurai tersenyum kecil mendapati semua orang tidak ada yang mengetaui perbuatannya. Dengan ini langkahnya untuk mendapatkan Kika menjadi semakin dekat. 

“Kika hanya akan jadi milikku! Milikku!” gumam Tsurai.

Sulur-sulur bermunculan tepat di depan Tsurai, perlahan membuka dan menampakkan Kika yang masih tak sadarkan diri. Dengan cepat dia merangkul dan membopong Kika, melesat menjauh dari tempat pertempuran.

*****

Gie berkelit dari serangan sinar panas Dragonfly, berpikir lama akhirnya dia memutuskan untuk mundur. Tidak ada gunanya melawan mesin perang ini, kemampuannya tidak untuk melawan logam. Dalam satu lesatan, dia menjauh dan baru tersadar Kika tidak berada di area itu. 

Mata tajam Fangnya tidak bisa menemukan sang anak di dekat pertempuran, Gie melesat ke atas dan mengitarkan pandangan matanya. Terkejut dia menemukan Tsurai sedang membopong anaknya entah kemana. 

Begitu mendarat ke tanah, dia langsung mengejar dengan cepat menuju Tsurai. Anak semata wayangnya tidak boleh dinodai oleh siapapun.

*****

Tsurai merasakan bulu kuduknya merinding, ada perasaan membunuh yang sangat kuat yang mendatanginya. Dengan segera dia menoleh ke belakang dan mendapati sang wanita berkulit pucat mengejar dirinya dan berjarak sekitar duapuluh kaki.

Tsurai menurunkan Kika dan meletakkan perlahan di tanah, sesaat setelah dia berdiri sekelebat benda melesat ke lehernya. Dia pun mundur secara reflek, namun ujung kuku tajam sang wanita berhasil menggores lehernya.

Dengan memegang luka iris itu, Tsurai memasang kuda-kuda.

“Jangan ganggu Kika!” teriak Tsurai.

“Jangan ganggu? Kamu bilang jangan ganggu? Siapa kamu hingga berani-beraninya menyuruh aku, Gie, ibunya anak ini?!” balas Gie dengan nada yang keras.

Tsurai terhenyak, bertemu dengan mungkin-bakal-calon-ibu-mertua secara mendadak. Dan dalam situasi yang tidak mengenakkan. Ah, gagal kesan pertamaku pikirnya melihat sang mungkin-bakal-calon-ibu-mertua di depannya ini bersiap-siap untuk menghajar dirinya.

Tsurai ingin membela diri, namun tidak ada satupun kata yang bisa keluar dari mulutnya. Mengetahui jati diri Gie membuat dirinya menjadi tak bernyali. Sebuah tendangan dua kaki dari Gie pun mendarat dengan mulus di dadanya. Yakin dia kalau apa yang menyembur dari mulutnya adalah darah.

Terhuyung beberapa kaki ke belakang, Tsurai memegangi dadanya. Tertunduk karena rasa sakit. Haruskah dirinya melawan atau hanya bertahan, bertahan pun tidak akan bisa sempurna dengan kekuatannya yang semakin berkurang. Tsurai menyesali keadaan ini, menyesali dirinya, menyesali kelemahan dirinya dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

*****

Gie mengernyitkan dahi, pemuda lemah di depannya kini berdiri tegak setelah tadi tersungkur beberapa detik. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Bukan hanya tatapan matanya yang berbeda, tetapi juga aura yang menyelimuti pemuda itu berbeda dengan sebelumnya. Kini aura ini lebih kental dengan aura kegelapan.

“Siapa kamu?” Gie bertanya dengan nada membentak.
Pemuda itu hanya menyeringai.

“Terimakasih Nyonya untuk membangkitkan aku. Perkenalkan, aku Ziona!” suara yang keluar dari mulut pemuda itu terdengar berbeda.

*****

Synrio berjalan santai memasuki perbatasan negeri fantasi, dilihatnya banyak sekali tenda-tenda berdiri. Orang-orang ramai, tegang tadi tidak ketakutan. Dia berjalan mendekat mencoba mencari tahu, tudung kepala tetap dia kenakan. Orang-orang tidak perlu tahu jati dirinya sebagai elf, atau lebih tepatnya elf-berdarah-manusia.

Beberapa penduduk dengan ramah menceritakan tentang kejadian di kerajaan fantasi, walau mereka juga tidak tahu sebenarnya ini adalah sebuah perlombaan atau apa. Synrio hanya mengangguk-angguk mendengarkan cerita mereka sambil sesekali menoleh ke arah kastil yang terlihat hanya sebesar kepalan tangan dari tempat dia berada sekarang.

“Ada kepelruan apa ceolang erf beldalah campulan datang kemali?” sebuah suara dari belakang mengagetkan Synrio. Dia menoleh dan tidak mendapati seorang manusia pun di sana, kecuali seekor panda yang sedang menikmati beberapa batang bambu muda. Binatang itu duduk manja menatap dirinya.

“Kamu kah yang bicara itu?” tanya Synrio. Dia menatap sekelilingnya, memang tidak ada orang lain yang berbicara dengannya.

“Iya, benal. Aku yang bicala.” jawab Panda dengan mulut masih mengunyah bambu. Ah, Synrio aru menyadari kalau Panda berbicara menggunakan telepati. Dia pun mendekat ke makhluk yang dia yakini bukan sekedar binatang biasa itu.

“Bagaimana kamu tahu siapa aku sebenarnya?” tanya Synrio lagi.

“Mudah. Aku bica mencium bau.” jawab Panda santai, seakan kemapuan seperti itu bukan kemampuan yang hebat.

“Aku hanya tidak begitu mengelti dengan benda yang kamu bawa itu. Cepelti dayung tapi teldapat senal cepelti cital. Apakah itu Cinlio?” kali  ini giliran Panda bertanya.

“Ah, ini. Aku menamakannya gitar.” Synrio menjawab meski sedikit terkejut saat Panda juga mengetahui namanya.

“Gital. Lucu cekari. Bagaimana memainkannya?” Panda mendekat dan mengendus gitar yang berada di punggung Synrio. “Tidak ada rubang angin, bagaimana bica belbunyi?” lanjutnya.

Synrio mengambil benda itu, dan langsung mempraktekkannya. Sebelum dia membunyikan gitar, dia membalut jemarinya dengan petir, dan setelah tangan petir itu bersentuhan dengan senar gitar, suara keras memekik pun terdengar. Alhasil, Panda terlonjak kaget mendengar suara itu.

#####

0 comments:

Post a Comment