Riesling memicingkan mata saat cahaya terang tiba-tiba
menyeruak, tubuhnya sakit tak terkira. Dia yakin benda lengket dan kering yang
menempel di wajahnya adalah darah dia sendiri.
Sesosok bayangan berdiri di antara reruntuhan, Riesling tidak bisa memastikan siapa pemilik
bayangan itu, matanya masih terlalu lemah untuk beradu dengan cahaya. Yang
jelas, dia bisa melihat bayangan itu bergerak memindahkan puing-puing
perpustakaan yang menimpa dirinya.
Setelah merasa mendapat bantuan, Riesling akhirnya
melemaskan badannya beristirahat. Biarlah orang itu nanti yang menyelamatkan
dirinya, tubuhnya sudah tidak mampu lagi untuk melakukan apa-apa. Pikirannya
teringat kepada sesosok pria yang dulu pernah menjadi orang tuanya, dalam tidur
dia memimpikan pria itu bersanding dengan Faye Irene. Sesuatu yang tidak
mungkin terjadi karena –
“Hei, kamu baik-baik saja?” sebuah tepukan kecil mendarat di
pipi kanan Ries. Membuyarkan lamunannya.
Riesling membuka matanya, mengerjapkan mata beberapa kali.
Dia mendapati sudah berada di tempat yang berbeda, bukan perpustakaan tempat
dia bertarung sebelumnya. Seorang pria memakai tudung kepala berjongkok di
dekatnya, dia tidak bisa melihat jelas wajah pria itu. Hanya rambut merah yang sedikit
tersembul dari balik tudung yang bisa dia lihat.
Memandang ke sebelah, dia mendapati lawannya duduk bersender
di dinding beberapa kaki di belakang si pria. Bernafas pelan, masih tidak
sadarkan diri.
“Ka-kamu..siapa?” tanya Riesling mencoba untuk bangun. Namun
pusing dan sakit segera mendera kepalanya.
“Rebahkan saja dirimu dulu.” kata pria itu. Tanpa berkata
apa-apa lagi, pria itu berdiri dan berlalu. Riesling mengamati pakaian yang
dikenakan sang pria, dia seperti pernah mengenal pakaian itu. Mirip dengan
pakaian assassin, namun bukan assassin biasa tapi otaknya masih tidak menemukan
jawabannya.
“Jangan takut, Aocchi tidak akan menyerangmu lagi. Aku sudah
melenyapkan parasit di kepalanya.” Kata pria itu sambil berlalu. Riesling tidak
begitu mengerti ucapan pria itu.
“Dan Faye baik-baik saja.”
Kalimat yang Riesling dengar sebelum pria itu menghilang di
balik gelapnya lorong istana.
*****
Tsurai tertegun menatap mesin perang, benda yang tidak
pernah muncul sejak masa-masa damai kerajaan fantasi akhirnya menampakkan diri.
Mengitarkan pandangannya dia mendapati yang lain sedang memasang kuda-kuda
bersiap untuk menghadapi serangan. Tapi matanya lebih tertuju pada Kika yang
tak sadarkan diri di tanah.
Kesempatan pikir Tsurai, dengan segera dia merapal sihir dan
menancapkan kedua telapak tangannya ke tanah. Beberapa saat kemudian di bawah
tubuh Kika, bermunculan ratusan sulur-sulur yang mengikat tubuh gadis itu dan
menarik masuk ke dalam tanah.
Beruntung gerakan dari Dragonfly menyamarkan sihir yang dia
gunakan, Tsurai tersenyum kecil mendapati semua orang tidak ada yang mengetaui
perbuatannya. Dengan ini langkahnya untuk mendapatkan Kika menjadi semakin
dekat.
“Kika hanya akan jadi milikku! Milikku!” gumam Tsurai.
Sulur-sulur bermunculan tepat di depan Tsurai, perlahan
membuka dan menampakkan Kika yang masih tak sadarkan diri. Dengan cepat dia
merangkul dan membopong Kika, melesat menjauh dari tempat pertempuran.
*****
Gie berkelit dari serangan sinar panas Dragonfly, berpikir
lama akhirnya dia memutuskan untuk mundur. Tidak ada gunanya melawan mesin
perang ini, kemampuannya tidak untuk melawan logam. Dalam satu lesatan, dia
menjauh dan baru tersadar Kika tidak berada di area itu.
Mata tajam Fangnya tidak bisa menemukan sang anak di dekat
pertempuran, Gie melesat ke atas dan mengitarkan pandangan matanya. Terkejut
dia menemukan Tsurai sedang membopong anaknya entah kemana.
Begitu mendarat ke tanah, dia langsung mengejar dengan cepat
menuju Tsurai. Anak semata wayangnya tidak boleh dinodai oleh siapapun.
*****
Tsurai merasakan bulu kuduknya merinding, ada perasaan
membunuh yang sangat kuat yang mendatanginya. Dengan segera dia menoleh ke
belakang dan mendapati sang wanita berkulit pucat mengejar dirinya dan berjarak
sekitar duapuluh kaki.
Tsurai menurunkan Kika dan meletakkan perlahan di tanah,
sesaat setelah dia berdiri sekelebat benda melesat ke lehernya. Dia pun mundur
secara reflek, namun ujung kuku tajam sang wanita berhasil menggores lehernya.
Dengan memegang luka iris itu, Tsurai memasang kuda-kuda.
“Jangan ganggu Kika!” teriak Tsurai.
“Jangan ganggu? Kamu bilang jangan ganggu? Siapa kamu hingga
berani-beraninya menyuruh aku, Gie, ibunya anak ini?!” balas Gie dengan nada
yang keras.
Tsurai terhenyak, bertemu dengan
mungkin-bakal-calon-ibu-mertua secara mendadak. Dan dalam situasi yang tidak
mengenakkan. Ah, gagal kesan pertamaku pikirnya melihat sang
mungkin-bakal-calon-ibu-mertua di depannya ini bersiap-siap untuk menghajar
dirinya.
Tsurai ingin membela diri, namun tidak ada satupun kata yang
bisa keluar dari mulutnya. Mengetahui jati diri Gie membuat dirinya menjadi tak
bernyali. Sebuah tendangan dua kaki dari Gie pun mendarat dengan mulus di
dadanya. Yakin dia kalau apa yang menyembur dari mulutnya adalah darah.
Terhuyung beberapa kaki ke belakang, Tsurai memegangi
dadanya. Tertunduk karena rasa sakit. Haruskah dirinya melawan atau hanya
bertahan, bertahan pun tidak akan bisa sempurna dengan kekuatannya yang semakin
berkurang. Tsurai menyesali keadaan ini, menyesali dirinya, menyesali kelemahan
dirinya dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
*****
Gie mengernyitkan dahi, pemuda lemah di depannya kini
berdiri tegak setelah tadi tersungkur beberapa detik. Namun kali ini ada
sesuatu yang berbeda. Bukan hanya tatapan matanya yang berbeda, tetapi juga
aura yang menyelimuti pemuda itu berbeda dengan sebelumnya. Kini aura ini lebih
kental dengan aura kegelapan.
“Siapa kamu?” Gie bertanya dengan nada membentak.
Pemuda itu hanya menyeringai.
“Terimakasih Nyonya untuk membangkitkan aku. Perkenalkan,
aku Ziona!” suara yang keluar dari mulut pemuda itu terdengar berbeda.
*****
Synrio berjalan santai memasuki perbatasan negeri fantasi,
dilihatnya banyak sekali tenda-tenda berdiri. Orang-orang ramai, tegang tadi
tidak ketakutan. Dia berjalan mendekat mencoba mencari tahu, tudung kepala
tetap dia kenakan. Orang-orang tidak perlu tahu jati dirinya sebagai elf, atau
lebih tepatnya elf-berdarah-manusia.
Beberapa penduduk dengan ramah menceritakan tentang kejadian
di kerajaan fantasi, walau mereka juga tidak tahu sebenarnya ini adalah sebuah
perlombaan atau apa. Synrio hanya mengangguk-angguk mendengarkan cerita mereka
sambil sesekali menoleh ke arah kastil yang terlihat hanya sebesar kepalan
tangan dari tempat dia berada sekarang.
“Ada kepelruan apa ceolang erf beldalah campulan datang
kemali?” sebuah suara dari belakang mengagetkan Synrio. Dia menoleh dan tidak
mendapati seorang manusia pun di sana, kecuali seekor panda yang sedang
menikmati beberapa batang bambu muda. Binatang itu duduk manja menatap dirinya.
“Kamu kah yang bicara itu?” tanya Synrio. Dia menatap
sekelilingnya, memang tidak ada orang lain yang berbicara dengannya.
“Iya, benal. Aku yang bicala.” jawab Panda dengan mulut
masih mengunyah bambu. Ah, Synrio aru menyadari kalau Panda berbicara
menggunakan telepati. Dia pun mendekat ke makhluk yang dia yakini bukan sekedar
binatang biasa itu.
“Bagaimana kamu tahu siapa aku sebenarnya?” tanya Synrio
lagi.
“Mudah. Aku bica mencium bau.” jawab Panda santai, seakan
kemapuan seperti itu bukan kemampuan yang hebat.
“Aku hanya tidak begitu mengelti dengan benda yang kamu bawa
itu. Cepelti dayung tapi teldapat senal cepelti cital. Apakah itu Cinlio?”
kali ini giliran Panda bertanya.
“Ah, ini. Aku menamakannya gitar.” Synrio menjawab meski
sedikit terkejut saat Panda juga mengetahui namanya.
“Gital. Lucu cekari. Bagaimana memainkannya?” Panda mendekat
dan mengendus gitar yang berada di punggung Synrio. “Tidak ada rubang angin,
bagaimana bica belbunyi?” lanjutnya.
Synrio mengambil benda itu, dan langsung mempraktekkannya.
Sebelum dia membunyikan gitar, dia membalut jemarinya dengan petir, dan setelah
tangan petir itu bersentuhan dengan senar gitar, suara keras memekik pun
terdengar. Alhasil, Panda terlonjak kaget mendengar suara itu.
#####
0 comments:
Post a Comment