Yuki mengerjapkan mata berkali-kali. Meski pandangan mata
masih kabur, dia memaksakan untuk melihat keadaan sekeliling. Yang pertama dia
sadari adalah jendela dengan gorden berwarna biru, dan sinar terang matahari
nekat menerobos masuk.
Beberapa saat kemudian, pikirannya menyadari bahwa dia sedang
berada di dalam sebuah ruangan. Pernak pernik, tempat tidur, dan aroma ruangan
ini sangat dia kenal. Yuki memejamkan mata dalam, kemudian membuka lagi
sehingga pandangannya kembali normal. Ruangan ini adalah kamarnya. Ruangan yang
dia tempati sejak berumur delapan tahun.
Entah kenapa dia merasa sangat capek, lelah, dan pegal di
beberapa bagian tubuh. Terakhir Yuki merasa seperti ini adalah saat dia
terbaring di rumah sakit karena terjatuh dari pohon apel yang ada di kebun
milik nenek di desa.
Gadis yang baru saja genap berusia enam belas tahun itu
mencoba mengingat kembali mimpi yang sangat aneh. Keluarga mereka yang hanya
bertiga, menjadi genap empat orang dengan kehadiran seorang kakak laki-laki.
Anehnya, tidak ada yang mempermasalahkan hal itu. Seakan sang kakak memang
sejak awal adalah benar kakak kandungnya.
Dia mendengar suara langkah kaki menaiki tangga menuju kamar.
Itu pasti Mama yang bersiap membangunkannya untuk berangkat sekolah hari ini,
batin Yuki.
“Yuki, belum bangun?” Mama bertanya sambil mengetuk pintu
kamar pelan. “Jangan bikin kakakmu menunggu terlalu lama.”
Yuki termenung. Kakak?
Ini masih dalam mimpi?
Pintu dibuka, seorang wanita yang baru saja melewati umur
empat puluh tahun memberikan senyum yang bisa dengan mudah menghilangkan segala
sedih Yuki.
“Kenapa
masih berdiam saja? Cepat mandi dan bersiap.” Mama mendekat, dan duduk di
samping badannya.
Tersenyum,
Yuki mengangguk lemah. Dalam pikirannya masih berkecamuk antara mimpi atau
bukan. Namun sentuhan lembut tangan Mama di kepalanya meyakinkan bahwa yang
sekarang terjadi bukanlah mimpi. Dia berdiri dan bergegas menuju kamar mandi
yang berada di lantai dua.
“Ma,
ka-kakak..” ucap Yuki tertahan sebelum dia keluar dari kamar.
“Ya. Kenapa
dengan Kurou?” suara Mama terkesan khawatir.
Kurou. Yuki membatin, dia tidak ingat pernah punya kerabat dengan nama
seperti itu. Pikirannya masih kacau antara dia mempunyai saudara kandung atau
tidak. Enam belas tahun ini dia hidup sebagai anak tunggal.
“Apa dia
benar saudara kandungku?” Yuki bertanya tanpa menatap Mama. Wajahnya masih
mengarah ke pintu kamar. Dia tidak ingin melihat ekspresi Mama.
“Yuki!”
suara Mama meninggi. Yuki mendengar langkah kaki mendekat, dan sebuah
cengkeraman kuat mendarat di pundak kanannya. Entah kenapa dia merasa sangat
ketakutan. Mencekam.
Dia
memalingkan badan. Jantung Yuki serasa berhenti berdetak. Dia tidak mendapati
sosok Mama yang di depan, melainkan sepasang mata yang sangat mengerikan.
Yuki
terjaga, dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang tidak dia kenal. Dia
mengira ruangan ini adalah bekas sebuah gudang. Dinding-dinding yang retak dan
berlubang, dan bau pesing yang sangat menyengat. Tidak pernah sekalipun dia
berada di tempat seperti ini, bahkan tidak dalam mimpi. Atau mungkin dari
film-film yang pernah dia lihat, dia tidak terlalu berpikir dengan keras.
Hanya ada
cahaya remang yang menerobos dari ventilasi udara. Letaknya tinggi, dan kecil.
Tidak mungkin bagi dia untuk memanjat atau keluar melalui celah udara itu. Yuki
berjalan perlahan. Menuju pintu, atau tepatnya pernah ada pintu di sana. Hanya
engsel yang rusak dan penuh karat yang tertinggal. Tidak banyak benda yang ada
di sana, hanya beberapa sampah kertas atau plastik. Paling tidak, itulah yang
bisa dia lihat dengan bantuan cahaya yang sangat kurang.
Ruangan yang
jauh lebih besar menunggu. Hampir sama dengan ruangan kecil tadi, tidak pernah
di jamah lagi oleh manusia. Meski cahaya yang masuk lebih banyak melalui
belasan ventilasi udara yang berada sangat tinggi di dinding bagian kiri dan
kanan, namun tidak cukup untuk menerangi semua ruangan ini.
Beruntung
dia bisa melihat dengan jelas lubang besar yang menghadap ke arah jalan. Dia
mempercepat langkah. Bergegas untuk luar dari tempat ini. Anehnya, Yuki tidak
merasa takut. Entah kenapa, dia tidak merasa takut dengan kekosongan dan
kegelapan tempat ini. Dia merasa sedang berada di tempat yang aman. Seakan-akan
dia sedang melihat sebuah film yang dia perankan sendiri. Ada sedikit perasaan
was-was, tapi tidak menakutkan.
Tinggal
beberapa langkah lagi. Yuki bisa melihat dengan jelas jalan beraspal yang
berada di luar. Tiba-tiba, hembusan angin kencang dan memberatkan menerpa.
Suara mengeram ganas seperti seekor serigala terdengar dengan jelas dari arah
belakang.
Yuki menoleh
cepat, namun dia tidak mendapati apa pun.
Suara itu
kembali terdengar, kali dari samping kanan. Yuki kembali menatap ke arah sumber
suara, namun sama seperti sebelumnya. Dia tidak melihat ada sesuatu pun di
sana.
Belum sempat
Yuki menarik nafas, sesuatu mencengkeram sepasang kakinya dari belakang. Dia
merasakan kulit yang kasar, berbulu, dengan kuku-kuku yang panjang dan tajam.
Serigala! Tidak. Serigala tidak bisa memegang
seperti ini.
Perlahan Yuki
menurunkan pandangan tepat saat sepasang tangan itu menarik dengan keras
kakinya hingga dia terjatuh ke depan. Kepalanya membentur keras lantai semen.
Seharusnya dia merasakan sakit yang teramat sakit, tapi hanya darah pekat yang
mengalir yang dia rasakan. Seakan-akan dia mati rasa.
Bergegas dia
membalikkan badan, menegakkan punggung sambil bertumpu pada kedua lengan. mencoba
mencari tahu makhluk apa tadi. Namun dia tidak mendapati apapun kecuali angin
yang berhembus pelan. Kegelapan sekarang terasa menakutkan.
Suara eraman
terdengar dari belakang, Yuki
memalingkan badan. Dia yakin jantungnya berhenti berdetak sesaat saat mendapati
sepasang mata merah yang sangat mengerikan.
Yuki
tersentak bangun dari tidur yang mendalam, berteriak keras penuh ketakutan.
Lagi-lagi mimpi buruk, di ujung mimpi dia mendapati dirinya dikejar setiap
langkah sampai akhirnya makhluk seperti serigala itu menerkam dan merobek
tenggorokannya. Dia berbaring selama berjam-jam, berdiam membiarkan gemetar di
sekujur tubuhnya sampai hilang. Pikirnya
dia tidak akan bisa tidur lagi. Namun rasa lemas membuat dia terlelap.
Pagi datang,
dan semuanya berjalan normal seperti biasa. Yuki bahkan lupa semua tentang
mimpinya, tetapi saat orangtuanya mengingatkan bahwa mereka akan pergi keluar
malam dia teringat. Dalam mimpinya, makhluk seperti serigala itu akan datang
untuk membunuhnya pada saat orangtuanya keluar. Dia mulai gemetar dan memohon
mereka untuk tidak pergi. Namun orangtuanya hanya menggeleng sambil tersenyum
pelan, dan kemudian tetap meninggalkan dia sendiri di rumah.
Ketakutan,
Yuki mengunci diri di dalam rumah setelah orang tuanya pergi, memeriksa setiap
pintu dan jendela. Memastikan semuanya tertutup rapat dan terkunci. Dia
mengurung dirinya di dalam kamar.
Yuki
tersentak, terjaga tiba-tiba dengan otot-otot yang menegang. Dia mendengar
suara pecahan kaca jatuh dari jendela, diiringi dengan suara mendengus. Itu
suara makhluk seperti serigala yang dia dengar di dalam mimpi. Serigala biasa
tidak mungkin masuk ke rumah seperti itu. Bahkan dia bisa mendengar suara
langkah aneh yang beradu dengan lantai kayu rumah.
Dia bisa mendengar
makhluk itu menggeram, kemudian suara langkah kaki berlari menaiki tangga dan
berusaha mendobrak pintu kamarnya.Yuki berusaha mencari benda apapun yang bisa
dia gunakan sebagai senjata. Namun yang dia temukan hanya sebuah pemukul bisbol
tua milik Ayah waktu sekolah dulu.
Yuki
tersentak saat serigala itu melolong melengking, dan berhasil mendobrak pintu
kamar. Dia kini bisa melihat dengan jelas makhluk itu. Berdiri seperti orang
bungkuk, bulu-bulu berwarna abu-abu, akar yang tajam, bau apek dan amis, serta
sepasang mata merah yang menatap tajam kepadanya.
Yuki
tersentak, terduduk, dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang tidak
dia kenal. Tidak ada satupun yang mampu dia ingat tentang ruangan ini kecuali
sesosok wanita berambut ikal sebahu yang sedang tertidur dalam keadaan duduk di
sampingnya.
Mama.
Yuki
menatapi keadaan sekitar.
Rumah sakit.
Otaknya
perlahan bisa mencerna.
Kenapa aku bisa berada di sini?
Mama
bergerak sedikit, kemudian terjaga. Yuki menatap wajah pucat yang terlihat sangat
lelah.
“Yuki!” Mama
berujar girang. Wanita itu langsung memeluk erat dirinya.
“Ma-mama?”
“Iya, ini
Mama sayang.” suara tangis kecil terdengar dalam pelukan.
“I-ni Rumah
Sakit?” ucap Yuki pelan, hanya sedikit lebih keras dari bisikan.
“Iya, ini
rumah sakit.” Mama mengelus rambut Yuki.
“Kenapa aku
bisa ada di sini?” tanya Yuki polos. Dia benar-benar tidak ingat dengan apa
yang terjadi pada dirinya. Bahkan dia tidak tahu kalau dirinya sakit.
Mimpi-mimpi buruk tadi terlalu nyata bagi dirinya.
Mama berdiam
beberapa saat, tidak langsung menjawab.
“Sudah.
Tidak apa-apa. Kamu hanya jatuh pingsan.” lirih Mama.
“Kenapa aku
pingsan?” Yuki bertanya kembali.
Mama
melepaskan pelukan. Menatap mata Yuki dengan pandangan yang tidak dia mengerti.
Dia pernah melihat tatapan Mama yang seperti ini. Waktu dia berumur delapan
tahun dan terkena penyakit demam
berdarah dengue. Tatapan itu tidak pernah dia lupakan.
“Tidak apa-apa. Kata Dokter kamu hanya terlalu capek.” Mama tersenyum,
namun Yuki bisa merasakan senyuman itu sedikit dipaksakan.
“Tunggu sebentar, Mama mau memanggil perawat dulu.” Mama melepaskan
pelukan dan berjalan cepat keluar dari kamar.
Yuki memundurkan dirinya untuk duduk bersandar setelah meninggikan
bantalnya.
Pintu kamar perlahan terbuka, Yuki masih teringat dengan rentetan mimpi
seramnya. Namun yang masuk ke dalam adalah seorang pria sebaya dengan dirinya.
Dia mengamati sosok itu, wajahnya mirip dengan Mama. Pemuda itu balas
menatapnya dengan tatapan yang sangat lembut.
“Yuki-chan, kamu sudah siuman?” suaranya berat namun penuh kelembutan.
Entah kenapa, bawah sadar Yuki memaksa dia untuk berucap, “I-iya,
Oni-kun.”
===
0 comments:
Post a Comment