Zoel berhenti sejenak, merasakan ada hawa menyerang dari kejauhan.
Aura yang mendekat khusus mengarah ke dirinya, bukan sesuatu yang menakutkan
tapi bukan pula sesuatu yang menyenangkan. Perasaan ini adalah perasaan yang
murni, murni untuk bertarung.
Satu kali kibasan tangan Zoel melemparkan belasan kerikil yang ada di
tanah, melesat menuju sesosok manusia yang berkelebat dari samping. Sosok itu
menghindar, kerikil-kerikil dengan keras menghujam beberapa batang pepohonan.
"Ternyata kemampuanmu sebagai necromancer terkuat di kerajaan
fantasi bukanlah omong kosong. Tidak salah aku memilih kamu." kata sosok
itu lagi.
Zoel tidak menatap orang yang baru saja mendarat belasan kaki di
samping kanannya, dia tetap berjalan tidak mempedulikan omongannya.
"Ooo, rupanya sikap tidak acuh itu pun juga benar adanya."
lanjut orang itu.
"Aku, Hikimori, menantangmu duel satu lawan satu wahai
necromancer!" tegas Hikimori sambil menarik pedangnya.
Zoel hanya berdiam, sebenarnya dia tidak ingin bertarung melawan
siapapun, bahkan dia tidak sama sekali berniat mengikuti Battle Royale. Entah
mengapa dia tanpa berpikir mengambil gelang yang di sodorkan di hadapannya pada
saat pertemuan membahas Battle Royale. Dia tidak tertarik dengan kekayaaan,
ataupun takhta sang Ratu tapi dia memang ingin menjajal kemampuannya. Namun
bukan begini yang dia inginkan, Battle Royale bukanlah pertarungan sejati.
Mendengar perkataan Hikimori untuk bertarung satu lawan satu, Zoel
merasa ini adalah kesempatan bagus. Dia mengenal Hikimori adalah petarung sejati,
seorang ksatria yang bisa dipegang kata-katanya. Akhirnya dia memutar badannya
sehingga berhadapan dengan Hikimori.
Zoel melepaskan jubah coklatnya ke tanah, mengeratkan gauntlet yang
berada di tangan kirinya.
“Jadi, apa peraturannya, Tuan Pembantai?” kata Zoel. Dia yakin
suaranya yang berat dan dingin itu juga akan terdengar sama di telinga
Hikimori.
Hikimori hanya tersenyum menyeringai,
“Aku tidak peduli apapun peraturannya Tuan Necromancer. Yang jelas,
aku hanya akan menggunakan pedang ini untuk bertarung.”
Zoel tersenyum tipis, meski dia tidak yakin apakah orang akan melihat
dia tersenyum atau tidak karena dia sendiri bahkan tidak merasakan gerakan
wajahnya. Dengan segera dia meletakkan telapak tangan kanannya di atas batu
hijau yang menempel di gauntletnya.
Seberkas cahaya ungu muncul, memanjang, dan membentuk sebuah sabit
besar. Senjata andalan yang tidak pernah mengecawakannya, Zoel dengan sigap
memegang dan memutar-mutar senjata itu beberapa kali sebelum mengarahkan
senjata ke arah Hikimori.
Lonceng istana berdentang beberapa kali, Zoel bersiaga saat tepat pada
dentangan terakhir Hikimori melesat dan menebaskan pedang sehingga memunculkan
sayatan-sayatan angin. Dengan tenang dia mengibaskan sabitnya, mendesakkan
angin-angin di sekeliling tubuh sehingga menetralkan empat sayatan angin dari
Hikimori.
Zoel tidak bergerak sedikitpun saat Hikimori datang, dengan kedua
tangan dia menahan tebasan atas Hikimori. Tangannya sedikit berdenyut bahkan
kakinya sedikit melesak ke dalam tanah. Tersenyum menyeringai Zoel mendapatkan
lawan yang kuat. Jiwa petarungnya kembali muncul setelah sekian lama hidup
dalam kedamaian di istana.
*****
Irene berlari menjauh ke dalam Hutan Pinus Merah, dia menghindar dari
pertempuran antara seorang wanita dengan seorang laki-laki. Kegaduhan sihir
petir dan beberapa makhluk summon
membuat dia lebih memilih untuk mengambil jalan memutar. Tujuannya adalah untuk
bertemu dengan sang Tabib Kerajaan Fantasi, untuk segera mencari tahu kekacauan
ini. Sang Tabib pasti tahu penyebabnya, dia pernah mendengar kehebatan sang
Tabib.
Beberapa putaran pasir
berlalu, keadaan dalam Hutan Pinus Merah semakin gelap seiring dengan matahari
yang beranjak ke ufuk barat. Irene mengeluarkan tongkat sihirnya, dan membaca
mantra hingga bagian ujung tongkat dengan hiasan semacam mahkota bersinar biru
terang. Dengan waspada dia berjalan semakin dalam menuju rumah sang Tabib.
Tiba-tiba dia dikagetkan suara yang aneh dari balik pepohonan di
samping kirinya. Irene mematikan cahaya dari tongkatnya dan mengintip dari balik
semak-semak. Sesosok manusia berambut panjang sedang berdiri di depan api
unggun dengan sebuah kuali besar di atasnya.
Sosok itu berceloteh seakan berbicara dengan seseorang tapi Irene
yakin kalau itu adalah rapalan mantra. Dia tidak pernah mendengar mantra itu
sebelumnya. Hidungnya mencium aroma yang sangat menggugah seleranya, bahkan
membuat dia kehilangan kendali atas tubuhnya. Perlahan tubuhnya bergerak
mendekat menuju aroma nikmat yang bersumber dari kuali tersebut. Namun sebuah
pemandangan membuatnya bergidik, pakaian manusia yang berserakan terhampar di
dekat kuali dengan tulang-tulang manusia.
Irene merasakan dirinya terancam, tubuhnya sama sekali tidak bisa
dikendalikan. Sosok itu memutar lehernya 180 derajat dan menyeringai dengan
gigi-gigi yang tajam dan runcing.
*****
Hikimori terlempar ke udara, dengan ilmu meringankan tubuh dia
melayang di angkasa. Sejenak dia mengalihkan pandangan sejenak dari Zoel yang
menatapnya di bawah sana. Matanya tertegun pada langit pekat di dekat Hutan
Pinus Merah, sebuah diagram sihir yang memunculkan makhluk besar bersayap. Dia
mengenali itu sebagai salah satu makhluk perjanjian sang Ratu.
“Hmm..setelah aku selesai dengan yang satu ini, aku akan mencoba
kemampuanmu Ratu.” gumam Hikimori sambil mengeratkan genggamannya pada pedang
dan kembali melanjutkan pertarungan dengan sang necromancer.
Dalam satu tarikan nafas, Hikimori melesat menyerang Zoel. Namun
sebelum dia menebaskan pedangnya, dengan satu gerakan cepat dia bergerak ke
arah samping kiri kemudian ke kanan sehingga memunculkan dua tubuh maya yang
bergerak menyerang lawan.
Hikimori tetap memperhatikan lawan, dia yakin Zoel tidak semudah itu
di tipu meski sang lawan mundur beberapa langkah ke belakang sambil menebas
kedua tubuh maya. Sedikit tersenyum dia kembali melesat menyerang dan
memunculkan beberapa tubuh maya. Begitu seterusnya sampai Zoel merasa
dipermainkan oleh tubuh-tubuh mayanya.
Benar saja, Hikimori bisa melihat Zoel mengeraskan rahangnya, tanda
sang lawan mulai emosi. Dia kembali memunculkan beberapa tubuh maya, namun kali
ini dia menyusupkan tubuh replika di antara tubuh-tubuh maya. Meski tenaga
tubuh replika tidak sekuat dirinya tapi menghadapi beberapa “dirinya” sekaligus
tentu tidak akan lawannya kira.
Tiga tubuh replika besanding dengan empat tubuh maya sudah cukup untuk
mengacaukan konsentrasi sang lawan. Hikimori akan menyerang di urutan paling
belakang sebagai gerakan pamungkas. Dilihatnya Zoel menebas tubuh dua tubuh
maya. Satu tubuh replika menyerang tepat pada saat Zoel menebas dua tubuh maya
bersamaan, tubuh replika pertama berhasil melukai perut bagian kiri Zoel.
Hikimori mengendalikan agar dua tubuh replika melompat dan menyerang
dari atas saat Zoel menyerang tubuh replika pertama yang sedang menunduk.
Serangan kedua berhasil, sang lawan tidak bisa menangkis saat dua tubuh
replikanya melukai kedua bahu Zoel.
Teriakan kesakitan Zoel membuat Hikimori semakin bernafsu untuk
menyerang, dirinya melesat maju untuk melakukan serangan terakhir. Namun tanpa
di sangka sebuah diagram sihir besar muncul mengelilingi mereka.
Hikimori kaget, ditatapnya Zoel tersenyum penuh kemenangan. Setelah
itu dia merasakan tubuhnya bagaikan terisap ke dalam lubang yang menganga tepat
di tengah diagram sihir. Tidak mau menyerah, dia melemparkan cambuk angin, senjata pusaka yang dia
simpan, dan menarik kaki Zoel hingga mereka berdua masuk ke dalam lubang gelap.
*****
Gie melesat di udara, mengamati keadaan kastil di malam hari. Beberapa
pertarungan masih berlangsung, mata tajamnya sebagai seorang Fangs sangat berguna
di kegelapan malam ini. Perlahan dia mendarat di salah satu pohon yang
menjulang tinggi sambil mencoba mengamati di mana Kika anaknya berada.
Tidak menemukan apa yang dia cari, Gie kembali melesat di udara dan
berhenti di pepohonan tidak jauh dari Taman Seribu Kucing. Matanya tidak
mungkin salah, Kika sedang bertarung dengan makhluk setengah manusia setengah
kucing. Dengan geram dia melesat untuk menghajar makhluk yang sedang menyakiti
anaknya itu.
*****
0 comments:
Post a Comment