Airill – Chapter 11


Airill berjalan dengan santai sambil menikmati rokok yang tinggal setengah. Matanya menyipit saat cahaya matahari yang memancar dengan terik menyilaukan pandangannya. Panasnya udara menambah kesan tidak nyaman di kota yang mulai tandus ini. 

Suasana kota kecil ini menjadi lengang, prajurit-prajurit yang tersisa melarikan diri hanya beberapa penduduk yang bersembunyi dan mengintip dari dalam kedai, rumah, atau bangunan apapun yang ada di dekat istana.

Dengan santai dia duduk di tangga dari batu yang berada di depan pintu utama istana, mengepulkan asap rokok dengan pedang yang dia sandarkan di bahu kiri depan. Airill memperhatikan beberapa penduduk yang memberanikan diri keluar dari persembunyian. Pertama hanya lima-enam orang, kemudian secara perlahan semua penduduk dan prajurit yang tersisa berkumpul di halaman istana, tepat di hadapannya.

“Tuan, a-apa Sang Amperis telah tewas?” tanya salah seorang penduduk yang berbadan agak gemuk.
Airill hanya mengangguk, menatap tajam ke arah semua penduduk.

“Te-rus apa yang akan terjadi dengan kami?” salah seorang prajurit angkat bicara. Airill mengira para prajurit yang tersisa itu takut akan bernasib sama dengan majikannya.

“Kumpulkan semua orang di sini, akan aku beritahukan nasib kalian selanjutnya. Ingat, semuanya!” Airill berdiri dan melemparkan rokok yang hampir habis ke tanah.

Bergegas beberapa penduduk berlari untuk memanggil yang lainnya. Airill mendekat ke arah salah satu prajurit, menunjuk ke kantung air yang diikat di bagian kanan pinggang sang prajurit. Prajurit itu langsung memberikan kantung air kepada dirinya.

Dengan lahap, Airill menghabiskan air yang ada di dalam kantung bahkan membasahi wajahnya sedikit. Setelah selesai dia dengan santainya melemparkan kantung air itu kepada si prajurit. Dia kembali berjalan menuju tangga, menatap kerumunan orang-orang yang merasa sedikit mendapatkan harapan untuk keluar dari tirani.

“Apa ini sudah semuanya?” kata Airill pelan. Hanya beberapa penduduk yang berada di dekatnya yang mendengar.

“Iya!” jawab seorang prajurit yang kemudian di-iyakan oleh penduduk yang lain.

“Baiklah, aku tidak akan berlama lagi. Pekerjaanku masih banyak.” kata Airill dengan suara agak keras.

Penduduk memperhatikan dirinya, Airill menggegam erat pedangnya. Dan dalam kecepatan yang luar biasa, dia menebas semua penduduk. Tidak peduli siapapun, pedangnya dengan cepat memenggal lehar, menebas kepala, memburaikan isi perut. Tidak ada satu pun orang yang selamat dari terjangan pedangnya. Belum ada lima detik, semua penduduk dan prajurit tewas.

Airill menyeringai, puas mendapati semuanya terbujur di tanah bermandikan darah.

“Makhluk-makhluk lemah seperti kalian tidak layak untuk hidup. Membiarkan diri sendiri di injak-injak dan diperbudak, itu adalah penyakit bagi masyarakat. Fletchia tidak membutuhkan orang-orang lemah macam kalian.” gumamnya perlahan.

Kemudian Airill menatap wajah tengkorak di badan pedangnya.

“Lagipula, temanku ini sudah lama tidak mendapatkan darah orang-orang yang mendapatkan harapan hidup.” seringainya sambil melangkah pergi menuju kudanya yang dia tambatkan di dekat kedai minum. Berlalu meninggalkan kota bersama kuda coklatnya. Meninggalkan kota dan puluhan mayat yang tidak berbentuk lagi.

***** 

Airill menghabiskan roti jagung, satu-satunya jenis makanan yang dia bawa dari Inghada. Malam ini dia terpaksa menginap di alam terbuka, sudah tiga hari semenjak dia meninggalkan kota Inghada, mencari tempat pertemuan yang sudah dijanjikan sebelumnya. Untuk bertemu dengan orang berbahaya itu lagi.
Sedikit merinding dia jika bertemu dengan orang itu, laki-laki yang hanya berjarak empat-lima tahun lebih muda dari dirinya. Bukan karena dia adalah pembunuh seperti dirinya, atau apapun. Namun kemampuan berpikirnya  yang sangat dia takuti. Baru kali ini dia bertemu pemuda seperti pelanggannya ini.

Telinganya mendengar suara yang mendekat, dengan cekatan Airill menyiagakan sepasang senjata apinya dan memadamkan api unggun kecil yang dia buat untuk membakar roti jagung. Melirik ke arah tempat dua sosok manusia muncul, salah satunya membawa panah yang disiagakan.

Salah satu sosok mendekat, cahaya bulan sedikti memberi bantuan. Airill melihat seorang yang sepertinya mempunyai pangkat lebih tinggi dari si pemanah itu, memakai baju perang dengan jubah warna gelap, mungkin merah tua pikirnya. Rambut ikal, dengan kumis dan brewok yang tebal menghiasi wajah. Airill tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang itu tapi dia bisa mengetahui asal orang itu dari lambang yang terukir di bagian dada kiri pria brewok itu.

“Apa yang membuat kalian begitu lama?” gerutu Airill sambil menyarungkan kembali kedua senjata apinya.

“Maafkan keterlambatan kami Tuan Pillan, kami harus memastikan dulu keadaan di sekitar anda.” jawab orang itu, sambil memerintahkan pengawalnya yang membawa panah untuk menyalakan api unggun kembali.

“Ya, aku tahu betapa kalian sangat waspada dan terlatih. Setelah menyalakan api, jangan lupa untuk mengajak puluhan prajuritmu yang bersembunyi.” kata Airill tenang.

“Seperti yang diharapkan dari seorang Airill.” senyum si pemimpin. 

Airill mengeluarkan kantung air, meminumnya tanpa menawarkan kepada orang yang sekarang duduk di hadapannya.

“Aku Argonael, pimpinan legiun ketujuh. Tiga Yang Teratas sudah menunggu anda sejak satu pekan yang lalu.” kata Argonael sambil memberi isyarat si pemanah untuk memanggil prajurit-prajurit yang lain.

“Ya, ternyata untuk mendekati Amperis tidak semudah yang aku kira.” kata Airill dengan nada sedikit meminta maaf. 

Argonael menatap tajam, dari cahaya api unggun Airill bisa merasakan ada keraguan di mata tamunya itu.

“Aku Airill du Pillan, ingin bertemu dengan dia yang dipanggil Tiga Yang Teratas!” kata Airill. Dia kemudian mengambil sebuah medali dari balik jubahnya. Medali yang terbuat dari campuran logam keras dan emas, dengan ukiran tiga ekor harimau di masing-masing sisinya dan melemparkannya ke arah Argonael

Argonael dengan sigap menangkapnya, dan memeriksa medali itu. Airill hanya mendengus, tingkat keamanan untuk bertemu dengan pelanggannya kali ini sangat rumit.

“Bisakah besok pagi aku bertemu dengan Tiga Yang Teratas?” tanya Airill setelah dia melihat raut wajah Argonael meyakini dia adalah orang yang benar.

*****

Pagi sudah berpisah sejak dua putaran pasir yang lalu. Airill dan Argonael memacu kudanya perlahan, empat prajurit berkuda memandu jalan dan mengawal di depan sementara puluhan prajurit infantri mengiringi di belakang.

Di kejauhan, Airill melihat deretan kayu-kayu besar. Dinding pertahanan sederhana benteng, benteng yang berada di desa Migdaya yang tidak begitu di kenal di negeri Fletchia. Matanya menangkap sebuah gerakan di menara pengawas sebelah kiri gerbang, seiring terdengarnya suara lonceng. Telinganya yang tajam bisa menangkap dentingan kecil suara lonceng.

Saat jarak semakin dekat, Airill sedikit mengangkat bagian depan topi, menatap belasan orang yang berjejer di pagar pertahanan. Mereka bersiaga dengan busur dan panah, mata yang awas dan curiga. Di sampingnya, Argonael berteriak untuk menghentikan pasukannya. 

Seorang yang sepertinya mempunyai pangkat lebih tinggi dari pasukan pemanah itu, berbisik kepada seorang prajurit pemanah. Airill menatap prajurit itu kemudian bergegas turun, dan tidak berapa lama kemudian muncul seorang memakai baju perang dengan jubah merah tua hampir sama dengan Argonael.

“Siapakah yang bersamamu itu Tuan Argonael?” teriak orang itu.

“Dia adalah Airill du Pillan, orang yang dicari oleh Tiga Yang Teratas!” Argonael berteriak.

 “Argonael, malam tadi bintang jatuh ke arah utara. Apakah kamu melihat dimana dia jatuh?” pria itu bertanya sesuatu yang tidak Airill mengerti.

“Bulan menghalangi pandanganku sehingga aku tidak melihat dimana bintan itu jatuh. Tapi bulan terlihat indah.” jawab Argonael. 

Airill semakin mengeryitkan dahi. Dilihatnya pria tadi mengisyaratkan sesuatu dan kemudian menghilang dari pandangan. Tidak lama, pintu gerbang perlahan terbuka.

Baru sekarang Airill menyadari bahwa kedua orang itu sedang mengucapkan kata sandi. Semacam tanda kalau Argonael tidak sedang dalam ancaman, atau sejenisnya. Airill menundukkan topi sambil melangkahkan kudanya mengiringi Argonael yang perlahan sudah berjalan di depannya. Sempat dia melirik pasukan pemanah masih bersiaga, sesuatu yang dia harapkan dari ketangguhan prajurit Kerajaan Fletchia.

Tidak banyak yang bisa dilihat di dalam benteng selain ribuan prajurit yang sedang sibuk dengan tugas masing-masing, sementara di dalam barak-barak juga terlihat banyak sekali prajurit. Airill tersenyum, orang yang akan dia temui memang tidak tanggung, satu legiun dikerahkan untuk mengawal.

Argonael tidak mengajaknya berbicara sama sekali, Airill tidak mengerti apa pria disampingnya itu sudah mengetahui urusan dia bertemu dengan sang pimpinan atau sudah diperintahkan untuk tidak ikut campur.

Mereka berjalan menuju sebuah bangunan yang berada agak di tengah-tengah benteng. Argonael melompat turun, dan dengan sigap seorang prajurit mendekat untuk mengurus kuda sang pimpinan legiun. Dan begitu juga saat Airill turun, prajurit lain melakukan hal yang sama terhadap kudanya.
Dua orang pengawal berjaga di dekat pintu masuk. Setelah memberi hormat kepada Argonael, mereka mempersilakan Airill dan Argonael untuk masuk ke dalam ruangan.

Airill mengamati keadaan di dalam, sebuah meja dengan beberapa kursi dari kayu serta beberapa sekat dari tirai. Dia berhenti beberapa langkah di belakang agak di samping Argonael yang berhenti di dekat meja. Tidak berapa lama seorang pria dengan pakaian yang mewah dan indah muncul dari balik salah satu tirai.

“Tuanku.” Argonael menundukkan kepala dan menyilangkan salah satu tangan ke dada sebagai tanda hormat.

“Ah, Tuan Pillan. Ternyata kamu mampu mengatasi Amperis.” kata pria itu sambil tertawa kecil dan mendekat.

Airill mengambil salah satu senjata apinya dan menodongkan tepat di antara kedua mata si pria.

“Jangan bercanda denganku!” kata Airill dan langsung menembak mati pria tadi.

#####

0 comments:

Post a Comment