Airill berjalan dengan santai
sambil menikmati rokok yang tinggal setengah. Matanya menyipit saat cahaya matahari
yang memancar dengan terik menyilaukan pandangannya. Panasnya udara menambah
kesan tidak nyaman di kota yang mulai tandus ini.
Suasana kota kecil ini menjadi
lengang, prajurit-prajurit yang tersisa melarikan diri hanya beberapa penduduk
yang bersembunyi dan mengintip dari dalam kedai, rumah, atau bangunan apapun
yang ada di dekat istana.
Dengan santai dia duduk di tangga
dari batu yang berada di depan pintu utama istana, mengepulkan asap rokok
dengan pedang yang dia sandarkan di bahu kiri depan. Airill memperhatikan
beberapa penduduk yang memberanikan diri keluar dari persembunyian. Pertama
hanya lima-enam orang, kemudian secara perlahan semua penduduk dan prajurit
yang tersisa berkumpul di halaman istana, tepat di hadapannya.
“Tuan, a-apa Sang Amperis telah
tewas?” tanya salah seorang penduduk yang berbadan agak gemuk.
Airill hanya mengangguk, menatap
tajam ke arah semua penduduk.
“Te-rus apa yang akan terjadi
dengan kami?” salah seorang prajurit angkat bicara. Airill mengira para
prajurit yang tersisa itu takut akan bernasib sama dengan majikannya.
“Kumpulkan semua orang di sini,
akan aku beritahukan nasib kalian selanjutnya. Ingat, semuanya!” Airill berdiri
dan melemparkan rokok yang hampir habis ke tanah.
Bergegas beberapa penduduk
berlari untuk memanggil yang lainnya. Airill mendekat ke arah salah satu
prajurit, menunjuk ke kantung air yang diikat di bagian kanan pinggang sang
prajurit. Prajurit itu langsung memberikan kantung air kepada dirinya.
Dengan lahap, Airill menghabiskan
air yang ada di dalam kantung bahkan membasahi wajahnya sedikit. Setelah
selesai dia dengan santainya melemparkan kantung air itu kepada si prajurit. Dia
kembali berjalan menuju tangga, menatap kerumunan orang-orang yang merasa
sedikit mendapatkan harapan untuk keluar dari tirani.
“Apa ini sudah semuanya?” kata
Airill pelan. Hanya beberapa penduduk yang berada di dekatnya yang mendengar.
“Iya!” jawab seorang prajurit
yang kemudian di-iyakan oleh penduduk yang lain.
“Baiklah, aku tidak akan berlama
lagi. Pekerjaanku masih banyak.” kata Airill dengan suara agak keras.
Penduduk memperhatikan dirinya,
Airill menggegam erat pedangnya. Dan dalam kecepatan yang luar biasa, dia
menebas semua penduduk. Tidak peduli siapapun, pedangnya dengan cepat memenggal
lehar, menebas kepala, memburaikan isi perut. Tidak ada satu pun orang yang
selamat dari terjangan pedangnya. Belum ada lima detik, semua penduduk dan
prajurit tewas.
Airill menyeringai, puas
mendapati semuanya terbujur di tanah bermandikan darah.
“Makhluk-makhluk lemah seperti
kalian tidak layak untuk hidup. Membiarkan diri sendiri di injak-injak dan diperbudak,
itu adalah penyakit bagi masyarakat. Fletchia tidak membutuhkan orang-orang
lemah macam kalian.” gumamnya perlahan.
Kemudian Airill menatap wajah
tengkorak di badan pedangnya.
“Lagipula, temanku ini sudah lama
tidak mendapatkan darah orang-orang yang mendapatkan harapan hidup.”
seringainya sambil melangkah pergi menuju kudanya yang dia tambatkan di dekat
kedai minum. Berlalu meninggalkan kota bersama kuda coklatnya. Meninggalkan kota
dan puluhan mayat yang tidak berbentuk lagi.
*****
Airill menghabiskan roti jagung,
satu-satunya jenis makanan yang dia bawa dari Inghada. Malam ini dia terpaksa
menginap di alam terbuka, sudah tiga hari semenjak dia meninggalkan kota
Inghada, mencari tempat pertemuan yang sudah dijanjikan sebelumnya. Untuk bertemu
dengan orang berbahaya itu lagi.
Sedikit merinding dia jika
bertemu dengan orang itu, laki-laki yang hanya berjarak empat-lima tahun lebih
muda dari dirinya. Bukan karena dia adalah pembunuh seperti dirinya, atau
apapun. Namun kemampuan berpikirnya yang
sangat dia takuti. Baru kali ini dia bertemu pemuda seperti pelanggannya ini.
Telinganya mendengar suara yang
mendekat, dengan cekatan Airill menyiagakan sepasang senjata apinya dan
memadamkan api unggun kecil yang dia buat untuk membakar roti jagung. Melirik ke
arah tempat dua sosok manusia muncul, salah satunya membawa panah yang
disiagakan.
Salah satu sosok mendekat, cahaya
bulan sedikti memberi bantuan. Airill melihat seorang yang sepertinya mempunyai
pangkat lebih tinggi dari si pemanah itu, memakai baju perang dengan jubah
warna gelap, mungkin merah tua pikirnya. Rambut ikal, dengan kumis dan brewok
yang tebal menghiasi wajah. Airill tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang
itu tapi dia bisa mengetahui asal orang itu dari lambang yang terukir di bagian
dada kiri pria brewok itu.
“Apa yang membuat kalian begitu
lama?” gerutu Airill sambil menyarungkan kembali kedua senjata apinya.
“Maafkan keterlambatan kami Tuan
Pillan, kami harus memastikan dulu keadaan di sekitar anda.” jawab orang itu,
sambil memerintahkan pengawalnya yang membawa panah untuk menyalakan api unggun
kembali.
“Ya, aku tahu betapa kalian
sangat waspada dan terlatih. Setelah menyalakan api, jangan lupa untuk mengajak
puluhan prajuritmu yang bersembunyi.” kata Airill tenang.
“Seperti yang diharapkan dari
seorang Airill.” senyum si pemimpin.
Airill mengeluarkan kantung air,
meminumnya tanpa menawarkan kepada orang yang sekarang duduk di hadapannya.
“Aku Argonael, pimpinan legiun
ketujuh. Tiga Yang Teratas sudah
menunggu anda sejak satu pekan yang lalu.” kata Argonael sambil memberi isyarat
si pemanah untuk memanggil prajurit-prajurit yang lain.
“Ya, ternyata untuk mendekati
Amperis tidak semudah yang aku kira.” kata Airill dengan nada sedikit meminta
maaf.
Argonael menatap tajam, dari
cahaya api unggun Airill bisa merasakan ada keraguan di mata tamunya itu.
“Aku Airill du Pillan, ingin
bertemu dengan dia yang dipanggil Tiga
Yang Teratas!” kata Airill. Dia kemudian mengambil sebuah medali dari balik
jubahnya. Medali yang terbuat dari campuran logam keras dan emas, dengan ukiran
tiga ekor harimau di masing-masing sisinya dan melemparkannya ke arah Argonael
Argonael dengan sigap
menangkapnya, dan memeriksa medali itu. Airill hanya mendengus, tingkat keamanan
untuk bertemu dengan pelanggannya kali ini sangat rumit.
“Bisakah besok pagi aku bertemu dengan Tiga Yang Teratas?” tanya Airill setelah
dia melihat raut wajah Argonael meyakini dia adalah orang yang benar.
*****
Pagi sudah berpisah sejak dua putaran pasir yang lalu. Airill dan
Argonael memacu kudanya perlahan, empat prajurit berkuda memandu jalan dan
mengawal di depan sementara puluhan prajurit infantri mengiringi di belakang.
Di kejauhan, Airill melihat
deretan kayu-kayu besar. Dinding pertahanan sederhana benteng, benteng yang
berada di desa Migdaya yang tidak begitu di kenal di negeri Fletchia. Matanya
menangkap sebuah gerakan di menara pengawas sebelah kiri gerbang, seiring
terdengarnya suara lonceng. Telinganya yang tajam bisa menangkap dentingan
kecil suara lonceng.
Saat jarak semakin dekat, Airill
sedikit mengangkat bagian depan topi, menatap belasan orang yang berjejer di
pagar pertahanan. Mereka bersiaga dengan busur dan panah, mata yang awas dan
curiga. Di sampingnya, Argonael berteriak untuk menghentikan pasukannya.
Seorang yang sepertinya mempunyai
pangkat lebih tinggi dari pasukan pemanah itu, berbisik kepada seorang prajurit
pemanah. Airill menatap prajurit itu kemudian bergegas turun, dan tidak berapa
lama kemudian muncul seorang memakai baju perang dengan jubah merah tua hampir
sama dengan Argonael.
“Siapakah yang bersamamu itu Tuan
Argonael?” teriak orang itu.
“Dia adalah Airill du Pillan, orang
yang dicari oleh Tiga Yang Teratas!” Argonael
berteriak.
“Argonael, malam tadi bintang jatuh ke arah
utara. Apakah kamu melihat dimana dia jatuh?” pria itu bertanya sesuatu yang
tidak Airill mengerti.
“Bulan menghalangi pandanganku
sehingga aku tidak melihat dimana bintan itu jatuh. Tapi bulan terlihat indah.”
jawab Argonael.
Airill semakin mengeryitkan dahi.
Dilihatnya pria tadi mengisyaratkan sesuatu dan kemudian menghilang dari
pandangan. Tidak lama, pintu gerbang perlahan terbuka.
Baru sekarang Airill menyadari
bahwa kedua orang itu sedang mengucapkan kata sandi. Semacam tanda kalau Argonael
tidak sedang dalam ancaman, atau sejenisnya. Airill menundukkan topi sambil
melangkahkan kudanya mengiringi Argonael yang perlahan sudah berjalan di
depannya. Sempat dia melirik pasukan pemanah masih bersiaga, sesuatu yang dia
harapkan dari ketangguhan prajurit Kerajaan Fletchia.
Tidak banyak yang bisa dilihat di
dalam benteng selain ribuan prajurit yang sedang sibuk dengan tugas
masing-masing, sementara di dalam barak-barak juga terlihat banyak sekali
prajurit. Airill tersenyum, orang yang akan dia temui memang tidak tanggung,
satu legiun dikerahkan untuk mengawal.
Argonael tidak mengajaknya
berbicara sama sekali, Airill tidak mengerti apa pria disampingnya itu sudah
mengetahui urusan dia bertemu dengan sang pimpinan atau sudah diperintahkan
untuk tidak ikut campur.
Mereka berjalan menuju sebuah
bangunan yang berada agak di tengah-tengah benteng. Argonael melompat turun,
dan dengan sigap seorang prajurit mendekat untuk mengurus kuda sang pimpinan
legiun. Dan begitu juga saat Airill turun, prajurit lain melakukan hal yang
sama terhadap kudanya.
Dua orang pengawal berjaga di
dekat pintu masuk. Setelah memberi hormat kepada Argonael, mereka mempersilakan
Airill dan Argonael untuk masuk ke dalam ruangan.
Airill mengamati keadaan di
dalam, sebuah meja dengan beberapa kursi dari kayu serta beberapa sekat dari
tirai. Dia berhenti beberapa langkah di belakang agak di samping Argonael yang
berhenti di dekat meja. Tidak berapa lama seorang pria dengan pakaian yang
mewah dan indah muncul dari balik salah satu tirai.
“Tuanku.” Argonael menundukkan
kepala dan menyilangkan salah satu tangan ke dada sebagai tanda hormat.
“Ah, Tuan Pillan. Ternyata kamu
mampu mengatasi Amperis.” kata pria itu sambil tertawa kecil dan mendekat.
Airill mengambil salah satu
senjata apinya dan menodongkan tepat di antara kedua mata si pria.
“Jangan bercanda denganku!” kata
Airill dan langsung menembak mati pria tadi.
#####
0 comments:
Post a Comment