Lorike Mortes, The Fire Wanderer – 4th Fragment


“Eh?!” Iké terperanjat. Matanya melotot dan mulutnya menganga. Di depannya berdiri Fliker dan Tuan Kelvor memandangnya. Dia tidak menduga, acaranya untuk menjemput Karin di <em>guild</em> malah membawa pada masalah ini.

“Kenapa aku dikutsertakan?” Iké meninggikan suaranya. Dahinya mengernyit, masih dengan nada yang sama dia melanjutkan, “Aku kan sudah bukan anggota guild ini lagi. Kenapa kalian meminta aku untuk mengerjakan ini?”

“Yo, tenang Iké, tenang.” Fliker memberi isyarat dengan kedua tangannya agar pemuda berambut merah itu tidak emosi.

“Aku yang meminta secara khusus agar kamu diikutsertakan untuk tugas ini Iké.” Tuan Kelvor mencoba menenangkan. 

Iké menatap laki-laki separuh baya itu. Wajahnya tegas, namun matanya sedikit sayu. Dengan tubuh yang masih tegap banyak yang mengira Tuan Kelvor masih berumur 40 tahunan, padahal dia sudah berumur hampir 70 tahun.

Masih tidak terima, Iké menggeleng berkali-kali. Sangat tidak masuk akal baginya jika dia harus diikutkan membantu Fliker menyelidiki keanehan yang terjadi di desa Edberton, desa nelayan, yang berjarak sekitar dua hari satu malam perjalanan dari kota Latheer. Bukan karena dia takut dengan kabar burung yang mengatakan ada seekor krezyzure, binatang ganjil, berbentuk ikan raksasa yang membuat para nelayan takut tapi karena untuk menuju desa nelayan itu, mereka harus menaiki KERETA, benda yang sangat terlarang bagi dirinya.

“Kenapa kalian tidak mengajak Xavi saja?” Iké mencoba berdalih. Meski dia tahu sangat susah untuk menolak ajakan Tuan Kelvor dan juga Fliker. Orang tua nakal itu saja memiliki sihir pengendali pikiran, di tambah dengan kakek tua yang mempunyai sihir pengendali perasaan, pasangan yang serasi untuk membuat dia menerima tugas ini pada akhirnya.

“Aku sudah mengajak Exavius, dan dia setuju. Aku juga sudah menanyakan siapa yang bisa aku ajak ke desa Edberton, dan dia mengusulkan kamu. Dia bilang kamu paling cocok untuk tugas ini.” kata Fliker sambil mengelus-elus dagunya yang ditumbuhi jenggot tipis.

Xavi menyarankan agar aku ikut serta? batin Iké, hatinya tidak percaya. Bocah ubanan itu tidak mungkin merekomendasikanku karena kemampuan, pasti ada rencana busuk yang dipikirkan makhluk tertutup itu.pikirnya lagi.

Fliker dan Tuan Kelvor menatap Iké yang sedang bergumul dengan pikirannya sendiri.
Atau dia memang sengaja menyarankan aku, agar aku menolak dan besok akan jadi bahan tertawaan karena aku tidak berani menghadapi ikan pemakan manusia itu. Iké bergumam tidak jelas, membuat kedua orang di hadapannya mengernyitkan dahi.

“Aku ikut!” teriak Iké tiba-tiba, membuat Tuan Kelvor dan Fliker sedikit tersentak.

“Biar aku tunjukkan pada si pongah itu kalau aku tidak bisa di anggap remeh.” tegas Iké membuat Tuan Kelvor semakin mengernyitkan dahi, sementara Fliker tersenyum masam tidak mengerti jalan pikiran anak kecil ini.

+++++

Iké berjalan dengan gagah sambil membawa kantung kain yang bisa dibawa dipunggung, pemberian Paman Eriol. Dilihatnya Exavius yang berjalan sedikit didepannya hanya membawa kantung air minum dari kulit hewan. Hari ini dia merasa lebih hebat dari Exavius karena dia menerima tantangan tidak langsung yang diberikan rivalnya itu meski perutnya tidak karuan karena menaiki kereta dari rumah panti asuhan.

Bagaikan seorang pahlawan yang baru saja memenangkan pertempuran, Iké berjalan memasuki guild. Pintu yang sudah dibuka sedikit oleh Exavius, dengan keras dia dorong lagi sehingga menarik perhatian semua yang ada di dalam ruang depan Sothale Circle. Seperti tidak melakukan apa-apa dia tetap berjalan menuju koridor, dia tersenyum penuh kemenangan saat Exavius menepuk dahinya sendiri.

Iké berdiri di depan pintu ruangan Tuan Kelvor, menunggu Exavius mendekat. Dengan mantap dia mengetok pintu saat Exavius berjarak tiga langkah darinya. 

“Iké dan Xavi datang untuk melapor!” teriak Iké dari luar.

“Silakan masuk!” suara berat dan serak Tuan Kelvor menyahut dari dalam.

Iké membuka pintu, kali ini dengan perlahan. Di dalam dia melihat Tuan Kelvor sedang duduk di kursi belakang meja dan Fliker juga sedang duduk di kursi depan meja kakek tua itu. Fliker mengenakan jaket panjang merah tua dan topi kesukaannya, di samping kursinya bersandar sebuah kantong hitam besar. Sepertinya Fliker juga sudah bersiap.

“Kapan kita berangkat?” kata Iké tanpa basa-basi. Sementara Exavius dengan tenang duduk di kursi tamu yang ada beberapa kaki dari meja Tuan Kelvor.

“Duduklah dulu Iké, kita masih menunggu kedatangan seseorang lagi.” kata Fliker sambil menyuruh Iké duduk di dekat Exavius. Namun pemuda pencipta api itu tidak sudi duduk di dekat Exavius, dia lebih memilih untuk bersender di dekat pintu masuk setelah meletakkan tas punggungnya di lantai.

Baru saja Iké menyandarkan punggungnya, suara langkah kaki orang berlari terdengar dari luar.

“Iké, aku pikir sebaiknya kamu tidak berada di si-“ belum sempat Fliker menyelesaikan kalimatnya, pintu dibuka dengan keras sehingga daun pintu itu dengan cepat terbuka dan melayang keras tepat menjepit Iké.

“Maafkan aku Tuan Kelvor dan Tuan Fliker, aku terlalu lama menyiapkan barang-barangku sehingga aku lupa waktu.” seorang gadis yang sebaya dengan Iké masuk dan menunduk berkali-kali.
Iké mendorong pintu dengan wajah yang lebam, dia sudah berniat memarahi habis-habisan siapa saja pelakunya. Namun setelah melihat gadis muda berambut ikal coklat yang sedang meminta maaf, dia mengurungkan niatnya.

“Kamu tidak terlambat Rein.” kata Fliker sambil berdiri dari kursi. 

“Tapi sebaiknya kamu meminta maaf kepada pemuda yang menderita karena ketergesa-gesaanmu.” tambah Fliker lagi sambil menunjuk ke arah Iké.

Gadis itu membalikkan badan dan terkejut, Iké sekarang bisa melihat wajah gadis berkulit putih itu. Mata hijau jamrud itu sempat mempesona dirinya beberapa saat. Satu hal yang dia sesali adalah dia tidak berpengalaman dengan gadis cantik, dia pasti akan gagap jika berbicara serius dengan gadis secantik dia. Satu-satunya gadis yang bisa dia ajak berbicara serius dengan normal adalah Irene tapi dia tidak menganggap Irene cantik karena gadis itu galak.

“Aah-“ Rein berteriak kecil begitu menyadari kesalahannya. Dengan panik gadis yang tinggi badannya hampri sama dengan Iké itu langsung menunduk dan meminta maaf.

“Eh, sudah. Sudahlah, aku tidak apa-apa.” Iké menjadi salah tingkah. Dia paling tidak bisa meladeni gadis dalam situasi seperti ini.

“Cukup Rein.” Tuan Kelvor kali ini berbicara. Sambil berjalan mendekat dia melanjutkan, “Rein perkenalkan teman-teman yang akan membantu tugas kali ini.”

“Loriké Mortés, dan Exavius.” Tuan Kelvor memperkenalkan ketiga remaja itu.

“Panggil aku Iké.” kata Iké tersenyum.

“Rein juga sama seperti kalian, seroang penyihir. Dia adalah seorang pengendali binatang dari kerajaan Fletchia.” Tuan Kelvor mempersilakan Rein untuk duduk di bangku panjang dekat  Exavius duduk.
“Rein sudah cukup berpengalaman dalam menangani kreyzure, apalagi yang berukuran raksasa. Jadi dia akan sangat membantu jika makhluk besar itu tidak perlu dibunuh.” kata Tuan Kelvor.

“Meskipun begitu, ini adalah pertama kalinya kalian bekerja dalam satu kelompok. Aku harapkan kalian bisa bekerja sama dengan baik. Dan tidak perlu memaksakan diri dalam pekerjaan ini, nyawa kalian lebih berharga. Ingat itu!” tegas Tuan Kelvor.

“Hoi kakek, sebenarnya makhluk itu harus kami tangkap atau kami musnahkan?” Iké masih tidak mengerti dengan pekerjaan ini.

“Aku lebih menyukai jika kreyzure pengganggu itu dihabisi saja tapi Estishia, guild penyihir di kerajaan Fletchia mengharapkan agar makhluk itu ditangkap hidup-hidup karena akan sangat berguna bagi mereka jika bisa meneliti kreyzure-kreyzure aneh dan langka.”

Cih! Iké mengumpat dalam hati. Buat apa sih meneliti makhluk buas segala. Lebih mudah jika langsung habisi saja kreyzure itu. Meski mengomel dalam hati, Iké tidak berani membantah.

“Baiklah, akan lebih baik jika kita berangkat sekarang sehingga kita mempunyai waktu untuk bersitirahat lebih dahulu di Edberton.” kata Fliker sambil mengambil barang bawannya.

Exavius yang sedari tidak banyak bicara dengan tenangnya melangkah keluar dari ruangan. Iké melengos melihat Exavius yang sama sekali tidak peduli, bahkan kepada Rein yang sedikit kewalahan membawa barang-barang bawaan. Dia menunggu Rein berjalan terlebih dahulu dan berjalan menjajarinya.

Di luar bangunan guild, sebuah kereta dengan empat kuda sudah menunggu. Exavius sudah berada di dalam kereta, Rein sedikit berlari. Iké merasa gadis itu sedikit tertarik dengan Exavius, sedari tadi Rein banyak bertanya tentang pemuda ubanan itu. Rasa iri menyusup di dalam dadanya.

“Kamu siap Iké?” tanya Fliker yang tiba-tiba sudah menjajari Iké.

Iké menoleh ketus pada laki-laki yang jahil itu.

“Memangnya kenapa?” Iké balik bertanya.

“Itu!” tunjuk Fliker ke arah kereta kuda.

Iké langsung tersentak kaget, bagaimana dia bisa melupakan hal yang sangat penting baginya itu. Alat transportasi yang akan setia menemaninya selama dua hari.

Dalam keterpanaannya, Iké melihat tangan Fliker yang siap untuk dijentikkan tepat di depan hidungnya. Belum sempat dia melakukan apa-apa, Fliker menjentikkan jarinya. Suara dan gerakan jentikkan tangan Fliker adalah hal yang terakhir dia lihat sebelum semua menjadi gelap.

+++++

Fliker memanggul Iké di bahu kanannya, beruntung bocah itu tidak terlalu berat. Meski sedikit kesusahan dia bisa membawa barang bawaannya dan pengendali api itu ke dalam kereta.

“Apa yang kamu lakukan?” Rein tidak mengerti.

“Oh, tidak apa-apa. Aku hanya menidurkannya.” jawab Fliker sambil meletakkan Iké dan kantung besarnya di kursi kereta. “Tolong jaga dia.” lanjut nya smbil berpindah ke depan untuk mengendalikan kuda.

“Tenang, si bodoh itu lebih baik dibeginikan. Ini buat kebaikan dia sendiri.” kata Exavius pada Rein yang masih kebingungan.

=====

0 comments:

Post a Comment