Salvatore tersentak, terbangun dari tidur panjangnya saat
dia merasakan ada getaran kecil yang merambat di lantai. Atau hanya salah satu
permainan pikirannnya lagi pikirnya, dia menerawang sekeliling,
penglihatanannya tidak menemukan apa-apa. Hanya kegelapan yang sudah biasa dia
lihat sejak kutukan ini menderanya.
Ya, sejak dirinya merapal mantra terkutuk itu kini tubuh
Salvatore terkekang dalam gerakan. Dia berubah menjadi sebilah pedang. Abadi
memang dia dapatkan tapi bukan seperti yang dia inginkan, seonggok pedang yang
lebih sialnya terkurung di ruang ritual tanpa seorang pun yang menyadari.
Menyesal dia tidak memberitahukan kepada seorang pun tentang keberadaannya di
dalam ruang ritual ini saat masih hidup dulu.
Memang Salvatore masih bisa melihat, atau mungkin pernah
melihat tepatnya. Saat cahaya terakhir dari lampu minyak saat upacara ritual
menghilang, saat itu pulalah kegelapan menyelimuti. Tidak ada sedikitpun cahay
yang terlihat lagi. Hal terakhir yang bisa dia ingat adalah saat perubahan bagian-bagian
tubuhnya menjadi bagian pedang. Pun sampai saat ini dia tidak tahu pasti bagai
mana bentuk dirinya.
Konyol umpat Salvatore dalam hati. Mantra yang sangat bodoh, kalau saja aku bisa bergerak, akan aku
kejar sampai ke neraka sekalipun sang pencipta sihir ini! geramnya
lagi. Ingin rasanya dia meninju atau memukul sesuatu tapi tidak ada satu bagian
"tubuh"nya yang bergerak meski otaknya memerintahkan tangannya untuk
bergerak, bahkan berteriak pun tidak bisa. Satu-satunya yang bisa bekerja atau
yang dia pikir bisa bekerja adalah penglihatannya.
Salvatore berhenti memikirkan apa-apa, kegilaan karena
pikiran-pikiran seperti tadi sudah berhasil dia lalui. Paling tidak
"bermimpi" tentang berperang membuat pikirannya tetap waras. Sejenak
dia hendak kembali dalam tidurnya saat tiba-tiba angin dengan lembut menerpa
dirinya. Dingin, perasaan yang tidak pernah dia rasakan lagi, menyentuh bagian
"tubuh"nya. Sekali lagi dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa udara
memang benar-benar bergerak.
Salvatore girang bukan main, di ujung langit-langit secercah
cahaya memaksa masuk bersamaan dengan dentuman benda keras yang jatuh ke
lantai. Lubang itu makin lama makin membesar seiring dengan bebatuan
langit-langit yang jatuh. Cahaya kini kembali datang, kegembiraan tidak
terlukiskan lagi baginya.
Ruang ritual itu tidak berubah sejak terakhir dia lihat,
Salvatore tersenyum dan ternyata dia memang bisa melihat. Akhirnya dia yakin
bahwa dirinya benar-benar bisa melihat setelah kegelapan pekat itu menghilang.
Pikiran warasnya perlahan menyusun lagi kepingan-kepingan kenyataan dari
tumpukan kegilaan yang tak terhitung jumlahnya.
Altar batu masih utuh di tengah-tengah ruangan, debu
menumpuk di salah satu bagian meja ritual itu. Salvatore menerka itu adalah bekas
perkamen-perkamen sihirnya, tidak ada lagi yang tersisa dari itu.
Seutas tambang dilemparkan dari lubang besar di atas,
Salvatore memerhatikan dengan seksama. Seorang laki-laki memakai pakaian dari
daerah yang tidak dia kenal, turun perlahan menggunakan tali tersebut.
"Xid, kamu bisa melihat
sesuatu?" sebuah suara dari atas berbicara kepada Xid,
laki-laki empat puluh tahunan yang turun ke bawah.
"Ya, tempat ini tidak terlalu besar. Cahaya
matahari dari atas cukup untuk menerangi tempat ini." Xid
menyahut.
Salvatore memutar keras otaknya, dia tidak mengerti bahasa
yang dua orang itu gunakan. Seberapa pintarnya dia waktu dulu, tidak ada
satupun bagian dari otaknya yang mengenali bahasa itu.
Sakit kepalanya semakin bertambah saat secara tiba-tiba
Salvatore tersadar bagaimana mungkin cahaya matahari bisa dengan mudah masuk ke
ruangan ini. Tidak mungkin cahaya matahari bisa masuk ke tempat ini, ruang ini
berada di bagian bawah tanah istana. Banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang
berkecamuk dengan hebat dipikirannya, sama seperti di saat kegilaan mengambil
alih kewarasannya.
Sial! Apa yang sudah terjadi dengan kerajaanku,
apa yang terjadi dengan Erde. Aku harus secepatnya bergerak, aku harus
berbicara tapi bagaimana caranya. Aku hanya sebilah pedang. pikir
Salvatore.
Salvatore melihat Xid berjalan mengitari altar, sedang
mengamati tiap sudut dari meja itu. Mencoba menafsirkan aksara-aksara yang
terukir mengelilingi altar batu itu.
"Bagaimana keadaan di bawah
sana?" suara tadi kembali berujar.
Xid menoleh ke atas dan berteriak,
"Aman!" jawab Xid singkat.
Salvatore terus mengamati gerak-gerik laki-laki yang sedang
mengamati keadaan sekitar. Mata Salvatore beradu pandang saat Xid menyadari
keberadaannya, dia bisa melihat pria itu bergerak meraihnya.
"Daz, aku menemukan sesuatu!"
teriak Xid pada temannya di atas.
Salvatore awalnya merasa aneh saat Xid memegang gagang
pedang yang menjadi bagian dari "tubuh" barunya. Berubah bentuk
menjadi pedang tentu saja pengalaman yang sangat aneh bagi siapapun. Namun ada
semacam kesadaran lain yang muncul, suatu insting yang liar. Insting yang akan
membuatnya tahu dengan pasti bagaiamana cara untuk bertahan dengan
"tubuh" pedang ini. Insting untuk makan, dan jawabannya adalah darah.
Tepat pada saat Salvatore mengerti arti naluri yang
menggeliat dipikirannya itu, secara reflek semua kegiatan "tubuh"nya
bergerak tanpa perlu dia kendalikan. Bagian pengaman gagang dari tubuh
pedangnya memanjang dan menusuk lengan sang laki-laki dalam sekejap,
"sulur-sulur" itu menempel erat menjadi satu bagian dengan tangan
Xid.
"Argh!" Salvatore bisa mendengar Xid berteriak
dengan keras saat "jemari-jemari" menusuk ke dalam dagin tangan
laki-laki itu.
Darah segar bergerak, mengalir cepat ke dalam
"tubuh" Salvatore. Dahaga yang sudah lama dia derita kini
terhapuskan. Kejadian itu berlangsung begitu cepat, naluri baru muncul
mengharuskan Salvatore untuk berhenti mengisap darah dan segera menguasai
inangnya.
"<Xid!" Salvatore mendengar
Daz, teman ianngnya ini, memanggil-manggil dari atas.
"Ada apa? Kamu tidak
apa-apa?"
Mendengar teman calon inangnya berteriak berkali-kali,
Salvatore mendesak pikirannya untuk menuruti insting jiwa pedangnya. Meskipun
dia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh orang yang di atas sana, dia tahu
dari nada suaranya bahwa orang itu khawatir.
Tidak ingin gagal pada usaha pertamanya, Salvatore
melepaskan semuanya pada kendali sang pedang. Tahapan-tahapan berlalu dengan
sangat cepat ketika ia membiarkan naluri dari jiwa pedang mengambil alih
kendali. Kesadaran lain di dalam "tubuh"nya tahu benar apa yang harus
dilakukan, seakan-akan itu sebuah kebiasaan.
Satu menit lebih berlalu, seiring dengan proses pengendalian
inang Salvatore merasakan pikiran-pikiran baru merasuk ke dalam pikirannya.
Bukan kesadaran yang tadi, tapi gambaran-gambaran kenangan melesat dengan
cepat, dan bersamaan dengan selesainya pengendalian tubuh inang, dia menyadari
bahwa itu adalah pengetahuan-pengetahuan dari Xid.
Xidzhuit, pemburu harta karun. Salvatore perlahan mencerna
setiap kepingan pengetahuan yang dia dapatkan dari sang inang. Kepribadian,
keluarga, asal-usul, dan segala sesuatu yang Xid ketahui menjalar ke dalam
pikirannya.
Salvatore tersentak, dunia luar sudah berubah.
Kerajaan-kerajaannya yang dahulu membentang luas tidak lagi tersisa, satupun
tidak lagi berwujud, bahkan istananya yang megah pun tertimbun tanah. Semua
yang dia perjuangkan telah menjadi debu dan pasir. Semua yang mengenal dia
tidak lagi bernyawa, namanya hanya tercatat sebagai noda hitam di Hyrnandher.
Muak dan marah, hasratnya kembali muncul. Namun naluri
pedang menahannya,darah, ya darah, insting itu mengatakan dia lebih memerlukan
darah daripada yang lain untuk saat ini. Tubuh inang ini tidak cukup untuk
memenuhi "kehidupan" mereka.
Teriakan dari Daz yang tidak kunjung berhenti memberikan
mangsa yang mudah bagi Salvatore.
"Aku tidak apa-apa Dazleheim!" Salvatore
menggunakan sang inang untuk berbicara, bahasa itu telah dia mengerti.
Sesekali dia membiasakan tubuh barunya, mengendalikan dua
tubuh bukanlah hal mudah. Dua penglihatan kini Salvatore punya, sepasang mata
sang inang dan matanya sendiri yang berada tepat di tengah pengaman gagang
pedang. Kecerdasan membuat dia bisa menguasai dengan cepat kedua tubuhnya.
"Turunlah Daz! Ada sesuatu yang sangat bagus yang ingin
aku tunjukkan padamu. Sesuatu yang sangat mengiurkan." seringai Salvatore
sang manusia.
"Baiklah." kata Daz, "Aku segera turun."
Salvatore tersenyum lebar, menyambut makan siang pertamanya
di hari kelahiran kembali dirinya.
=====
Salvatore berdiri di atas puing-puing istananya, pasir dan
tanah sudah membungkus seluruhnya. Hanya beberapa batu yang dulu bagian dari
ruang ritual menyembul keluar, Xid dan Daz yang menggalinya.
Sejauh mata manusianya memandang, tidak ada satupun yang dia
kenal. Salvatore menggali pengetahuan-pengetahuan dari tubuh inangnya, arah
mana utara, apa nama daerah ini, dan semua yang berhubungan dengan hal-hal baru
di depan matanya.
Lebih dari seribu tahun terkungkung bukan sesuatu yang bisa
membuatnya cepat beradaptasi, rencana untuk membangun kembali maha kerajaan
tidak akan segampang dulu. Pertama dia harus bisa bergabung menjadi salah satu
petugas istana, dan setelah itu semuanya akan berjalan sempurna.
"Tunggulah wahai kalian semua yang bernyawa, akan aku
tunjukkan pada kalian semua apa itu kejayaan!" Salvatore menyipitkan mata
manusianya dan menyeringai tajam.
Salvatore menatap dua kuda yang ditambatkan di pepohonan
tidak jauh dari tempat dia berdiri.
"Sempurna, satu untuk perjalanan dan satu lagi untuk
makan malam!" katanya sambil berjalan mendekat. Tujuan pertamanya adalah
mendapatkan lebih banyak darah, dan itu bisa di dapatkan di kota terdekat, desa
Pulau Mercusuar yang berjarak dua hari satu malam dari tempat ini.
*****
0 comments:
Post a Comment