TKAC - 1st Piece


Salvatore tersentak, terbangun dari tidur panjangnya saat dia merasakan ada getaran kecil yang merambat di lantai. Atau hanya salah satu permainan pikirannnya lagi pikirnya, dia menerawang sekeliling, penglihatanannya tidak menemukan apa-apa. Hanya kegelapan yang sudah biasa dia lihat sejak kutukan ini menderanya.

Ya, sejak dirinya merapal mantra terkutuk itu kini tubuh Salvatore terkekang dalam gerakan. Dia berubah menjadi sebilah pedang. Abadi memang dia dapatkan tapi bukan seperti yang dia inginkan, seonggok pedang yang lebih sialnya terkurung di ruang ritual tanpa seorang pun yang menyadari. Menyesal dia tidak memberitahukan kepada seorang pun tentang keberadaannya di dalam ruang ritual ini saat masih hidup dulu.

Memang Salvatore masih bisa melihat, atau mungkin pernah melihat tepatnya. Saat cahaya terakhir dari lampu minyak saat upacara ritual menghilang, saat itu pulalah kegelapan menyelimuti. Tidak ada sedikitpun cahay yang terlihat lagi. Hal terakhir yang bisa dia ingat adalah saat perubahan bagian-bagian tubuhnya menjadi bagian pedang. Pun sampai saat ini dia tidak tahu pasti bagai mana bentuk dirinya.

Konyol umpat Salvatore dalam hati. Mantra yang sangat bodoh, kalau saja aku bisa bergerak, akan aku kejar sampai ke neraka sekalipun sang pencipta sihir ini! geramnya lagi. Ingin rasanya dia meninju atau memukul sesuatu tapi tidak ada satu bagian "tubuh"nya yang bergerak meski otaknya memerintahkan tangannya untuk bergerak, bahkan berteriak pun tidak bisa. Satu-satunya yang bisa bekerja atau yang dia pikir bisa bekerja adalah penglihatannya.

Salvatore berhenti memikirkan apa-apa, kegilaan karena pikiran-pikiran seperti tadi sudah berhasil dia lalui. Paling tidak "bermimpi" tentang berperang membuat pikirannya tetap waras. Sejenak dia hendak kembali dalam tidurnya saat tiba-tiba angin dengan lembut menerpa dirinya. Dingin, perasaan yang tidak pernah dia rasakan lagi, menyentuh bagian "tubuh"nya. Sekali lagi dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa udara memang benar-benar bergerak.

Salvatore girang bukan main, di ujung langit-langit secercah cahaya memaksa masuk bersamaan dengan dentuman benda keras yang jatuh ke lantai. Lubang itu makin lama makin membesar seiring dengan bebatuan langit-langit yang jatuh. Cahaya kini kembali datang, kegembiraan tidak terlukiskan lagi baginya.

Ruang ritual itu tidak berubah sejak terakhir dia lihat, Salvatore tersenyum dan ternyata dia memang bisa melihat. Akhirnya dia yakin bahwa dirinya benar-benar bisa melihat setelah kegelapan pekat itu menghilang. Pikiran warasnya perlahan menyusun lagi kepingan-kepingan kenyataan dari tumpukan kegilaan yang tak terhitung jumlahnya.

Altar batu masih utuh di tengah-tengah ruangan, debu menumpuk di salah satu bagian meja ritual itu. Salvatore menerka itu adalah bekas perkamen-perkamen sihirnya, tidak ada lagi yang tersisa dari itu.

Seutas tambang dilemparkan dari lubang besar di atas, Salvatore memerhatikan dengan seksama. Seorang laki-laki memakai pakaian dari daerah yang tidak dia kenal, turun perlahan menggunakan tali tersebut.

"Xid, kamu bisa melihat sesuatu?" sebuah suara dari atas berbicara kepada Xid, laki-laki empat puluh tahunan yang turun ke bawah.

"Ya, tempat ini tidak terlalu besar. Cahaya matahari dari atas cukup untuk menerangi tempat ini." Xid menyahut.

Salvatore memutar keras otaknya, dia tidak mengerti bahasa yang dua orang itu gunakan. Seberapa pintarnya dia waktu dulu, tidak ada satupun bagian dari otaknya yang mengenali bahasa itu.

Sakit kepalanya semakin bertambah saat secara tiba-tiba Salvatore tersadar bagaimana mungkin cahaya matahari bisa dengan mudah masuk ke ruangan ini. Tidak mungkin cahaya matahari bisa masuk ke tempat ini, ruang ini berada di bagian bawah tanah istana. Banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang berkecamuk dengan hebat dipikirannya, sama seperti di saat kegilaan mengambil alih kewarasannya.

Sial! Apa yang sudah terjadi dengan kerajaanku, apa yang terjadi dengan Erde. Aku harus secepatnya bergerak, aku harus berbicara tapi bagaimana caranya. Aku hanya sebilah pedang. pikir Salvatore.

Salvatore melihat Xid berjalan mengitari altar, sedang mengamati tiap sudut dari meja itu. Mencoba menafsirkan aksara-aksara yang terukir mengelilingi altar batu itu.

"Bagaimana keadaan di bawah sana?" suara tadi kembali berujar.

Xid menoleh ke atas dan berteriak,

"Aman!" jawab Xid singkat.

Salvatore terus mengamati gerak-gerik laki-laki yang sedang mengamati keadaan sekitar. Mata Salvatore beradu pandang saat Xid menyadari keberadaannya, dia bisa melihat pria itu bergerak meraihnya.

"Daz, aku menemukan sesuatu!" teriak Xid pada temannya di atas.

Salvatore awalnya merasa aneh saat Xid memegang gagang pedang yang menjadi bagian dari "tubuh" barunya. Berubah bentuk menjadi pedang tentu saja pengalaman yang sangat aneh bagi siapapun. Namun ada semacam kesadaran lain yang muncul, suatu insting yang liar. Insting yang akan membuatnya tahu dengan pasti bagaiamana cara untuk bertahan dengan "tubuh" pedang ini. Insting untuk makan, dan jawabannya adalah darah.

Tepat pada saat Salvatore mengerti arti naluri yang menggeliat dipikirannya itu, secara reflek semua kegiatan "tubuh"nya bergerak tanpa perlu dia kendalikan. Bagian pengaman gagang dari tubuh pedangnya memanjang dan menusuk lengan sang laki-laki dalam sekejap, "sulur-sulur" itu menempel erat menjadi satu bagian dengan tangan Xid.

"Argh!" Salvatore bisa mendengar Xid berteriak dengan keras saat "jemari-jemari" menusuk ke dalam dagin tangan laki-laki itu.

Darah segar bergerak, mengalir cepat ke dalam "tubuh" Salvatore. Dahaga yang sudah lama dia derita kini terhapuskan. Kejadian itu berlangsung begitu cepat, naluri baru muncul mengharuskan Salvatore untuk berhenti mengisap darah dan segera menguasai inangnya.

"<Xid!" Salvatore mendengar Daz, teman ianngnya ini, memanggil-manggil dari atas.

"Ada apa? Kamu tidak apa-apa?"

Mendengar teman calon inangnya berteriak berkali-kali, Salvatore mendesak pikirannya untuk menuruti insting jiwa pedangnya. Meskipun dia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh orang yang di atas sana, dia tahu dari nada suaranya bahwa orang itu khawatir.

Tidak ingin gagal pada usaha pertamanya, Salvatore melepaskan semuanya pada kendali sang pedang. Tahapan-tahapan berlalu dengan sangat cepat ketika ia membiarkan naluri dari jiwa pedang mengambil alih kendali. Kesadaran lain di dalam "tubuh"nya tahu benar apa yang harus dilakukan, seakan-akan itu sebuah kebiasaan.

Satu menit lebih berlalu, seiring dengan proses pengendalian inang Salvatore merasakan pikiran-pikiran baru merasuk ke dalam pikirannya. Bukan kesadaran yang tadi, tapi gambaran-gambaran kenangan melesat dengan cepat, dan bersamaan dengan selesainya pengendalian tubuh inang, dia menyadari bahwa itu adalah pengetahuan-pengetahuan dari Xid.

Xidzhuit, pemburu harta karun. Salvatore perlahan mencerna setiap kepingan pengetahuan yang dia dapatkan dari sang inang. Kepribadian, keluarga, asal-usul, dan segala sesuatu yang Xid ketahui menjalar ke dalam pikirannya.

Salvatore tersentak, dunia luar sudah berubah. Kerajaan-kerajaannya yang dahulu membentang luas tidak lagi tersisa, satupun tidak lagi berwujud, bahkan istananya yang megah pun tertimbun tanah. Semua yang dia perjuangkan telah menjadi debu dan pasir. Semua yang mengenal dia tidak lagi bernyawa, namanya hanya tercatat sebagai noda hitam di Hyrnandher.

Muak dan marah, hasratnya kembali muncul. Namun naluri pedang menahannya,darah, ya darah, insting itu mengatakan dia lebih memerlukan darah daripada yang lain untuk saat ini. Tubuh inang ini tidak cukup untuk memenuhi "kehidupan" mereka.

Teriakan dari Daz yang tidak kunjung berhenti memberikan mangsa yang mudah bagi Salvatore.

"Aku tidak apa-apa Dazleheim!" Salvatore menggunakan sang inang untuk berbicara, bahasa itu telah dia mengerti.

Sesekali dia membiasakan tubuh barunya, mengendalikan dua tubuh bukanlah hal mudah. Dua penglihatan kini Salvatore punya, sepasang mata sang inang dan matanya sendiri yang berada tepat di tengah pengaman gagang pedang. Kecerdasan membuat dia bisa menguasai dengan cepat kedua tubuhnya.

"Turunlah Daz! Ada sesuatu yang sangat bagus yang ingin aku tunjukkan padamu. Sesuatu yang sangat mengiurkan." seringai Salvatore sang manusia.

"Baiklah." kata Daz, "Aku segera turun."

Salvatore tersenyum lebar, menyambut makan siang pertamanya di hari kelahiran kembali dirinya.

=====

Salvatore berdiri di atas puing-puing istananya, pasir dan tanah sudah membungkus seluruhnya. Hanya beberapa batu yang dulu bagian dari ruang ritual menyembul keluar, Xid dan Daz yang menggalinya.

Sejauh mata manusianya memandang, tidak ada satupun yang dia kenal. Salvatore menggali pengetahuan-pengetahuan dari tubuh inangnya, arah mana utara, apa nama daerah ini, dan semua yang berhubungan dengan hal-hal baru di depan matanya.

Lebih dari seribu tahun terkungkung bukan sesuatu yang bisa membuatnya cepat beradaptasi, rencana untuk membangun kembali maha kerajaan tidak akan segampang dulu. Pertama dia harus bisa bergabung menjadi salah satu petugas istana, dan setelah itu semuanya akan berjalan sempurna.

"Tunggulah wahai kalian semua yang bernyawa, akan aku tunjukkan pada kalian semua apa itu kejayaan!" Salvatore menyipitkan mata manusianya dan menyeringai tajam.

Salvatore menatap dua kuda yang ditambatkan di pepohonan tidak jauh dari tempat dia berdiri.

"Sempurna, satu untuk perjalanan dan satu lagi untuk makan malam!" katanya sambil berjalan mendekat. Tujuan pertamanya adalah mendapatkan lebih banyak darah, dan itu bisa di dapatkan di kota terdekat, desa Pulau Mercusuar yang berjarak dua hari satu malam dari tempat ini.

*****

0 comments:

Post a Comment