J - 01

Aku meringis, bukan karena wajah lebam dan bibirku yang berdarah. Tapi serentetan omelan panjang dari Tuan Bairre, Ketua Keamanan di kota Khumans ini, yang sudah berlangsung sejak empat putaran pasiryang lalu. Aku tidak mendengarkan lagi apa isi ceramah laki-laki yang masih terlihat gagah untuk orang yang sudah berumur enam puluh tahun ini.
Sekilas aku melirik dan kembali menunduk, berpura-pura memahami setiap baris dari kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Tuan Bairre. Dari wajah dan nada suaranya, meski sudah selama ini, dia bahkan tidak merasakan penat malah semakin bersemangat. Aku hanya bisa berusaha untuk mematikan indera pendengaranku, itu juga kalau aku bisa melakukannya.
“Kamu pikir kota ini milik kamu! Jangan karena kamu adalah anak dari Tuan Iarlaith terus kamu menganggap kamu bisa melakukan apa saja di kota ini!” suara lantang dan berat khas keluar dari mulut Tuan Bairre.
Aku memilih untuk berdiam diri, walau dalam hati aku merasa sangat kesal. Aku amat sangat tidak menyukai jika apa saja yang aku lakukan selalu dikaitkan dengan kebangsawan Ayah. Kadang aku ingin berada di tempat di mana tidak ada seorangpun yang mempermasalahkan darah biru yang mengalir di tubuhku.
Pintu diketuk dari luar, aku kali ini memberanikan diri untuk menegakkan kepalaku. Tuan Bairre dan anak buahnya memandang ke arah pintu. Dari raut muka mereka, aku tahu bahwa mereka sedang menunggu kedatangan seseorang. Dan aku harap bukan orang yang tidak ingin aku temui saat ini.
“Ya, masuk!” ucapan itu muncul dari mulut Tuan Bairre yang hampir tidak terlihat karena tertutup kumis yang tebal.
Pintu dibuka dari arah luar, sesosok manusia masuk ke dalam. Tinggi dan tegap, perawakan yang sudah biasa aku lihat. Orang itu menatap diriku tajam dengan warna mata biru gelap, serupa dengan warna mataku. Tidak hanya itu, beberapa bagian tubuhku yang lain juga meniru bentuk tubuh orang yang sudah menjadi bagian dari keluargaku sejak aku dilahirkan delapan belas tahun yang lalu.
“Selamat Sore, Tuan Bairre.” kata orang itu mendekat dan bersalaman.
“Sore Tuan Iarlaith.” jawab Tuan Bairre sedikit menghela napas.
“Sore, Nak.” kata ayahku, Iarlaith, dengan nada suara yang tidak begitu nyaman di telingaku.
Aku beradu pandang dengan ayahku. Aku yakin ada perasaan marah dan malu yang tersirat di balik kedua bola matanya. Ya, aku yakin sekali, karena kejadian ini sudah berulang kali terjadi. Aku menghajar orang-orang yang menjijikan, kemudian ditangkap oleh pasukan keamanan kota, bertemu dengan Tuan Bairre, dan akhirnya ayah datang untuk meminta maaf dan membawaku pulang.
Selanjutnya, Iarlaith akan memberikan hukuman yang mungkin bagi orang sangat tidak mengenakkan, namun bagiku tidak seberapa. Karena hati ini jauh lebih sakit sebenarnya, bukan karena Iarlaith memberiku hukuman. Melainkan karena perubahan sikapIarlaith sejak ibu dan kakakku meninggal.
Pemb icaraan antara Iarlaith dan Tuan Bairre semakin tidak masuk ke dalam akalku. Pikiranku sudah melayang jauh ke rencanaku. Sesuatu yang sudah ingin ku lakukan sejak Iarlaith tidak lagi menganggapku sebagai anaknya.
Dua putaran pasir sudah berlalu, mataku sudah tidak bisa menahan kantuk lagi. Acara pertemuan dua orang menyebalkan sudah berakhir. Dengan kelopak mata yang berat, aku berjalan keluar dari rumah Tuan Bairre. Barram sudah berada di atas, pertanda hampir tengah malam. Sementara Sarida, bulan yang satu lagi, tidak terlihat malam ini.
Ah, tidak ada kereta penumpang yang bisa ku naiki. Lagipula, mana ada orang yang bekerja di larut malam begini. Beruntung aku masih diperbolehkan ikut pulang dengan kereta bersama Iarlaith. Meski aku setengah hati melakukannya.
Aku lebih memilih untuk tidur sepanjang perjalanan, lagipula tidak pernah ada pembicaraan yang bermutu bagiku. Semua ajaran tentang bermoral baik dan bermasyarakat dari mulut Iarlaith terkesan sangat munafik di telingaku.
Ya, dia mengajarkan tentang menghormati orang lain dan mengasihi, tetapi kepada anaknya yang tersisa ini tidak pernah ada kasih sayang lagi. Aku mungkin tidak sepintar Yefet kakakku, tapi aku punya kelebihan lain dibandingkan dia, sesuatu yang hanya aku sendiri yang tau. Aku punya api, ya, API.
*****
Udara dingin menyentak, aku terbangun karena kaget begitu hawa dingin yang berasal dari luar masuk ke dalam kamar melalui jendela kamar yang terbuka. Bingung, aku menerawang sekeliling kamarku. Tidak ada orang lain di kamar, siapa yang membuka jendela itu.
Entah kenapa perasaanku sangat tidak nyaman, ada sesuatu yang membuatku melompat dari tempat tidur dan bergegas keluar kamar.
Iarlaith!
Batinku berteriak keras, perasaan benci kepada ayahku itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah kerinduan yang mendalam. Sesuatu yang sudah lama tidak aku rasakan, dan anehnya, aku tidak mengetahui kenapa ini bisa terjadi. Orang yang sudah melupakan aku sebagai anaknya, bisa membuat aku menjadi rindu seperti ini.Cih, kepalaku dibuat pusing. Padahal pagi baru saja tiba. Sial. Ada apa dengan pagi ini, kenapa tiba-tiba pikiran tidak nyaman ini menggelitik perasaanku.
Aku melompati beberapa anak tangga, kamarku berada di lantai dua. Yah, rumah ini sangat besar. Jadi akan memakan waktu bagiku untuk menuju kamar utama rumah ini. Entah mengapa Iarlaith tetap mempertahankan rumah ini, padahal hanya tinggal kami berdua dan para pelayan yang tinggal di rumah besar yang bisa ditinggali banyak orang ini.
Aku melompat lagi, kali ini lima anak tangga aku lewati sehingga aku langsung mencapai lantai rumah. Segera aku berlari memutar, berbalik arah menuju bagian dalam rumah. Kamar utama berada di samping ruang baca, tempat kesukaan Iarlaith.
Sepasang pintu kamar itu terbuka sedikit, aku memelankan lariku. Menajamkan pandangan dan pendengaranku, mencoba mencari tahu apa Iarlaith sudah bangun atau belum. Aku tidak mau tertangkap basah sedang mencari dirinya, tentu akan sangat membuatku amat-sangat-malu.
Berjalan dengan cepat namun tanpa suara, aku mendekat ke arah pintu. Tidak ada suara gerakan, tidak juga ada kelebat gerakan. Hening, sesuatu yang tidak biasa. Aku memutarkan pandangan, satu keanehan lagi. Tidak ada para pelayan yang bersiap-siap, bahkan Kepala Pelayan Adar tidak menunjukkan batang hidungnya.
Apa aku hanya bermimpi, karena aku terlalu banyak memikirkan kebencianku terhadap Iarlaith maka aku merindukan sosok penyayangnya. Mungkin ini hanya kegilaanku yang mendambakan kehangatankasih sayang seorang ayah. Sesuatu yang tidak akan bisa aku dapatkan.
Dalam kusutnya pikiranku, tanpa sadar aku melangkah masuk ke dalam kamar utama. Dan ini membuatku merasakan kalau memang sedang benar-benar bermimpi. Tapi tidak, saat terjatuh bersimpuh, lututku merasakan sakit saat membentur lantai pualam.
Lukisan nyata di depanku sungguh membuatku lemas, Iarlaith berlumuran darah. Tubuhnya menempel di dinding kamar dengan dua bilah pedang melengkung menancap di perut dan dadanya. Kamar yang berantakan tidak menarik perhatianku, yang jelas pertarungan sengit pernah di tempat ini.
Darah berceceran hampir di sudut ruangan, dekat dengan tubuh Iarlaith yang sudah tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Aku mengumpulkan semua tenaga yang tersisa, untuk tetap mewaraskan akalku dan menggerakan tubuh lemas ini.
Aku memaksa berdiri dan melangkah, terangnya matahari belum mampu menerangi ruangan ini. Tirai dan jendela belum terbuka. Dalam keremangan yang hanya di terangi sepasang lampu minyak, aku melihat sesosok makhluk terkapar di dekat jendela. Aku menduga makhluk itu berusaha untuk melarikan diri melalui jendela. Namun sesuatu menghentikannya.
Aku mengambil sebilah kilij yang dipajang di salah satu dinding ruangan ini, pedang melengkung ini adalah peninggalan Yefet. Iarlatih sengaja memajangnya agar dia bisa selalu mengingat tentang Yefet, sialnya, Iarlaith terjebak dalam kenangan itu dan tidak bisa melepaskannya.
Mendekat perlahan, aku menyiagakan pedang.
Manusiakah?
Keberanianku menyeruak, sengaja aku membakar kebencianku dengan memikirkan bahwa makhluk ini yang membunuh Iarlaith. Biar bagaimanapun, Iarlaith adalah ayahku. Dan aku harus memastikan bahwa makhluk ini menerima balasannya, meski dia sudah tidak bernyawa, akan aku habisi dia.
Aku bergerak perlahan menuju jendela, membuka tirai sehingga cahaya matahari masuk melalu kaca jendela. Ujung pedang aku acungkan ke arah makhluk yang tertelungkup itu. Seorang pemuda yang sebaya dengan diriku, wajahnya terlihat sangat rupawan dengan rambut hitam panjang berurai.
Aku menatap sosok itu, dia memakai pakaian dari bahan logam berwarna hitam, mirip dengan jirah perang, menutup hampir semua bagian tubuh kecuali kepala. Dengan sesuatu yang mirip dengan sayap di bagian punggung orang itu.
Tidak ada waktu bagiku untuk mengamati pemuda ini lebih lama, aku menghunuskan pedangku tepat ke bagian samping kepalanya. Namun benda yang seperti sayap itu bergerak dan menyabet kaki kiriku hingga aku terjatuh.
Makhluk bersayap itu terbangun, dia berdiri tegak dan menyiagakan sayapnya yang terlihat menjadi kuat dan tajam.
Aku menatap sosok manusia bersayap itu dengan ketakjuban, sepasang sayap logam yang bergerak bebas seperti layaknya seekor burung menggerakkan sayap. Bergerak dengan lembut dan alami tapi bisa menjadi keras dan tajam.
“Vouraq.” aku bergumam tanpa sadar.
Belum hilang kagetku, manusia bersayap itu memaksakan diri untuk melesat menerobos jendela kaca dan terbang meski sempoyongan.
Aku mengumpat sekaligus memaki diriku sendiri karena bisa begitu mudahnya melepaskan lawan yang sudah lemah. Tadi malam aku berencana untuk melarikan diri dari “nama” Iarlaith dan menghilang ke tempat yang jauh. Namun kehilangan Iarlaith sangat-sangat menyakitkan dihatiku. Aku berteriak, seiring dengan api yang entah bagaimana muncul dari tubuh tanpa aku kendalikan. Amarah ini telah mengambil kendali atas diriku, dan yang ku ingat hanya warna merah yang membakar semuanya.
#####

1 comments: