Aku meringis, bukan karena wajah lebam dan bibirku yang berdarah. Tapi
serentetan omelan panjang dari Tuan Bairre, Ketua Keamanan di kota Khumans
ini, yang sudah berlangsung sejak empat
putaran pasiryang lalu. Aku
tidak mendengarkan lagi apa isi ceramah laki-laki yang masih terlihat gagah
untuk orang yang sudah berumur enam puluh tahun ini.
Sekilas aku melirik dan kembali menunduk, berpura-pura memahami setiap
baris dari kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Tuan Bairre. Dari wajah dan
nada suaranya, meski sudah selama ini, dia bahkan tidak merasakan penat malah
semakin bersemangat. Aku hanya bisa berusaha untuk mematikan indera pendengaranku,
itu juga kalau aku bisa melakukannya.
“Kamu pikir kota ini milik kamu! Jangan karena kamu adalah anak dari Tuan
Iarlaith terus kamu menganggap kamu bisa melakukan apa saja di kota ini!” suara
lantang dan berat khas keluar dari mulut Tuan Bairre.
Aku memilih untuk berdiam diri, walau dalam hati aku merasa sangat kesal.
Aku amat sangat tidak menyukai jika apa saja yang aku lakukan selalu dikaitkan
dengan kebangsawan Ayah. Kadang aku ingin berada di tempat di mana tidak ada
seorangpun yang mempermasalahkan darah biru yang mengalir di tubuhku.
Pintu diketuk dari luar, aku kali ini memberanikan diri untuk menegakkan
kepalaku. Tuan Bairre dan anak buahnya memandang ke arah pintu. Dari
raut muka mereka, aku tahu bahwa mereka sedang menunggu kedatangan seseorang.
Dan aku harap bukan orang yang tidak ingin aku temui saat ini.
“Ya, masuk!” ucapan itu muncul dari
mulut Tuan Bairre yang hampir tidak terlihat karena tertutup kumis yang tebal.
Pintu dibuka dari arah luar,
sesosok manusia masuk ke dalam. Tinggi dan tegap, perawakan yang sudah biasa
aku lihat. Orang itu menatap diriku tajam dengan warna mata biru gelap, serupa
dengan warna mataku. Tidak hanya itu, beberapa bagian tubuhku yang lain juga meniru
bentuk tubuh orang yang sudah menjadi bagian dari keluargaku sejak aku
dilahirkan delapan belas tahun yang lalu.
“Selamat Sore, Tuan Bairre.” kata
orang itu mendekat dan bersalaman.
“Sore Tuan Iarlaith.” jawab Tuan Bairre sedikit
menghela napas.
“Sore, Nak.” kata ayahku, Iarlaith, dengan nada suara yang
tidak begitu nyaman di telingaku.
Aku beradu pandang dengan ayahku.
Aku yakin ada perasaan marah dan malu yang tersirat di balik kedua bola
matanya. Ya, aku yakin sekali, karena kejadian ini sudah berulang kali terjadi.
Aku menghajar orang-orang yang menjijikan, kemudian ditangkap oleh pasukan
keamanan kota, bertemu dengan Tuan Bairre, dan akhirnya ayah datang untuk
meminta maaf dan membawaku pulang.
Selanjutnya, Iarlaith akan memberikan hukuman yang
mungkin bagi orang sangat tidak mengenakkan, namun bagiku tidak seberapa.
Karena hati ini jauh lebih sakit sebenarnya, bukan karena Iarlaith memberiku hukuman. Melainkan
karena perubahan sikapIarlaith
sejak ibu dan kakakku meninggal.
Pemb icaraan antara Iarlaith dan
Tuan Bairre semakin tidak masuk ke dalam akalku. Pikiranku sudah melayang jauh
ke rencanaku. Sesuatu yang sudah ingin ku lakukan sejak Iarlaith tidak lagi
menganggapku sebagai anaknya.
Dua putaran pasir sudah
berlalu, mataku sudah tidak bisa menahan kantuk lagi. Acara pertemuan dua orang
menyebalkan sudah berakhir. Dengan kelopak mata yang berat, aku berjalan keluar
dari rumah Tuan Bairre. Barram sudah berada di atas, pertanda hampir tengah
malam. Sementara Sarida, bulan yang satu lagi, tidak terlihat malam ini.
Ah, tidak ada kereta penumpang
yang bisa ku naiki. Lagipula, mana ada orang yang bekerja di larut malam begini.
Beruntung aku masih diperbolehkan ikut pulang dengan kereta bersama Iarlaith. Meski
aku setengah hati melakukannya.
Aku lebih memilih untuk tidur
sepanjang perjalanan, lagipula tidak pernah ada pembicaraan yang bermutu
bagiku. Semua ajaran tentang bermoral baik dan bermasyarakat dari mulut
Iarlaith terkesan sangat munafik di telingaku.
Ya, dia mengajarkan tentang
menghormati orang lain dan mengasihi, tetapi kepada anaknya yang tersisa ini tidak
pernah ada kasih sayang lagi. Aku mungkin tidak sepintar Yefet kakakku, tapi
aku punya kelebihan lain dibandingkan dia, sesuatu yang hanya aku sendiri yang
tau. Aku punya api, ya, API.
*****
Udara dingin menyentak, aku
terbangun karena kaget begitu hawa dingin yang berasal dari luar masuk ke dalam
kamar melalui jendela kamar yang terbuka. Bingung, aku menerawang sekeliling
kamarku. Tidak ada orang lain di kamar, siapa yang membuka jendela itu.
Entah kenapa perasaanku sangat
tidak nyaman, ada sesuatu yang membuatku melompat dari tempat tidur dan
bergegas keluar kamar.
Iarlaith!
Batinku berteriak keras, perasaan
benci kepada ayahku itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah kerinduan yang
mendalam. Sesuatu yang sudah lama tidak aku rasakan, dan anehnya, aku tidak
mengetahui kenapa ini bisa terjadi. Orang yang sudah melupakan aku sebagai
anaknya, bisa membuat aku menjadi rindu seperti ini.Cih, kepalaku dibuat
pusing. Padahal pagi baru saja tiba. Sial. Ada apa dengan pagi ini, kenapa
tiba-tiba pikiran tidak nyaman ini menggelitik perasaanku.
Aku melompati beberapa anak
tangga, kamarku berada di lantai dua. Yah, rumah ini sangat besar. Jadi akan
memakan waktu bagiku untuk menuju kamar utama rumah ini. Entah mengapa Iarlaith
tetap mempertahankan rumah ini, padahal hanya tinggal kami berdua dan para
pelayan yang tinggal di rumah besar yang bisa ditinggali banyak orang ini.
Aku melompat lagi, kali ini lima
anak tangga aku lewati sehingga aku langsung mencapai lantai rumah. Segera aku
berlari memutar, berbalik arah menuju bagian dalam rumah. Kamar utama berada di
samping ruang baca, tempat kesukaan Iarlaith.
Sepasang pintu kamar itu terbuka
sedikit, aku memelankan lariku. Menajamkan pandangan dan pendengaranku, mencoba
mencari tahu apa Iarlaith sudah bangun atau belum. Aku tidak mau tertangkap
basah sedang mencari dirinya, tentu akan sangat membuatku amat-sangat-malu.
Berjalan dengan cepat namun tanpa
suara, aku mendekat ke arah pintu. Tidak ada suara gerakan, tidak juga ada
kelebat gerakan. Hening, sesuatu yang tidak biasa. Aku memutarkan pandangan,
satu keanehan lagi. Tidak ada para pelayan yang bersiap-siap, bahkan Kepala
Pelayan Adar tidak menunjukkan batang hidungnya.
Apa aku hanya bermimpi, karena
aku terlalu banyak memikirkan kebencianku terhadap Iarlaith maka aku merindukan
sosok penyayangnya. Mungkin ini hanya kegilaanku yang mendambakan
kehangatankasih sayang seorang ayah. Sesuatu yang tidak akan bisa aku dapatkan.
Dalam kusutnya pikiranku, tanpa
sadar aku melangkah masuk ke dalam kamar utama. Dan ini membuatku merasakan
kalau memang sedang benar-benar bermimpi. Tapi tidak, saat terjatuh bersimpuh,
lututku merasakan sakit saat membentur lantai pualam.
Lukisan nyata di depanku sungguh
membuatku lemas, Iarlaith berlumuran darah. Tubuhnya menempel di dinding kamar
dengan dua bilah pedang melengkung menancap di perut dan dadanya. Kamar yang
berantakan tidak menarik perhatianku, yang jelas pertarungan sengit pernah di
tempat ini.
Darah berceceran hampir di sudut
ruangan, dekat dengan tubuh Iarlaith yang sudah tidak menunjukkan tanda-tanda
kehidupan. Aku mengumpulkan semua tenaga yang tersisa, untuk tetap mewaraskan
akalku dan menggerakan tubuh lemas ini.
Aku memaksa berdiri dan
melangkah, terangnya matahari belum mampu menerangi ruangan ini. Tirai dan
jendela belum terbuka. Dalam keremangan yang hanya di terangi sepasang lampu
minyak, aku melihat sesosok makhluk terkapar di dekat jendela. Aku menduga
makhluk itu berusaha untuk melarikan diri melalui jendela. Namun sesuatu
menghentikannya.
Aku mengambil sebilah kilij yang dipajang di salah satu
dinding ruangan ini, pedang melengkung ini adalah peninggalan Yefet. Iarlatih
sengaja memajangnya agar dia bisa selalu mengingat tentang Yefet, sialnya,
Iarlaith terjebak dalam kenangan itu dan tidak bisa melepaskannya.
Mendekat perlahan, aku
menyiagakan pedang.
Manusiakah?
Keberanianku menyeruak, sengaja
aku membakar kebencianku dengan memikirkan bahwa makhluk ini yang membunuh
Iarlaith. Biar bagaimanapun, Iarlaith adalah ayahku. Dan aku harus memastikan
bahwa makhluk ini menerima balasannya, meski dia sudah tidak bernyawa, akan aku
habisi dia.
Aku bergerak perlahan menuju
jendela, membuka tirai sehingga cahaya matahari masuk melalu kaca jendela. Ujung
pedang aku acungkan ke arah makhluk yang tertelungkup itu. Seorang pemuda yang
sebaya dengan diriku, wajahnya terlihat sangat rupawan dengan rambut hitam
panjang berurai.
Aku menatap sosok itu, dia
memakai pakaian dari bahan logam berwarna hitam, mirip dengan jirah perang,
menutup hampir semua bagian tubuh kecuali kepala. Dengan sesuatu yang mirip
dengan sayap di bagian punggung orang itu.
Tidak ada waktu bagiku untuk
mengamati pemuda ini lebih lama, aku menghunuskan pedangku tepat ke bagian
samping kepalanya. Namun benda yang seperti sayap itu bergerak dan menyabet
kaki kiriku hingga aku terjatuh.
Makhluk bersayap itu terbangun,
dia berdiri tegak dan menyiagakan sayapnya yang terlihat menjadi kuat dan
tajam.
Aku menatap sosok manusia bersayap
itu dengan ketakjuban, sepasang sayap logam yang bergerak bebas seperti
layaknya seekor burung menggerakkan sayap. Bergerak dengan lembut dan alami
tapi bisa menjadi keras dan tajam.
“Vouraq.” aku bergumam tanpa sadar.
Belum hilang kagetku, manusia
bersayap itu memaksakan diri untuk melesat menerobos jendela kaca dan terbang
meski sempoyongan.
Aku mengumpat sekaligus memaki
diriku sendiri karena bisa begitu mudahnya melepaskan lawan yang sudah lemah. Tadi
malam aku berencana untuk melarikan diri dari “nama” Iarlaith dan menghilang ke
tempat yang jauh. Namun kehilangan Iarlaith sangat-sangat menyakitkan dihatiku.
Aku berteriak, seiring dengan api yang entah bagaimana muncul dari tubuh tanpa
aku kendalikan. Amarah ini telah mengambil kendali atas diriku, dan yang ku
ingat hanya warna merah yang membakar semuanya.
#####
Meteorqq
ReplyDeleteIstanadomino
Arenaqq