RFH - 1


The White Rider

Dua orang manusia memakai jubah berwarna gelap dan penutup kepala menunggangi kuda perlahan di sebuah hutan. Mata mereka awas mengamati keadaan sekitar, seakan-akan waspada terhadap adanya pembunuh yang bersembunyi di balik pepohonan. Gelap bukanlah sahabat di tempat seperti ini.

“Yang Mulia, apa anda yakin dengan pertemuan ini?” penunggang kuda berwarna coklat menatap penunggang kuda di sampingnya. Yang ditanya menatap sebentar rekan perjalanannya itu, wajah pengendara kuda coklat  tidak terlihat, balutan kain menutup hampir seluruh wajah kecuali bagian mata. Hal sama juga dia lakukan terhadap wajahnya sendiri, penyamaran ini tidak boleh terbongkar sampai waktunya.

“Aku sama tidak yakinnya dengan dirimu, wahai sahabatku.” yang berderajat Yang Mulia menyahut. Sedikit kesulitan bagi dia untuk berbicara dengan kain penutup wajah, kesehariannya tidak pernah membuat dia tidak pernah melakukan itu. Dia melanjutkan, “Mata-mata kita mengatakan, mereka adalah orang yang sesuai untuk pekerjaan ini. Apapun mereka lakukan selama harganya sesuai.”

“Tapi Yang Mulia Adolamin, anda membahayakan diri anda sendiri meninggalkan istana tanpa penjagaan ketat.” penunggang kuda coklat tetap meragu walau mereka sudah berada dua hari perjalanan dari Istana. “Bagaima-“

“Risiko ini mau tidak mau aku ambil, masalah ini harus aku sendiri yang mengatasinya. Rakyatku tidak boleh mengetahuinya, Greifalkan.” Raja Adolamin memotong, menarik nafas sejenak, beban yang dia rasakan tidak semudah yang dia katakan. “Lagipula, aku mempunyai kamu. Sahabat dan orang kepercayaanku, yang selalu menjaga punggungku kapanpun.” Adolamin tersenyum dari balik kain penutup wajah sambil memacu kuda hitamnya lebih cepat.

Hutan mulai tersibak, pepohonan semakin merenggang, dan di ujung sana sebuah sungai kecil mengalir deras. Arusnya menghantam bebatuan yang menyembul di permukaan sungai. Adolamin dan Greifalkan memperlambat kuda mereka, mengamati keadaan pinggiran sungai. Sebuah tiang totem setinggi dua kali lipat tubuh orang dewasa didirikan entah oleh siapa, berdiri kokoh namun sedikit miring. Empat binatang yang terukir di tonggak tidak lagi terlihat jelas karena sudah tertutup lumut.

“Sepertinya ini tempat yang benar.” kata Greifalkan setelah melihat tiang totem itu.

“Ya, tiang itu seperti yang mata-mata kita katakan. Empat hewan sebagai lambang empat penunggang kuda.” Adolamin sekeliling. “Tapi tidak ada seorangpun di sini.”
Puluhan pohon Lauan, dan Banyan mengelilingi tempat itu, tumbuh tidak teratur. Beberapa ada yang tumbang karena badai, lapuk, atau terkena petir. Adolamin mengarahkan kudanya mendekat tiang totem sambil terus mengamati keadaan sekitar. Dilihatnya Greifalkan membawa kuda coklat itu menuju pinggiran sungai.

“Nama dan keperluan?!” sebuah suara mengagetkan mereka berdua. Adolamin mengamati sekeliling, tidak ada tanda keberadaan orang lain, dia menatap ke arah tempat mereka datang tapi tidak ada apapun di sana. Dia memalingkan wajah ke arah Greifalkan tapi sahabatnya itu juga sama bingungnya dengan sang Raja.

“Nama dan keperluan?!” suara itu kembali terdengar. Adolamin mempertajam suara dan penglihatannya, dari arah seberang sungai. Dia membalikkan kudanya dan mengarahkan ke seberang sungai. Greifalkan yang sudah bersiaga mengeluarkan pedang kembarnya, waspada terhadap semua kemungkinan buruk.

Sesosok laki-laki memakai jubah coklat dan memakai topi bundar tinggi dengan tepian yang lebar berwarna kuning pucat muncul dari balik rimbunnya semak di seberang sana, menunggangi kuda putih dan tegap. Sepasang senjata seperti tongkat disarungkan di punggungnya, Adolamin tidak mengenali benda yang menyembul di punggung laki-laki itu. Adolamin membuka penutup wajah dan tudung kepalanya, Greifalkan melakukan hal yang sama.

“Salam, kami dari kerajaan Tertius.” Raja Adolamin menjawab sambil mengangkat tangannya menandakan tanda perdamaian. “Aku Adolamin, Raja Tertius. Dan ini Panglima kepercayaanku, Greifalkan.” lanjutnya. Orang yang diperkenalkan mengangguk memberi salam kepada sosok di seberang.

Penunggang kuda putih berdiam menatap mereka, Adolamin mencermati, mencoba mengenali siapa pemilik wajah itu. Dia seperti  mengenal tapi tidak ada satu nama pun yang muncul dibenaknya.

“Apakah aku pernah bertemu denganmu, wahai penunggang kuda putih?” tanya Adolamin karena tidak bisa mengingat sosok di seberang itu.

“Keperluan?” penunggang kuda putih malah balik bertanya.

Greifalkan menggeraskan rahangnya, tangannya memegang gagang pedang dengan erat. Adomalin menahannya dengan isyarat tangan.

“Ah, rupanya kamu memang sang Serigala Putih. Tidak banyak bicara seperti yang dikatakan orang-orang.” Adolamin tersenyum.

“Baiklah, aku akan mengatakannya dengan singkat.” Adolamin memajukan kudanya hingga ke tepian sungai, berusaha mendekati penunggang kuda putih sedekat mungkin.

“Mahkota Rinogygas, pusaka kerajaan Tertius telah hilang. Tidak ada yang tahu siapa pencuri yang berhasil masuk ke ruang dengan banyak pengawal dan jebakan itu.” Adolamin menatap mata penunggang kuda putih.

“Keamanan di ruang itu adalah yang terbaik yang pernah ada di kerajaan kami. Seharusnya tidak ada satu makhluk pun yang bisa memasuki ruangan itu kecuali seijin Raja sendiri.” Greifalkan menambahkan.

“Kabar burung mengatakan, salah satu dari guild pencuri di Fletchia yang mengambilnya. Itu adalah satu-satunya informasi yang bisa kami dapat. Kami tidak begitu yakin karena sangat mustahil mendapatkan informasi dari guild itu.” lanjut Greifalkan. Adolamin menepuk-nepuk leher kudanya, memberi kesempatan kudanya untuk menikmati segarnya air sungai.

“Kami mendengar kabar bahwa anda dan pasukan anda bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mustahil selama imbalannya sesuai.” Adolamin mengernyitkan dahi, berharap kabar itu benar.

Serigala Putih hanya menganggukkan ujung depan topinya, tidak tertarik dengan pembicaraan yang tidak penting.

“Lima ribu keping emas.” jawab Serigala Putih, langsung membicarakan hal yang penting baginya.

“Apa?!” Greifalkan kaget bukan main, baginya uang sebanyak itu mampu untuk membeli hampir separuh tanah di kerajaan Tertius.

“Kalian sendiri yang mengatakan bahwa tugas ini sangat mustahil.” Serigala Putih berkata dengan nada datar.

Greifalkan menggeleng berkali-kali, Adolamin tersenyum masam.

“Baiklah, aku sudah tahu biayanya tidak akan murah.” tenang Adolamin. Dia mengambil sebuah kantong kain coklat yang dari tadi diikat dipelana kuda, namun tertutup oleh paha kakinya.

“Walaupun aku tidak menduga akan semahal ini. Ini aku berikan dua ribu keping emas, sisanya akan aku berikan setelah kalian mendapatkan mahkota itu.” Adolamin melemparkan kantung berat itu ke seberang sungai. Kantung coklat tua itu jatuh beberapa kaki dari kuda Serigala Putih.

Serigala Putih mengambil salah satu tongkat dari punggungnya, tongkat itu sangat berbeda dengan tongkat biasa. Bagian pangkalnya terbuat dari kayu agak pipih, disambungkan dengan besi bundar panjang yang disangga oleh kayu juga. Adolamin pernah mendengar tentang hal itu, tongkat petir, begitu para penduduk hyrnandher memanggil benda itu, sementara orang-orang dari dunia barat tempat senjata itu berasal menyebutnya senapan api. Serigala Putih terkenal dengan orang yang bisa membunuh orang dari jarak jauh, dan itu bukan sihir. Sekarang Adolamin tahu senjata yang digunakan Serigala Putih.

Serigala Putih mengangkat kantung uang dengan mengaitkan ujung senapan api ke tali yang mengikat kantong. Dengan sekali sentakan, kantong itu melayang ke atas dan mendarat tepat di tangannya yang telah siap sedari tadi. Dia meletakkan senapan di pelana kuda sementara kedua tangannya sibuk membuka dan memeriksa isi kantung uang. Tumpukan keping uang emas tidak beraturan, dia tidak perlu menghitung jumlahnya.

“Bagaimana Tuan Serigala Putih?” tanya Adolamin setelah dilihatnya Serigala Putih telah selesai memeriksa uang dalam kantung itu.

“Lumayan buat tambahan.” kata Serigala Putih enteng sambil mengikat kantung coklat tua ke pelana kuda dan memegang kembali tongkat petirnya.

“Tambahan?” serentak Adolamin dan Greifalkan, mereka saling berpandangan dan mengernyitkan dahi, sama-sama tidak mengerti dengan maksud perkataan Serigala Putih.

“Iya, tambahan.” kata Serigala Putih lagi, kali dengan sedikit senyuman menyeringai.

Tanpa menunggu Adolamin dan Greifalkan mengetahui maksud perkataannya, Serigala Putih dengan cepat menarik pelatuk dari senapan apinya, lebih cepat dari kedipan mata Greifalkan jatuh tersungkur. Adolamin tersentak mendengar suara letusan dari tongkat petir Serigala Putih, didapatinya Greifalkan terjatuh dari kuda dengan darah mengucur tepat di tengah-tengah dahi. Sebuah lubang kecil hitam menghiasi kening sang panglima itu.
Adolamin memalingkan wajah, menatap Serigala Putih yang sedang mengacungkan senapan api ke arahnya.

“Apa maksudnya ini?!” suara Adolamin bergetar, ketakutan merasuk pikirannya, belakang lehernya terasa dingin.

“Maaf, Adolamin. Kami memang selalu menyelesaikan tugas kami, “kata Serigala Putih sambil memicingkan sebelah matanya. Dia melanjutkan, “tapi seseorang sudah menyewa kami terlebih dahulu.”

“Terus apa hubungannya dengan semua ini?” Adolamin memegang pedangnya, meski dia tahu bahwa itu tidak bisa melindungi dari terjangan peluru Serigala Putih.

““Rencanamu sangat hebat, tanpa ada yang tahu kamu menyamar menjadi sang Raja dan dengan sihirmu kamu mengelabui semua orang. Bahkan semua yang dekat dengan Raja tidak bisa mengetahui penyamaranmu. Aku salut dengan itu. Seharusnya kamu lebih tahu siapa yang menyewaku, Adolamin Sang Raja Palsu.” kata Serigala Putih. “Kamu harus lebih rapat lagi menyimpan rahasiamu! Terutama kalau rahasia itu masih hidup.”

Adolamin tersentak, tidak menyangkan rahasianya terbongkar. Raja Adolamin yang asli yang dia kira sudah mati karena dia racun dan dibuang ke sungai besar ternyata masih hidup. Lebih parahnya dia bisa menemukan Para Penunggang Kuda dari Neraka sebelum dia. Dunianya menjadi terjungkir balik, semua yang dia rencakan gagal, dan hidupnya akan berakhir.

“Mahkota itu memang dicuri, lebih tepatnya kami membayar salah satu pengawalmu untuk mengambilnya. Dan kami pula yang menyebarkan kabar kalau mahkota itu dicuri guild  dari Fletchia.” jelas Serigala Putih.

“Dan kalian juga yang memberi informasi kepada mata-mataku untuk menyewa kalian?” Adolamin mulai menemukan titik terang.

“Benar, karena ini satu-satunya cara untuk membuatmu bisa berada jauh dari keamanan kalian yang terkenal sangat ketat itu.”

“Cih, ternyata aku memang tidak seharusnya menemui kalian.” geram Adolamin. Dia menoleh ke arah mayat Greifalkan.

“Tapi bagaimana kalian bisa tahu kalau Greifalkan juga adalah salah satu dari kami?” tanya Adolamin sedikit tersadar.

“Kami tidak tahu, dan kami tidak peduli. Tugas kami adalah membunuhmu, dan siapa saja yang mendukungmu. Siapapun itu. Karena sihirmu bisa dengan mudah menipu semua orang, jadi kami tidak bisa membedakan mana temanmu mana yang bukan.” jawab Serigala Putih ringan.

“Jadi kamu akan membunuh siapapun yang dekat dengan diriku? Sungguh mengerikan, membayangkan kalian juga membunuh sahabat, bahkan keluarga Sang Raja sendiri.” Adolamin bergidik.

“Tidak perlu menceramahiku tentang moral, dirimu tidak lebih baik.” kata Serigala Putih sambil melepaskan sebuah tembakan.

Adolamin hanya bisa melihat sebuah benda melesat seperti kilat dan bumi berputar sebelum akhirnya semua menjadi gelap.



0 comments:

Post a Comment