The White Rider
Dua orang manusia memakai jubah berwarna gelap dan
penutup kepala menunggangi kuda perlahan di sebuah hutan. Mata mereka awas
mengamati keadaan sekitar, seakan-akan waspada terhadap adanya pembunuh yang
bersembunyi di balik pepohonan. Gelap bukanlah sahabat di tempat seperti ini.
“Yang Mulia, apa anda yakin dengan pertemuan ini?”
penunggang kuda berwarna coklat menatap penunggang kuda di sampingnya. Yang ditanya
menatap sebentar rekan perjalanannya itu, wajah pengendara kuda coklat tidak terlihat, balutan kain menutup hampir
seluruh wajah kecuali bagian mata. Hal sama juga dia lakukan terhadap wajahnya
sendiri, penyamaran ini tidak boleh terbongkar sampai waktunya.
“Aku sama tidak yakinnya dengan dirimu, wahai
sahabatku.” yang berderajat Yang Mulia menyahut. Sedikit kesulitan bagi dia
untuk berbicara dengan kain penutup wajah, kesehariannya tidak pernah membuat
dia tidak pernah melakukan itu. Dia melanjutkan, “Mata-mata kita mengatakan,
mereka adalah orang yang sesuai untuk pekerjaan ini. Apapun mereka lakukan
selama harganya sesuai.”
“Tapi Yang Mulia Adolamin, anda membahayakan diri
anda sendiri meninggalkan istana tanpa penjagaan ketat.” penunggang kuda coklat
tetap meragu walau mereka sudah berada dua hari perjalanan dari Istana. “Bagaima-“
“Risiko ini mau tidak mau aku ambil, masalah ini
harus aku sendiri yang mengatasinya. Rakyatku tidak boleh mengetahuinya,
Greifalkan.” Raja Adolamin memotong, menarik nafas sejenak, beban yang dia
rasakan tidak semudah yang dia katakan. “Lagipula, aku mempunyai kamu. Sahabat
dan orang kepercayaanku, yang selalu menjaga punggungku kapanpun.” Adolamin
tersenyum dari balik kain penutup wajah sambil memacu kuda hitamnya lebih
cepat.
Hutan mulai tersibak, pepohonan semakin merenggang,
dan di ujung sana sebuah sungai kecil mengalir deras. Arusnya menghantam
bebatuan yang menyembul di permukaan sungai. Adolamin dan Greifalkan memperlambat
kuda mereka, mengamati keadaan pinggiran sungai. Sebuah tiang totem setinggi
dua kali lipat tubuh orang dewasa didirikan entah oleh siapa, berdiri kokoh
namun sedikit miring. Empat binatang yang terukir di tonggak tidak lagi
terlihat jelas karena sudah tertutup lumut.
“Sepertinya ini tempat yang benar.” kata Greifalkan
setelah melihat tiang totem itu.
“Ya, tiang itu seperti yang mata-mata kita katakan.
Empat hewan sebagai lambang empat penunggang kuda.” Adolamin sekeliling. “Tapi
tidak ada seorangpun di sini.”
Puluhan pohon Lauan, dan Banyan mengelilingi tempat
itu, tumbuh tidak teratur. Beberapa ada yang tumbang karena badai, lapuk, atau
terkena petir. Adolamin mengarahkan kudanya mendekat tiang totem sambil terus
mengamati keadaan sekitar. Dilihatnya Greifalkan membawa kuda coklat itu menuju
pinggiran sungai.
“Nama dan keperluan?!” sebuah suara mengagetkan
mereka berdua. Adolamin mengamati sekeliling, tidak ada tanda keberadaan orang
lain, dia menatap ke arah tempat mereka datang tapi tidak ada apapun di sana.
Dia memalingkan wajah ke arah Greifalkan tapi sahabatnya itu juga sama
bingungnya dengan sang Raja.
“Nama dan keperluan?!” suara itu kembali terdengar.
Adolamin mempertajam suara dan penglihatannya, dari arah seberang sungai. Dia
membalikkan kudanya dan mengarahkan ke seberang sungai. Greifalkan yang sudah
bersiaga mengeluarkan pedang kembarnya, waspada terhadap semua kemungkinan
buruk.
Sesosok laki-laki memakai jubah coklat dan memakai
topi bundar tinggi dengan tepian yang lebar berwarna kuning pucat muncul dari
balik rimbunnya semak di seberang sana, menunggangi kuda putih dan tegap.
Sepasang senjata seperti tongkat disarungkan di punggungnya, Adolamin tidak
mengenali benda yang menyembul di punggung laki-laki itu. Adolamin membuka
penutup wajah dan tudung kepalanya, Greifalkan melakukan hal yang sama.
“Salam, kami dari kerajaan Tertius.” Raja Adolamin
menjawab sambil mengangkat tangannya menandakan tanda perdamaian. “Aku
Adolamin, Raja Tertius. Dan ini Panglima kepercayaanku, Greifalkan.” lanjutnya.
Orang yang diperkenalkan mengangguk memberi salam kepada sosok di seberang.
Penunggang kuda putih berdiam menatap mereka, Adolamin
mencermati, mencoba mengenali siapa pemilik wajah itu. Dia seperti mengenal tapi tidak ada satu nama pun yang
muncul dibenaknya.
“Apakah aku pernah bertemu denganmu, wahai
penunggang kuda putih?” tanya Adolamin karena tidak bisa mengingat sosok di
seberang itu.
“Keperluan?” penunggang kuda putih malah balik
bertanya.
Greifalkan menggeraskan rahangnya, tangannya
memegang gagang pedang dengan erat. Adomalin menahannya dengan isyarat tangan.
“Ah, rupanya kamu memang sang Serigala Putih. Tidak
banyak bicara seperti yang dikatakan orang-orang.” Adolamin tersenyum.
“Baiklah, aku akan mengatakannya dengan singkat.”
Adolamin memajukan kudanya hingga ke tepian sungai, berusaha mendekati
penunggang kuda putih sedekat mungkin.
“Mahkota Rinogygas, pusaka kerajaan Tertius telah
hilang. Tidak ada yang tahu siapa pencuri yang berhasil masuk ke ruang dengan banyak
pengawal dan jebakan itu.” Adolamin menatap mata penunggang kuda putih.
“Keamanan di ruang itu adalah yang terbaik yang
pernah ada di kerajaan kami. Seharusnya tidak ada satu makhluk pun yang bisa
memasuki ruangan itu kecuali seijin Raja sendiri.” Greifalkan menambahkan.
“Kabar burung mengatakan, salah satu dari guild pencuri di Fletchia yang
mengambilnya. Itu adalah satu-satunya informasi yang bisa kami dapat. Kami
tidak begitu yakin karena sangat mustahil mendapatkan informasi dari guild itu.” lanjut Greifalkan. Adolamin
menepuk-nepuk leher kudanya, memberi kesempatan kudanya untuk menikmati
segarnya air sungai.
“Kami mendengar kabar bahwa anda dan pasukan anda
bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mustahil selama imbalannya sesuai.”
Adolamin mengernyitkan dahi, berharap kabar itu benar.
Serigala Putih hanya menganggukkan ujung depan
topinya, tidak tertarik dengan pembicaraan yang tidak penting.
“Lima ribu keping emas.” jawab Serigala Putih,
langsung membicarakan hal yang penting baginya.
“Apa?!” Greifalkan kaget bukan main, baginya uang
sebanyak itu mampu untuk membeli hampir separuh tanah di kerajaan Tertius.
“Kalian sendiri yang mengatakan bahwa tugas ini
sangat mustahil.” Serigala Putih berkata dengan nada datar.
Greifalkan menggeleng berkali-kali, Adolamin
tersenyum masam.
“Baiklah, aku sudah tahu biayanya tidak akan
murah.” tenang Adolamin. Dia mengambil sebuah kantong kain coklat yang dari
tadi diikat dipelana kuda, namun tertutup oleh paha kakinya.
“Walaupun aku tidak menduga akan semahal ini. Ini
aku berikan dua ribu keping emas, sisanya akan aku berikan setelah kalian
mendapatkan mahkota itu.” Adolamin melemparkan kantung berat itu ke seberang
sungai. Kantung coklat tua itu jatuh beberapa kaki dari kuda Serigala Putih.
Serigala Putih mengambil salah satu tongkat dari
punggungnya, tongkat itu sangat berbeda dengan tongkat biasa. Bagian pangkalnya
terbuat dari kayu agak pipih, disambungkan dengan besi bundar panjang yang
disangga oleh kayu juga. Adolamin pernah mendengar tentang hal itu, tongkat
petir, begitu para penduduk hyrnandher memanggil benda itu, sementara
orang-orang dari dunia barat tempat senjata itu berasal menyebutnya senapan
api. Serigala Putih terkenal dengan orang yang bisa membunuh orang dari jarak
jauh, dan itu bukan sihir. Sekarang Adolamin tahu senjata yang digunakan
Serigala Putih.
Serigala Putih mengangkat kantung uang dengan
mengaitkan ujung senapan api ke tali yang mengikat kantong. Dengan sekali
sentakan, kantong itu melayang ke atas dan mendarat tepat di tangannya yang
telah siap sedari tadi. Dia meletakkan senapan di pelana kuda sementara kedua
tangannya sibuk membuka dan memeriksa isi kantung uang. Tumpukan keping uang
emas tidak beraturan, dia tidak perlu menghitung jumlahnya.
“Bagaimana Tuan Serigala Putih?” tanya Adolamin
setelah dilihatnya Serigala Putih telah selesai memeriksa uang dalam kantung
itu.
“Lumayan buat tambahan.” kata Serigala Putih enteng
sambil mengikat kantung coklat tua ke pelana kuda dan memegang kembali tongkat
petirnya.
“Tambahan?” serentak Adolamin dan Greifalkan,
mereka saling berpandangan dan mengernyitkan dahi, sama-sama tidak mengerti
dengan maksud perkataan Serigala Putih.
“Iya, tambahan.” kata Serigala Putih lagi, kali
dengan sedikit senyuman menyeringai.
Tanpa menunggu Adolamin dan Greifalkan mengetahui
maksud perkataannya, Serigala Putih dengan cepat menarik pelatuk dari senapan
apinya, lebih cepat dari kedipan mata Greifalkan jatuh tersungkur. Adolamin
tersentak mendengar suara letusan dari tongkat petir Serigala Putih,
didapatinya Greifalkan terjatuh dari kuda dengan darah mengucur tepat di
tengah-tengah dahi. Sebuah lubang kecil hitam menghiasi kening sang panglima
itu.
Adolamin memalingkan wajah, menatap Serigala Putih
yang sedang mengacungkan senapan api ke arahnya.
“Apa maksudnya ini?!” suara Adolamin bergetar, ketakutan
merasuk pikirannya, belakang lehernya terasa dingin.
“Maaf, Adolamin. Kami memang selalu menyelesaikan
tugas kami, “kata Serigala Putih sambil memicingkan sebelah matanya. Dia
melanjutkan, “tapi seseorang sudah menyewa kami terlebih dahulu.”
“Terus apa hubungannya dengan semua ini?” Adolamin
memegang pedangnya, meski dia tahu bahwa itu tidak bisa melindungi dari
terjangan peluru Serigala Putih.
““Rencanamu sangat hebat, tanpa ada yang tahu kamu
menyamar menjadi sang Raja dan dengan sihirmu kamu mengelabui semua orang.
Bahkan semua yang dekat dengan Raja tidak bisa mengetahui penyamaranmu. Aku
salut dengan itu. Seharusnya kamu lebih tahu siapa yang menyewaku, Adolamin
Sang Raja Palsu.” kata Serigala Putih. “Kamu harus lebih rapat lagi menyimpan
rahasiamu! Terutama kalau rahasia itu masih hidup.”
Adolamin tersentak, tidak menyangkan rahasianya
terbongkar. Raja Adolamin yang asli yang dia kira sudah mati karena dia racun
dan dibuang ke sungai besar ternyata masih hidup. Lebih parahnya dia bisa menemukan
Para Penunggang Kuda dari Neraka sebelum dia. Dunianya menjadi terjungkir
balik, semua yang dia rencakan gagal, dan hidupnya akan berakhir.
“Mahkota itu memang dicuri, lebih tepatnya kami
membayar salah satu pengawalmu untuk mengambilnya. Dan kami pula yang
menyebarkan kabar kalau mahkota itu dicuri guild
dari Fletchia.” jelas Serigala
Putih.
“Dan kalian juga yang memberi informasi kepada
mata-mataku untuk menyewa kalian?” Adolamin mulai menemukan titik terang.
“Benar, karena ini satu-satunya cara untuk
membuatmu bisa berada jauh dari keamanan kalian yang terkenal sangat ketat
itu.”
“Cih, ternyata aku memang tidak seharusnya menemui
kalian.” geram Adolamin. Dia menoleh ke arah mayat Greifalkan.
“Tapi bagaimana kalian bisa tahu kalau Greifalkan juga
adalah salah satu dari kami?” tanya Adolamin sedikit tersadar.
“Kami tidak tahu, dan kami tidak peduli. Tugas kami
adalah membunuhmu, dan siapa saja yang mendukungmu. Siapapun itu. Karena
sihirmu bisa dengan mudah menipu semua orang, jadi kami tidak bisa membedakan
mana temanmu mana yang bukan.” jawab Serigala Putih ringan.
“Jadi kamu akan membunuh siapapun yang dekat dengan
diriku? Sungguh mengerikan, membayangkan kalian juga membunuh sahabat, bahkan
keluarga Sang Raja sendiri.” Adolamin bergidik.
“Tidak perlu menceramahiku tentang moral, dirimu
tidak lebih baik.” kata Serigala Putih sambil melepaskan sebuah tembakan.
Adolamin hanya bisa melihat sebuah benda melesat
seperti kilat dan bumi berputar sebelum akhirnya semua menjadi gelap.
0 comments:
Post a Comment