“Lihatlah Tuan Airill!” Tuan
Berdel merentangkan tangannya, menunjukkan pada semua pohon manusia. Puluhan
pohon-pohon dengan wajah manusia hampir memenuhi tiga perempat ruang bawah
tanah. Akar-akarnya menyembul, merusak lantai ruangan yang sebelumnya tertutup
dengan batu-batuan.
Airill mengambil sebatang rokok
dari balik jaketnya, tanpa permisi dia menyalakan rokok dan langsung merasakan
sensasi yang dia rindukan pada saat dia menghisap tembakau. Dengan nikmat dia
menghembuskan asap ke atas, dua tiga kali dia melakukan hal yang sama sambil
memejamkan mata.
Tuan Berdel melangkah maju,
mengitari beberapa pohon manusia. Tidak sedikitpun ada rasa ketakutan atau iba,
sesekali dia malah memegang wajah-wajah manusia yang penuh penderitaan itu.
“Ini adalah sesuatu yang belum
pernah seorangpun bisa melakukannya!” Tuan Berdel membalikkan badan dan menatap
Airill.
“Bibit dari prajurit-prajurit tak
terkalahkan!” Tuan Berdel berbicara dengan semangat yang berapi-api, seperti
seorang yang akan memenangkan semua pertarungan.
Airill menatap ke arah pepohonan,
pohon-pohon besar dengan ranting dan dahan tanpa daun. Beberapa sulur, atau
semacam sulur terjalin antara pohon yang satu dengan yang lain. Ketika
menajamkan pandangan, dia melihat kalau sulur-sulur itu lebih terlihat seperti
daging dari pada sulur pepohonan biasa.
“Pernahkah kamu mendengar tentang
hal ini? Makhluk yang tercipta dengan mengambil kehidupan mereka, menyisakan
tubuh tanpa jiwa. Prajurit-prajurit yang hidup tapi mati. Prajurit-prajurit
boneka.”
“Dengan ini, tidak diperlukan lagi tabib!
Tidak diperlukan lagi makanan! Prajurit-prajurit boneka yang tidak akan pernah
membangkang! Lihat Tuan Airill, lihatlah! Masa depan yang hebat telah
terbentang.” Tuan Berdel tertawa puas, sesuatu yang sangat jarang dilihat Airill.
“Hanya dengan makhluk-makhuk
lemah bisa menghasilkan prajurit-prajurit yang kuat. Tanpa perlu menunggu waktu
yang lama, tanpa perlu dilatih.”
“Hari ini, ya semua akan dimulai
hari ini. Tepat saat matahari terbenam, waktu yang tepat untuk memanen prajurit-prajurit
boneka ini. Dan segera, Fletchia akan tunduk.” Tuan Berdel membayangkan dirinya
sudah mendapatkan kemenangan itu.
“Aku tidak peduli dengan semua
omonganmu. Jika kamu sudah selesai bercerita tentang impian kamu, aku mau
kembali ke atas. Kamu tidak membayarku untuk mendengar ocehanmu. Lagipula aku
tidak suka dengan ruangan pengap dan bau ini.” kata Airill sambil berlalu tanpa
menunggu jawaban dari Tuan Berdel.
“Oh iya, sebaiknya kamu juga
tidak usah berlama-lama di sini. Nanti otakmu semakin tidak beres.” Airill
menambahkan tanpa menoleh ke arah Tuan Berdel.
*****
Matahari telah jauh melewati masa
puncaknya, persiapan di Istana sudah hampir selesai. Beberapa penduduk masih
membenahi altar yang baru dibuat dari kayu-kayu yang terbaik, tempat yang nantinya
akan digunakan Sang Gubernur untuk berbicara di depan rakyatnya.
Altar yang besar didirikan di
depan dinding utara, tepat berhadapan dengan pintu masuk utama. Sepasang kain
besar berwarna merah gelap dipasang menutupi dinding di belakang altar, kain
sebelah kiri dihiasi dengan bordiran sebuah perisai besi yang bagian tengahnya
tertampang lambang kota sementara kain yang di sebelah kanan dihiasi dengan
lambang kerajaan Fletchia.
Airill sedang menikmati arak dari
kantung minum berwarna coklat, duduk di atas setumpuk mayat penduduk desa yang
beberapa saat lalu mendapatkan hadiah istimewa dari salah satu senjata apinya.
Seorang penduduk datang melapor
pada Airill, mengatakan bahwa persiapan telah selesai. Airill tidak
mempedulikan, dia menendang orang itu kemudian menunjuk ke salah seorang
prajurit yang berada di sana, mengatakan bahwa kepada prajurit itu dia harusnya
melapor.
Airill menatap tajam saat salah
seorang penduduk yang memakai jubah bertudung menyelinap bersembunyi dibalik
kain merah. Namun dia tidak mempedulikannya, dia tidak dibayar untuk mengurusi
pencuri atau apapun yang dilakukan penyelinap itu.
Cih, Airill mengumpat saat
araknya tidak lagi mengalir dengan lancar dari dalam kantung minumnya. Dia
menatap tumpukan mayat yang dia duduki dan menggeledah mayat-mayat tersebut,
mencoba mencari kantung minum atau botol atau apapun dan berharap di dalamnya
terdapat arak.
Airill memukul tumpukan mayat
yang paling atas, kesal tidak menemukan apa yang dia cari. Tidak jauh di
dekatnya, beberapa penduduk yang sedang beristirahat sedang berbagi minuman.
Meski berjarak beberapa kaki, dia bisa mencium bau aroma arak dari tempat minum
mereka. Perlahan namun pasti dia mendekat, dan berdiri di samping salah seorang
penduduk yang sedang minum. Dia tersenyum menyeringai dan langsung mencabut
senjata api dan menembak kepala orang yang sedang minum tersebut.
“Heh, siapa bilang kalian boleh
minum arak!” kata Airill dan dengan segera mengambil kantung minum sebelum
jatuh ke lantai dan langsung berlalu meninggalkan penduduk desa yang panik saat
temannya tewas.
*****
Terompet dibunyikan, sekelompok
orang berjalan beriringan memasuki gerbang istana. Beberapa orang dalam
iring-iringan memakai pakaian yang sangat mewah, salah seorang memakai pakaian
kebesaran kota. Amperis, Sang Gubernur, berjalan dengan congkak, tidak
sedikitpun melirik orang-orang di sekitarnya.
Airill menatap Amperis dari
tempatnya berdiri, seorang yang berkulit pucat berambut lurus hitam sebahu.
Sekilas dia mengira bahwa Amperis adalah seorang wanita, karena bentuk dan
paras rupanya lebih mirip seperti seorang wanita. Beruntung dia sudah
mengetahui kalau Sang Gubernur adalah seorang laki-laki.
Airill menatap tajam Sang
Gubernur, berharap akan bertatap mata. Tapi tidak sedikitpun Amperis menoleh ke
arah lain, pandangannya hanya tertuju lurus ke depan, podium yang berada di
altar.
Amperis melanjutkan jalannya
sendiri, sementara orang-orang yang tadi mengawalnya berdiri berjajar di depan
altar menghadap ke arah penduduk kota. Akhirnya dia mengitarkan pandangannya,
menatap semua yang ada di sana.
“Berdel,” suaranya datar. Yang
dipanggil mengangguk hormat dan mendekat. Berdiri di samping tapi agak di
belakang Sang Gubernur.
“Ya Tuanku.” Sahut Tuan Berdel
cepat, tahu bahwa Sang Amperis tidak akan membiarkan hidup apapun yang
membuatnya kesal.
“Kenapa masih banyak budak yang
berada di kota ini?” tanya Tuan Amperis.
“Dan di mana pasukan baruku?
Bukankah harusnya mereka sudah menetas?” Belum sempat Tuan Berdel menjawab,
rentetan pertanyaan terlontar dari sang Amperis. Airill tersenyum melihat Tuan
Berdel tergagap mendapat pertanyaan dari Amperis.
Tuan Berdel menyilangkan tangan
kanannya ke dada sambil sedikit menunduk. Mundur beberapa langkah dia
mengangkat tangan kanan memberi tanda pada beberapa pasukannya. Airill menatap
ke empat penjuru ruangan, masing-masing dua orang prajurit sedang menjaga tiga
buah tuas yang entah sejak kapan berada di sana.
Airill mundur menyender di
dinding, beberapa prajurit bergerak maju memaksa agar para penduduk berkumpul
di tengah. Tidak berapa lama setelah itu, dia melihat Tuan Berdel memberikan
sebuah isyarat lagi, dan masing-masing prajurit yang berjaga di dekat tuas
langsung menarik salah satu tuas.
Airill mengeratkan jaketnya saat
lantai dan dinding istana bergetar, tidak terlalu keras. Dia bisa melihat
penduduk kota bingung, dan panik. Apalagi bagian lantai yang mereka injak
tiba-tiba bergerak perlahan ke samping kiri dan kanan.
Getaran terus terasa, bagian
tengah lantai tempat para penduduk terbelah, pada awalnya hanya segaris belahan
kecil dan kemudian membesar. Airill menyaksikan kepanikan para penduduk, mereka
berlomba untuk menyelamatkan diri ke arah samping, tetapi para prajurit sudah
menghunuskan tombaknya mengelilingi mereka.
Airill mengambil sebatang rokok
dari balik jaket, sesaat dia mengamati
rokoknya hanya tinggal dua batang. Dia berpikir akan mengambil lagi rokok dari
para penduduk, tapi melihat mereka berjatuhan ke bawah dia hanya bisa
mengumpat. Cih, kenapa harus disia-siakan umpatnya dalam hati.
Tidak sampai satu putaran
pasir (kurang lebih tiga puluh menit), penduduk kota terjatuh ke dalam
lubang yang telah dipersiapkan. Dan lagi Tuan Berdel memberi isyarat agar tuas
kedua ditarik.
Tidak berapa lama setelah Tuan
Berdel memberi isyarat, penyelinap yang tadi bersembunyi di balik kain
menyeruak dengan cepat, menerjang Sang Amperis dengan sebuah belati.
Tidak siap dengan penyerangan,
Sang Amperis tertusuk tepat di jantung dari arah belakang. Tuan Berdel yang
berdiri tidak jauh tidak sempat bereaksi apapun. Namun tidak berapa lama dia
melesat sambil mencabut pedangnya bersiap menebas sang penusuk, Airill bergerak
lebih cepat dari Tuan Berdel. Dengan sekali hentak dia melesat, mencekik leher
sang penusuk dan menyeretnya hingga membentur dinding di belakang kain merah.
“Usahamu berakhir sampai di
sini!” geram Airill
#####
0 comments:
Post a Comment