Airill - Chapter 3


“Lihatlah Tuan Airill!” Tuan Berdel merentangkan tangannya, menunjukkan pada semua pohon manusia. Puluhan pohon-pohon dengan wajah manusia hampir memenuhi tiga perempat ruang bawah tanah. Akar-akarnya menyembul, merusak lantai ruangan yang sebelumnya tertutup dengan batu-batuan. 

Airill mengambil sebatang rokok dari balik jaketnya, tanpa permisi dia menyalakan rokok dan langsung merasakan sensasi yang dia rindukan pada saat dia menghisap tembakau. Dengan nikmat dia menghembuskan asap ke atas, dua tiga kali dia melakukan hal yang sama sambil memejamkan mata.

Tuan Berdel melangkah maju, mengitari beberapa pohon manusia. Tidak sedikitpun ada rasa ketakutan atau iba, sesekali dia malah memegang wajah-wajah manusia yang penuh penderitaan itu.

“Ini adalah sesuatu yang belum pernah seorangpun bisa melakukannya!” Tuan Berdel membalikkan badan dan menatap Airill.

“Bibit dari prajurit-prajurit tak terkalahkan!” Tuan Berdel berbicara dengan semangat yang berapi-api, seperti seorang yang akan memenangkan semua pertarungan. 

Airill menatap ke arah pepohonan, pohon-pohon besar dengan ranting dan dahan tanpa daun. Beberapa sulur, atau semacam sulur terjalin antara pohon yang satu dengan yang lain. Ketika menajamkan pandangan, dia melihat kalau sulur-sulur itu lebih terlihat seperti daging dari pada sulur pepohonan biasa.

“Pernahkah kamu mendengar tentang hal ini? Makhluk yang tercipta dengan mengambil kehidupan mereka, menyisakan tubuh tanpa jiwa. Prajurit-prajurit yang hidup tapi mati. Prajurit-prajurit boneka.”

 “Dengan ini, tidak diperlukan lagi tabib! Tidak diperlukan lagi makanan! Prajurit-prajurit boneka yang tidak akan pernah membangkang! Lihat Tuan Airill, lihatlah! Masa depan yang hebat telah terbentang.” Tuan Berdel tertawa puas, sesuatu yang sangat jarang dilihat Airill.

“Hanya dengan makhluk-makhuk lemah bisa menghasilkan prajurit-prajurit yang kuat. Tanpa perlu menunggu waktu yang lama, tanpa perlu dilatih.”

“Hari ini, ya semua akan dimulai hari ini. Tepat saat matahari terbenam, waktu yang tepat untuk memanen prajurit-prajurit boneka ini. Dan segera, Fletchia akan tunduk.” Tuan Berdel membayangkan dirinya sudah mendapatkan kemenangan itu.

“Aku tidak peduli dengan semua omonganmu. Jika kamu sudah selesai bercerita tentang impian kamu, aku mau kembali ke atas. Kamu tidak membayarku untuk mendengar ocehanmu. Lagipula aku tidak suka dengan ruangan pengap dan bau ini.” kata Airill sambil berlalu tanpa menunggu jawaban dari Tuan Berdel.

“Oh iya, sebaiknya kamu juga tidak usah berlama-lama di sini. Nanti otakmu semakin tidak beres.” Airill menambahkan tanpa menoleh ke arah Tuan Berdel.

*****

Matahari telah jauh melewati masa puncaknya, persiapan di Istana sudah hampir selesai. Beberapa penduduk masih membenahi altar yang baru dibuat dari kayu-kayu yang terbaik, tempat yang nantinya akan digunakan Sang Gubernur untuk berbicara di depan rakyatnya.

Altar yang besar didirikan di depan dinding utara, tepat berhadapan dengan pintu masuk utama. Sepasang kain besar berwarna merah gelap dipasang menutupi dinding di belakang altar, kain sebelah kiri dihiasi dengan bordiran sebuah perisai besi yang bagian tengahnya tertampang lambang kota sementara kain yang di sebelah kanan dihiasi dengan lambang kerajaan Fletchia.

Airill sedang menikmati arak dari kantung minum berwarna coklat, duduk di atas setumpuk mayat penduduk desa yang beberapa saat lalu mendapatkan hadiah istimewa dari salah satu senjata apinya.
Seorang penduduk datang melapor pada Airill, mengatakan bahwa persiapan telah selesai. Airill tidak mempedulikan, dia menendang orang itu kemudian menunjuk ke salah seorang prajurit yang berada di sana, mengatakan bahwa kepada prajurit itu dia harusnya melapor.

Airill menatap tajam saat salah seorang penduduk yang memakai jubah bertudung menyelinap bersembunyi dibalik kain merah. Namun dia tidak mempedulikannya, dia tidak dibayar untuk mengurusi pencuri atau apapun yang dilakukan penyelinap itu. 

Cih, Airill mengumpat saat araknya tidak lagi mengalir dengan lancar dari dalam kantung minumnya. Dia menatap tumpukan mayat yang dia duduki dan menggeledah mayat-mayat tersebut, mencoba mencari kantung minum atau botol atau apapun dan berharap di dalamnya terdapat arak.

Airill memukul tumpukan mayat yang paling atas, kesal tidak menemukan apa yang dia cari. Tidak jauh di dekatnya, beberapa penduduk yang sedang beristirahat sedang berbagi minuman. Meski berjarak beberapa kaki, dia bisa mencium bau aroma arak dari tempat minum mereka. Perlahan namun pasti dia mendekat, dan berdiri di samping salah seorang penduduk yang sedang minum. Dia tersenyum menyeringai dan langsung mencabut senjata api dan menembak kepala orang yang sedang minum tersebut.

“Heh, siapa bilang kalian boleh minum arak!” kata Airill dan dengan segera mengambil kantung minum sebelum jatuh ke lantai dan langsung berlalu meninggalkan penduduk desa yang panik saat temannya tewas.

*****

Terompet dibunyikan, sekelompok orang berjalan beriringan memasuki gerbang istana. Beberapa orang dalam iring-iringan memakai pakaian yang sangat mewah, salah seorang memakai pakaian kebesaran kota. Amperis, Sang Gubernur, berjalan dengan congkak, tidak sedikitpun melirik orang-orang di sekitarnya. 

Airill menatap Amperis dari tempatnya berdiri, seorang yang berkulit pucat berambut lurus hitam sebahu. Sekilas dia mengira bahwa Amperis adalah seorang wanita, karena bentuk dan paras rupanya lebih mirip seperti seorang wanita. Beruntung dia sudah mengetahui kalau Sang Gubernur adalah seorang laki-laki. 

Airill menatap tajam Sang Gubernur, berharap akan bertatap mata. Tapi tidak sedikitpun Amperis menoleh ke arah lain, pandangannya hanya tertuju lurus ke depan, podium yang berada di altar.
Amperis melanjutkan jalannya sendiri, sementara orang-orang yang tadi mengawalnya berdiri berjajar di depan altar menghadap ke arah penduduk kota. Akhirnya dia mengitarkan pandangannya, menatap semua yang ada di sana.

“Berdel,” suaranya datar. Yang dipanggil mengangguk hormat dan mendekat. Berdiri di samping tapi agak di belakang Sang Gubernur.

“Ya Tuanku.” Sahut Tuan Berdel cepat, tahu bahwa Sang Amperis tidak akan membiarkan hidup apapun yang membuatnya kesal.

“Kenapa masih banyak budak yang berada di kota ini?” tanya Tuan Amperis.

“Dan di mana pasukan baruku? Bukankah harusnya mereka sudah menetas?” Belum sempat Tuan Berdel menjawab, rentetan pertanyaan terlontar dari sang Amperis. Airill tersenyum melihat Tuan Berdel tergagap mendapat pertanyaan dari Amperis.

Tuan Berdel menyilangkan tangan kanannya ke dada sambil sedikit menunduk. Mundur beberapa langkah dia mengangkat tangan kanan memberi tanda pada beberapa pasukannya. Airill menatap ke empat penjuru ruangan, masing-masing dua orang prajurit sedang menjaga tiga buah tuas yang entah sejak kapan berada di sana.

Airill mundur menyender di dinding, beberapa prajurit bergerak maju memaksa agar para penduduk berkumpul di tengah. Tidak berapa lama setelah itu, dia melihat Tuan Berdel memberikan sebuah isyarat lagi, dan masing-masing prajurit yang berjaga di dekat tuas langsung menarik salah satu tuas.
Airill mengeratkan jaketnya saat lantai dan dinding istana bergetar, tidak terlalu keras. Dia bisa melihat penduduk kota bingung, dan panik. Apalagi bagian lantai yang mereka injak tiba-tiba bergerak perlahan ke samping kiri dan kanan. 

Getaran terus terasa, bagian tengah lantai tempat para penduduk terbelah, pada awalnya hanya segaris belahan kecil dan kemudian membesar. Airill menyaksikan kepanikan para penduduk, mereka berlomba untuk menyelamatkan diri ke arah samping, tetapi para prajurit sudah menghunuskan tombaknya mengelilingi mereka.

Airill mengambil sebatang rokok dari  balik jaket, sesaat dia mengamati rokoknya hanya tinggal dua batang. Dia berpikir akan mengambil lagi rokok dari para penduduk, tapi melihat mereka berjatuhan ke bawah dia hanya bisa mengumpat. Cih, kenapa harus disia-siakan umpatnya dalam hati.

Tidak sampai satu putaran pasir (kurang lebih tiga puluh menit), penduduk kota terjatuh ke dalam lubang yang telah dipersiapkan. Dan lagi Tuan Berdel memberi isyarat agar tuas kedua ditarik. 

Tidak berapa lama setelah Tuan Berdel memberi isyarat, penyelinap yang tadi bersembunyi di balik kain menyeruak dengan cepat, menerjang Sang Amperis dengan sebuah belati.

Tidak siap dengan penyerangan, Sang Amperis tertusuk tepat di jantung dari arah belakang. Tuan Berdel yang berdiri tidak jauh tidak sempat bereaksi apapun. Namun tidak berapa lama dia melesat sambil mencabut pedangnya bersiap menebas sang penusuk, Airill bergerak lebih cepat dari Tuan Berdel. Dengan sekali hentak dia melesat, mencekik leher sang penusuk dan menyeretnya hingga membentur dinding di belakang kain merah.

“Usahamu berakhir sampai di sini!” geram Airill

#####

0 comments:

Post a Comment