Airill – Chapter 10


Panas, merah, dan membakar. Tiga hal itu tidak membuat Airill menyurutkan niatnya mencari pedang kesayangannya, jubah dan topinya terbakar sedikit tapi dia tidak peduli. Melihat gagang pedangnya menyembul di antara tumpukan reruntuhan, dia segera mengejar dan mengambil pedangnya. Empat langkah cepat dan ayunan tangan yang sigap membuat pedangnya kembali berada dalam genggaman tangannya.

“Cih, tidak bisa pergi kemanapun.” geram Airill menatap sekelilingnya. Api berkobar di seluruh ruangan bawah tanah, dinding-dinding tidak lagi telihat. Bahkan langit-langit ruang bawah tanah yang tidak runtuh kini tertutup asap apalagi apa yang sedang dilakukan Amperis yang asli di atas sana dia sama sekali tidak bisa melihatnya.

“Sepertinya pekerjaan kamu akan menjadi lebih berat dari biasanya, teman setiaku.” Airill berbicara pada pedangnya. Dia melanjutkan, “Baiklah Noor, mari kita tunjukkan kehebatanmu pada monyet hitam di atas sana.”

Airill menjejakkan kakinya kokoh, memasang kuda-kuda tegap. Gagang pedang dia pegang dengan kedua belah tangan, erat sekuat tenaga. Bagian ujung dia arahkan ke lantai, kemudian dengan satu dorongan keras dia menusukkan pedang ke tanah hingga seperempat bagian pedang masuk ke dalam tanah. Airill tidak pecah konsentrasinya meski api semakin membesar.

Genggaman dilepaskan dari gagang, Airill membuka kedua telapak tangannya dan membaca mantra. Berlomba dengan api, diagram sihir muncul di depan masing-masing telapak tangannya. Begitu lingkaran sihir tercipta sempurna, dengan cepat dia mengatupkan kedua belah tangan di gagang pedang dan kembali memegangnya dengan erat.

Airill menahan pedang dengan kuat saat pedang itu bereaksi terhadap sihir yang dia berikan. Bagaikan hidup, pedang itu menggeliat dan bergetar hebat.

“Urgh, sudah dua tahun aku belajar menggunakan kemampuan istimewamu tapi tetap saja aku tidak bisa mengendalikan perubahanmu.” Airill bergumam dalam hati. Sambil beradu kekuatan dengan sang pedang, dia menyaksikan perlahan-lahan pedang kesayangannya berubah wujud.

Gagangnya sedikit memanjang, bagian pengamannya berubah menjadi lebih kokoh dan melebar, wajah sesosok makhluk mengerikan terukir, sementara bagian yang tajam berubah menjadi merah tua. Empat-lima detik perubahan bentuk pedang selesai, dengan cekatan Airill mencabut pedang dari lantai. Untuk mengatasi api ini, bentuk pedang inilah yang dia perlukan. Adara, pedang setan api.

Airill mengangkat pedang ke atas, masih dengan genggaman erat kedua tangannya. Selang dua-tiga detik, mata wajah Adara menyala merah terang. Seketika itu juga aliran udara berubah, api berhenti berkobar seakan dibekukan oleh waktu. Wajah yang terukir pada pedang kembali bergerak, mulutnya terbuka menunjukkan gigi-gigi yang runcing dan tajam. Dan tidak sampai satu menit, api dihisap mulut setan api. Kobaran api bergerak bagaikan air yang masuk ke dalam pusaran, semunya dihisap hingga tidak tersisa satupun. Tidak ada api lagi di ruangan itu, ruang yang beberapa detik yang lalu penuh sesak dengan api kini menjadi lengang, menyisakan bara dan puing-puing benda yang terbakar.

Mulut wajah setan tertutup, pedang mengalami perubahan kembali. Ukiran seperti petir tapi berbentuk api hitam merayap dari pengaman pedang, menjalar di badan pedang hingga ke ujung, bagaikan seekor naga. Airill merasakan berat pedangnya berubah, sedikit bertambah dari sebelumnya.

“Baiklah monyet hitam besar,” kata Airill pelan. “..mari kita sudahi pemanasannya!”

Dalam satu kali hentakan, Airill melesat ke atas dan mendarat belasan kaki di depan Amperis yang masih terkesima dengan kejadian beberapa saat lalu. Dia yakin meski samar, Amperis sedikit bergetar ketakutan. Entah terhadap dirinya atau pedangnya yang berubah wujud. Sekarang Airill yakin Amperis pasti tahu kenapa dirinya nekat mengambil pedang kesayangannya itu.

“Merindukanku Amperis?” Airill merasa dirinya berada di atas angin, meski pertarungan beberapa saat lalu dia tidak bisa melukai Amperis sedikitpun.

Airill menyiagakan pedang saat dirasakannya Amperis bergerak. Dugaannya benar, sosok memakai jirah hitam itu mengayunkan gada dengan keras ke lantai. Saking kerasnya, gelombang tumbukan dari pukulan Amperis menjalar hingga ke arah dirinya. Berselang sesaat setelah tumbukan itu mendekat, suara gemuruh datang beserta dengan runtuhnya sebagian lantai, bermula dari lubang besar di belakangnya hingga tempat dia berdiri sekarang. Tersenyum ringan Airill melompat dan menyerang Amperis.

Dengan satu ayunan, Airill menebas Amperis dari atas sebelum dia mendarat di lantai. Amperis sudah bersiaga menahan dengan gada yang dipegang dengan kedua tangan. Namun saat kedua senjata mereka beradu, sebuah ledakan terjadi. Gelombang kejutnya mementalkan Amperis hingga terjatuh ke samping sementara Airill melakukan salto mendekati Amperis. Kali ini dia mendarat di samping Amperis, tepat berada dalam jangkauan pedangnya. Sebuah serangan kembali dia lancarkan, dan kejadian serupa terjadi begitu kedua senjata mereka bertemu. Musuhnya terpental mundur belasan kaki oleh hentakan dari ledakan api yang bersumber dari pedang apinya.

Airill melesat, tidak peduli dengan Amperis yang sedang menggerutu. Pedang apinya memang tidak terlalu tajam tapi ledakannya pasti mampu membuat Amperis kewalahan. Meski lawannya bisa menahan serangan pedang api tapi tidak ada yang bisa menghindari gelombang kejut dari ledakan yang tercipta saat pedang beradu dengan benda keras lainnya. Dia yakin di dalam baju perang itu Amperis pasti mengalami dampak dari ledakan. 

Tidak cepat namun dengan tempo yang sama Airill terus menyerang tanpa henti pada saat Amperis belum memasang kuda-kuda. Amperis terpaksa menahan serangan dan menerima hentakan dari ledakan, tidak mungkin untuk menghindar atau menerima serangan langsung.

Sedikit terhuyung Amperis berusaha bertahan, Airill tidak memberi kesempatan sampai pada satu titik lawannya menyerang balik dengan meledakkan semacam energi dari dalam tubuh. Giliran dirinya sekarang yang terhempas, Airill berusaha mendarat dengan sempurna. Dilihatnya di sekeliling tubuh Amperis masih terlihat kilatan-kilatan petir hitam. 

“Cih berani juga dia mengubah Vaki-nya menjadi ledakan. Ternyata dia memang sangat kuat sehingga bisa mengubah energi sihir langsung dari dalam tubuhnya menjadi ledakan.” batin Airill begitu memahami apa yang sedang terjadi.

“Aku harap aku bisa mendapat bayaran lebih!” kata Airill sambil menerjang Amperis.

Namun kali ini Amperis telah bersiap, sebelum Airill datang dia menyerang terlebih dahulu dengan menembakkan bola-bola energi berwarna hitam dari tangan kirinya. Tiga bola beruntun mengarah ke Airill.

Airill menghindar dengan berlari berkelok-kelok, mulutnya membaca mantra. Api seketika muncul dari bilah pedangnya, awalnya kecil dan dengan cepat membesar sesuai dengan ukuran badan pedang. Api merah menyelimuti, namun pemilik pedang tidak berhenti merapal mantra hingga warna merah api berubah menjadi biru, api yang lebih panas.

Amperis kembali melemparkan bola-bola energi. Airill tetap berlari menerjang sambil menghindar, dia mempercepat larinya. Api biru ini tidak bertahan lama, Vaki(kekuatan untuk mengeluarkan sihir)-nya tidak cukup untuk mempertahankan pedang apinya lebih dari satu menit. Empat kaki lagi Amperis akan berada dalam jangkauan pedangnya, sambil mengamati tiap gerakan lawan Airill melesat dengan kecepatan kilatnya. Hembusan angin dari gada Amperis yang terayun dia rasakan menerpa rambutnya, beruntung dia menunduk terlebih dahulu.

Sedikit menyilang Airill menebaskan pedangnya ke atas, tepat mengenai perut dan dada Amperis. Pakaian perang hitam itu kini tergores dalam hingga rompi jalinan cincin yang berada dibaliknya juga tersayat, bahkan tubuh Amperis terangkat satu-dua hasta. Namun dia tidak berhenti sampai disitu, serangan kilatnya baru saja dimulai.

Masih dengan kecepatan kilat, Airill memutar tubuhnya saat tebasan pertama, dan menambahkan kekuatan saat menebas tubuh lawannya untuk yang kedua kali. Tubuh Amperis sempat tertahan sebentar sebelum Airill melontarkannya ke udara hingga beberapa depa.

Airill melompat dan menebas tubuh Amperis berkali-kali hingga terdorong ke atas, baju jirah terkoyak dibeberapa bagian. Amperis mencoba melawan, namun kalah cepat dengan pergerakan Airill. 

Begitu lawannya mengayunkan gada, Airill mendarat tubuhnya dan dengan cepat melesat kembali ke atas dan melancarkan satu-dua tebasan. Lima tebasannya berhasil melukai tubuh Amperis yang tidak lagi terlindungi oleh pakaian perang. 

Dalam serangan terakhirnya, Airill melompat lebih tinggi hingga melebihi tubuh Amperis yang masih berada di udara. Dengan cepat dia menebas dengan satu ayunan yang kuat dari atas hingga telak mengenai helm perang Amperis. Bunyi dentingan logam yang keras terdengar saat pedangnya mengenai logam pelindung kepala itu, dia bahkan merasa tangannya sedikit kesemutan. Namun itu semua sepadan dengan Amperis yang meluncur cepat ke bawah dan menghantam lantai hingga berlubang. 

Pasir dan debu berhamburan, Airill mendarat beberapa kaki dari tempat jatuhnya Amperis. Dia mengamati orang yang dia kenal sebagai Tuan Berdel itu. Tidak ada pergerakan dari tubuh Amperis yang tersungkur. Dia berjalan mendekat, api di pedangnya menghilang dan pedangnya kembali normal tanpa ada wajah setan api.

Debu menipis, Airill bisa melihat sekarang sosok yang terkapar dan merintih. Helm dan kepala Amperis terkoyak lebar, hampir terbelah menjadi dua tidak simetris hingga bagian hidung. Darah membanjiri tubuh yang menggelepar. 

Airill mengambil sebatang rokok dari balik jaketnya. Dia menjulurkan tangan dan mengarahkan telapak tangannya ke tubuh Amperis. Dia membaca mantra perlahan, dan dari lantai tempat Amperis terkapar muncul lingkaran sihir. Dalam satu kedipan mata, muncul api yang langsung membakar Amperis setengah hidup. 

Airill duduk jongkok di depan api. Dengan api itu dia menyalakan rokoknya dan menatap sang Amperis.
“Waktumu sudah habis. Ceritanya berakhir di sini.”

#####

0 comments:

Post a Comment