Panas, merah, dan membakar. Tiga
hal itu tidak membuat Airill menyurutkan niatnya mencari pedang kesayangannya,
jubah dan topinya terbakar sedikit tapi dia tidak peduli. Melihat gagang
pedangnya menyembul di antara tumpukan reruntuhan, dia segera mengejar dan
mengambil pedangnya. Empat langkah cepat dan ayunan tangan yang sigap membuat
pedangnya kembali berada dalam genggaman tangannya.
“Cih, tidak bisa pergi
kemanapun.” geram Airill menatap sekelilingnya. Api berkobar di seluruh ruangan
bawah tanah, dinding-dinding tidak lagi telihat. Bahkan langit-langit ruang
bawah tanah yang tidak runtuh kini tertutup asap apalagi apa yang sedang
dilakukan Amperis yang asli di atas sana dia sama sekali tidak bisa melihatnya.
“Sepertinya pekerjaan kamu akan
menjadi lebih berat dari biasanya, teman setiaku.” Airill berbicara pada
pedangnya. Dia melanjutkan, “Baiklah Noor, mari kita tunjukkan kehebatanmu pada
monyet hitam di atas sana.”
Airill menjejakkan kakinya kokoh,
memasang kuda-kuda tegap. Gagang pedang dia pegang dengan kedua belah tangan,
erat sekuat tenaga. Bagian ujung dia arahkan ke lantai, kemudian dengan satu
dorongan keras dia menusukkan pedang ke tanah hingga seperempat bagian pedang
masuk ke dalam tanah. Airill tidak pecah konsentrasinya meski api semakin
membesar.
Genggaman dilepaskan dari gagang,
Airill membuka kedua telapak tangannya dan membaca mantra. Berlomba dengan api,
diagram sihir muncul di depan masing-masing telapak tangannya. Begitu lingkaran
sihir tercipta sempurna, dengan cepat dia mengatupkan kedua belah tangan di
gagang pedang dan kembali memegangnya dengan erat.
Airill menahan pedang dengan kuat
saat pedang itu bereaksi terhadap sihir yang dia berikan. Bagaikan hidup,
pedang itu menggeliat dan bergetar hebat.
“Urgh, sudah dua tahun aku
belajar menggunakan kemampuan istimewamu tapi tetap saja aku tidak bisa
mengendalikan perubahanmu.” Airill bergumam dalam hati. Sambil beradu kekuatan
dengan sang pedang, dia menyaksikan perlahan-lahan pedang kesayangannya berubah
wujud.
Gagangnya sedikit memanjang,
bagian pengamannya berubah menjadi lebih kokoh dan melebar, wajah sesosok
makhluk mengerikan terukir, sementara bagian yang tajam berubah menjadi merah
tua. Empat-lima detik perubahan bentuk pedang selesai, dengan cekatan Airill mencabut
pedang dari lantai. Untuk mengatasi api ini, bentuk pedang inilah yang dia
perlukan. Adara, pedang setan api.
Airill mengangkat pedang ke atas,
masih dengan genggaman erat kedua tangannya. Selang dua-tiga detik, mata wajah
Adara menyala merah terang. Seketika itu juga aliran udara berubah, api
berhenti berkobar seakan dibekukan oleh waktu. Wajah yang terukir pada pedang
kembali bergerak, mulutnya terbuka menunjukkan gigi-gigi yang runcing dan
tajam. Dan tidak sampai satu menit, api dihisap mulut setan api. Kobaran api
bergerak bagaikan air yang masuk ke dalam pusaran, semunya dihisap hingga tidak
tersisa satupun. Tidak ada api lagi di ruangan itu, ruang yang beberapa detik
yang lalu penuh sesak dengan api kini menjadi lengang, menyisakan bara dan puing-puing
benda yang terbakar.
Mulut wajah setan tertutup,
pedang mengalami perubahan kembali. Ukiran seperti petir tapi berbentuk api
hitam merayap dari pengaman pedang, menjalar di badan pedang hingga ke ujung,
bagaikan seekor naga. Airill merasakan berat pedangnya berubah, sedikit
bertambah dari sebelumnya.
“Baiklah monyet hitam besar,”
kata Airill pelan. “..mari kita sudahi pemanasannya!”
Dalam satu kali hentakan, Airill
melesat ke atas dan mendarat belasan kaki di depan Amperis yang masih terkesima
dengan kejadian beberapa saat lalu. Dia yakin meski samar, Amperis sedikit
bergetar ketakutan. Entah terhadap dirinya atau pedangnya yang berubah wujud.
Sekarang Airill yakin Amperis pasti tahu kenapa dirinya nekat mengambil pedang
kesayangannya itu.
“Merindukanku Amperis?” Airill
merasa dirinya berada di atas angin, meski pertarungan beberapa saat lalu dia
tidak bisa melukai Amperis sedikitpun.
Airill menyiagakan pedang saat
dirasakannya Amperis bergerak. Dugaannya benar, sosok memakai jirah hitam itu
mengayunkan gada dengan keras ke lantai. Saking kerasnya, gelombang tumbukan
dari pukulan Amperis menjalar hingga ke arah dirinya. Berselang sesaat setelah
tumbukan itu mendekat, suara gemuruh datang beserta dengan runtuhnya sebagian
lantai, bermula dari lubang besar di belakangnya hingga tempat dia berdiri
sekarang. Tersenyum ringan Airill melompat dan menyerang Amperis.
Dengan satu ayunan, Airill
menebas Amperis dari atas sebelum dia mendarat di lantai. Amperis sudah
bersiaga menahan dengan gada yang dipegang dengan kedua tangan. Namun saat
kedua senjata mereka beradu, sebuah ledakan terjadi. Gelombang kejutnya
mementalkan Amperis hingga terjatuh ke samping sementara Airill melakukan salto
mendekati Amperis. Kali ini dia mendarat di samping Amperis, tepat berada dalam
jangkauan pedangnya. Sebuah serangan kembali dia lancarkan, dan kejadian serupa
terjadi begitu kedua senjata mereka bertemu. Musuhnya terpental mundur belasan
kaki oleh hentakan dari ledakan api yang bersumber dari pedang apinya.
Airill melesat, tidak peduli
dengan Amperis yang sedang menggerutu. Pedang apinya memang tidak terlalu tajam
tapi ledakannya pasti mampu membuat Amperis kewalahan. Meski lawannya bisa
menahan serangan pedang api tapi tidak ada yang bisa menghindari gelombang
kejut dari ledakan yang tercipta saat pedang beradu dengan benda keras lainnya.
Dia yakin di dalam baju perang itu Amperis pasti mengalami dampak dari ledakan.
Tidak cepat namun dengan tempo
yang sama Airill terus menyerang tanpa henti pada saat Amperis belum memasang
kuda-kuda. Amperis terpaksa menahan serangan dan menerima hentakan dari
ledakan, tidak mungkin untuk menghindar atau menerima serangan langsung.
Sedikit terhuyung Amperis
berusaha bertahan, Airill tidak memberi kesempatan sampai pada satu titik
lawannya menyerang balik dengan meledakkan semacam energi dari dalam tubuh.
Giliran dirinya sekarang yang terhempas, Airill berusaha mendarat dengan
sempurna. Dilihatnya di sekeliling tubuh Amperis masih terlihat kilatan-kilatan
petir hitam.
“Cih berani juga dia
mengubah Vaki-nya menjadi ledakan. Ternyata dia memang
sangat kuat sehingga bisa mengubah energi sihir langsung dari dalam tubuhnya
menjadi ledakan.” batin Airill begitu memahami apa yang sedang
terjadi.
“Aku harap aku bisa mendapat
bayaran lebih!” kata Airill sambil menerjang Amperis.
Namun kali ini Amperis telah
bersiap, sebelum Airill datang dia menyerang terlebih dahulu dengan menembakkan
bola-bola energi berwarna hitam dari tangan kirinya. Tiga bola beruntun
mengarah ke Airill.
Airill menghindar dengan berlari
berkelok-kelok, mulutnya membaca mantra. Api seketika muncul dari bilah
pedangnya, awalnya kecil dan dengan cepat membesar sesuai dengan ukuran badan
pedang. Api merah menyelimuti, namun pemilik pedang tidak berhenti merapal
mantra hingga warna merah api berubah menjadi biru, api yang lebih panas.
Amperis kembali melemparkan
bola-bola energi. Airill tetap berlari menerjang sambil menghindar, dia
mempercepat larinya. Api biru ini tidak bertahan lama, Vaki(kekuatan untuk mengeluarkan sihir)-nya tidak cukup untuk mempertahankan pedang apinya
lebih dari satu menit. Empat kaki lagi Amperis akan berada dalam jangkauan
pedangnya, sambil mengamati tiap gerakan lawan Airill melesat dengan kecepatan
kilatnya. Hembusan angin dari gada Amperis yang terayun dia rasakan menerpa
rambutnya, beruntung dia menunduk terlebih dahulu.
Sedikit menyilang Airill
menebaskan pedangnya ke atas, tepat mengenai perut dan dada Amperis. Pakaian
perang hitam itu kini tergores dalam hingga rompi jalinan cincin yang berada
dibaliknya juga tersayat, bahkan tubuh Amperis terangkat satu-dua hasta. Namun
dia tidak berhenti sampai disitu, serangan kilatnya baru saja dimulai.
Masih dengan kecepatan kilat,
Airill memutar tubuhnya saat tebasan pertama, dan menambahkan kekuatan saat
menebas tubuh lawannya untuk yang kedua kali. Tubuh Amperis sempat tertahan
sebentar sebelum Airill melontarkannya ke udara hingga beberapa depa.
Airill melompat dan menebas tubuh
Amperis berkali-kali hingga terdorong ke atas, baju jirah terkoyak dibeberapa
bagian. Amperis mencoba melawan, namun kalah cepat dengan pergerakan Airill.
Begitu lawannya mengayunkan gada,
Airill mendarat tubuhnya dan dengan cepat melesat kembali ke atas dan
melancarkan satu-dua tebasan. Lima tebasannya berhasil melukai tubuh Amperis
yang tidak lagi terlindungi oleh pakaian perang.
Dalam serangan terakhirnya,
Airill melompat lebih tinggi hingga melebihi tubuh Amperis yang masih berada di
udara. Dengan cepat dia menebas dengan satu ayunan yang kuat dari atas hingga
telak mengenai helm perang Amperis. Bunyi dentingan logam yang keras terdengar
saat pedangnya mengenai logam pelindung kepala itu, dia bahkan merasa tangannya
sedikit kesemutan. Namun itu semua sepadan dengan Amperis yang meluncur cepat
ke bawah dan menghantam lantai hingga berlubang.
Pasir dan debu berhamburan,
Airill mendarat beberapa kaki dari tempat jatuhnya Amperis. Dia mengamati orang
yang dia kenal sebagai Tuan Berdel itu. Tidak ada pergerakan dari tubuh Amperis
yang tersungkur. Dia berjalan mendekat, api di pedangnya menghilang dan
pedangnya kembali normal tanpa ada wajah setan api.
Debu menipis, Airill bisa melihat
sekarang sosok yang terkapar dan merintih. Helm dan kepala Amperis terkoyak
lebar, hampir terbelah menjadi dua tidak simetris hingga bagian hidung. Darah
membanjiri tubuh yang menggelepar.
Airill mengambil sebatang rokok
dari balik jaketnya. Dia menjulurkan tangan dan mengarahkan telapak tangannya
ke tubuh Amperis. Dia membaca mantra perlahan, dan dari lantai tempat Amperis
terkapar muncul lingkaran sihir. Dalam satu kedipan mata, muncul api yang
langsung membakar Amperis setengah hidup.
Airill duduk jongkok di depan
api. Dengan api itu dia menyalakan rokoknya dan menatap sang Amperis.
“Waktumu sudah habis. Ceritanya
berakhir di sini.”
#####
0 comments:
Post a Comment