"Aduh!" pekik Iké saat Ibu Lynn dengan sengaja
mengikat kencang perban yang membalut tangan kanannya. Duduk di sebuah ranjang
kayu bertingkat, bersandar pada bagian yang menempel dinding sementara Ibu Lynn
duduk di samping menghadap dirinya.
"Masa segitu saja kamu kesakitan?!" Ibu Lynn hanya
tersenyum tanpa mempedulikan rintihan Iké.
"Baru dua minggu yang lalu kamu terluka karena Irene,
sekarang kamu terluka lagi gara-gara bertarung dengan Exavius. Apa kamu masih
mau berkelahi lagi?" nada dingin Ibu Lynn sedikit menyindir Iké.
"Aku tidak suka dibilang anak yang lemah. Apalagi oleh
Xavi!" Iké mengelak.
"Dan aku sangat tidak suka tatapan mata dinginnya saat
mengejekku! Tanganku pasti akan langsung bereaksi meninjunya. Kalau saja aku
lebih kuat." Iké melanjutkan.
"Tapi lihatlah hasilnya." balas Ibu Lynn dengan
keramahan untuk menghilangkan emosi Iké.
Iké menunduk, menatap dirinya yang beristirahat di atas
kasur dengan alas berwarna merah tua. Kaki kanan dan sepasang tangannya dibalut
dengan perban. Dia menyadari bahwa dirinya tidak bisa menang melawan Exavius,
tapi hasrat untuk lebih hebat dari Exavius pasti muncul. Dan kalau sedikit saja
mereka berdua berselisih pendapat, nafsu untuk bertarung muncul dengan
cepatnya.
"Tahukah kamu Iké, menjadi yang terkuat bukanlah
segalanya tentang manusia. Aku tahu keinginan untuk menjadi terkuat tidak bisa
kamu hindarkan. Keinginan untuk tidak ingin kalah pasti selalu ada."
Ibu Lynn menarik nafas sejenak dan kemudian melanjutkan,
"Tapi menarik diri dan bersabar sangatlah jarang,
mengenali kelemahanmu untuk sesuatu yang lebih hebat. Kuat sekaligus baik hati,
itu adalah orang yang kuat." Ibu Lynn tersenyum sambil mengelus rambut
Iké.
Pintu diketuk dari luar, Iké dan Ibu Lynn menoleh bersamaan
saat sang pengetuk pintu masuk ke kamar. Irene menoleh kepada mereka dari balik
pintu yang terbuka.
"Ibu Lynn, ada utusan dari Kepala Desa yang datang
bertamu. Dia bilang ada keperluan penting dengan Ibu." jelas Irene.
"Baiklah, aku akan menemuinya. Aku belum selesai
mengurus Iké, maukah kamu melanjutkannya? Tinggal beberapa bagian saja aku
rasa." Ibu Lynn bangkit, berdiri dan meletakkan peralatan kesehatan di
meja coklat terang yang berada di dekat ranjang, di dekat Iké menyandarkan
punggung, tepat berada di bawah jendela.
Irene mengangguk dan mendekat ke ranjang, saat Ibu Lynn
hendak menutup pintu sambil berjalan keluar, Iké berkata kencang.
"Terima kasih Lynn." kata Iké.
Ibu Lynn tersenyum dan berlalu, Iké tersenyum dan saat dia
berpaling menatap Irene yang duduk di hadapannya, sebuah pukulan keras di
kepalanya mendarat begitu saja.
"Lain kali bilang 'terima kasih IBU Lynn'!" geram
Irena karena Iké tidak pernah memanggil hormat orang yang lebih tua.
====
Iké mengitarkan pandangannya, pikirannya penuh dengan macam-macam
karena nasihat Ibu Lynn tadi. Matanya menerawang, mengitari ranjang yang sama
di seberang sana, lemari besar tua hitam, dan akhirnya berhenti pada Irene. Dia
menatap lekat Irene yang sedang membereskan perban di kasur dan menyatukan
dengan peralatan kesehatan lain yang ada di meja.
"Kenapa?" tanya Irene tanpa memalingkan wajahnya,
sejak dari tadi dia merasakan Iké menatapnya.
"Eh..oh..tidak, tidak ada apa-apa" Iké tergagap.
"Mmm Irene-" Iké menurunkan nada suaranya.
Irene yang tidak biasa mendengar Iké berbicara
"selembut" itu akhirnya menoleh.
"Ya Iké, kenapa?" Irene melembutkan suaranya juga,
mengimbangi nada suara Iké.
"Aku ingin menjadi kuat seperti kamu!" kata Iké
pelan.
Irene yang tidak mendengar jelas salah menafsirkan ucapan
Iké. Yang terdengar olehnya adalah 'Aku ingin sekali melihat seksinya kamu!'.
"Heh bocah tengil! Apa maksud perkataanmu?!" Irene
mulai tinggi lagi emosinya.
"Eh, emang ada yang salah kalau aku ingin menjadi kuat
seperti kamu?" kata Iké polos karena dia sama sekali tidak mengerti kenapa
Irene marah.
Irena langsung salah tingkah menyadari kesalahannya.
Ternyata dia yang salah mendengar, entah kenapa sekarang ini dia mudah marah
terhadap Iké.
"Kamu dan Xavi enak, tiap satu minggu dua kali belajar
di Sothale Circle, guild yang ada di kota Latheer."
terdengar nada kecemburuan Iké dalam kata-katanya.
Irene menghela nafas, dia tidak menyadari kalau Iké ternyata iri terhadap dia
dan Exavius. Irene ingat, Iké dulu juga pernah berlatih di guild penyihir itu bersama mereka.
"Hem, aku lupa. Kenapa sih dulu
kamu tidak melanjutkan lagi belajar di Sothale Circle?"
Cih, dasar perawan tua pelupa!" Iké kumat lagi.
Irene langsung melotot,
"Mau ku tambah perbannya lagi?!"
Iké menelan ludah,
"Mereka tidak bisa mengajariku. Mereka bilang kekuatan
yang aku punya bukanlah sihir. Ini berbeda." Iké menjawab cepat agar Irene
tidak menghajarnya.
"Ya, aku ingat sekarang. Kamu tidak bisa menggunakan
mantra-mnatra sihir sama sekali karena berlawanan dengan kekuatan api kamu.
Meskipun itu sihir api. Iya kan?" Irene menambahkan.
Iké mengangguk,
"Tiap kali aku menggunakan mantra sihir, saat kekautan
sihir itu tercipta, tiba-tiba saja kekuatan itu seperti terhisap masuk ke dalam
tubuhku. Bersamaan itu pula aku merasa sesak, kamu tahu, seperti saat seseorang
memukul keras di ulu hatimu."
"Terus apa yang kamu lakukan sejak saat itu?"
tanya Irene.
"Aku berlatih sendir, di hutan pinus dekat bukit. Agak
jauh ke dalam, di dekat sungai yang mengalir ke arah desa. Apa kamu pernah ke
sana?" Iké sedikit menjelaskan.
Irene menggeleng.
"Yah pokoknya di sekitar sana. Ada sebuah gua baru
besar, mungkin bekas sarang hewan atau apa aku kurang tahu. Yang jelas di sana
aku berlatih saat kalian pergi ke guild. Tapi hasilnya
jauh dari yang aku inginkan. Kamu dan Xavi maju jauh lebih daripada aku."
lanjut Iké sedikit murung.
"Tidak Iké." kata Irene cepat. Sejenak dia menatap
ke luar, cahaya sudah semakin temaram. Tangannya bergerak pelan menutup jendela
kemudian menyalakan lampu minyak yang tergantung tidak jauh dari jendela.
"Kupikir bukan itu permasalahannya. Ibuku adalah
seorang penyihir, dan walaupun beliau meninggal saat melahirkan aku. Aku masih
memiliki seorang paman yang mengajarkan aku sihir sejak aku berumur empat
tahun. Dan saat berumur sepuluh tahun, sejak aku ditemukan Ibu Lynn dan tinggal
di sini, aku melanjutkan belajar sihir di guild secara cuma-cuma karena aku
bekerja paruh waktu di sana. Jadi, boleh dikatakan, aku sudah belajar sihir
lebih dari separuh umurku, dan itu tidaklah sebentar." jelas Irene lagi.
"Tapi aku dan Xavi tidak berbeda jauh, umur kami hanya
terpaut satu tahun. Dan Xavi juga belajar di guild hanya
berbeda 2 purnama. Tapi kenapa dia lebih hebat?" elak Iké. Mau tidak mau
dia mengakui kalau Exavius lebih hebat dari dirinya.
"Jangan salah sangka Iké, Exavius adalah anak dari
keturunan murni penyihir. Orang tuanya adalah penyihir, kedua orang tua dari
ayah dan ibunya juga adalag penyihir. Dia adalah keturunan murni penyihir, dia
jauh lebih berbakat dari aku." Irene mengingatkan Iké, dia yakin Iké tidak
tahu banyak tentang Exavius.
"Dan dia juga sudah diajarkan sihir dua tahun sebelum
dia di antar ke sini." Irene beranjak dari tempatnya berdiri, bergegas
untuk menyudahi pembicaraan. Dia tahu Iké akan semakin pusing dengan cerita
yang terlalu panjang.
"Kamu juga punya bakat." kata Irene dalam. Gadis
itu melanjutkan sambil berjalan pelan, "Percaya lah pada dirimu
sendiri!"
"Suatu saat kamu pasti akan melebihi kami berdua."
Irene tersenyum.
"Sementara itu, tetaplah berlatih, dan aku akan mencoba
mencarikan pengajar untukmu." Irene berjalan ke arah pintu.
"Sekarang istirahatlah, aku akan memanggil Exavius.
Waktu hukumannya sudah selesai." kata Irene, menutup pintu sambil berjalan
keluar.
Iké tersenyum, paling tidak Exavius juga merasakaan
penderitaan karena bertarung dengan dia batinnya.
=====
"Kak Irene?" seorang gadis kecil berambut lurus
hitam sepundak yang duduk di samping Irene memecahkan perhatian Irene.
Irene yang sejak tadi mamandangi anak-anak laki-laki yang
sedang bermain bola di halam depan rumah menoleh ke arah gadis itu. Dia
tersenyum melihat gadis manis dan polos di sampingnya itu.
"Kenapa Karin?" tanya Irene pada gadis berumur
sepuluh tahun itu.
Yang ditanya malah menunduk, memandangi lantai teras depan
rumah. Kayu-kayu dari pohon cemara dibiarkan dengan warna aslinya, beberapa
kayu lantai itu mulai melengkung. Karin meremas-remas jari tangannya, sesekali
kakinya mengetuk kaki bangku kuning pucat dari pohon dedalu tempat mereka
duduk.
"Mmm-" Karin masih merasa ragu untuk berucap, dia
sedikit malu jika kebodohannya terlihat karena pertanyaannya.
"Aku tidak akan tertawa atau marah." lembut Irene,
mencoba menguatkan hati Karin bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Karin menarik nafas dalam, berhenti sejenak mengamati
sekitarnya. Semua anak laki-laki panti asuhan, kecuali Iké yang sedang terkapar
di kamar, sedang asyik bermain bola di halaman rumput depan, dan sedikit ke
kanan, beberapa anak perempuan sedang bermain putri-putrian di bawah teduhnya
pohon eiser manis besar di bagian utara halaman depan.
Karin menghembuskan nafasnya,
"Apakah aku aneh?"
Irene terkejut mendengar pertanyaan Karin.
"Apa maksudmu?" Irene balik bertanya.
"Apakah aku aneh? Karena tidak ada teman yang mau
mengajakku bermain." Karin berkata dengan nada kecemasan.
"Hmm, coba kita lihat. Sejak kapan mereka begitu?"
Irene sengaja memancing Karin, sebenarnya dia sudah tahu apa penyebabnya.
Karin mengernyitkan dahi, satu-dua menit kemudian dia
teringat sesuatu.
"Sekitar tiga-empat purnama yang lalu. Ya, sepertinya
begitu. Kira-kira beberapa saat setelah aku-" Karin berhenti sejenak.
"Sejak kamu mendapatkan buku-buku sihir, dan kamu sibuk
dengan buku-buku itu. Bukan begitu? Irene tersenyum.
Karin mengangguk pelan dan pasrah.
"Karin, aku tahu kamu sangat ingin menjadi seorang
penyihir yang hebat." Irene mngelus kepala Karin. Ia melanjutkan,
"Tapi ingatlah sayang, kehidupan itu tidak hanya di dalam sini."
Irene menepuk-nepuk pelan kepada Karin.
"Nikmatilah masa kecilmu di luar sana, bersama
teman-teman seumuranmu. Kamu tidak tahu betapa irinya aku melihat yang
bisa bermain bersama. Saat aku pertama
kali datang di sini, aku hanya tinggal berdua dengan seorang teman bernama
Edgar di sini, dia lebih kecil daripada aku, mungkin sekitar tiga-empat tahun
lebih muda. Itupun hanya berlangsung dua purnama, seorang dari keluarga Maxwell
mengadopsinya. Jadilah aku seorang diri di masa kecilku di rumah ini."
Irene menghembus nafasnya, ada sedikit penyesalan dalam dirinya, yang
membuatnya memalingkan wajahnya dari Karin dan kembali menatap permainan bola.
Karin hanya diam menatap Irene dengan mata bening hitamnya.
"Dua purnama lagi aku akan mendaftarkanmu di guild sejak si tengil Iké tidak lagi datang ke sana, aku
pikir masih ada tempat kosong. Lagipula umurmu sudah cukup untuk belajar di
sana." Irene berkata tanpa menatap Karin.
"Tapi aku harus berbicara dulu kepada Ibu Lynn dan Ibu
Anne. Dan berjanjilah satu hal padaku!" kata Irene memalingkan wajahnya
sehingga mereka saling bertatapan.
"Aku tidak mau lagi melihat kamu berkutat lama dengan
buku-buku sihirmu!"
Karin tersenyum senang dan mengangguk berkali-kali, belajar
di guild tentu jauh lebih hebat daripada hanya membaca buku-buku
sihir yang dia temukan di rumah ini. Entah siapa pemiliknya dia tidak tahu dan
tidak ada yang tahu. Dan tidak ada satupun mantra dari buku-buku itu yang
berhasil dia lakukan. Guild tentu akan memberikan hasil
yang pasti.
"Maaf Kak Irene, kalau boleh aku bertanya lagi-"
kata Irene beberapa saat setelah mereka menikmati permainan bola.
"Ya." jawab Irene singkat.
"Kenapa kamu tidak meninggalkan panti asuhan ini?
Bukankah setelah berumur 20 tahun kamu bebas untuk kemanapun kamu pergi."
polos Karin.
Irene sedikit tersentak, namun belum sempat dia menjawab Iké
muncul dari pintu rumah yang tidak jauh dari bangku tempat mereka duduk. Masih
dengan perban di beberapa bagian tubuh.
"Cih, mana ada yang mau memelihara gadis Naga seperti
dia." ketus Iké.
Irene mulai naik pitam.
"Dia lebih cocok menjaga tempat ini daripada tempat
lain!" lanjut Iké tanpa menatap Irene dan Karin.
Irene tersenyum kecil, dia mengerti maksud perkataan Iké.
Ike berlari menuju halaman.
"Heh bodoh! Mau apa kamu dengan tubuh seperti
itu?!" teriak Irene.
"Main bola!" jawab Iké dengan teriakan yang sama
kerasnya.
"Tubuhmu masih belum pulih benar. Kembali ke
kamar!" Irene mengancam.
Iké berhenti dan menoleh kebelakang, menatap Irene.
"Tenang, tubuh lebih kuat dari yang kamu ba-"
Iké tidak bisa melanjutkan perkataannya, sebuah bola yang
ditendang keras tepat mengenai perutnya hingga dia jatuh pingsan.
Irene dan Karin kaget.
Dari arah tempat anak-anak bermain bola, Exavius bergumam.
"Orang sakit sebaiknya istirahat saja!" kata
Exavius. Dialah yang menendang bola tersebut. Entah apa yang akan terjadi kalau
Iké mengetahui hal itu.
*****
0 comments:
Post a Comment