BR - Act 3


Hikimori menatap sekeliling Kerajaan Fantasi dari Menara Tanpa Batas, sudah beberapa hari sejak dicanangkannya Battle Royale. Dia mengumpat, tidak ada satupun lawan yang bisa dia tantang bertarung. Ya, bertarung satu lawan satu secara adil layaknya ksatria. Inilah alasan mengapa dia mengikuti Battle Royale, untuk menjadi yang terkuat. Dia tidak peduli dengan kekuasaan dan kekayaan, dia hanya ingin mendapatkan gelar terkuat yang diakui semua orang.

Namun, dalam pencarian lawan di Battle Royale. Tidak ada satupun yang bisa dia temukan untuk bertarung secara adil. Sebagian bertarung tidak satu lawan satu, sebagian lagi bertarung dengan gerilya. Akhirnya dia memutuskan untuk mengintai dari menara tertinggi di kastil, dari tempat ini dia bisa melihat ke sudut manapun dari kerajaan ini. Salah satu keajaiban di Kerajaan Fantasi, menara yang bisa mengintai ke seantero kerajaan bahkan melebihi tembok batas wilayah kerajaan hanya dengan memberikan tenaga sihir ke dalam bola kristal besar. Dari kristal itulah akan muncul gambaran-gambaran tempat-tempat di kerajaan seakan orang yang menggunakannya benar-benar berada di tempat yang dituju.

Hikimori mengayunkan tangannya untuk mengganti gambaran tempat pada bola kristal, gambaran-gambaran di depannya tidak memuaskan hatinya. Pertarungan tiga arah di dekat Taman Seribu Kucing, pertempuran satu melawan tiga orang di pelabuhan bagian timur laut kerajaan, pertempuran secara gerilya di hutan barat daya.

“Ah, akhirnya aku temukan juga lawan yang sepadan.” lirih Hikimori.

Di depannya berdiri bayangan seorang pria bertubuh tegap, sedang berjalan dengan santai. Hikimori mengenali orang itu, sang necromancer. Salah satu dari beberapa orang di Kastil Fantasi yang sangat ingin dia tantang. Necromancer berambut panjang putih tergerai, sedikit tidak rapi. Berbeda dengan dirinya, meski rambut dia sama panjangnya dengan necromancer itu, dia selalu merapikan dan menguncirnya.

Sedikit mengernyitkan dahi, Hikimori mengamati tempat yang mungkin dituju oleh si necromancer. Tepat menuju pertempuran tiga arah di dekat Taman Seribu Kucing.

“Chi, aku harus segera ke sana. Sebelum dia bertarung dengan orang lain.” gumam Hikimori sambil melepaskan tenaga sihirnya dari bola kristal.

Hikimori bergegas melompat ke pinggiran jendela menara, tinggi menara tertinggi bukan halangan baginya untuk melompat turun. Bahkan dengan tenang dia menendang tembok untuk mempercepat terjunnya ke bawah. Melesat bagaikan anak panah yang siap menghujam tanah. Tujuan utamanya adalah sang necromancer, yang lain atau ketinggian ini bukan menjadi rintangan bagi dirinya.

*****

Riesling membenarkan pakaiannya, pakaian perang yang dia pakai saat menuju tempat ini dari kerajaan Wegdaya dia sembunyikan di balik semak-semak. Dia mengganti dengan pakaian yang lebih leluasa bagi dia untuk bergerak. Walau sedikit agak ketat tapi dia merasa menjadi lebih lincah, lagipula untuk menyeludup pakaian hitam ini lebih cocok daripada pakaian perangnya.

“Hmm, semoga benar Faye Irene ada di kerajaan ini.” gumam Ries.

Sejak dua purnama yang lalu, Irene tidak lagi terlihat di Wegdaya. Para petinggi kerajaan Wegdaya pun dibuat panik, dan Riesling adalah orang yang merasa sangat gundah. Bukan karena dia adalah seorang Panglima Perang di Wegdaya tapi karena Irene adalah orang yang dia anggap seperti Ibu sendiri.

Sampai pada satu hari, Riesling memutuskan untuk mencari sendiri keberadaan Irene. Sudah jenuh dia untuk menunggu kabar dari para pelacak dan mata-mata kerajaan yang hanya membawa berita kosong belaka. Mereka tidak ada yang mengenal Irene sebagaimana dirinya. Ya, dia dan hanya beberapa sahabat Irene yang mengetahui tingkah sang Faye itu sebenarnya.

Sudah lebih dari dua puluh hari dia berkelana di seantero daratan Wanvurstel, mengejar sekecil apapun informasi tentang Irene. Tidak peduli jauhnya jarak dan lamanya waktu, dia harus menemukan Irene karena dia ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Sesuatu yang juga baru saja dia ketahui, sesuatu yang juga harusnya sang Faye ketahui jika saja wanita itu tidak menghilang dari kerajaan.

Benang merah dia temukan, Riesling berhasil mengumpulkan kepingan-kepingan informasi yang dia dapatkan. Pada akhirnya memaksa dia untuk menyusup ke Kerajaan Fantasi, kerajaan yang pernah dia intai beberapa waktu yang lalu.

Riesling menatap tembok setinggi tujuh-delapan manusia dewasa, sudah lama dia tidak melakukan pekerjaan dengan lompatan. Dia tidak yakin apa dia masih bisa melompat setinggi itu namun tekadnya sudah kuat. Lagipula dia punya sesuatu yang sudah dia kuasai.

“Baiklah, sekarang saatnya untuk menjajal kemampuan ini.” kata Ries pelan. Matanya lurus menatap ke atas tembok, sementara tangan kiri mengambil selembar perkamen dan sebatang kuas di tangan kanannya.

Dengan cekatan Riesling mencoret perkamen di tangan kirinya dengan kuas yang bisa menulis tanpa harus diberi tinta.  Gelap malam dan cahaya bulan yang terhalang tembok tidak membuatnya susah untuk menggambar seekor burung hantu di perkamennya.

Setelah selesai, Riesling mengibaskan perkamen tersebut dan serta merta keluarlah sesosok makhluk yang sama dengan yang dia gambar tadi. Seekor burung hantu berwarna hitam dan putih, meski bagian wajahnya dia buat lebih lucu daripada burung hantu yang asli, berukuran sebesar kuda poni.

Tidak mau berlama-lama, Riesling segera menaiki burung hantunya dan mengendalikan si burung hantu agar segera melesat ke atas dan mencari sang Faye. Dia berharap agar tidak ada yang berjaga di Menara Tanpa Batas karena sejak awal datang ke daratan ini berusaha untuk tidak menggunakan sihir yang mencolok, apalagi Menara Tanpa Batas terkenal sebagai ‘mata dewa’ kerajaan ini.

Burung hantu melesat dan kemudian melayang, tanpa ada suara yang ditimbulkan. Riesling membiarkan rambut panjang hitamnya diterpa angin. Sedikit menunduk dia memantau begitu sudah melewati tembok perimeter Kerajaan Fantasi, tidak ada orang. Sepi. Sesuatu yang tidak dia duga namun juga dia anggap sebagai keberuntungan.

Riesling tersenyum merasa mendapatkan keberuntungan tapi baru saja 100 kaki dia melewati tembok sebuah benda asing tanpa suara melesat dari bawah. Sang burung hantu secara reflek segera melakukan manuver untuk menghindar, dia terkejut dengan gerakan tunggangannya itu. Belum sempat dia berusaha mengendalikan si burung hantu, tiba-tiba saja burung itu tersentak dan kemudian perlahan berputar-putar sebelum akhirnya meluncur dengan cepat ke bawah.

Dua buah anak panah menancap di dada sang burung hantu, itu yang sempat Riesling lihat saat mereka berdua terjatuh dan dia terlepas dari tunggangannya. Segera saja dia memutuskan sihirnya dengan si burung dan bergegas menggambar sesuatu. Ya, apapun itu, dia sedang tidak bisa berpikir jernih saat dirinya hanya berjarak kurang lebih tiga puluh kaki dengan permukaan tanah.

Riesling mengibaskan perkamennya, seekor beruang salju gemuk muncul, hewan yang muncul begitu saja dalam pikirannya. Sang beruang seperti mengerti, langsung memeluknya dan melindungi dirinya saat terhempas dengan keras di tanah. 

Terbatuk-batuk Riesling berusaha berdiri, melepaskan diri dari pelukan sang beruang yang terkulai lemas tidak lagi bernyawa. Sama seperti dengan burung hantu, dia juga melepaskan sihirnya hingga beruang itu tak lagi terlihat kecuali bercak tinta berwarna putih tertinggal di tanah.

Tidak ada waktu, Riesling segera berlari ke pepohonan terdekat dan berusaha untuk mencari tahu siapa penyerangnya dan darimana dia menyerang. Dia menunduk sedikit sambil mengawasi ke semua penjuru. Namun berapa lama dia menunggu, dia tidak menemukan gerak-gerik mencurigakan dari arah manapun. Entah sang penyerang berasal dari tempat yang jauh, atau memang dia sangat ahli bersembunyi. 

Riesling memutuskan untuk membuat sebuah rencana.

*****

Mushtaf tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya, dia mengira makhluk yang melayang tadi sudah tewas sehingga tidak menyerang kembali. Namun saat dia menurunkan senapan panahnya, sekelebat bayangan berlari dari tempat jatuh dan bersembunyi di balik pepohonan.

Kini dia sudah siaga, anak panahnya sudah siaga untuk menyerang apapun yang keluar dari pepohonan itu. Cukup lama dia menunggu sampai akhirnya sesosok makhluk hitam berlari dengan cepat di antara pepohonan.

Musthaf tersenyum, secepat apapun makhluk itu berlari asal ada sedikit celah, anak panahnya tidak akan meleset. Panah sihir ini mampu mengejar targetnya selama tidak terhalang oleh benda lain. Dia hanya perlu menunggu untuk melesatkan anak panahnya.

“Sekarang!” kata Musthaf begitu melihat kesempatan, dan anak panahnya pun melesat dengan kecepatan yang melebihi kecepatan panah biasa.

Panahnya menancap tepat, makhluk itu jatuh ke tanah sedikit berdebam. Musthaf berdiam sejenak, mengamati keadaan sekitar. Begitu tidak ada gerakan lain, dia segera menuju ke tempat jatuhnya makhluk itu untuk mengetahui siapa sebenarnya yang menyusup ke kerajaan malam-malam begini.

“Apa ini?” gumam Musthaf sambil berjongkok. Cairan pekat berwarna hitam menggumpal di tempat jatuhnya makhluk tadi.

“Itu adalah sihirku!” suara seorang  wanita mengejutkan Musthaf. Begitu dia berpaling, semuanya menjadi hitam dan gelap. Begitu matanya mulai terbiasa, dia yakin dirinya berada di dalam sebuah kotak besar yang terbuat dari batu keras.

#####

0 comments:

Post a Comment