Hikimori
menatap sekeliling Kerajaan Fantasi dari Menara Tanpa Batas, sudah beberapa
hari sejak dicanangkannya Battle Royale. Dia mengumpat, tidak ada satupun lawan
yang bisa dia tantang bertarung. Ya, bertarung satu lawan satu secara adil
layaknya ksatria. Inilah alasan mengapa dia mengikuti Battle Royale, untuk
menjadi yang terkuat. Dia tidak peduli dengan kekuasaan dan kekayaan, dia hanya
ingin mendapatkan gelar terkuat yang diakui semua orang.
Namun,
dalam pencarian lawan di Battle Royale. Tidak ada satupun yang bisa dia temukan
untuk bertarung secara adil. Sebagian bertarung tidak satu lawan satu, sebagian
lagi bertarung dengan gerilya. Akhirnya dia memutuskan untuk mengintai dari
menara tertinggi di kastil, dari tempat ini dia bisa melihat ke sudut manapun
dari kerajaan ini. Salah satu keajaiban di Kerajaan Fantasi, menara yang bisa
mengintai ke seantero kerajaan bahkan melebihi tembok batas wilayah kerajaan
hanya dengan memberikan tenaga sihir ke dalam bola kristal besar. Dari kristal
itulah akan muncul gambaran-gambaran tempat-tempat di kerajaan seakan orang
yang menggunakannya benar-benar berada di tempat yang dituju.
Hikimori
mengayunkan tangannya untuk mengganti gambaran tempat pada bola kristal,
gambaran-gambaran di depannya tidak memuaskan hatinya. Pertarungan tiga arah di
dekat Taman Seribu Kucing, pertempuran satu melawan tiga orang di pelabuhan
bagian timur laut kerajaan, pertempuran secara gerilya di hutan barat daya.
“Ah,
akhirnya aku temukan juga lawan yang sepadan.” lirih Hikimori.
Di
depannya berdiri bayangan seorang pria bertubuh tegap, sedang berjalan dengan
santai. Hikimori mengenali orang itu, sang necromancer. Salah satu dari
beberapa orang di Kastil Fantasi yang sangat ingin dia tantang. Necromancer
berambut panjang putih tergerai, sedikit tidak rapi. Berbeda dengan dirinya,
meski rambut dia sama panjangnya dengan necromancer itu, dia selalu merapikan
dan menguncirnya.
Sedikit
mengernyitkan dahi, Hikimori mengamati tempat yang mungkin dituju oleh si
necromancer. Tepat menuju pertempuran tiga arah di dekat Taman Seribu Kucing.
“Chi,
aku harus segera ke sana. Sebelum dia bertarung dengan orang lain.” gumam
Hikimori sambil melepaskan tenaga sihirnya dari bola kristal.
Hikimori
bergegas melompat ke pinggiran jendela menara, tinggi menara tertinggi bukan
halangan baginya untuk melompat turun. Bahkan dengan tenang dia menendang
tembok untuk mempercepat terjunnya ke bawah. Melesat bagaikan anak panah yang
siap menghujam tanah. Tujuan utamanya adalah sang necromancer, yang lain atau
ketinggian ini bukan menjadi rintangan bagi dirinya.
*****
Riesling
membenarkan pakaiannya, pakaian perang yang dia pakai saat menuju tempat ini
dari kerajaan Wegdaya dia sembunyikan di balik semak-semak. Dia mengganti
dengan pakaian yang lebih leluasa bagi dia untuk bergerak. Walau sedikit agak
ketat tapi dia merasa menjadi lebih lincah, lagipula untuk menyeludup pakaian
hitam ini lebih cocok daripada pakaian perangnya.
“Hmm,
semoga benar Faye Irene ada di kerajaan ini.” gumam Ries.
Sejak
dua purnama yang lalu, Irene tidak lagi terlihat di Wegdaya. Para petinggi
kerajaan Wegdaya pun dibuat panik, dan Riesling adalah orang yang merasa sangat
gundah. Bukan karena dia adalah seorang Panglima Perang di Wegdaya tapi karena
Irene adalah orang yang dia anggap seperti Ibu sendiri.
Sampai
pada satu hari, Riesling memutuskan untuk mencari sendiri keberadaan Irene.
Sudah jenuh dia untuk menunggu kabar dari para pelacak dan mata-mata kerajaan
yang hanya membawa berita kosong belaka. Mereka tidak ada yang mengenal Irene
sebagaimana dirinya. Ya, dia dan hanya beberapa sahabat Irene yang mengetahui
tingkah sang Faye itu sebenarnya.
Sudah
lebih dari dua puluh hari dia berkelana di seantero daratan Wanvurstel,
mengejar sekecil apapun informasi tentang Irene. Tidak peduli jauhnya jarak dan
lamanya waktu, dia harus menemukan Irene karena dia ingin menyampaikan sesuatu
yang penting. Sesuatu yang juga baru saja dia ketahui, sesuatu yang juga
harusnya sang Faye ketahui jika saja wanita itu tidak menghilang dari kerajaan.
Benang
merah dia temukan, Riesling berhasil mengumpulkan kepingan-kepingan informasi
yang dia dapatkan. Pada akhirnya memaksa dia untuk menyusup ke Kerajaan
Fantasi, kerajaan yang pernah dia intai beberapa waktu yang lalu.
Riesling
menatap tembok setinggi tujuh-delapan manusia dewasa, sudah lama dia tidak
melakukan pekerjaan dengan lompatan. Dia tidak yakin apa dia masih bisa
melompat setinggi itu namun tekadnya sudah kuat. Lagipula dia punya sesuatu
yang sudah dia kuasai.
“Baiklah,
sekarang saatnya untuk menjajal kemampuan ini.” kata Ries pelan. Matanya lurus
menatap ke atas tembok, sementara tangan kiri mengambil selembar perkamen dan
sebatang kuas di tangan kanannya.
Dengan
cekatan Riesling mencoret perkamen di tangan kirinya dengan kuas yang bisa
menulis tanpa harus diberi tinta. Gelap
malam dan cahaya bulan yang terhalang tembok tidak membuatnya susah untuk
menggambar seekor burung hantu di perkamennya.
Setelah
selesai, Riesling mengibaskan perkamen tersebut dan serta merta keluarlah
sesosok makhluk yang sama dengan yang dia gambar tadi. Seekor burung hantu
berwarna hitam dan putih, meski bagian wajahnya dia buat lebih lucu daripada
burung hantu yang asli, berukuran sebesar kuda poni.
Tidak
mau berlama-lama, Riesling segera menaiki burung hantunya dan mengendalikan si
burung hantu agar segera melesat ke atas dan mencari sang Faye. Dia berharap
agar tidak ada yang berjaga di Menara Tanpa Batas karena sejak awal datang ke
daratan ini berusaha untuk tidak menggunakan sihir yang mencolok, apalagi
Menara Tanpa Batas terkenal sebagai ‘mata dewa’ kerajaan ini.
Burung
hantu melesat dan kemudian melayang, tanpa ada suara yang ditimbulkan. Riesling
membiarkan rambut panjang hitamnya diterpa angin. Sedikit menunduk dia memantau
begitu sudah melewati tembok perimeter Kerajaan Fantasi, tidak ada orang. Sepi.
Sesuatu yang tidak dia duga namun juga dia anggap sebagai keberuntungan.
Riesling
tersenyum merasa mendapatkan keberuntungan tapi baru saja 100 kaki dia melewati
tembok sebuah benda asing tanpa suara melesat dari bawah. Sang burung hantu
secara reflek segera melakukan manuver untuk menghindar, dia terkejut dengan
gerakan tunggangannya itu. Belum sempat dia berusaha mengendalikan si burung
hantu, tiba-tiba saja burung itu tersentak dan kemudian perlahan berputar-putar
sebelum akhirnya meluncur dengan cepat ke bawah.
Dua
buah anak panah menancap di dada sang burung hantu, itu yang sempat Riesling
lihat saat mereka berdua terjatuh dan dia terlepas dari tunggangannya. Segera
saja dia memutuskan sihirnya dengan si burung dan bergegas menggambar sesuatu.
Ya, apapun itu, dia sedang tidak bisa berpikir jernih saat dirinya hanya
berjarak kurang lebih tiga puluh kaki dengan permukaan tanah.
Riesling
mengibaskan perkamennya, seekor beruang salju gemuk muncul, hewan yang muncul
begitu saja dalam pikirannya. Sang beruang seperti mengerti, langsung
memeluknya dan melindungi dirinya saat terhempas dengan keras di tanah.
Terbatuk-batuk
Riesling berusaha berdiri, melepaskan diri dari pelukan sang beruang yang
terkulai lemas tidak lagi bernyawa. Sama seperti dengan burung hantu, dia juga
melepaskan sihirnya hingga beruang itu tak lagi terlihat kecuali bercak tinta
berwarna putih tertinggal di tanah.
Tidak
ada waktu, Riesling segera berlari ke pepohonan terdekat dan berusaha untuk
mencari tahu siapa penyerangnya dan darimana dia menyerang. Dia menunduk
sedikit sambil mengawasi ke semua penjuru. Namun berapa lama dia menunggu, dia
tidak menemukan gerak-gerik mencurigakan dari arah manapun. Entah sang penyerang
berasal dari tempat yang jauh, atau memang dia sangat ahli bersembunyi.
Riesling
memutuskan untuk membuat sebuah rencana.
*****
Mushtaf
tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya, dia mengira makhluk yang melayang
tadi sudah tewas sehingga tidak menyerang kembali. Namun saat dia menurunkan
senapan panahnya, sekelebat bayangan berlari dari tempat jatuh dan bersembunyi
di balik pepohonan.
Kini
dia sudah siaga, anak panahnya sudah siaga untuk menyerang apapun yang keluar
dari pepohonan itu. Cukup lama dia menunggu sampai akhirnya sesosok makhluk
hitam berlari dengan cepat di antara pepohonan.
Musthaf
tersenyum, secepat apapun makhluk itu berlari asal ada sedikit celah, anak
panahnya tidak akan meleset. Panah sihir ini mampu mengejar targetnya selama tidak
terhalang oleh benda lain. Dia hanya perlu menunggu untuk melesatkan anak
panahnya.
“Sekarang!”
kata Musthaf begitu melihat kesempatan, dan anak panahnya pun melesat dengan
kecepatan yang melebihi kecepatan panah biasa.
Panahnya
menancap tepat, makhluk itu jatuh ke tanah sedikit berdebam. Musthaf berdiam
sejenak, mengamati keadaan sekitar. Begitu tidak ada gerakan lain, dia segera
menuju ke tempat jatuhnya makhluk itu untuk mengetahui siapa sebenarnya yang
menyusup ke kerajaan malam-malam begini.
“Apa
ini?” gumam Musthaf sambil berjongkok. Cairan pekat berwarna hitam menggumpal
di tempat jatuhnya makhluk tadi.
“Itu
adalah sihirku!” suara seorang wanita
mengejutkan Musthaf. Begitu dia berpaling, semuanya menjadi hitam dan gelap.
Begitu matanya mulai terbiasa, dia yakin dirinya berada di dalam sebuah kotak
besar yang terbuat dari batu keras.
#####
0 comments:
Post a Comment