Airill mengunci leher si
penyelinap yang jauh lebih muda dari dirinya, meskipun wajah si penyelinap
tertutup bayangan dari tudung kepala namun dia tahu siapa pemuda itu. Dia
mengambil senjata api dan mengarahkan moncongnya di antara kedua mata si
pemuda.
Pemuda itu balas menatap Airill,
ingatan mereka kembali pada kejadian beberapa hari yang lalu.
*****
“Ini warisan berharga dari
mendiang Ibuku. Tidak akan aku biarkan kamu memilikinya!” kata si pemuda.
Airill menekan perut si pemuda dengan salah satu lututnya.
Airill tersenyum menyeringai,
“Aku rasa Ibumu akan senang kalau
kalung yang dia berikan ini berguna bagi orang yang lebih membutuhkan!” Airill
mengambil sebuah senjata api dengan tangan kirinya. Perlahan dia mengarahkan
moncong senjata api ke dalam mulut si pemuda membuat mata si pemuda terbelalak
menatap senjata api.
“Cih, dasar lemah!” Airill
mengurungkan niatnya, perlahan dia memasukkan kembali senjata apinya ke dalam
sarung. Dengan sekali tarikan nafas, dia memukul dengan keras ulu hati si
pemuda hingga pingsan. Dengan leluasa dia mengambil kalung yang dia
tunggu-tunggu sejak beberapa minggu yang lalu dan menuju kedai minum.
*****
“Kembalikan kalungku!” pemuda
yang tadi siang Airill rampok menghadang sambil memegang sebuah balok kayu berukuran
cukup besar untuk membuat pingsan dirinya. Wajah dan pakaian si pemuda lebih
kotor dan semrawut dari yang terakhir dia lihat.
Airill hanya tersenyum
menyeringai, sedang berpikir apa yang dipikirkan pemuda itu hingga berani
menghadangnya. Apa karena dia baru saja dari kedai minum sehingga pemuda itu
mengira dia sedang mabuk dan bisa mengalahkannya, atau karena pemuda itu
mengira bisa mengalahkannya di jalan sempit dan sepi ini.
“Cih, ternyata kamu punya nyali
juga. Berani sekali kamu menghadang aku yang dikenal sebagai Sang Penjagal di
sini!”.
Perlahan Airill mengambil
pedangnya dan dengan cepat melesat menuju sang pemuda yang berjarak hanya
beberapa kaki di hadapannya. Dia tidak perlu melihat ekspresi wajah si pemuda
yang terkejut dengan serangan dan kecepatannya, karena begitu selesai memotong
balok kayu menjadi beberapa bagian dia langsung menghujamkan pukulan keras ke
perut si pemuda. Untuk kedua kalinya si pemuda pingsan dengan sukses.
*****
Si pemuda melihat dengan
pandangan kabur, orang yang merampoknya sedang menuangkan kopi ke dalam sebuah
benda yang digunakan sebagai gelas, entah dulunya dari apa benda itu dia tidak
ingin mengetahui. Otaknya hanya dipenuhi keinginan untuk menghajar orang
brengsek ini, yang sudah membuat dia pingsan dua kali, yang sudah mengambil
satu-satunya peninggalan berharga dari ibunya.
Airill menoleh sesaat, si pemuda
sudah tersadar. Dengan tenang dia kembali menuangkan kopi ke benda berikutnya.
Deztas, sang pemuda mencoba
berontak sekuat tenaga. Dia tidak sadar bahwa dirinya sudah diikat dengan erat
menggunakan sebuah tali. Perlahan dia mengamati keadaan sekeliling mereka,
berada di sebuah reruntuhan rumah tanpa atap. Mungkin mereka sedang berada
bekas sebuah kamar, karena dia melihat ada sebuah lemari pakaian dari kayu yang
sudah usang masih berdiri di dekatnya. Sebuah api unggun menyala, dengan orang
barbar yang sedang merebus air dan memasak sesuatu.
“Jangan terlalu banyak melakukan
hal yang tidak perlu!” Airill menyeruput kopinya.
Deztas ingin menjawab, ingin
berontak dan berteriak. Namun sebuah kain yang sepertinya tidak pernah mengenal
kata cuci membekap mulutnya. Airill mendekat dan memberikan segelas kopi di
depannya. Deztas berpikir, orang ini tidak hanya barbar tetapi juga bodoh.
Bagaimana mungkin dia bisa meminum kopi itu dengan keadaannya seperti sekarang.
“Kalau kamu berjanji tidak akan
melakukan hal yang bodoh, aku akan melepaskan ikatanmu.” Deztas tidak percaya
orang barbar itu bisa mengatakan hal yang baik. Jangan-jangan ini hanya tipuan
dia, mungkin dia akan meracuniku atau dia mau menyiksaku lebih dari ini.
Deztas memicingkan mata, tidak
mempercayai sedikitpun ucapan Airill. Namun tidak terlalu lama dia mengangguk,
setuju dengan persyaratan yang diajukan Airill.
Tanpa bergerak dari tempat
duduknya, Airill menebaskan pedangnya tepat ke tali yang melilit tubuh Deztas.
Deztas hanya bisa menutup mata ketika pedang itu mengayun dengan cepat ke
arahnya.
Deztas membuka matanya saat dia
merasakan tali yang melilitnya tidak lagi terasa, bergegas dia berusaha untuk
bangkit dan membuka kain penyumpal mulutnya. Gerakannya terhenti sejenak saat
ujung pedang tajam orang barbar di depannya menekan lehernya, dia merasakan
sedikit perih.
“Ingat, aku tidak pernah memberi
kesempatan dua kali!” jelas Airill sambil menatap tajam ke arah Deztas.
Deztas mengangguk, membatalkan
semua rencana untuk melarikan diri atau balas dendam. Perlahan dia mengambil
kopi yang ditawarkan, walau dia masih berpikir oang barbar itu punya rencana
jahat dia tetap saja meminum kopi hangat itu. Dia bersandar di dinding yang
sudah tidak utuh lagi. Dia berdiam sambil menikmati kopi dan sekali-kali
mencuri pandang kepada orang barbar aneh di depannya
.
“Jadi kamu sudah mendapat kabar
tentang ibumu?” Airill akhirnya membuka pembicaraan.
Deztas tersentak, hampir saja dia
tersedak. Kenapa orang yang tidak dikenalnya itu bisa tahu.
“Kamu pikir kamu bisa membalas
dendam atas kematian ibumu?”tanya Airill lagi walau Deztas belum menjawab
pertanyaan sebelumnya.
“Ba-Bagaimana kamu tahu tentang
ibuku?” Deztas memberanikan diri membuka mulutnya.
“Aku adalah orang terakhir yang
dia lihat sebelum tewas.” Airill menjawab datar.
****
Airill merasakan ada benda tajam
dan dingin menyentuh lehernya, melirik ke samping dia melihat Tuan Berdel
menghunuskan ujung pedangnya.
“Aku ingin dia hidup, aku butuh
dia untuk di interogasi!” tegas Tuan Berdel, matanya menatap tajam. Airill
melirik menoleh ke belakang, Sang Amperis berdiri tidak jauh di belakangnya
dengan tegar seperti tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya.
Airill menyarungkan senjata
apinya.
“Biarkan dia hidup karena aku
ingin bermain-main dulu dengannya!” Amperis berujar dengan irama yang
mengisyaratkan kalau dia akan melakukan sesuatu yang sangat mengerikan terhadap
objek bermainnya.
Airill berdiri sambil menarik
baju si pemuda, dengan cepat membalikkan badan dan mengunci tangan si pemuda
dari belakang. Pedangnya disiagakan di depan leher si pemuda.
“Sayang-“ kata Amperis
“Kalau saja kamu mengetahui kalau
jantungku tidak berada di sebelah kiri, tentu kamu akan berhasil melenyapkan
aku.” Amperis tertawa membahana, senang dengan kebodohan si pemuda.
Airill mengeratkan kunciannya
begitu si pemuda mencoba memberontak begitu mendengar tawa Sang Amperis.
*****
“A-apa ka-kamu yang membunuh
ibuku?” Deztas tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak mengeluarkan pertanyaan
itu. Kalau orang barbar itu menjawab iya, tentu orang itu juga tidak akan segan
membunuh dirinya.
“Kalau aku memberitahukan siapa
pembunuhnya, apa yang akan kamu lakukan? Atau sebenarnya apa yang kamu lakukan
datang ke kota ini?” Airill menurunkan panci masak yang satunya, aroma kacang
merah rebus dengan kuah pedas tercium. Deztas hampir bersin mencium aroma pedas
yang menyengat hidungnya.
Deztas menceritakan rencana gila
yang membuatnya nekat untuk datang ke kota ini, rencana yang tidak hanya untuk
membalas dendam pada pembunuh ibunya, tetapi juga melepaskan belenggu tirani di
kota ini. Ya, dia ingin membunuh Amperis, Sang Gubernur. Entah mengapa dia
menceritakan semuanya kepada orang yang dia cap bajingan permanen itu.
Airill tidak menanggapi rencana
Deztas, dia hanya mengatakan kalau waktu yang tepat untuk membunuh Amperis
adalah pada saat kedatangan dia kembali ke kota. Setelah itu Airill tidak
mengatakan apa-apa lagi, bahkan begitu selesai memberikan semangkuk kacang
merah kuah pedas, Airill meninggalkan Destas dan tidak bertemu lagi.
*****
Airill mendorong Deztas mendekat
ke arah Amperis sambil melirik Tuan Berdel yang sedang menyarungkan pedangnya.
Sang Amperis sedang tersenyum tipis, luka di tubuhnya tidak telihat, sembuh
dengan cepat. Ternyata apa yang dikatakan orang tentang kemampuan menyembuhkan
diri Amperis bukan isapan jempol semata.
“Ini yang terakhir Deztas.” bisik
Airill ke telinga Deztas saat mereka hanya berjarak beberapa kaki dengan Sang
Amperis.
Sedikit mengendurkan kuncian,
Airill sengaja melepaskan pedangnya saat Deztas merebut dan menyikut perutnya.
Berpura-pura dia menjatuhkan diri bertepatan dengan Deztas yang menerjang
Amperis dengan pedang miliknya.
Sedikit membuka mata, Airill bisa
melihat Deztas berhasil menusuk dada kanan Sang Amperis dan mendorongnya hingga
terjatuh ke dalam lubang tempat para penduduk dijatuhkan.
#####
0 comments:
Post a Comment