Airill - Chapter 4


Airill mengunci leher si penyelinap yang jauh lebih muda dari dirinya, meskipun wajah si penyelinap tertutup bayangan dari tudung kepala namun dia tahu siapa pemuda itu. Dia mengambil senjata api dan mengarahkan moncongnya di antara kedua mata si pemuda.

Pemuda itu balas menatap Airill, ingatan mereka kembali pada kejadian beberapa hari yang lalu.

*****

“Ini warisan berharga dari mendiang Ibuku. Tidak akan aku biarkan kamu memilikinya!” kata si pemuda. Airill menekan perut si pemuda dengan salah satu lututnya.

Airill tersenyum menyeringai,

“Aku rasa Ibumu akan senang kalau kalung yang dia berikan ini berguna bagi orang yang lebih membutuhkan!” Airill mengambil sebuah senjata api dengan tangan kirinya. Perlahan dia mengarahkan moncong senjata api ke dalam mulut si pemuda membuat mata si pemuda terbelalak menatap senjata api.

“Cih, dasar lemah!” Airill mengurungkan niatnya, perlahan dia memasukkan kembali senjata apinya ke dalam sarung. Dengan sekali tarikan nafas, dia memukul dengan keras ulu hati si pemuda hingga pingsan. Dengan leluasa dia mengambil kalung yang dia tunggu-tunggu sejak beberapa minggu yang lalu dan menuju kedai minum.

*****
 
“Kembalikan kalungku!” pemuda yang tadi siang Airill rampok menghadang sambil memegang sebuah balok kayu berukuran cukup besar untuk membuat pingsan dirinya. Wajah dan pakaian si pemuda lebih kotor dan semrawut dari yang terakhir dia lihat.

Airill hanya tersenyum menyeringai, sedang berpikir apa yang dipikirkan pemuda itu hingga berani menghadangnya. Apa karena dia baru saja dari kedai minum sehingga pemuda itu mengira dia sedang mabuk dan bisa mengalahkannya, atau karena pemuda itu mengira bisa mengalahkannya di jalan sempit dan sepi ini.

“Cih, ternyata kamu punya nyali juga. Berani sekali kamu menghadang aku yang dikenal sebagai Sang Penjagal di sini!”. 

Perlahan Airill mengambil pedangnya dan dengan cepat melesat menuju sang pemuda yang berjarak hanya beberapa kaki di hadapannya. Dia tidak perlu melihat ekspresi wajah si pemuda yang terkejut dengan serangan dan kecepatannya, karena begitu selesai memotong balok kayu menjadi beberapa bagian dia langsung menghujamkan pukulan keras ke perut si pemuda. Untuk kedua kalinya si pemuda pingsan dengan sukses.

*****

Si pemuda melihat dengan pandangan kabur, orang yang merampoknya sedang menuangkan kopi ke dalam sebuah benda yang digunakan sebagai gelas, entah dulunya dari apa benda itu dia tidak ingin mengetahui. Otaknya hanya dipenuhi keinginan untuk menghajar orang brengsek ini, yang sudah membuat dia pingsan dua kali, yang sudah mengambil satu-satunya peninggalan berharga dari ibunya.
Airill menoleh sesaat, si pemuda sudah tersadar. Dengan tenang dia kembali menuangkan kopi ke benda berikutnya.

Deztas, sang pemuda mencoba berontak sekuat tenaga. Dia tidak sadar bahwa dirinya sudah diikat dengan erat menggunakan sebuah tali. Perlahan dia mengamati keadaan sekeliling mereka, berada di sebuah reruntuhan rumah tanpa atap. Mungkin mereka sedang berada bekas sebuah kamar, karena dia melihat ada sebuah lemari pakaian dari kayu yang sudah usang masih berdiri di dekatnya. Sebuah api unggun menyala, dengan orang barbar yang sedang merebus air dan memasak sesuatu. 

“Jangan terlalu banyak melakukan hal yang tidak perlu!” Airill menyeruput kopinya.

Deztas ingin menjawab, ingin berontak dan berteriak. Namun sebuah kain yang sepertinya tidak pernah mengenal kata cuci membekap mulutnya. Airill mendekat dan memberikan segelas kopi di depannya. Deztas berpikir, orang ini tidak hanya barbar tetapi juga bodoh. Bagaimana mungkin dia bisa meminum kopi itu dengan keadaannya seperti sekarang.

“Kalau kamu berjanji tidak akan melakukan hal yang bodoh, aku akan melepaskan ikatanmu.” Deztas tidak percaya orang barbar itu bisa mengatakan hal yang baik. Jangan-jangan ini hanya tipuan dia, mungkin dia akan meracuniku atau dia mau menyiksaku lebih dari ini.

Deztas memicingkan mata, tidak mempercayai sedikitpun ucapan Airill. Namun tidak terlalu lama dia mengangguk, setuju dengan persyaratan yang diajukan Airill.

Tanpa bergerak dari tempat duduknya, Airill menebaskan pedangnya tepat ke tali yang melilit tubuh Deztas. Deztas hanya bisa menutup mata ketika pedang itu mengayun dengan cepat ke arahnya.

Deztas membuka matanya saat dia merasakan tali yang melilitnya tidak lagi terasa, bergegas dia berusaha untuk bangkit dan membuka kain penyumpal mulutnya. Gerakannya terhenti sejenak saat ujung pedang tajam orang barbar di depannya menekan lehernya, dia merasakan sedikit perih. 

“Ingat, aku tidak pernah memberi kesempatan dua kali!” jelas Airill sambil menatap tajam ke arah Deztas.

Deztas mengangguk, membatalkan semua rencana untuk melarikan diri atau balas dendam. Perlahan dia mengambil kopi yang ditawarkan, walau dia masih berpikir oang barbar itu punya rencana jahat dia tetap saja meminum kopi hangat itu. Dia bersandar di dinding yang sudah tidak utuh lagi. Dia berdiam sambil menikmati kopi dan sekali-kali mencuri pandang kepada orang barbar aneh di depannya
.
“Jadi kamu sudah mendapat kabar tentang ibumu?” Airill akhirnya membuka pembicaraan.

Deztas tersentak, hampir saja dia tersedak. Kenapa orang yang tidak dikenalnya itu bisa tahu.

“Kamu pikir kamu bisa membalas dendam atas kematian ibumu?”tanya Airill lagi walau Deztas belum menjawab pertanyaan sebelumnya.

“Ba-Bagaimana kamu tahu tentang ibuku?” Deztas memberanikan diri membuka mulutnya.

“Aku adalah orang terakhir yang dia lihat sebelum tewas.” Airill menjawab datar.

****

Airill merasakan ada benda tajam dan dingin menyentuh lehernya, melirik ke samping dia melihat Tuan Berdel menghunuskan ujung pedangnya.

“Aku ingin dia hidup, aku butuh dia untuk di interogasi!” tegas Tuan Berdel, matanya menatap tajam. Airill melirik menoleh ke belakang, Sang Amperis berdiri tidak jauh di belakangnya dengan tegar seperti tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya.

Airill menyarungkan senjata apinya.

“Biarkan dia hidup karena aku ingin bermain-main dulu dengannya!” Amperis berujar dengan irama yang mengisyaratkan kalau dia akan melakukan sesuatu yang sangat mengerikan terhadap objek bermainnya.

Airill berdiri sambil menarik baju si pemuda, dengan cepat membalikkan badan dan mengunci tangan si pemuda dari belakang. Pedangnya disiagakan di depan leher si pemuda.

“Sayang-“ kata Amperis

“Kalau saja kamu mengetahui kalau jantungku tidak berada di sebelah kiri, tentu kamu akan berhasil melenyapkan aku.” Amperis tertawa membahana, senang dengan kebodohan si pemuda.

Airill mengeratkan kunciannya begitu si pemuda mencoba memberontak begitu mendengar tawa Sang Amperis.

*****

“A-apa ka-kamu yang membunuh ibuku?” Deztas tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak mengeluarkan pertanyaan itu. Kalau orang barbar itu menjawab iya, tentu orang itu juga tidak akan segan membunuh dirinya.

“Kalau aku memberitahukan siapa pembunuhnya, apa yang akan kamu lakukan? Atau sebenarnya apa yang kamu lakukan datang ke kota ini?” Airill menurunkan panci masak yang satunya, aroma kacang merah rebus dengan kuah pedas tercium. Deztas hampir bersin mencium aroma pedas yang menyengat hidungnya.

Deztas menceritakan rencana gila yang membuatnya nekat untuk datang ke kota ini, rencana yang tidak hanya untuk membalas dendam pada pembunuh ibunya, tetapi juga melepaskan belenggu tirani di kota ini. Ya, dia ingin membunuh Amperis, Sang Gubernur. Entah mengapa dia menceritakan semuanya kepada orang yang dia cap bajingan permanen itu.

Airill tidak menanggapi rencana Deztas, dia hanya mengatakan kalau waktu yang tepat untuk membunuh Amperis adalah pada saat kedatangan dia kembali ke kota. Setelah itu Airill tidak mengatakan apa-apa lagi, bahkan begitu selesai memberikan semangkuk kacang merah kuah pedas, Airill meninggalkan Destas dan tidak bertemu lagi.

*****

Airill mendorong Deztas mendekat ke arah Amperis sambil melirik Tuan Berdel yang sedang menyarungkan pedangnya. Sang Amperis sedang tersenyum tipis, luka di tubuhnya tidak telihat, sembuh dengan cepat. Ternyata apa yang dikatakan orang tentang kemampuan menyembuhkan diri Amperis bukan isapan jempol semata.

“Ini yang terakhir Deztas.” bisik Airill ke telinga Deztas saat mereka hanya berjarak beberapa kaki dengan Sang Amperis.

Sedikit mengendurkan kuncian, Airill sengaja melepaskan pedangnya saat Deztas merebut dan menyikut perutnya. Berpura-pura dia menjatuhkan diri bertepatan dengan Deztas yang menerjang Amperis dengan pedang miliknya.

Sedikit membuka mata, Airill bisa melihat Deztas berhasil menusuk dada kanan Sang Amperis dan mendorongnya hingga terjatuh ke dalam lubang tempat para penduduk dijatuhkan.

#####

0 comments:

Post a Comment