Marbel termangu, berdiri kaku di atas bukit karang yang menjorok ke dalam,
menatap desanya yang sedang terbakar hebat. Belum setengah hari dia pergi untuk
mencari airmata langit yang jatuh
sebelum matahari muncul di ufuk timur. Kini desa Karin yang sudah dia tinggali sejak empat belas tahun
itu berselimutkan merah menyala.
Tidak ada firasat yang aneh saat dia pamit kepada Bunda, satu-satunya orang
tua yang dia miliki. Dan sejak itu dia tidak memusingkan keadaaan Bunda,
teman-teman, serta penduduk desa lainnya yang dia temui sejak dia melangkah
dari rumah menuju bukit Cula Badak ini.
Pikirannya tidak bisa mencerna, Marbel tidak bisa memahami apa yang
terjadi. Tidak ada tanda-tanda penduduk desa yang berlarian, ataupun sibuk
memadamkan api. Tidak ada riuh, selain hanya kawanan ternak yang berlarian dari
desa.
Bunda! Begitu pikirannya tersadar, Marbel bergegas. Melepaskan beberapa
barang bawaan yang memberatkan larinya. Menuruni bukit memang akan lebih cepat
daripada menaikinya, akan tetapi butuh waktu dua-tiga putaran
pasir[1]untuk
sampai ke desa. Itupun dengan berlari.
Perasaan gundah menyergap, tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Dan
terlebih tidak mengetahui keadaan Bunda. Dalam larinya, Marbel merasakan
matanya pedas dan air mulai mengalir dari ujung sepasang matanya.
Melewati semak, melompati beberapa tumpukan batu besar untuk memperkecil
jarak. Beruntung dia sudah hapal dengan bukit ini. Peluh dan keringat dingin
bercampur menjadi satu, degup jantung yang keras dan nafas yang mulai tersengal
tidak dia pedulikan. Dia hanya ingin cepat sampai menuju desa, dia hanya
memerlukan sosok Bunda berdiri di sekitar desa yang terbakar dan menyambutnya
dengan senyum yang dipaksakan.
Jangan!
Sebuah suara bercampur dengan desiran angin perlahan terdengar, tapi Marbel
tidak peduli. Inderanya lebih dia fokuskan untuk terus berlari dengan cepat.
Jangan mendekat!
Suara itu kali ini dia dengar, samar tapi dia begitu mengenalinya.
Tinggal dua turunan lagi, kemudian dia akan mengambil jalan pintas melewati
kebun milik Tuan Haras. Pagar dari kayu yang hanya setinggi pinggang orang
dewasa akan mudah untuk dia lompati. Dan jika Tuan Haras mendapati dirinya
sedang memasuki kebun tanpa ijin, paling tidak Marbel bisa bertanya apa yang
sedang terjadi di desa.
Satu turunan lagi. Pikiran Marbel sudah lebih dahulu sampai di desa
daripada kenyataannya, dugaan tentang apa saja yang terjadi merasuk dengan
cepat.
Berhenti Marbel!
Kali ini suara itu terdengar dengan keras dan tegas, membuat Marbel terpleset, terjatuh dan
terseret beberapa kaki menabrak semak-semak.
“Bunda?” Marbel tidak berdiri dari jatuhnya, membiarkan semak-semak itu
menjadi tempat untuk mengambil nafas sejenak.
Matanya menerawang, langit terang yang dihiasi dengan asap hitam dari
kebakaran yang terbawa oleh angin. Sekeliling hanya pepohonan pinus dan
lainnya, berdiri tidak beraturan. Tidak ada seorangpun di sana selain dirinya.
“Kamukah itu Bunda?” Marbel berteriak. Pikirannya sudah tidak bisa mencerna
dengan baik. Kebakaran dan suara ini sudah cukup membuatnya tidak memikirkan
logika.
Hening. Suara itu tidak lagi Marbel dengar.
Ah, hanya pikiranku.
Marbel beranjak dari semak-semak,
berusaha berlari seperti tadi. Namun dia sadar, sedikit rasa nyeri di kaki
kanan membuat larinya tidak sekencang sebelumnya. Tinggal satu turunan memutar lagi,
dan dirinya akan bisa melihat perkebunan milik Tuan Haras.
Tiba-tiba sekelebat bayangan
besar melesat di langit, cepat seperti anak panah yang melesat. Suara yang
muncul bersamaan dengan kelebat bayangan itu terdengar asing bagi Marbel. Namun
entah kenapa dia lebih merasa takut daripada penasaran, instingnya memaksa dia
untuk berlari ke pepohonan yang rimbun.
Dari balik batang pohon besar,
Marbel melongok ke atas. Melihat dari celah-celah dedaunan antarpohon. Bayangan
itu tidak lagi terlihat, dan suara aneh itu tidak terdengar lagi. Perasaan
takut itu juga tidak lagi dia rasakan.
Marbel merasa lemas, bukan karena
dia berlari jauh dengan cepat tetapi takut itu merasuk ke dalam tulangnya. Ini
sama seperti dia ketakutan saat tidur di rumah sendirian, saat dia bermimpi
buruk dan Bunda sedang tidak ada di rumah.
Bunda! Teringat dengan itu, dia
kembali berlari. Desa sudah dekat, namun dia tidak bias lagi melihat kobaran
api. Hanya asap tebal hitam yang terbawa angin di langit sana. Melompati pagar
perkebunan Tuan Haras, dia sedikit berhati-hati. Selain Tuan Haras yang
berwajah sangar dan ditakuti anak-anak seusianya, pemilik perkebunan ini juga
memelihara tiga anjing penjaga yang wajah-wajahnya jauh lebih sangar dari sang majikan.
Aneh, tidak ada suara teriakan
mengusir atau gonggongan dari ketiga anjing. Hanya beberapa kawanan ternak yang
terlihat. Mata Marbel menerawang dengan cepat, dia menemukan salah satu bagian
pagar pembatas hancur. Sepertinya kawanan ternak itu sangat panik dan memaksa
untuk keluar dari daerah ini.
Ah, tidak ada waktu. Bunda. Bunda
ada di mana. Apa mereka sudah mengungsi ke tempat yang aman? Semoga. Semoga
saja begitu. Pikiran Marbel berusaha mengalahkan resah di dalam batinnya,
setelah melihat tidak ada tanda-tanda dari Tuan Haras dan ketiga anjingnya,
serta ternak yang memaksa melarikan diri.
Marbel melesat melintasi
perkebunan pohon zaitun, entah kenapa dia merasa perkebunan ini sekarang
menjadi lebih luas daripada sebelumnya. Kakinya sudah tidak bisa menerima
pemaksaan seperti ini lagi. Beruntung, setelah kebun ini dia akan bisa melihat
keadaan desa Karin, tanah datar dan sedikit lebih tinggi dari desa.
Terang merah terlihat dari depan
sana, kakinya semakin terasa berat. Namun api yang menyala membuat pikirannya
memaksa dan terus memaksa untuk mendekat. Entah berlari atau harus terseok.
Tinggal beberapa langkah lagi, pepohonan zaitun akan berakhir. Pagar kayu
pembatas sudah bisa Marbel lihat.
Mata Marbel terbelalak, mulutnya
menganga. Desa Karin tidak lagi tersisa, api besar itu adalah desa Karin.
Rumah, kedai makan, Rumah Berkumpul, bahkan tendon air desa juga tidak luput
dari kebakaran. Dia mendekat, berjalan sedikit terseret. Sosok-sosok hitam yang
tergeletak di tanah membuat tatapan matanya semakin buram, pikirannya ternanar.
Sosok-sosok yang teronggok itu
sedikit menghitam, membujur kaku di atas tanah. Itu adalah orang-orang yang
pernah dia kenal. Tetangga, sahabat, dan teman. Semuanya tergeletak begitu
saja.
Tidak peduli dengan panasnya api,
Marbel terus mendekat. Namun tidak berani memasuki desa, rumahnya berada di
bagian paling dalam. Tidak mungkin untuk masuk ke tengah desa. Sambil menyusuri
pinggiran desa, dia menangkap satu gerakan makhluk hidup di kejauhan sana.
Sosok itu baru saja keluar dari
hutan di dekat desa, Marbel merebahkan diri ke tanah. Instingnya mengatakan dia
harus berpura-pura menjadi mayat. Matanya dia picingkan, tidak melepaskan
pandangan dari sosok itu.
Dia yakin kalau sosok itu adalah
pria dewasa, badannya tegap. Marbel tidak bisa melihat wajah yang tertutup
gelap dari tudung kepala yang dikenakan pria itu. Marbel tidak mengenali siapa
orang itu, ataupun berasal darimana. Tapi jika dia bertemu lagi, dia sangat
yakin tidak akan salah mengenali orang itu.
Mendapati tipuannya berhasil,
Marbel tetap mengamati si pria bertudung kepala. Menghapal setiap jengkal tubuh
dan pakaian sesuai dengan apa yang dia lihat. Pria itu pun menjauh dari desa,
bergerak perlahan menjauh saat api mengecil dan menyisakan puing-puing hitam.
Marbel melirik ke arah desa, air
matanya menetes. Meski dia berusaha untuk tidak percaya, namun pikiran bahwa
Bunda berada di tengah kobaran api menggelayut di otaknya.
Bingung, marah, marah sekali, pikiran itu
perlahan merangkak naik. Hingga Marbel pikirannya menjadi tidak sadar, dan
tubuhnya bergerak sendiri.
0 comments:
Post a Comment