Seorang remaja laki-laki jatuh
tersungkur ke tanah setelah sebuah pukulan telak mengahantam ulu hatinya. Tanpa
memberi kesempatan untuk bernafas, Airill yang tadi memberi bogem mentah kepada
si pemuda, memberikan sebuah hadiah lagi berupa injakan keras di kepala si
pemuda. Rambut pirang si pemuda kotor bercampur dengan tanah becek.
“Cepat!” ancam Airill. Sengaja
dia tidak memberi kesempatan pada si pemuda untuk melakukan tindakan melawan,
tersenyum menyeringai dia semakin menenggelamkan kepala si pemuda ke tanah.
Airill bisa melihat si pemuda kesulitan untuk bernafas apalagi untuk
berkata-kata.
“Tuan Airill, apa Tuan tidak
kelewatan. Kalau anak ini sampai mati bagaimana?” seorang yang berdiri di
belakang Airill mencoba menyudahi penyiksaan ini.
Airill menoleh. Menghentikan
penyiksaannya namun masih tetap menginjak kepada anak itu. Dia menatap orang
yang menegurnya, wajah orang yang menegur langsung pucat pasi. Dengan tajam dia
menatap, mengirimkan pesan “berani sekali kamu menganggu kesenanganku!”, tidak
peduli walau yang ditatapnya adalah seorang kepala prajurit.
Airill sedikit mengangkat topi
koboi hitamnya, menatap ke semua prajurit yang berada di pos penjaga pintu
masuk kota. Mengitarkan pandangannya ke sekeliling. Belasan prajurit sedang
berjaga di pos yang tidak terlalu besar. Pos dari kayu yang sudah lapuk di
beberapa bagian bersanding dengan pagar dari batang kayu berukuran besar
mengelilingi kota Inghada.
Airill kembali menatap Kepala
prajurit.
“Heh!” tegas Airill. Dia bisa
menangkap si Kepala prajurit sedikit gemetar.
“Aku sedang kesal dan tidak punya
uang!” jelasnya lagi.
Kepala prajurit dan anak buahnya
langsung terdiam tidak berani membantah. Mereka sudah paham dengan tabiat
Airill bila lagi sedang tidak “baik”. Entah karena tidak punya uang, lagi
lapar, kesal dan lainnya, pasti kejadian serupa ini akan terjadi.
“Heh bocah tengik!” Airill
kembali melanjutkan menekan kepala remaja berambut pirang dengan kakinya.
Matanya melirik ke arah para prajurit, awas saja kalau ada yang berani
menghentikannya lagi pikir Airill.
“Cepat serahkan uangnya!” Airill
menggeram, kesabarannya sudah habis. Dengan kaki dia sedikit memalingkan wajah
si pemuda sehingga dia bisa melihat salah satu mata si pemuda. Tersenyum
menyeringai dia melihat ketakutan yang amat sangat terpancar dari salah satu
mata pemuda itu.
“Waktumu sudah habis!” Airill
langsung mencabut pedang hitam legamnya, dan menebaskannya ke arah si pemuda.
Airill bisa menyaksikan si pemuda
panik bukan kepalang, matanya tertutup dan, meski mulutnya penuh dengan tanah,
pemuda itu memaksakan diri untuk berteriak. Tapi tidak ada alasan baginya untuk
menghentikan ayunan pedangnya.
Bunyi sesuatu yang tersayat
terdengar disela-sela teriakan pemuda. Kemudian terdengar suara benda-benda
berjatuhan. Dengan sedikit memaksa, si pemuda melirik. Tidak ada darah, tidak
ada rasa sakit.
Airill mengamati benda-benda yang
berjatuhan dari kantung yang dibawa pemuda itu. Dengan ujung pedang dia
memilah-milah, memperhatikan barang-barang yang berjatuhan dari kantung yang
dia tebas tadi.
“Cih, tidak ada yang berharga.
Ternyata kamu memang berkata jujur.” Airill melengos sambil menaruh kembali
pedangnya ke sarung yang berada di punggung. Perlahan dia melepaskan injakannya
sambil mengibaskan jaket hitam yang panjangnya hampir mengenai mata kakinya.
Airill membalikkan tubuh si
pemuda, masih dengan menggunakan kaki. Dengan seketika dia mengamati si pemuda,
wajah yang sangat pucat dan celana yang basah.
Airill mendengus, dasar laki-laki
lemah batinnya. Tiba-tiba matanya tertuju pada kalung yang bergelantung di
leher pemuda yang dari tadi tertutup oleh pakaian yang pemuda itu kenakan. Dia
sedikit menunduk untuk mengamati lebih jelas, tersenyum dia memegang kalung
itu.
“Wah, bocah pengecut seperti kamu
tidak seharusnya membawa barang yang sangat berharga ini ke mana-mana. Lebih
baik aku simpan saja.” kata Airill sambil menggenggam kalung dan bersiap untuk
menariknya.
Airill tidak sedikitpun kaget
saat si pemuda itu menggenggam tangannya. Namun dia sempat berpikir darimana
datangnya kekuatan itu.
“Ini warisan berharga dari
mendiang Ibuku. Tidak akan aku biarkan kamu memilikinya!” kata si pemuda.
Airill bisa merasakan genggaman pemuda itu semakin erat, meski sama sekali
tidak berarti baginya.
Kepala prajurit dan pasukannya
menghela nafas, pemuda itu telah menggali kuburannya sendiri. Airill de Pillan,
mantan pemburu hadiah yang akan menggunakan cara apa saja untuk mendapatkan
yang dia inginkan. Yang menurut kabar telah dengan sengaja membunuh rekannya
sendiri demi mendapatkan uang hadiah.
Airill tersenyum menyeringai,
“Aku rasa Ibumu akan senang kalau
kalung yang dia berikan ini berguna bagi orang yang lebih membutuhkan!” kata
Airill sambil mengambil sebuah senjata api dengan tangan kirinya. Perlahan dia
mengarahkan moncong senjata api ke dalam mulut si pemuda.
Airill bisa melihat dengan jelas
mata pemuda terbelalak menatap senjata api. Dia merasakan genggaman tangan si
pemuda berkurang dan akhirnya lemas meski tidak terlepas. Kuping tajamnya
mendengar aliran air yang kembali membasahi celana si pemuda.
*****
Airill duduk tersenyum di sebuah
kedai minum sambil memandang kalung yang baru saja dia dapatkan.
“Karson, berikan aku minuman yang
terbaik. Hari ini aku sedang senang.” katanya sambil tersenyum penuh kemenangan
Karson, sang penjual dengan sigap
mengambil sebuah minuman dari sebuah botol yang terlihat mahal. Sebanding
dengan harga yang harus dibayar. Dengan cekatan dia menuangkan isinya ke dalam
ke gelas berukuran kecil dan meletakkan di hadapan Airill.
Airill hendak menegak habis
minuman tersebut, sebuah tepukan di bahunya membuatnya mengurungkan niat untuk
minum. Dia meletakkan kembali gelas tersebut.
“Aku dengar kamu mengacau lagi di
pos penjaga pintu utama?” sebuah suara yang serak mengiringi genggaman tangan
yang semakin erat di bahu Airill.
“Cih, aku akan lakukan apapun
yang ingin aku lakukan. Tidak ada seorangpun yang bisa mengubah itu. Tidak juga
kamu!” tegas Airill sambil mengambil kembali gelasnya dan meminum dengan sekali
tegak setelah mengetahui siapa orang yang menepuk bahunya tadi.
Orang itu menarik kursi kayu
bulat berwarna coklat yang sudah agak pudar di beberapa bagian.
“Meskipun kamu orang yang
menyewaku untuk menjadi pengaman di kota ini.” tambah Airill begitu selesai
menegak minumannya.
Orang itu tertawa kecil sambil
duduk di samping Airill.
“Karson, berikan aku minuman yang
sama dengan yang kamu berikan kepada Tuan Airill!”.
“Segera Tuan Belder!” jawab
Karson sambil dengan cekatan menyiapkan minuman.
“Jadi, apa yang membuatmu senang
hari ini Tuan Airill?” tanya Tuan Belder.
Airill memasukkan kalung yang dia
ambil dari pemuda berambut pirang tadi pagi ke dalam saku bagian dalam jaket
perlahan, berharap Tuan Belder tidak
tertarik dengan benda itu.
“Hanya sesuatu yang membuatku
teringat sebuah janji. Sesuatu yang sudah aku tunggu sejak aku bekerja di
sini.” Airill tersenyum tipis sambil memberi isyarat kepada Karson untuk
mengisi kembali gelasnya.
“Janji?” Tuan Belder
mengernyitkan dahi.
“Hanya cerita konyol. Sudahlah,
tidak perlu dibahas. Lagipula orang itu sudah tiada.” Airill menegak minuman
keduanya sambil berlalu.
“Karson, masukan tagihanku kepada
Tuan Belder. Dia akan senang hati membayarnya!” Airill berujar sambil berlalu
meninggalkan kedai minum dan Tuan Berdel.
Airill tidak peduli dengan apa
pendapat Tuan Berdel tentang kelakuannya, meski dia melihat Tuan Berdel hanya
tersenyum, dia yakin kalau saja dia tidak sehebat dengan apa yang dibicarakan
oleh orang-orang, mungkin sudah Tuan Berdel sendiri yang akan membenamkan dia
ke dalam tanah.
*****
Suara benda jatuh terdengar,
tidak lama diikuti oleh suara benda jatuh yang lebih besar dari yang pertama.
Benda pertama menggelundung dan
akhirnya berhenti. Sebuah kepala seorang manusia, tidak jauh tubuh pemilik
kepada tersebut jatuh bersimbah darah.
Airill mengelap pedangnya yang
penuh dengan darah menggunakan kain dari pakaian orang yang baru saja dia
penggal. Wajahnya menunjukkan kalau dia sudah terbiasa melakukan hal tersebut.
Dia mengitarkan pandangannya kepada penduduk kota.
Wajah-wajah ketakutan tapi tidak
berdaya.
Cih batin Airill. Perlahan dia
berjalan menuruni panggung tempat penjegalan sambil menyarungkan pedangnya ke
punggung.
Para prajurit memerintahkan para
penduduk untuk membubarkan diri setelah sebelumnya mereka meminta penduduk
untuk berkumpul dan menyaksikan salah satu dari mereka dihukum karena
kesalahannya.
Airill menjauh sambil menyalakan
sebatang rokok. Dengan gontai dia menghisap dalam-dalam tembakau yang sudah dia
bakar. Pikirannya kembali ke masa empat belas bulan yang lalu, saat dia pertama
kali berkunjung ke kota ini. Waktu itu keadaan kota berbeda dengan sekarang,
meski tetap saja penduduk dalam penderitaan yang sama. Tapi dulu keadaan tidak
setragis ini, sejak Amperis, sang Gubernur kota ini mengembangkan semacam ilmu
yang aneh, keadaan mulai berubah. Beberapa penduduk desa menjadi korban sebagai
kelinci percobaan.
Berminggu-minggu setelah keadaan
menjadi kacau, beberapa penduduk desa memberontak. Tapi prajurit yang dipimpin
oleh Tuan Belder berhasil mengalahkan mereka dan tidak membiarkan satupun dari
para pemberontak itu hidup, bahkan keluarga dari para pemberontak juga
dimusnahkan. Sementara penduduk yang tertinggal hanyalah mereka yang dengan
pasrah menerima hidup menjadi budak-budak Amperis.
Dirinya yang kebetulan mengembara
dan berhenti di kota ini pada awalnya mendapat perlawanan dari para prajurit.
Tapi kemudian Tuan Belder yang mengetahui kalau Airill adalah seorang prajurit
bayaran menyewanya sebagai pengaman kota ini, dan beginilah kisah hidupnya
sekarang. Sejak beralih pekerjaan menjadi prajurit upahan, ini adalah pekerjaan
ketiga yang dia lakukan sebagai prajurit bayaran.
Airill menemukan sebuah pohon
besar dan rindang, rokoknya telah habis. Dengan sekali hentak dia melompat dan
mendarat dengan mulus di salah satu batang pohon yang berjarak kira-kira 16
kaki dari permukaan tanah.
“Fletchia, bisakah kamu melihat
keadaan disekelilingmu?” gumam Airill.
#####
0 comments:
Post a Comment