Airill - Chapter 1


Seorang remaja laki-laki jatuh tersungkur ke tanah setelah sebuah pukulan telak mengahantam ulu hatinya. Tanpa memberi kesempatan untuk bernafas, Airill yang tadi memberi bogem mentah kepada si pemuda, memberikan sebuah hadiah lagi berupa injakan keras di kepala si pemuda. Rambut pirang si pemuda kotor bercampur dengan tanah becek.

“Cepat!” ancam Airill. Sengaja dia tidak memberi kesempatan pada si pemuda untuk melakukan tindakan melawan, tersenyum menyeringai dia semakin menenggelamkan kepala si pemuda ke tanah. Airill bisa melihat si pemuda kesulitan untuk bernafas apalagi untuk berkata-kata.

“Tuan Airill, apa Tuan tidak kelewatan. Kalau anak ini sampai mati bagaimana?” seorang yang berdiri di belakang Airill mencoba menyudahi penyiksaan ini.

Airill menoleh. Menghentikan penyiksaannya namun masih tetap menginjak kepada anak itu. Dia menatap orang yang menegurnya, wajah orang yang menegur langsung pucat pasi. Dengan tajam dia menatap, mengirimkan pesan “berani sekali kamu menganggu kesenanganku!”, tidak peduli walau yang ditatapnya adalah seorang kepala prajurit.

Airill sedikit mengangkat topi koboi hitamnya, menatap ke semua prajurit yang berada di pos penjaga pintu masuk kota. Mengitarkan pandangannya ke sekeliling. Belasan prajurit sedang berjaga di pos yang tidak terlalu besar. Pos dari kayu yang sudah lapuk di beberapa bagian bersanding dengan pagar dari batang kayu berukuran besar mengelilingi kota Inghada.

Airill kembali menatap Kepala prajurit. 

“Heh!” tegas Airill. Dia bisa menangkap si Kepala prajurit sedikit gemetar.
“Aku sedang kesal dan tidak punya uang!” jelasnya lagi.

Kepala prajurit dan anak buahnya langsung terdiam tidak berani membantah. Mereka sudah paham dengan tabiat Airill bila lagi sedang tidak “baik”. Entah karena tidak punya uang, lagi lapar, kesal dan lainnya, pasti kejadian serupa ini akan terjadi. 

“Heh bocah tengik!” Airill kembali melanjutkan menekan kepala remaja berambut pirang dengan kakinya. Matanya melirik ke arah para prajurit, awas saja kalau ada yang berani menghentikannya lagi pikir Airill.

“Cepat serahkan uangnya!” Airill menggeram, kesabarannya sudah habis. Dengan kaki dia sedikit memalingkan wajah si pemuda sehingga dia bisa melihat salah satu mata si pemuda. Tersenyum menyeringai dia melihat ketakutan yang amat sangat terpancar dari salah satu mata pemuda itu.

“Waktumu sudah habis!” Airill langsung mencabut pedang hitam legamnya, dan menebaskannya ke arah si pemuda.

Airill bisa menyaksikan si pemuda panik bukan kepalang, matanya tertutup dan, meski mulutnya penuh dengan tanah, pemuda itu memaksakan diri untuk berteriak. Tapi tidak ada alasan baginya untuk menghentikan ayunan pedangnya.

Bunyi sesuatu yang tersayat terdengar disela-sela teriakan pemuda. Kemudian terdengar suara benda-benda berjatuhan. Dengan sedikit memaksa, si pemuda melirik. Tidak ada darah, tidak ada rasa sakit.

Airill mengamati benda-benda yang berjatuhan dari kantung yang dibawa pemuda itu. Dengan ujung pedang dia memilah-milah, memperhatikan barang-barang yang berjatuhan dari kantung yang dia tebas tadi.

“Cih, tidak ada yang berharga. Ternyata kamu memang berkata jujur.” Airill melengos sambil menaruh kembali pedangnya ke sarung yang berada di punggung. Perlahan dia melepaskan injakannya sambil mengibaskan jaket hitam yang panjangnya hampir mengenai mata kakinya.

Airill membalikkan tubuh si pemuda, masih dengan menggunakan kaki. Dengan seketika dia mengamati si pemuda, wajah yang sangat pucat dan celana yang basah.

Airill mendengus, dasar laki-laki lemah batinnya. Tiba-tiba matanya tertuju pada kalung yang bergelantung di leher pemuda yang dari tadi tertutup oleh pakaian yang pemuda itu kenakan. Dia sedikit menunduk untuk mengamati lebih jelas, tersenyum dia memegang kalung itu.

“Wah, bocah pengecut seperti kamu tidak seharusnya membawa barang yang sangat berharga ini ke mana-mana. Lebih baik aku simpan saja.” kata Airill sambil menggenggam kalung dan bersiap untuk menariknya.

Airill tidak sedikitpun kaget saat si pemuda itu menggenggam tangannya. Namun dia sempat berpikir darimana datangnya kekuatan itu.

“Ini warisan berharga dari mendiang Ibuku. Tidak akan aku biarkan kamu memilikinya!” kata si pemuda. Airill bisa merasakan genggaman pemuda itu semakin erat, meski sama sekali tidak berarti baginya.

Kepala prajurit dan pasukannya menghela nafas, pemuda itu telah menggali kuburannya sendiri. Airill de Pillan, mantan pemburu hadiah yang akan menggunakan cara apa saja untuk mendapatkan yang dia inginkan. Yang menurut kabar telah dengan sengaja membunuh rekannya sendiri demi mendapatkan uang hadiah.

Airill tersenyum menyeringai,

“Aku rasa Ibumu akan senang kalau kalung yang dia berikan ini berguna bagi orang yang lebih membutuhkan!” kata Airill sambil mengambil sebuah senjata api dengan tangan kirinya. Perlahan dia mengarahkan moncong senjata api ke dalam mulut si pemuda.

Airill bisa melihat dengan jelas mata pemuda terbelalak menatap senjata api. Dia merasakan genggaman tangan si pemuda berkurang dan akhirnya lemas meski tidak terlepas. Kuping tajamnya mendengar aliran air yang kembali membasahi celana si pemuda.

*****

Airill duduk tersenyum di sebuah kedai minum sambil memandang kalung yang baru saja dia dapatkan.

“Karson, berikan aku minuman yang terbaik. Hari ini aku sedang senang.” katanya sambil tersenyum penuh kemenangan

Karson, sang penjual dengan sigap mengambil sebuah minuman dari sebuah botol yang terlihat mahal. Sebanding dengan harga yang harus dibayar. Dengan cekatan dia menuangkan isinya ke dalam ke gelas berukuran kecil dan meletakkan di hadapan Airill.

Airill hendak menegak habis minuman tersebut, sebuah tepukan di bahunya membuatnya mengurungkan niat untuk minum. Dia meletakkan kembali gelas tersebut.

“Aku dengar kamu mengacau lagi di pos penjaga pintu utama?” sebuah suara yang serak mengiringi genggaman tangan yang semakin erat di bahu Airill.

“Cih, aku akan lakukan apapun yang ingin aku lakukan. Tidak ada seorangpun yang bisa mengubah itu. Tidak juga kamu!” tegas Airill sambil mengambil kembali gelasnya dan meminum dengan sekali tegak setelah mengetahui siapa orang yang menepuk bahunya tadi.

Orang itu menarik kursi kayu bulat berwarna coklat yang sudah agak pudar di beberapa bagian.
“Meskipun kamu orang yang menyewaku untuk menjadi pengaman di kota ini.” tambah Airill begitu selesai menegak minumannya.

Orang itu tertawa kecil sambil duduk di samping Airill.

“Karson, berikan aku minuman yang sama dengan yang kamu berikan kepada Tuan Airill!”.

“Segera Tuan Belder!” jawab Karson sambil dengan cekatan menyiapkan minuman.

“Jadi, apa yang membuatmu senang hari ini Tuan Airill?” tanya Tuan Belder.

Airill memasukkan kalung yang dia ambil dari pemuda berambut pirang tadi pagi ke dalam saku bagian dalam jaket perlahan, berharap Tuan Belder tidak  tertarik dengan benda itu.

“Hanya sesuatu yang membuatku teringat sebuah janji. Sesuatu yang sudah aku tunggu sejak aku bekerja di sini.” Airill tersenyum tipis sambil memberi isyarat kepada Karson untuk mengisi kembali gelasnya.

“Janji?” Tuan Belder mengernyitkan dahi.

“Hanya cerita konyol. Sudahlah, tidak perlu dibahas. Lagipula orang itu sudah tiada.” Airill menegak minuman keduanya sambil berlalu.

“Karson, masukan tagihanku kepada Tuan Belder. Dia akan senang hati membayarnya!” Airill berujar sambil berlalu meninggalkan kedai minum dan Tuan Berdel.

Airill tidak peduli dengan apa pendapat Tuan Berdel tentang kelakuannya, meski dia melihat Tuan Berdel hanya tersenyum, dia yakin kalau saja dia tidak sehebat dengan apa yang dibicarakan oleh orang-orang, mungkin sudah Tuan Berdel sendiri yang akan membenamkan dia ke dalam tanah.

*****

Suara benda jatuh terdengar, tidak lama diikuti oleh suara benda jatuh yang lebih besar dari yang pertama.

Benda pertama menggelundung dan akhirnya berhenti. Sebuah kepala seorang manusia, tidak jauh tubuh pemilik kepada tersebut jatuh bersimbah darah.

Airill mengelap pedangnya yang penuh dengan darah menggunakan kain dari pakaian orang yang baru saja dia penggal. Wajahnya menunjukkan kalau dia sudah terbiasa melakukan hal tersebut. Dia mengitarkan pandangannya kepada penduduk kota.

Wajah-wajah ketakutan tapi tidak berdaya.

Cih batin Airill. Perlahan dia berjalan menuruni panggung tempat penjegalan sambil menyarungkan pedangnya ke punggung.

Para prajurit memerintahkan para penduduk untuk membubarkan diri setelah sebelumnya mereka meminta penduduk untuk berkumpul dan menyaksikan salah satu dari mereka dihukum karena kesalahannya.

Airill menjauh sambil menyalakan sebatang rokok. Dengan gontai dia menghisap dalam-dalam tembakau yang sudah dia bakar. Pikirannya kembali ke masa empat belas bulan yang lalu, saat dia pertama kali berkunjung ke kota ini. Waktu itu keadaan kota berbeda dengan sekarang, meski tetap saja penduduk dalam penderitaan yang sama. Tapi dulu keadaan tidak setragis ini, sejak Amperis, sang Gubernur kota ini mengembangkan semacam ilmu yang aneh, keadaan mulai berubah. Beberapa penduduk desa menjadi korban sebagai kelinci percobaan.

Berminggu-minggu setelah keadaan menjadi kacau, beberapa penduduk desa memberontak. Tapi prajurit yang dipimpin oleh Tuan Belder berhasil mengalahkan mereka dan tidak membiarkan satupun dari para pemberontak itu hidup, bahkan keluarga dari para pemberontak juga dimusnahkan. Sementara penduduk yang tertinggal hanyalah mereka yang dengan pasrah menerima hidup menjadi budak-budak Amperis.

Dirinya yang kebetulan mengembara dan berhenti di kota ini pada awalnya mendapat perlawanan dari para prajurit. Tapi kemudian Tuan Belder yang mengetahui kalau Airill adalah seorang prajurit bayaran menyewanya sebagai pengaman kota ini, dan beginilah kisah hidupnya sekarang. Sejak beralih pekerjaan menjadi prajurit upahan, ini adalah pekerjaan ketiga yang dia lakukan sebagai prajurit bayaran.

Airill menemukan sebuah pohon besar dan rindang, rokoknya telah habis. Dengan sekali hentak dia melompat dan mendarat dengan mulus di salah satu batang pohon yang berjarak kira-kira 16 kaki dari permukaan tanah.
“Fletchia, bisakah kamu melihat keadaan disekelilingmu?” gumam Airill.
#####

0 comments:

Post a Comment