Admon mengangkat
tangan kirinya, menunggu sang rajawali yang sedari tadi mengitari langit tepat
di atasnya. Pria bertubuh tegap namun tidak terlalu kekar itu bersiul kencang,
dan rajawali berbulu coklat gelap itu langsung menukik turun. Kemudian secara
mendadak sang rajawali mengurangi kecepatan dan bertenger di lengan pria
berambut merah.
Sebuah
perkamen kecil diikat di kaki Biza, rajawali yang sudah belasan tahun menjadi
salah satu dari hewan ‘indera’-nya. Admon mengambil pesan dari seseorang yang
dia kenal di kerajaan tempat dia bernaung. Dahinya mengernyit, sesuatu yang
tidak dia duga sudah terjadi di kampung halaman. Sesuatu yang sepertinya akan
semakin membesar jika tidak segera di selesaikan. Pesan singkat yang hanya
berisi empat kata.
Setelah
membakar pesan itu dengan sihir api biru dari tangannya, Admon mengisyaratkan
agar Biza kembali mengangkasa, untuk mencari kembali pesan dari orang-orang
yang mempunyai hubungan erat dengan dirinya. Sedikit pesan bergegas, dia
mengeratkan jubah dan memasang tudung kepala. Berjalan melewati jalan yang
tidak biasa dilalui orang kebanyakan, sebagai seorang yang terlatih untuk
membunuh secara diam-diam, dia tidak boleh terlihat mencolok di depan
masyarakat. Apalagi kali ini dia harus bergegas, dengan satu perintah yang
sangat jelas: Membunuh Makkie!
***
Setengah
purnama berlalu, Admon sudah memasuki perbatasan kerajaan. Dia menghentikan
langkahnya, memperhatikan keadaan sebelum menuju ke arah cermin pelintas, sebagai jalan pintas. Malam di terangi terang dari
cahaya bulan penuh, dia berjalan di antara gerakan bayang-bayang pepohonan
untuk menuju cermin pelintas terdekat
dari sini.
Tidak butuh lama bagi seorang Moorlakh seperti dirinya untuk berlari
tanpa terlihat, cermin pelintas
terdekat yang berada di bukit kuda-tanduk tinggal beberapa langkah lagi. Admon
berhenti sebentar, dia merasakan ada hawa yang aneh menyelimuti kerajaan ini.
Sesuatu yang gelap, lebih gelap dari ilmu membunuh tanpa-belas yang dia miliki.
Dia melirik ke arah kastil yang bisa terlihat dari bukit kuda-tanduk,
cahaya sihir bermunculan. Semoga aku tidak terlambat batinnya. Admon membaca mantra, cahaya ungu berpendar di cermin
pelintas. Dia memegang permukaan kaca berukuran dua kali
lipat tubuh manusia itu. Keras permukaan kaca cermin pelintas perlahan berubah menjadi lunak, dan liat seperti
lempung basah.
Mantra kedua dia baca, rapalan untuk membawa
dirinya menuju cermin pelintas yang
berada di sisi lain kastil. Lokasi yang sangat dia sukai saat menyendiri di kerajaan
ini, satu dari dua cermin pelintas
yang ada di hutan pinus merah.
Cahaya hitam menyeruak dari dalam cermin pelintas, sampai sekarang Admon
masih merasa ngilu di bagian persendian dan rahang saat melakukan perpindahan tempat ini. Meski dia sudah
ribuan kali menggunakan bermacam sihir berpindah
tempat, rasa itu masih saja ada sampai sekarang.
Pandangannya tidak merasakan tubuhnya bergerak
masuk ke dalam cermin pelintas, hanya
keadaan di sekeliling yang berubah. Perlahan menjadi gelap, dan kembali terang
namun dengan tempat yang berbeda.
Berdiri dengan posisi yang sama saat dia memegang
cermin pelintas, dan membaca kata kunci untuk berpindah tempat, Admon mendapai
dirinya sudah berada di hutan pinus merah. Aroma khas hutan ini membuat Admon
merasakan rindu yang dalam. Tugas ‘berburu’ keluar kastil membuat dia selalu
merindukan kerajaan ini.
Ah, tidak ada waktu buat menikmati ini semua
pikir Admon. Bergegas dia menuju ke kastil, untuk mencari sang pengirim berita,
atau bertemu dengan sang ratu untuk mendapatkan keterangan lebih banyak lagi.
Baru saja dia berjalan beberapa langkah, dia mencium aroma masakan yang
menerbitkan selera makannya. Namun ada sesuatu yang aneh, ingatannya tidak
salah.
Dengan sembunyi-sembunyi, dia mendekat ke arah
sumber bau masakan. Dilihatnya seorang wanita memakai topi pemasak istana
sedang tertawa menyeringai, mata perempuan itu memancarkan hawa jahat.
Sementara seorang perempuanlagi sedang berdiri terpaku tidak jauh dari si koki.
Admon mengenali orang itu, Faye dari kerajaan tetangga. Tubuh Ratu
kerajaan itu tiba-tiba disentak oleh sihir sang koki, melayang tegak dan
digerakkan tepat di atas kuali besar yang berisi cairan dengan bermacam
tumbuhan yang tidak jelas. Dia bisa mengetahui seberapa panas cairan mendidih yang
berada di dalam kuali sang koki. Perlahan dia mendekat, tidak menumbulkan suara
dan tanpa gerakan tiba-tiba.
Sepertinya sang Koki sudah siap untuk memasak diri sang Faye, perlahan
Koki yang Admon yakini sedang kerasukan itu mengangkat kedua tangan dan tubuh
perempuan dengan baret merah itu
perlahan semakin mendekat ke permukaan kuali. Dari tempat dia berdiri, dia bisa
melihat ujung sepatu Irena sang Faye sudah menyentuh cairan yang menggelegak.
Dia harus segera beraksi, dia menjulurkan tangan kanan.
Kilatan-kilatan cahaya merah muncul, membentuk sebuah bola kecil di permukaan
telapak tangan yang mengarah ke kuali. Satu hentakan kecil, bola kecil itu
melesat. Dengan kecepatan luar biasa, Admon melesat ke arah Faye dan menangkap
perempuan itu seiring dengan suara dentuman dari kuali yang pecah.
Admon melesat dengan lincah dari pohon ke pohon, suara makian dari
sang Koki yang terdengar semakin pelan, tanda mereka semakin menjauh dari Koki
pemakan manusia itu. Diliriknya Faye mengerjapkan mata, dan memandangnya dalam.
Dia merasakan kalau Faye sedang mencoba mengingat dirinya. Beruntung, mantra
sihir penghapus ingatan yang dia
mantrakan ke Faye masih bekerja.
Saat menemukan sebuah tempat yang lapang di dekat sebuah jalan setapak,
Admon melepaskan Faye dari pelukan, didudukkan bersender pada sebuah pohon
besar. Faye masih tidak bergerak, namun mata perempuan itu bisa berkedip.
Perlahan dia meletakkan tangan ke arah kening Faye yang masih tidak bisa
bergerak akibat sihir dari Koki Istana. Setelah menempelkan tangan di kening,
dia merapal mantra yang perlahan menjalar ke seluruh tubuh perempuan yang ada
hubungan masa lalu dengan dirinya itu.
“Kamu, tidak apa-apa Faye?” Admon bertanya.
Faye mengernyitkan dahi, Admon merasakan Faye semakin bingung. Mulutnya
belum bisa berucap, dia hanya bisa menggeleng pelan.
“Bagaimana dengan Karin?” tanya Admon sambil menatap dalam, tapi tidak
ada jawaban dari Faye.
“Aku sudah melepaskan mantra sihir pengikat tapi mungkin butuh
beberapa waktu sampai tubuhmu bisa bergerak seperti biasa.” ujar Admon lagi.
Dengan cepat dia mengumpulkan beberapa ranting kering dan membuat
sebuah api unggun kecil sambil berjaga di dekat Faye. Admon membuat sihir pembatas di sekitar Faye, dan
meninggalkan perempuan itu saat tertidur.
***
Admon menghindari beberapa pertarungan yang terjadi, dia harus
menemukan Makkie atau sang Ratu sebelum semuanya menjadi terlambat. Ini tidak
seperti yang terlihat, ada hal lain yang terselip di rencana Makkie. Battle
Royale ini hanya kamuflase.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara benturan di dinding lorong-lorong
istana, dari tempat tidak terlihat Admon menyaksikan pertarungan antara Sang
Penasehat dengan Kepala Pelayan sang Ratu. Tidak ingin turut campur, dia
menjauh. Mengambil jalan lain untuk menuju kamar Ratu, melalui lorong dekat
Ruang Pustaka.
Suara gaduh kembali dia dengar, kali ini arahnya dari Ruang Pustaka
yang tepat berada di samping lorong. Admon berhenti sejenak untuk mengamati
keadaan, dan sebuah getaran hebat terasa. Bergegas dia mencari jalan terdekat
untuk masuk ke dalam Ruang Pustaka, ada Aocchi di sana. Semoga tidak terjadi
apa-apa dengan perempuan itu.
Sedikit terkejut dia melihat makhluk raksasa dengan tinggi hampir
mencapai langit-langit Ruang Pustaka tiga tingkat ini.
“Maltese” gumam Admon begiu melihat maklhuk bekaki empat dengan
delapan pasang suluryang di bagian ujungnya terdapat bentuk seperti kaki bebek,
berselaput dengan empat jari yang dilengkapi dengan kuku-kuku yang kuat dan
tajam. Dan tidak lupa lima kepala mirip dengan ular.
Dia melihat ke arah Aocchi, sang pemilik makhluk.
“Selamat datang, Maltese!” sapa Aocchi yang tidak menyadari
keberadaannya. Admon bisa melihat tatapan mata Aocchi serupa dengan mata Yuu
sang Koki.
“Sekarang, mengamuklah!” perintah perempuan itu kepada Maltese.
“Celaka!” batin Admon. Dia
membuat sihir pelindung dan
memojokkan dirinya sedekat mungkin ke dinding Ruang Pustaka.
Dengan segera makhluk itu menyerang, lima kepala ularnya memuntahkan
belasan bola api dengan sulur-sulur yang mengibas dan menghantam semua yang ada
di dekatnya.
Maltese mengamuk tidak hanya menghancurkan seisi perpustakaan tetapi
juga ruang perpustakaan ini. Langit-langit dan dinding batu rubuh dan runtuh,
Admon melihat Aocchi tidak sempat bergerak untuk menyelamatkan diri. Satu
lesatan kilat, dia menubruk dan menimpa tubuh gadis itu. Melindungi dengan
tubuh dan sihir pelindung-nya.
Dua-tiga menit berlalu, Admon sudah tidak merasakan adanya reruntuhan
lagi. Dia juga tidak merasakan kehadiran Maltese, tanda bahwa makhluk itu sudah
menghilang seiring dengan Aocchi yang pingsan.
Admon tidak mengerti, kenapa perempuan ini bisa menjadi seperti ini.
Dia menghentak punggungnya, reruntuhan yang menimpa mereka terlempar ke segala
arah. Debu beterbangan. Sambil berdiri, dia mengangkat tubuh Aocchi dan
meletakkan ke dinding Ruang Pustaka yang masih utuh.
Dia meletakkan telapak tangan kanan di atas kepala Aocchi, merapal
mantra untuk memeriksa kondisi yang tidak lazim di tubuh perempuan penjaga
Ruang Pustaka ini. Dan akhirnya dia menemukan seekor makhluk parasit kecil
menggeliat di tengkuk Aocchi.
“Tungie!” desis Admon
***
Admon memeriksa keadaan sekitar, mencoba mencari tahu siapa lawan
Aocchi.
“Irac! Kujnut!” rapal Admon, seketika matanya berselimutkan cahaya biru
terang.
Dia melihat ada seseorang yang tertimpa reruntuhan di dekat rerentuhan
rak buku. Dengan segera dia mendekat dan menghancurkan benda-benda yang menimpa
sosok itu. Begitu cahaya terang mengenai wajah sosok itu, sang gadis memicingkan
mata. Dia melihat darah keluar dari kening gadis itu.
Admon masih berusaha menghancurkan puing-puing reruntuhan. Setelah
tidak ada puing yang menimpa gadis itu, dia berjongkok untuk memeriksa apakah
si gadis cedera parah atau tidak. Dia mengangkat dan memindahkan gadis ke dekat
Aocchi.
Setelah menyenderkan sang gadis, dia mengambil air dari kantung minum
dan membersihkan wajah gadis itu dari darah yang mulai mengering.
“Ka-karin?!” gagap Admon begitu mengenali wajah yang sudah bersih dari
darah.
“Hei, kamu baik-baik saja?” segera saja dia menepuk kecil pipi kanan Karin
untuk menyadarkannya.
Karin membuka mata, mengerjapkan beberapa kali. Admon mendapati gadis
itu masih belum bisa memandang dia dengan jelas.
“Ka-kamu..siapa?” tanya Karin mencoba
untuk bangun.
“Rebahkan saja dirimu dulu.” kata Admon begitu mendapati Karin
merasakan sakit kepala.
“Jangan takut, Aocchi tidak akan menyerangmu lagi. Aku sudah
melenyapkan parasit di kepalanya.” kata Admon yang melihat Karin sedang
mengamati Aocchi.
Dia pun beranjak dan berlalu,
“Dan Faye baik-baik saja.” kata Admon sebelum berjalan meninggalkan
dua gadis itu.
***
Admon berpikir keras, tungie
sempat menjadi bahan perbincangan menarik di kastil. Tujuan awal diciptakan tungie adalah sebagai senjata untuk
mengendalikan para prajurit tanpa-nyawa. Namun sang Ratu tidak terlalu
menyetujui rencana ini, sehingga proyek tungie
pun tidak lagi dilanjutkan.
Berjalan di bagian gelap lorong, Admon mendapati seorang wanita yang
sudah lama tidak dia jumpai. Sepertinya wanita itu baru saja datang ke dalam
kastil melalui cermin pelintas yang terletak di dalam kastil.
“Lama tidak berjumpa, Akina!” Admon
menyapa terlebih dahulu.
Akina tersenyum.
“Ya, aku tidak menyangka masih menjumpaimu di tempat ini.” jawab Akina
sambil berjalan menuju salah satu jendela tanpa pintu terdekat, memperhatikan
keanehan yang terjadi di kerajaan.
Admon bergerak perlahan, masih bersembunyi di antara kegelapan lorong.
“Siapa yang akan kamu hapus kali ini?” tanya Akina.
Dia sedikit memuji, Akina masih ingat dengan jelas tugas seorang dirinya
sebagai seorang moorlakh.
Admon tidak menjawab, hanya
mendekat dan ikut menatap ke luar. Dia tidak akan menjawab pertanyaan Akina
karena memang begitulah aturan para moorlakh, dan dia yakin Akina sudah
mengetahui itu.
Sebelum Akina melanjutkan berbicara, Admon berlalu dan segera
melanjutkan pekerjaannya, berjalan sembunyi-sembunyi dalam bayang-bayang.
***
0 comments:
Post a Comment