Gie melesat tanpa suara, melepaskan sebuah tendangan ke arah
pria berambut cokelat dengan senjata api, begitu penduduk luar memanggil tongkat pemuntah bola besi tersebut.
Pria jangkung itu berkelit,
memundurkan tubuh ke belakang dan menjauh. Gadis yang ditodong dengan cepat
memanfaatkan keadaan itu untuk melompat ke bawah, mengambil sesuatu tidak jauh
dari akar pohon.
“Nona, kamu tidak
apa-apa?” tanya Gie begitu mendarat di dahan pohon tempat si pria dan gadis berambut
hitam itu berada tadi.
Gadis berambut
panjang itu mengangguk, raut wajahnya menampakkan ekspresi dia tidak mengenal Gie.
Wajar, karena Gie juga tidak mengenal gadis itu. Dia hanya ingin menyelesaikan
kegilaan yang terjadi di negeri ini.
Wanita fang itu menatap
pria dengan jubah kelabu panjang yang sekarang berdiri di dahan pohon tidak
jauh dari tempat dia berada. Senjata api sudah teracung mengarah dirinya.
Sedikit keraguan merasuk ke dalam pikiran Gie, kekuatannya sedikit melemah
setelah bertarung dengan si penyihir tumbuhan yang memiliki jiwa-jiwa
menakutkan. Butuh sedikit lebih lama untuk mengembalikan kekuatan.
Gie melirik ke
bawah, gadis itu telah menemukan benda yang dicari. Sebuah kuas. Dia teringat
kepada si penjaga perpustakaan istana yang juga memiliki benda yang sama. Lamunannya
terhenti, dua-tiga suara ledakan dan mendesing terdengar, dengan satu kelebat
cepat dia menoleh ke arah sumber suara. Bola-bola besi dimuntahkan oleh senjata
api pria berambut coklat tadi. Beruntung kecepatan benda-benda kecil itu masih
kalah cepat dengan kecepatan fang-nya.
Bergerak ke
samping, Gie menghindar dengan mudah. Peluru-peluru mengenai batang pohon,
menancap sangat dalam tapi tidak sampai tembus. Sedikit terkekeh, dia merasa
senjata itu tidak begitu berarti bagi dirinya. Meski kekuatannya belum pulih
benar, namun kemampuan menyembuhkan diri dengan cepatnya pasti bisa
menyelamatkan dirinya dari bola-bola kecil.
Suara ledakan
kembali terdengar, kali ini dua peluru melesat ke arah Gie. Kembali dia tidak
kerepotan menghindar. Bosan dengan serangan lemah itu, dia melompat dari pohon
ke pohon. Mengambil jalan memutar, menghindar dari tiga peluru yang baru saja
ditujukan kepada dirinya. Dengan cepat dia melakukan serangan balik ke arah si
penembak.
Namun saat Gie
akan mengenalkan kuku-kuku beracun tangan kanannya, dia merasa ada sesuatu yang
tidak beres. Pria itu tersenyum, seakaan sengaja menunggu kedatangannya. Tersadar,
dia merasakan sesuatu mendekat ke arah dia dari belakang.
“Ti-tidak
mungkin!” kata Gie saat dia membalikkan badannya. Tiga peluru tadi mengikuti
dirinya, sihir pengejar. Tidak sempat
bagi dirinya untuk menghindar pada saat melayang di udara, dia hanya bisa
memejamkan mata.
Suara tiga peluru
menusuk benda empuk, namun Gie tidak merasakan sakit di tubuhnya. Dia membuka
mata, dan mengamati tubuhnya. Tidak ada yang mengenai dirinya satupun.
Dilihatnya tiga sosok putih menghalangi jalur peluru-peluru itu. Perlahan
sosok-sosok itu meleleh, dan kemudian mencair seperti pewarna lukisan.
Dilihatnya gadis
dengan kuas tersenyum, dan memberi isyarat dia akan membantu melawan si
penembak. Gie menyeringai, dia tidak pernah menduga kalau gadis itu akan
membantunya. Dia pikir pengguna kuas itu akan meninggalkan dia dan berlari ke
tempat yang aman. Sudah lama dia tidak merasakan perasaan ini. Perasaan
memiliki seseorang yang mendukung, seorang teman. Bukan, ini bukan sekedar
teman. Ini lebih hangat.
Gie pun segera
mencari tempat mendarat di salah satu batang pohon terdekat, dan melesat
menyerang si penembak.
***
Kira hanya pasrah
saat nafasnya semakin tersengal, cengkeraman di leher semakin menguat. Orang
yang tergila-gila kepadanya itu kini berbalik menyerang dia. Ingin rasanya dia
melawan, namun dia juga tidak ingin Rea terluka. Tidak pernah dia berpikir
untuk tewas di tangan orang yang disukai seperti ini. Namun mungkin tidak buruk
juga, pikirannya semakin tidak menentu. Bisa saja dia mengerahkan tenaga yang
tersisa untuk menyerang Rea, tapi hatinya tidak sanggup.
Tiba-tiba, dia
merasakan kelebat hitam melesat. Menghantam Rea, sehingga melepaskan
cengkeraman di lehernya. Kira jatuh ke
tanah, segera dia menghirup udara sebanyak-banyaknya.
“Kamu tidak
apa-apa?” sebuah suara yang Kira kenal terdengar tidak jauh dari tempat dia
terjatuh.
“Ea? Kamukah
itu?” mata Kira menangkap sesosok gadis sebaya yang memunggunginya, memakai
pakaian serba gelap.
“Istirahatlah
dulu. Biar aku menghadapi orang ini.” kata Ea.
“Beri aku waktu,
kita hadapi mereka bersama.” lirih Kira, sambil terbatuk-batuk.
“Mereka? Aku
tidak melihat ada yang lain.” Ea sedikit menoleh ke belakang.
Kira memfokuskan
mata, mengitarkan pandangan ke sekililing. Tidak ada orang lain selain mereka
bertiga. Smith sudah menghilang.
“Sudah, pulihkan
dulu tenagamu. Orang ini biar aku hadapi.” kata Ea sambil bersiaga untuk
menyerang Rea.
Kira mengangguk,
“Jangan bunuh
dia, dia hanya terkena pengaruh semacam mantra.” Kira menatap Rea dengan
tatapan penuh kesedihan. Dia bergumam pelan, “Bertahan Rea.”
***
Irene terengah-engah, labirin yang baru saja dia lalui cukup
menguras tenaganya. Beberapa kalia dia harus bertarung dengan makhluk-makhluk
aneh. Dia menatap isi tas kecilnya, masih ada tiga botol kecil ramuan penambah
tenaga. Segera saja dia mengambil satu dan meminumnya.
Mata Irene menangkap sekelebat bayangan.
“Tabib?” dia bertanya pada kesunyian tempat itu. Taman penuh
dengan bunga dan sebuah kediaman kecil yang bentuknya seperti kepala luak.
Tidak terlihat tanda-tanda manusia, atau hewan. Tidak juga serangga-serangga
atau lebah-lebah yang biasa berkumpul di dekat taman bunga.
Kali ini Irene merasakan kelebat bayangan dari belakang, dia
menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Perlahan dia merapal mantra pengindai.
Mempertajam semua indera yang dia miliki. Saat matanya menangkap kelebat
bayangan hitam, dia mengetahui bentuk bayangan itu. Postur makhluk itu seperti manusia dengan perawakan yang lebih
besar dari dirinya. Bayangan itu bergerak dengan cepat, meski sulit bagi
matanya untuk mengikuti, tapi dia bisa menebak arah gerakannya. Dia menduga
makhluk itu tidak mempunyai intelijensi tinggi.
Irene meluruskan tangan kanan ke atas, memunculkan sebuah
buku berukuran besar. Tidak ada alasan bagi dia untuk meremehkan lawan setelah
dia hampir tewas oleh serangan Smith. Dengan kedua tangan, dia memegang buku
tebal dan besar tersebut sambil mengamati pola gerakan bayangan hitam bergerak
sesuai dengan perkiraannya.
Dengan tajam, Irene memandang pergerakan makhluk itu. Satu
lompatan kecil ke kiri, satu lompatan kecil ke kanan, dan satu lompatan panjang
ke kiri, kemudian melesat cepat melintas di dekatnya. Begitu pola yang
dibacanya.
Kali ini Irene bersiaga, setelah sosok itu melintas cepat di
samping. Segera dia berbalik dan menunggu gerakan dari bayangan. Tepat setelah
satu lompatan panjang dari lawan, dia mengayunkan buku besar sehingga tepat
menghantam makhluk itu saat melesat ke sampingnya.
Suara benturan terdengar. Beruntung bagi Irene, dia sudah
terbiasa dengan gelombang kejut yang terjadi. Makhluk itu jatuh telentang,
pingsan. Karena Irene tidak melihat ada gerakan lain dari makkhluk itu selain
bernafas.
Irene mendekati ke arah makhluk itu, terdengar erangan
kecil. Dia menajamkan pandangan, untuk mengetahui siapakah orang itu, “Dandy!”
#####
0 comments:
Post a Comment