BR - Act 12


Gie melesat tanpa suara, melepaskan sebuah tendangan ke arah pria berambut cokelat dengan senjata api, begitu penduduk luar memanggil tongkat pemuntah bola besi tersebut. Pria jangkung itu berkelit, memundurkan tubuh ke belakang dan menjauh. Gadis yang ditodong dengan cepat memanfaatkan keadaan itu untuk melompat ke bawah, mengambil sesuatu tidak jauh dari akar pohon.

“Nona, kamu tidak apa-apa?” tanya Gie begitu mendarat di dahan pohon tempat si pria dan gadis berambut hitam itu berada tadi.

Gadis berambut panjang itu mengangguk, raut wajahnya menampakkan ekspresi dia tidak mengenal Gie. Wajar, karena Gie juga tidak mengenal gadis itu. Dia hanya ingin menyelesaikan kegilaan yang terjadi di negeri ini.

Wanita fang itu menatap pria dengan jubah kelabu panjang yang sekarang berdiri di dahan pohon tidak jauh dari tempat dia berada. Senjata api sudah teracung mengarah dirinya. Sedikit keraguan merasuk ke dalam pikiran Gie, kekuatannya sedikit melemah setelah bertarung dengan si penyihir tumbuhan yang memiliki jiwa-jiwa menakutkan. Butuh sedikit lebih lama untuk mengembalikan kekuatan.

Gie melirik ke bawah, gadis itu telah menemukan benda yang dicari. Sebuah kuas. Dia teringat kepada si penjaga perpustakaan istana yang juga memiliki benda yang sama. Lamunannya terhenti, dua-tiga suara ledakan dan mendesing terdengar, dengan satu kelebat cepat dia menoleh ke arah sumber suara. Bola-bola besi dimuntahkan oleh senjata api pria berambut coklat tadi. Beruntung kecepatan benda-benda kecil itu masih kalah cepat dengan kecepatan fang-nya.

Bergerak ke samping, Gie menghindar dengan mudah. Peluru-peluru mengenai batang pohon, menancap sangat dalam tapi tidak sampai tembus. Sedikit terkekeh, dia merasa senjata itu tidak begitu berarti bagi dirinya. Meski kekuatannya belum pulih benar, namun kemampuan menyembuhkan diri dengan cepatnya pasti bisa menyelamatkan dirinya dari bola-bola kecil.

Suara ledakan kembali terdengar, kali ini dua peluru melesat ke arah Gie. Kembali dia tidak kerepotan menghindar. Bosan dengan serangan lemah itu, dia melompat dari pohon ke pohon. Mengambil jalan memutar, menghindar dari tiga peluru yang baru saja ditujukan kepada dirinya. Dengan cepat dia melakukan serangan balik ke arah si penembak. 

Namun saat Gie akan mengenalkan kuku-kuku beracun tangan kanannya, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Pria itu tersenyum, seakaan sengaja menunggu kedatangannya. Tersadar, dia merasakan sesuatu mendekat ke arah dia dari belakang.

“Ti-tidak mungkin!” kata Gie saat dia membalikkan badannya. Tiga peluru tadi mengikuti dirinya, sihir pengejar. Tidak sempat bagi dirinya untuk menghindar pada saat melayang di udara, dia hanya bisa memejamkan mata.

Suara tiga peluru menusuk benda empuk, namun Gie tidak merasakan sakit di tubuhnya. Dia membuka mata, dan mengamati tubuhnya. Tidak ada yang mengenai dirinya satupun. Dilihatnya tiga sosok putih menghalangi jalur peluru-peluru itu. Perlahan sosok-sosok itu meleleh, dan kemudian mencair seperti pewarna lukisan.
Dilihatnya gadis dengan kuas tersenyum, dan memberi isyarat dia akan membantu melawan si penembak. Gie menyeringai, dia tidak pernah menduga kalau gadis itu akan membantunya. Dia pikir pengguna kuas itu akan meninggalkan dia dan berlari ke tempat yang aman. Sudah lama dia tidak merasakan perasaan ini. Perasaan memiliki seseorang yang mendukung, seorang teman. Bukan, ini bukan sekedar teman. Ini lebih hangat.

Gie pun segera mencari tempat mendarat di salah satu batang pohon terdekat, dan melesat menyerang si penembak.

***

Kira hanya pasrah saat nafasnya semakin tersengal, cengkeraman di leher semakin menguat. Orang yang tergila-gila kepadanya itu kini berbalik menyerang dia. Ingin rasanya dia melawan, namun dia juga tidak ingin Rea terluka. Tidak pernah dia berpikir untuk tewas di tangan orang yang disukai seperti ini. Namun mungkin tidak buruk juga, pikirannya semakin tidak menentu. Bisa saja dia mengerahkan tenaga yang tersisa untuk menyerang Rea, tapi hatinya tidak sanggup. 

Tiba-tiba, dia merasakan kelebat hitam melesat. Menghantam Rea, sehingga melepaskan cengkeraman di lehernya. Kira  jatuh ke tanah, segera dia menghirup udara sebanyak-banyaknya. 

“Kamu tidak apa-apa?” sebuah suara yang Kira kenal terdengar tidak jauh dari tempat dia terjatuh.

“Ea? Kamukah itu?” mata Kira menangkap sesosok gadis sebaya yang memunggunginya, memakai pakaian serba gelap.

“Istirahatlah dulu. Biar aku menghadapi orang ini.” kata Ea.

“Beri aku waktu, kita hadapi mereka bersama.” lirih Kira, sambil terbatuk-batuk.

“Mereka? Aku tidak melihat ada yang lain.” Ea sedikit menoleh ke belakang.

Kira memfokuskan mata, mengitarkan pandangan ke sekililing. Tidak ada orang lain selain mereka bertiga. Smith sudah menghilang.

“Sudah, pulihkan dulu tenagamu. Orang ini biar aku hadapi.” kata Ea sambil bersiaga untuk menyerang Rea.
Kira mengangguk,

“Jangan bunuh dia, dia hanya terkena pengaruh semacam mantra.” Kira menatap Rea dengan tatapan penuh kesedihan. Dia bergumam pelan, “Bertahan Rea.”

***
Irene terengah-engah, labirin yang baru saja dia lalui cukup menguras tenaganya. Beberapa kalia dia harus bertarung dengan makhluk-makhluk aneh. Dia menatap isi tas kecilnya, masih ada tiga botol kecil ramuan penambah tenaga. Segera saja dia mengambil satu dan meminumnya.

Mata Irene menangkap sekelebat bayangan.

“Tabib?” dia bertanya pada kesunyian tempat itu. Taman penuh dengan bunga dan sebuah kediaman kecil yang bentuknya seperti kepala luak. Tidak terlihat tanda-tanda manusia, atau hewan. Tidak juga serangga-serangga atau lebah-lebah yang biasa berkumpul di dekat taman bunga.

Kali ini Irene merasakan kelebat bayangan dari belakang, dia menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Perlahan dia merapal mantra pengindai. Mempertajam semua indera yang dia miliki. Saat matanya menangkap kelebat bayangan hitam, dia mengetahui bentuk bayangan itu. Postur makhluk itu  seperti manusia dengan perawakan yang lebih besar dari dirinya. Bayangan itu bergerak dengan cepat, meski sulit bagi matanya untuk mengikuti, tapi dia bisa menebak arah gerakannya. Dia menduga makhluk itu tidak mempunyai intelijensi tinggi.

Irene meluruskan tangan kanan ke atas, memunculkan sebuah buku berukuran besar. Tidak ada alasan bagi dia untuk meremehkan lawan setelah dia hampir tewas oleh serangan Smith. Dengan kedua tangan, dia memegang buku tebal dan besar tersebut sambil mengamati pola gerakan bayangan hitam bergerak sesuai dengan perkiraannya.

Dengan tajam, Irene memandang pergerakan makhluk itu. Satu lompatan kecil ke kiri, satu lompatan kecil ke kanan, dan satu lompatan panjang ke kiri, kemudian melesat cepat melintas di dekatnya. Begitu pola yang dibacanya. 

Kali ini Irene bersiaga, setelah sosok itu melintas cepat di samping. Segera dia berbalik dan menunggu gerakan dari bayangan. Tepat setelah satu lompatan panjang dari lawan, dia mengayunkan buku besar sehingga tepat menghantam makhluk itu saat melesat ke sampingnya.

Suara benturan terdengar. Beruntung bagi Irene, dia sudah terbiasa dengan gelombang kejut yang terjadi. Makhluk itu jatuh telentang, pingsan. Karena Irene tidak melihat ada gerakan lain dari makkhluk itu selain bernafas.

Irene mendekati ke arah makhluk itu, terdengar erangan kecil. Dia menajamkan pandangan, untuk mengetahui siapakah orang itu, “Dandy!”

#####

0 comments:

Post a Comment