Yuki no Oni - Prolog


Yuki berlari cepat, sesekali melirik jam tangan. Berharap agar dia masih sempat untuk menaiki bus malam terakhir yang menuju distrik rumah. Sudah sepuluh menit berlalu dari jadwal bus terakhir, satu tikungan lagi maka dia akan sampai di halte. Dia mempercepat lari, bahkan hampir terjatuh saat dia berbelok. Namun dewi keberuntungan sedang tidak bersamanya. Tidak ada bus di sana, tanda bahwa bus terakhir sudah berangkat.

Hatinya mengumpat, Yuki menyesal terlalu menikmati perayaan ulang tahunnya bersama dengan teman-teman sekelas. Sebenarnya pesta sudah berakhir dua jam yang. Berkumpul dengan Reika itu berarti banyak gosip yang bisa merrka bicarakan. Tentang Makoto - pemuda paling tampan di sekolah mereka, Tetsuya – si jago basket, bahkan si Hiro berandalan namun punya jiwa sosial tinggi.
Hasilnya adalah sekarang Yuki terpaksa memutar otak bagaimana dia pulang malam ini. Dan kesialan berikutnya datang, telepon selulernya hanya menampilkan layar hitam.

“Cih, kenapa tadi aku tidak men-charge bateraiku tadi.” Yuki mengumpati dirinya sendiri. Dia menghentakkan kaki, “Bodoh. Bodoh. Bodoh.”

Yuki menyesal menolak tawaran untuk menginap di rumah Reika. Tidak lama berpikir, dia memutuskan untuk ke stasiun kereta. Jarak dari halte menuju stasiun hampir sama jauhnya jika dia kembali ke rumah Reika. Dia tidak ingin merepotkan keluarga Reika, lagipula kereta masih akan beroperasi sampai jam dua dini hari nanti. Walaupun jarak dari stasiun menuju rumah sedikit lebih jauh tapi tidak mengapa.

Mengambil beberapa jalan pintas, Yuki berusaha untuk mengejar waktu ketinggalan. Dia yakin keluarganya akan panik jika dia terlambat lebih lama lagi. Jalan-jalan kecil dan terkadang gelap tidak dia hiraukan, pikirannya hanya ada pada jadwal kereta dengan jadwal berangkat terdekat. Berharap dia tidak menunggu terlalu lama lagi jika tiba di stasiun.

Karena terlalu tidak mengacuhkan keadaan sekitar, Yuki tidak menyadari empat-lima orang sejak dari tadi mengikutinya. Baru setelah dia mendengar jelas suara tawa terkekeh mereka, dia memalingkan wajah. Menatap lima orang laki-laki yang dari cara berpakaiannya bukan orang baik-baik. Terlebih dia melihat dua orang di antaranya memegang botol minuman keras.

Yuki segera mempercepat langkahnya, firasat jelek langsung mendera. Masih sekitar separuh jalan lagi untuk sampai di stasiun. Dia merasa sudah cukup jauh dari preman-preman itu. Sesekali dia melirik, dan benar saja, tidak terlihat lagi lima pemuda bergajul tadi.

Belum sempat dia bernafas lega, sebuah cengkeraman erat memegang kedua lengannya. Sesaat kemudian sebuah tangan besar dan kasar membekap mulutnya. Tidak sampai satu menit dia sudah mendapati dirinya direbahkan di tanah dengan tangan-tangan yang memegang kedua lengan, sepasang kaki, dan juga mulutnya. Sialnya, tidak ada rumah penduduk di sekitar jalan ini, bahkan peneranganpun tidak ada.

Seberapa kuat Yuki meronta, tidak ada gunanya dibanding kekuatan lima laki-laki yang sudah terhitamkan hawa nafsu. Untuk melawan saja dia tidak bisa, apalagi untuk sekedar berteriak. Perlahan air matanya mengalir seiring dengan gerakan salah satu lelaki yang mulai melucuti pakaiannya.

Tidak dengan sopan, pria itu merobek kemeja biru muda kesukaannya. Yuki merasakan pikirannya menjadi tidak karuan. Saat pria itu menggerayangi badannya, bahkan beberapa laki-laki yang dekat ikut menjamah.

Yuki menutup mata, menangis meraung dalam bekapan para begundal. Merasakan ciuman dan jilatan paksa dari mereka. Dia hanya bisa berharap aka nada keajaiban datang. Sesuatu yang mungkin hanya akan terjadi di dalam cerita atapun film. Pasrah, ya. Dia pasrah dengan keadaan ini. Kelalaian dia berbuah hasil yang menyakitkan.

Yuki hanya bisa berdoa dalam hati, jika dia selamat dari kejadian ini, dia rela melakukan apa saja demi keajaiban itu terjadi.

“Wah, sepertinya menyenangkan sekali. Boleh aku bergabung?” sebuah suara cempreng dan serak mengagetkan Yuki. Tidak hanya dia, kelima preman itu juga sepertinya terkejut. Dia mengetahui itu dari gerakan mereka yang terhenti. Bahkan salah satu pemuda mengendurkan genggaman tangan.
Perlahan dia membuka mata, dan mendapati kelima pengacau sedang melihat ke arah satu titik. Yuki tidak melihat apapun kecuali kegelapan. Namun dari raut muka pria-pria tersebut, dia yakin mereka melihat sesuatu.

“Siapa kamu?!” tanya pria yang melucuti kemejanya. Yuki merasakan ada getar ketakutan dalam suara orang itu.

“Siapa kamu?!” sebuah suara yang sama muncul dari arah kegelapan. Mengembalikan pertanyaan pria tersebut.

“Jangan becanda kamu!” teriak lelaki yang tadi memegang tangan Yuki. Dia merasakan pria itu melepaskan cengkeraman tangan di kaki, berdiri dan mengeluarkan sebilah pisau dari balik punggungnya.

Pria itu melesat maju, sambil menghunuskan pisau. Yuki tidak bisa melihat jelas, selain karena gelap juga karena posisi tubuhnya tidak memungkinkan. Dia mencoba untuk berontak, namun keempat lelaki itu masih bersiaga mengunci tubuhnya.

Tiba-tiba sebuah benda besar melayang, melesat dengan cepat melewati mereka. Yuki tidak sempat mengamati benda itu. Yang dia tahu hanya suara mengerang saat benda itu jatuh ke tanah. Entah siapa itu, tapi dia berharap itu adalah si preman.

Yuki sedikit senang, saat melihat wajah ketakutan empat begundal setelah melihat orang yang terlempar jauh itu. Pasti, dia yakin sekali, yang terlempar adalah preman yang tadi membawa pisau. Sungguh keajaiban benar-benar datang pada dirinya.

Sesaat kemudian, pria yang melucuti pakaiannya terlempar ke tembok jalan. Dilanjutkan dengan ketiga laki-laki yang tidak sempat melakukan apa-apa. Kejadian ini berlangsung begitu cepat, sehingga tidak ada yang bisa mencerna. Yuki sendiri hanya merasakan hembusan angin seiring dengan terlemparnya keempat orang itu.

Yuki beringsut mundur, sambil menegakkan badan. Memandang sekeliling. Dia ingin berlari, pergi meninggalkan tempat ini. Namun tubuhna telah lemas, peristiwa yang hampir merenggut keperawanannya membuat tubuhnya tidak berhenti bergetar hebat.

Dilihatnya pria yang terlempar ke tembok jalan, berusaha untuk berdiri. Tidak, bukan berdiri, tapi sesuatu yang memaksa pria itu berdiri. Kepala laki-laki itu mendongak, layaknya seseorang yang dicengkeram di bagian leher.

Entah kenapa, Yuki tidak bisa memalingkan wajah. Ini penampakan. Ya, ini pasti bukan manusia. Ini hantu. Pikirannya sudah jauh memikirkan hal-hal yang menakutkan. Namun saat teringat ‘sesuatu’ ini telag menolongnya, dia teringat pada makhluk yang bernama ‘malaikat’. Penjaga manusia, makhluk kebaikan.

Mungkin Dewa telah mendengar doanya. Yuki meyakinkan diri. Tidak ada jawaban lain, walau dia sadar dia hanyalah orang biasa yang tidak sepantasnya mendapat keajaiban seperti ini.

Teriakan keras pria yang dicekik menyadarkan Yuki dari lamunan. Meski gelap dengan penerangan lampu yang ada di ujung jalan, dia bisa melihat sebuah luka muncul dibagian perut laki-laki itu. Darah menyembur begitu luka itu menganga, seakan benda besar tajam ditusuk kemudian tarik kembali.

Tidak hanya itu yang Yuki lihat, seiring dengan semburan darah, usus pria tadi terburai. Seakan ditarik paksa keluar. Dia memalingkan muka dan menutup mata, tidak sanggup melihat kejadian itu. Bagaimanapun baiknya sang penolong, dia tidak menginginkan kekerasaan seperti itu.
Erangan laki-laki itu terhenti, seiring dengan suara jatuh ke tanah. Meski tidak melihat hal itu, Yuki yakin pria itu tewas dan dijatuhkan ke tanah.

Hembusan angin melintasi Yuki, dia membuka mata menuju arah gerakan angin. Sesaat kemudian salah satu preman yang lain juga mengalami hal serupa dengan pria tewas yang pertama. Diangkat dengan cengkeraman erat di leher, dan kemudian ditusuk bagian perut. Dia berhenti meneruskan pandangan sambil menutup erat mata dengan kedua tangan.

Satu per satu Yuki mendengar kejadian yang sama berulang, hingga genap lima orang tersebut tewas.

“Wah, sepertinya pestanya telah berakhir.” suara serak dan cempreng kembali terdengar. Namun Yuki tidak berani membuka mata. Dia merasakan sosok itu berbicara dekat sekali dengan telinga kanannya.

“Nona cantik, sekarang kamu hanya milikku seorang?” sosok itu tertawa pelan.

Apa! Yuki tidak percaya. Penolong ini membantu hanya untuk mendapatkan dirinya juga. Ini sama saja dengan lepas dari mulut buaya masuk mulut harimau batinnya bergolak hebat. Dia belum lepas dari jeratan ini.

Sepasang tangan mendorong bahunya hingga dia kembali jatuh ke tanah. Namun Yuki tidak mendapati siapapun kecuali keberadaan tangan tak terlihat itu. Tawa kekeh terdengar di depan wajahnya. Dia merasakan sesuatu ini sedang menatap lekat badan tanpa pakaiannya. Beruntung hanya kemeja yang sempat dilucuti para preman tadi.

Sebuah elusan pelan-pelan dia rasakan dari perut, terus naik melewati dada dan berhenti di leher. Yuki yakin sekali itu adalah lidah, ya pasti itu lidah.

“He-hentikan!” erang Yuki. Namun suaranya terhenti di tenggorokan, tidak ada bekapan tapi seakan ada kuasa lain yang menahan suaranya keluar dengan keras. Kuasa yang sama yang menahan dia untuk meronta.

“Bukankah kamu tadi meminta, akan melakukan apa saja jika kamu diselamatkan dari para bergajul itu.” suara itu terdengar seperti mengeram. Entah karena apa Yuki tidak tahu.

“Tu-tubuhku?” Yuki terbata, menduga yang diharapkan makhluk itu sebagai balasan adalah tubuhnya. Kepuasan birahi.

Makhluk tak kasat mata itu tertawa nakal. Yuki tidak mengerti apa maksud tawa itu.

“Itu juga boleh. Tapi ada hal lain yang aku inginkan.” tawa nakal makhluk itu semakin menjadi. Sosok itu melanjutkan, “Aku akan menjadikan kamu peliharaanku.”

Eh? Yuki terheran.

“Penjelasannya nanti saja, Yuki chan.” gumam makhluk itu.

“Sekarang lihatlah aku!” perintah makhluk itu.

Yuki mengeryitkan dahi. Seberapa kuat pun dia melotot, dia tetap tidak bisa melihat sosok makhluk itu.

“Lihat!” geram sosok itu berkali-kali. Namun tidak juga Yuki bisa melihat sosok itu.

“A-aku tidak bisa melihatmu!” teriak Yuki lantang.

“Lihat lagi!” bentak sang makhluk.

“Tidak bisa!” bantah Yuki.

“Lihat dengan matamu yang lain!” ucapan sosok itu dalam dan meninggi. Yuki seakan dihantam di kepala. Desiran angin berhembus, seakan ada angin kencang menerpa dirinya. Bersamaan dengan itu perasaan aneh menjalar di dalam pikirannya. Dia merasakan matanya membelalak, mendapati sepasang mata mengerikan menatapnya. Saking menakutkan, dia tidak bisa mengingat apapun selain kegelapan melanda dirinya. Sesaat sebelum itu, dia sempat bergumam pelan.

Onii-kun.”

***

0 comments:

Post a Comment