BR - Act 4


Ratu berjalan gontai mendekati Alcyon yang sedang memandangi keadaan kerajaan dari balkon istana. Dia membenarkan rambutnya yang tertiup angin, mengibarkan rambut dan jubahnya. Dilihatnya Alcyon bergeming, padahal dia yakin penasehat itu merasakan kehadirannya.

Beberapa kilatan cahaya terlihat di sekitar kerajaan, Ratu hanya bisa menatap dingin mengingat ini adalah hari kesepuluh Battle Royale. Sesuatu yang dia sesali, amarahnya waktu itu ternyata menjadi sebuah dosa yang tidak akan pernah bisa dia ampuni.

Ratu mengurungkan niatnya untuk menegur sang Penasehat, dia merasa kalau Alcyon pasti mengutuk keputusannya tentang Battle Royale ini. Membalikkan badan perlahan, dia menjauh dari Alcyon. Choi masih berdiri berada di dekat pintu, bersender di dinding. Pengawalnya itu hanya berdiam menunduk.

Hatinya merasa miris, sang Titania memilih untuk meninggalkan istana untuk beberapa waktu. Kekalutan yang terjadi mebuat dirinya tidak mengetahui lagi apa yang harus dilakukan. Penasehat yang biasa membantunya kini lebih banyak berdiam, dan terkadang menghilang dari kastil. Entah kenapa dia menjadi merindukan masa-masa dimana sang Penasehat berkata dengan kata-kata tajamnya.

Ratu Chie tiba-tiba teringat dengan orang yang bisa dia ajak bertukar pendapat, kakinya pun segera melangkah. Bergegas untuk meninggalkan istana. Choi langsung mengikutinya tanpa perlu diperintah.

*****

Senja hari, Ratu dan Choi masih berjalan di hutan pinus merah. Tidak ada lagi penduduk desa yang dia temui, biasanya dia berpapasan dengan beberapa penebang pohon yang baru saja selesai bekerja. Namun sekarang para penduduk lebih memilih untuk mengungsi, kalaupun ada mereka lebih memiilih untuk berdiam diri di rumah sampai kegilaan ini berakhir.

“Wah … wah … wah, Dewa Villam sepertinya berada dipihakku.” sebuah suara mengejutkan Ratu Chie. Choi langsung bersiaga.

Ratu merasakan sebuah aura yang tidak menyenangkan, dia perhatikan Choi juga merasakan hal yang sama. Pengawalnya itu segera mengeluarkan pedang rapier dari sarung.

“Ternyata bersabar menunggu juga membuahkan hasil.” Suara itu terdengar lagi. Ratu mendongak, seorang pria berambut jabrik duduk di dahan ponoh pinus merah.

“Kacung.” lirih Ratu Chie. Dari tempatnya berdiri dia bisa melihat lawannya memakai gelang perak.

“Salam, Ratu dan Choi.” orang itu menyeringai.

“Salam Tuan Makkie.” jawab Choi dingin.

Ratu bersiaga saat Makkie melesat dan melakukan salto sebelum mendarat dengan sempurna di tanah. Hanya berjarak belasan kaki dari dirinya.

“Dua lawan satu?” tanya Makkie.

“Cih, aku sendiri bisa mengatasi dirimu!” bentak Chie. Choi pun langsung mundur, membiarkan dirinya untuk menghadapi Makkie.

“Sudah lama aku ingin menjajal kemampuanmu Titania!” Makkie tertawa terkekeh.

Angin terasa mendesak, Ratu tahu bahwa Makkie sudah bersiap untuk menyerangnya. Tidak perlu lama pria itu mengeluarkan kilatan-kilatan petir dari sepasang tangan. 

“Elemental.” gumam Ratu Chie sambil mengingat-ingat kemampuan Makkie, dia jarang melihat gerak-gerik orang ini selain julukan ‘perusuh’. Dia tidak tahu gaya bertarung pria ini.

Tidak mau kecolongan, Chie menjulurkan tangannya ke depan. Seberkas cahaya panjang muncul dan dengan cepat berubah menjadi sebuah tongkat kesayangannya, berwarna perak dengan bagian ujung terdapat ukiran empat hati yang membentuk daun clover.

Memamerkan sedikit kemampuan, Chie memutar-memutar tongkatnya. Sudah lama dia tidak bertarung dengan menggunakan senjata. Dilihatnya Makkie berdiam, tidak menyerang. Ya, lawannya itu hanya berdiam sambil terus memancarkan petirnya menuju tanah dan-

“Sial!” jerit Chie. Menyadari ternyata Makkie sudah memulai serangan.

Dengan segera dia melompat ke atas, menghindar dari serangan petir yang Makkie sembunyikan di tanah. Benar saja, pria itu mengangkat tangan dan seketika muncul tali-tali petir, menyeruak dari dalam tanah. Memanjang dari arah tempat Makkie berdiri menuju tepat di bawahnya.

“Petir pengikat!” lirih Chie. Dia langsung balas menyerang walaupun masih berada di udara. Mengayunkan tongkat dari jarak jauh, kemudian ujung tongkat itu memanjang menyerang Makkie.

Lawannya melompat mundur ke belakang, masih dengan tangan yang memegang petir pengikat. Ratu berusaha menjaga jarak, dia mempunyai kemampuan bertarung baik jarak jauh maupun jarak dekat. Dengan segara dia melayangkan dirinya ke belakang, mendarat di dahan pinus merah.

Sambil mencoba mengukur kekuatan lawan, Chie memperhatikan Makkie yang mendekat dengan petir-petir di tangan, dimainkan seperti cambuk. 

“Biasa!” gumam Chie melihat sihir kacangan seperti itu.

Menghindar cambuk petir dengan melompat dari pohon ke pohon, Chie berencana untuk menyerang dari jarak jauh. Tongkatnya yang bisa dipanjang-pendekkan sesuka hati menjadi satu keunggulan. Melompat jauh ke belakang, dia membawa Makkie ke tempat yang agak lebih terbuka.  Dengan begitu tongkatnya tidak akan bermasalah dengan pepohonan pinus. Tempat yang sesuai untuk melakukan itu pikirnya.

*****

Matahari hampir tenggelam, menyisakan guratan-guratan warna lembayung di ujung barat.

Makkie menatap Chie yang bergerak menjauh, dia tersenyum ringan. Rencana dia akan berhasil jika sang Ratu benar-benar membawanya ke tempat itu.

Makkie mengejar dan mengubah gaya bertarungnya. Dia  melemparkan bola-bola petir yang melesat dengan cepat menuju Chie yang baru saja mendarat di tanah.

“Bodoh!” Chie menangkis bola-bola petir dengan memukulkan tongkatnya hingga terpental ke atas. 

Makkie bisa melihat perubahan pada Chie. Wanita itu tidak lagi menggunakan pakaian kebesarannya, tubuh sang Ratu sekarang terbalut pakaian perang berwarna biru dengan kemilau emas. Bukan hanya itu, di kening Ratu terlihat sebuah tato hitam yang bentuknya tidak bisa dia lihat dengan jelas.

Puluhan bola petir terus Makkie luncurkan, namun dengan tenang lawannya mementalkan semua serangannya ke langit.

Makkie tersentak saat Chie berbalik agresif dan melakukan serangan yang jauh lebih kuat dari sebelumnya, dia hanya bisa menahan dan berusaha menghindar. Serangan jarak jauh lawannya tidak dia perhitungkan sebelumnya.

Dentuman ledakan, dan sayatan angin yang tidak bisa Makkie perhatikan satu persatu berhasil membuat dera tubuhnya. Sekarang jelas kekuatan mereka jauh berbeda. Inikah kekuatan Titania pikirnya. Dia bertahan sambil sesekali meringis begitu Chie dengan beruntun melancarkan serangan, sekarang tubuhnya mulai merasakan sakit, panas dan perih. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain terlempar, dan terhempas hingga akhirnya jatuh berdebam terjerembap. 

Perlahan dia berusaha untuk berjongkok dengan satu kaki, dan menatap Titania sambil terengah-engah. Chie melangkah, tubuh sang Titania diselimuti cahaya perak menyala yang kemudian berubah menjadi biru menyala. 

Entah mengapa Makkie merasa tertekan, sesuatu yang sudah lama tidak dia rasakan. Tekanan udara di sekitarnya berubah seiring dengan perubahan pada raut wajah sang Ratu, dia bisa merasakan lawannya menjadi jauh lebih menakutkan. Julukan Titania sekarang menjadi momok yang sangat menakutkan baginya.
Makkie bergetar hebat, ketakutan akan kekuatan Ratu dan rencananya akan berujung gagal bergumul menjadi satu. 

“Tiga ... Dua ...” Makkie mengepalkan kedua tangannya.

“Mati KAU!!” teriak Makkie sambil membuka sepasang telapak tangannya ke atas. Dengan seketika puluhan tombak petir muncul dari dalam tanah. Melesat dengan cepat, tepat mengenai lawannya. 

Puluhan tombak petir mengenai tubuh sang Ratu, Makkie tersenyum. Dia bangkit dan berdiri, menatap debu dan pasir yang bergumpal akibat serangannya. Ratu tidak lagi terlihat dari pandangannya.

Sebuah benda tiba-tiba melesat dari balik gumpalan debu, kaget Makkie hanya bisa menghindar sedikit saat benda yang ternyata adalah ujung sebuah tombak itu melesat tepat ke wajahnya. Dia merasakan perih di bagian pipinya.

Tombak itu kembali melesat ke dalam gumpalan pasir. Saat debu dan pasir menipis, Makkie bisa melihat sesosok yang berbeda berdiri di sana. Bukan, sosok itu adalah sang Ratu, hanya pakaiannya yang berbeda. Terlihat lebih kuat dengan warna hitam dan ukiran berwarna emas.

“Rupanya sang Ratu penggemar pakaian perang.” Makkie mencoba mengurangi ketegangan hatinya. 

“Menyerahlah Makkie! Kamu tidak akan sanggup mengalahkanku jika aku serius!” kata sang Ratu. “Ini perintah!” lanjutnya.

“Jangan pikir aku adalah orang yang mudah menyerah Yang Mulia.” Seringai Makkie

Sesaat kemudian terdengar suara gemuruh dan berdesing. Makkie tersenyum, rencananya bisa dimulai sekarang. Dilihatnya Ratu mulai menyadari, namun terlambat. Puluhan bola-bola petir yang dia luncurkan dan dipentalkan oleh Chie sekarang mengerumuni sang Ratu bagaikan puluhan lebah yang siap menyerang.

Dengan satu tarikan nafas, Makkie merentangkan sepasang tangannya dan kemudian mengayunkan ke arah berlawanan. Sesaat kemudian puluhan bola petir itu yang dengan cepat menyengat dan menyambar Chie tanpa ampun, kilatan-kilatan cahaya menghiasi malam gelap di sekitar hutan pinus merah.

Chie jatuh berdebam terhempas ke belakang dengan bunyi yang cukup keras sementara petir masih saja menghujam, membuyarkan pasir sehingga melesat tak tentu arah, paling tidak itulah yang bisa Makkie lihat sebelum dia juga terjatuh. Tenaganya sudah terkuras habis, meski begitu dia memaksa untuk tertawa puas. 
 
“Lumayan!” sebuah suara menyadarkan dan menghentikan tawa Makkie yang berlangsung beberapa menit.
Makkie mendongak, matanya membelalak begitu melihat Chie yang masih bisa bangkit dan berdiri.

Makkie melihat Chie mengarahkan tangan kanan dengan telapak tangan terbuka ke arah dirinya. Dengan cepat diagram sihir muncul dari tempat dia berpijak. Melihat itu dia segera melesat mundur namun terlambat, tubuhnya tidak bisa bergerak dan diagram itu perlahan membesar.

Makkie menatap lemas Chie yang berdiri dengan kekuatan yang lebih dari cukup untuk membunuh dirinya. Dia melihat pakaian perang yang Chie kenakan rusak dan menghitam beberapa bagian, luka bakar dan memar menghiasi beberapa bagian tubuh wanita itu.

“Padahal aku sudah memerintahkanmu untuk menyerah! Tapi ternyata kamu hanya terobsesi untuk mendapatkan kekayaan!” kata Chie.

“Damailah kamu di alam sana!” teriak Chie.

Seketika itu pula Makkie mengerang kesakitan saat belasan ksatria memakai pakaian perang muncul dari diagram sihir dan menyerangnya dengan senjata mereka masing-masing.

Makkie merasakan sakit yang luar biasa, sesuatu yang belum pernah dia dera sebelumnya, gemeretak tulang-tulang patah terdengar dengan jelas. Menjelang ajal, dia merasakan semua kenangan tentang dirinya seakan berputar kembali. Seperti melihat kehidupan dirinya, semua kenangan itu bermunculan dan tidak sedikitpun ada yang terlupakan. 

Perlahan Makkie mulai melupakan sakitnya, tersenyum saat menyelami kehidupan yang pernah dia punya. Semua kejadian itu berjalan, meski dalam hitungan detik kenangan itu berlangsung seperti selamanya. Tiba-tiba kenangan terhenti bergantikan rasa sakit yang mendera, bukan karena dia sudah tewas melainkan tubuhnya jatuh terhempas ke tanah.

Samar-samar dia mendengar Chie merapal mantra,

Dia yang bersemayam dalam waktu yang agung, yang menjaga tiap sudut ruang, datanglah karena aku memanggil, melalui perjanjian darah yang disucikan, aku panggil penguasa gerbang waktu abadi. Khronoaseon aku memanggilmu!” 

Di langit, Makkie bisa melihat muncul perlahan sebuah sosok dari balik simbol sihir yang diciptakan Chie dengan rapalannya, sesosok manusia raksasa bersayap, dengan janggut yang panjang dan tebal. Makhluk itu perlahan mendekat dan memancarkan cahaya terang. Itulah hal terakhir yang dia lihat.

*****

“Selamat tinggal!” lirih Chie sambil menatap saat sang Penjaga Gerbang Waktu memasukkan Makkie ke dalam dimensi hampa. Tenaganya masih cukup kuat untuk berdiri, namun kehadiran Choi yang sedari tadi menyaksikan pertarungannya membuat dirinya ingin sekali dimanjakan oleh pengawal kesayangannya itu.

Perlahan sang pengawal mendekat dan memeluk dirinya. Chie menangis, meski dia memenangkan pertarungan ini tapi hatinya terasa sakit. Sekali ini saja dia membiarkan diri menangis sepuasnya dipelukan Choi.

#####

0 comments:

Post a Comment