Ratu
berjalan gontai mendekati Alcyon yang sedang memandangi keadaan kerajaan dari
balkon istana. Dia membenarkan rambutnya yang tertiup angin, mengibarkan rambut
dan jubahnya. Dilihatnya Alcyon bergeming, padahal dia yakin penasehat itu
merasakan kehadirannya.
Beberapa
kilatan cahaya terlihat di sekitar kerajaan, Ratu hanya bisa menatap dingin
mengingat ini adalah hari kesepuluh Battle Royale. Sesuatu yang dia sesali,
amarahnya waktu itu ternyata menjadi sebuah dosa yang tidak akan pernah bisa
dia ampuni.
Ratu
mengurungkan niatnya untuk menegur sang Penasehat, dia merasa kalau Alcyon
pasti mengutuk keputusannya tentang Battle Royale ini. Membalikkan badan
perlahan, dia menjauh dari Alcyon. Choi masih berdiri berada di dekat pintu,
bersender di dinding. Pengawalnya itu hanya berdiam menunduk.
Hatinya
merasa miris, sang Titania memilih untuk meninggalkan istana untuk beberapa
waktu. Kekalutan yang terjadi mebuat dirinya tidak mengetahui lagi apa yang
harus dilakukan. Penasehat yang biasa membantunya kini lebih banyak berdiam,
dan terkadang menghilang dari kastil. Entah kenapa dia menjadi merindukan
masa-masa dimana sang Penasehat berkata dengan kata-kata tajamnya.
Ratu
Chie tiba-tiba teringat dengan orang yang bisa dia ajak bertukar pendapat,
kakinya pun segera melangkah. Bergegas untuk meninggalkan istana. Choi langsung
mengikutinya tanpa perlu diperintah.
*****
Senja
hari, Ratu dan Choi masih berjalan di hutan pinus merah. Tidak ada lagi
penduduk desa yang dia temui, biasanya dia berpapasan dengan beberapa penebang
pohon yang baru saja selesai bekerja. Namun sekarang para penduduk lebih
memilih untuk mengungsi, kalaupun ada mereka lebih memiilih untuk berdiam diri
di rumah sampai kegilaan ini berakhir.
“Wah
… wah … wah, Dewa Villam sepertinya berada dipihakku.” sebuah suara mengejutkan
Ratu Chie. Choi langsung bersiaga.
Ratu
merasakan sebuah aura yang tidak menyenangkan, dia perhatikan Choi juga
merasakan hal yang sama. Pengawalnya itu segera mengeluarkan pedang rapier dari
sarung.
“Ternyata
bersabar menunggu juga membuahkan hasil.” Suara itu terdengar lagi. Ratu
mendongak, seorang pria berambut jabrik duduk di dahan ponoh pinus merah.
“Kacung.”
lirih Ratu Chie. Dari tempatnya berdiri dia bisa melihat lawannya memakai
gelang perak.
“Salam,
Ratu dan Choi.” orang itu menyeringai.
“Salam
Tuan Makkie.” jawab Choi dingin.
Ratu
bersiaga saat Makkie melesat dan melakukan salto sebelum mendarat dengan
sempurna di tanah. Hanya berjarak belasan kaki dari dirinya.
“Dua
lawan satu?” tanya Makkie.
“Cih,
aku sendiri bisa mengatasi dirimu!” bentak Chie. Choi pun langsung mundur,
membiarkan dirinya untuk menghadapi Makkie.
“Sudah
lama aku ingin menjajal kemampuanmu Titania!” Makkie tertawa terkekeh.
Angin
terasa mendesak, Ratu tahu bahwa Makkie sudah bersiap untuk menyerangnya. Tidak
perlu lama pria itu mengeluarkan kilatan-kilatan petir dari sepasang tangan.
“Elemental.”
gumam Ratu Chie sambil mengingat-ingat kemampuan Makkie, dia jarang melihat
gerak-gerik orang ini selain julukan ‘perusuh’. Dia tidak tahu gaya bertarung
pria ini.
Tidak
mau kecolongan, Chie menjulurkan tangannya ke depan. Seberkas cahaya panjang
muncul dan dengan cepat berubah menjadi sebuah tongkat kesayangannya, berwarna
perak dengan bagian ujung terdapat ukiran empat hati yang membentuk daun
clover.
Memamerkan
sedikit kemampuan, Chie memutar-memutar tongkatnya. Sudah lama dia tidak
bertarung dengan menggunakan senjata. Dilihatnya Makkie berdiam, tidak
menyerang. Ya, lawannya itu hanya berdiam sambil terus memancarkan petirnya
menuju tanah dan-
“Sial!”
jerit Chie. Menyadari ternyata Makkie sudah memulai serangan.
Dengan
segera dia melompat ke atas, menghindar dari serangan petir yang Makkie
sembunyikan di tanah. Benar saja, pria itu mengangkat tangan dan seketika
muncul tali-tali petir, menyeruak dari dalam tanah. Memanjang dari arah tempat
Makkie berdiri menuju tepat di bawahnya.
“Petir
pengikat!” lirih Chie. Dia langsung balas menyerang walaupun masih berada di
udara. Mengayunkan tongkat dari jarak jauh, kemudian ujung tongkat itu
memanjang menyerang Makkie.
Lawannya
melompat mundur ke belakang, masih dengan tangan yang memegang petir pengikat.
Ratu berusaha menjaga jarak, dia mempunyai kemampuan bertarung baik jarak jauh
maupun jarak dekat. Dengan segara dia melayangkan dirinya ke belakang, mendarat
di dahan pinus merah.
Sambil
mencoba mengukur kekuatan lawan, Chie memperhatikan Makkie yang mendekat dengan
petir-petir di tangan, dimainkan seperti cambuk.
“Biasa!”
gumam Chie melihat sihir kacangan seperti itu.
Menghindar
cambuk petir dengan melompat dari pohon ke pohon, Chie berencana untuk
menyerang dari jarak jauh. Tongkatnya yang bisa dipanjang-pendekkan sesuka hati
menjadi satu keunggulan. Melompat jauh ke belakang, dia membawa Makkie ke
tempat yang agak lebih terbuka. Dengan
begitu tongkatnya tidak akan bermasalah dengan pepohonan pinus. Tempat yang
sesuai untuk melakukan itu pikirnya.
*****
Matahari
hampir tenggelam, menyisakan guratan-guratan warna lembayung di ujung barat.
Makkie
menatap Chie yang bergerak menjauh, dia tersenyum ringan. Rencana dia akan
berhasil jika sang Ratu benar-benar membawanya ke tempat itu.
Makkie
mengejar dan mengubah gaya bertarungnya. Dia
melemparkan bola-bola petir yang melesat dengan cepat menuju Chie yang
baru saja mendarat di tanah.
“Bodoh!”
Chie menangkis bola-bola petir dengan memukulkan tongkatnya hingga terpental ke
atas.
Makkie
bisa melihat perubahan pada Chie. Wanita itu tidak lagi menggunakan pakaian
kebesarannya, tubuh sang Ratu sekarang terbalut pakaian perang berwarna biru
dengan kemilau emas. Bukan hanya itu, di kening Ratu terlihat sebuah tato hitam
yang bentuknya tidak bisa dia lihat dengan jelas.
Puluhan
bola petir terus Makkie luncurkan, namun dengan tenang lawannya mementalkan
semua serangannya ke langit.
Makkie
tersentak saat Chie berbalik agresif dan melakukan serangan yang jauh lebih
kuat dari sebelumnya, dia hanya bisa menahan dan berusaha menghindar. Serangan
jarak jauh lawannya tidak dia perhitungkan sebelumnya.
Dentuman
ledakan, dan sayatan angin yang tidak bisa Makkie perhatikan satu persatu
berhasil membuat dera tubuhnya. Sekarang jelas kekuatan mereka jauh berbeda.
Inikah kekuatan Titania pikirnya. Dia bertahan sambil sesekali meringis begitu
Chie dengan beruntun melancarkan serangan, sekarang tubuhnya mulai merasakan
sakit, panas dan perih. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain terlempar, dan
terhempas hingga akhirnya jatuh berdebam terjerembap.
Perlahan
dia berusaha untuk berjongkok dengan satu kaki, dan menatap Titania sambil
terengah-engah. Chie melangkah, tubuh sang Titania diselimuti cahaya perak
menyala yang kemudian berubah menjadi biru menyala.
Entah
mengapa Makkie merasa tertekan, sesuatu yang sudah lama tidak dia rasakan.
Tekanan udara di sekitarnya berubah seiring dengan perubahan pada raut wajah
sang Ratu, dia bisa merasakan lawannya menjadi jauh lebih menakutkan. Julukan Titania sekarang
menjadi momok yang sangat menakutkan baginya.
Makkie
bergetar hebat, ketakutan akan kekuatan Ratu dan rencananya akan berujung gagal
bergumul menjadi satu.
“Tiga
... Dua ...” Makkie mengepalkan kedua tangannya.
“Mati
KAU!!” teriak Makkie sambil membuka sepasang telapak tangannya ke atas. Dengan
seketika puluhan tombak petir muncul dari dalam tanah. Melesat dengan cepat,
tepat mengenai lawannya.
Puluhan
tombak petir mengenai tubuh sang Ratu, Makkie tersenyum. Dia bangkit dan
berdiri, menatap debu dan pasir yang bergumpal akibat serangannya. Ratu tidak
lagi terlihat dari pandangannya.
Sebuah
benda tiba-tiba melesat dari balik gumpalan debu, kaget Makkie hanya bisa
menghindar sedikit saat benda yang ternyata adalah ujung sebuah tombak itu
melesat tepat ke wajahnya. Dia merasakan perih di bagian pipinya.
Tombak
itu kembali melesat ke dalam gumpalan pasir. Saat debu dan pasir menipis,
Makkie bisa melihat sesosok yang berbeda berdiri di sana. Bukan, sosok itu
adalah sang Ratu, hanya pakaiannya yang berbeda. Terlihat lebih kuat dengan
warna hitam dan ukiran berwarna emas.
“Rupanya
sang Ratu penggemar pakaian perang.” Makkie mencoba mengurangi ketegangan
hatinya.
“Menyerahlah
Makkie! Kamu tidak akan sanggup mengalahkanku jika aku serius!” kata sang Ratu.
“Ini perintah!” lanjutnya.
“Jangan
pikir aku adalah orang yang mudah menyerah Yang Mulia.” Seringai Makkie
Sesaat
kemudian terdengar suara gemuruh dan berdesing. Makkie tersenyum, rencananya
bisa dimulai sekarang. Dilihatnya Ratu mulai menyadari, namun terlambat.
Puluhan bola-bola petir yang dia luncurkan dan dipentalkan oleh Chie sekarang
mengerumuni sang Ratu bagaikan puluhan lebah yang siap menyerang.
Dengan
satu tarikan nafas, Makkie merentangkan sepasang tangannya dan kemudian
mengayunkan ke arah berlawanan. Sesaat kemudian puluhan bola petir itu yang
dengan cepat menyengat dan menyambar Chie tanpa ampun, kilatan-kilatan cahaya
menghiasi malam gelap di sekitar hutan pinus merah.
Chie
jatuh berdebam terhempas ke belakang dengan bunyi yang cukup keras sementara
petir masih saja menghujam, membuyarkan pasir sehingga melesat tak tentu arah,
paling tidak itulah yang bisa Makkie lihat sebelum dia juga terjatuh. Tenaganya
sudah terkuras habis, meski begitu dia memaksa untuk tertawa puas.
“Lumayan!”
sebuah suara menyadarkan dan menghentikan tawa Makkie yang berlangsung beberapa
menit.
Makkie
mendongak, matanya membelalak begitu melihat Chie yang masih bisa bangkit dan
berdiri.
Makkie
melihat Chie mengarahkan tangan kanan dengan telapak tangan terbuka ke arah
dirinya. Dengan cepat diagram sihir muncul dari tempat dia berpijak. Melihat
itu dia segera melesat mundur namun terlambat, tubuhnya tidak bisa bergerak dan
diagram itu perlahan membesar.
Makkie
menatap lemas Chie yang berdiri dengan kekuatan yang lebih dari cukup untuk
membunuh dirinya. Dia melihat pakaian perang yang Chie kenakan rusak dan
menghitam beberapa bagian, luka bakar dan memar menghiasi beberapa bagian tubuh
wanita itu.
“Padahal
aku sudah memerintahkanmu untuk menyerah! Tapi ternyata kamu hanya terobsesi
untuk mendapatkan kekayaan!” kata Chie.
“Damailah
kamu di alam sana!” teriak Chie.
Seketika
itu pula Makkie mengerang kesakitan saat belasan ksatria memakai pakaian perang
muncul dari diagram sihir dan menyerangnya dengan senjata mereka masing-masing.
Makkie
merasakan sakit yang luar biasa, sesuatu yang belum pernah dia dera sebelumnya,
gemeretak tulang-tulang patah terdengar dengan jelas. Menjelang ajal, dia
merasakan semua kenangan tentang dirinya seakan berputar kembali. Seperti
melihat kehidupan dirinya, semua kenangan itu bermunculan dan tidak sedikitpun
ada yang terlupakan.
Perlahan
Makkie mulai melupakan sakitnya, tersenyum saat menyelami kehidupan yang pernah
dia punya. Semua kejadian itu berjalan, meski dalam hitungan detik kenangan itu
berlangsung seperti selamanya. Tiba-tiba kenangan terhenti bergantikan rasa
sakit yang mendera, bukan karena dia sudah tewas melainkan tubuhnya jatuh
terhempas ke tanah.
Samar-samar
dia mendengar Chie merapal mantra,
”Dia yang bersemayam dalam waktu yang agung,
yang menjaga tiap sudut ruang, datanglah karena aku memanggil, melalui
perjanjian darah yang disucikan, aku panggil penguasa gerbang waktu abadi.
Khronoaseon aku memanggilmu!”
Di
langit, Makkie bisa melihat muncul perlahan sebuah sosok dari balik simbol
sihir yang diciptakan Chie dengan rapalannya, sesosok manusia raksasa bersayap,
dengan janggut yang panjang dan tebal. Makhluk itu perlahan mendekat dan
memancarkan cahaya terang. Itulah hal terakhir yang dia lihat.
*****
“Selamat
tinggal!” lirih Chie sambil menatap saat sang Penjaga Gerbang Waktu memasukkan
Makkie ke dalam dimensi hampa. Tenaganya masih cukup kuat untuk berdiri, namun
kehadiran Choi yang sedari tadi menyaksikan pertarungannya membuat dirinya
ingin sekali dimanjakan oleh pengawal kesayangannya itu.
Perlahan
sang pengawal mendekat dan memeluk dirinya. Chie menangis, meski dia
memenangkan pertarungan ini tapi hatinya terasa sakit. Sekali ini saja dia
membiarkan diri menangis sepuasnya dipelukan Choi.
#####
0 comments:
Post a Comment