Angin berhembus lebih kencang
dari biasanya, Airill memegang topi hitamnya. Rambut panjang coklatnya tertiup
angin, searah dengan bagian bawah jaketnya yang tidak dikancingkan.
Siang ini kota terlihat lebih
lengang dari biasanya, para penduduk sedang dikerja paksakan di dalam istana
gubernur. Nanti sore gubernur Amperis akan kembali setelah melakukan perjalanan
selama 2 bulan.
Airill menatap ke arah kedai
minum tempat biasa dia minum, entah kenapa kakinya lebih mudah untuk melangkah
ke arah tempat itu daripada harus berurusan dengan keadaan kota ini. Dengan
malas dia melangkah menuju istana gubernur, Tuan Berdel memintanya untuk
mengawasi para penduduk desa dan mengeksekusi siapa saja yang melakukan
kesalahan.
Penjaga pintu istana sedang
bersantai saat Airill memasuki gerbang. Dia tidak sedikitpun menegur
prajurit-prajurit penjaga tersebut, langsung saja dia berjalan memasuki istana.
Semakin cepat semakin baik pikirnya, dia tidak menyukai berlama-lama di tempat
ini. Waktunya sudah tiba untuk pergi dari kota ini. Hari ini mungkin dia harus
menyudahi semuanya.
Pintu utama istana sedang terbuka
lebar, meski begitu bagian Airill tidak bisa melihat dengan jelas bagian dalam
istana. Cahaya matahari yang hari ini tertutup awan mendung, membuat dia
terpaksa memicingkan mata untuk melihat dengan jelas.
“Ah, Tuan Airill.” suara yang
sangat Airill kenal terdengar di kupingnya saat dia baru saja beberapa langkah
memasuki istana. Dia menoleh ke arah Tuan Berdel yang memanggilnya dari
kejauhan, seperti biasa Tuan Berdel mengenakan pakaian yang rapi, berbahan yang
mahal dan berkelas.
Airill mendekat, berjalan
perlahan sambil mengamati beberapa penduduk desa yang dipaksa untuk
membersihkan ruang utama istana. Perasaan geram muncul begitu dia melihat para
penduduk desa tersebut. Cih, dasar anjing-anjing tidak berguna pikirnya.
“Mari, ada yang ingin aku
tunjukkan padamu.” kata Tuan Berdel.
Airill hanya menganggukan
kepalanya, memberi isyarat agar Tuan Berdel segera berjalan di depannya. Tuan
Berdel segera membalikkan badan, tidak berbicara lebih banyak.
Airill mengamati keadaan istana,
ini kali kedua dia memasuki tempat ini. Beberapa lampu api dinyalakan, menyala
di atas tungku-tungku yang berlapis emas. Dinding-dinding besar dan megah
dengan ukiran-ukiran besar terpampang. Dia bisa menyaksikan dengan jelas
lukisan-lukisan yang menghiasi dinding-dinding tersebut, ukiran Dewa Merxuris,
sang dewa pengetahuan, sedang menatap Elang peliharannya yang berdiri tegak
sambil mengembangkan sayap di tangan kanan sang dewa. Kemudian di samping
lukisan Dewa Merxuris, ada ukiran tentang legenda perang Afras.
Airill tidak sempat melihat lebih
banyak lukisan-lukisan yang lain karena Tuan Berdel telah berbelok memasuki
salah satu lorong yang ada di ruang utama. Dia mempercepat langkahnya, meski
tak urung matanya sempat melihat satu lukisan lagi. Seorang wanita yang sedang
memeluk Érde, lukisan Dewi Mintia, sang Ibu Érde.
Tuan Berdel tidak sedikitpun
menengok ke belakang untuk memastikan Airill tetap mengikutinya atau tidak.
Hampir setengah putaran pasir mereka berjalan melewati lorong-lorong. Dengan
pasti Tuan Berdel terus melangkah sampai pada ujung lorong di mana tidak
terdapat jalan lain. Mengapa Tuan Berdel mengajaknya ke lorong buntu ini pikir
Airill.
Kemudian dengan cepat Tuan Berdel menekan
beberapa batu tembok, meskipun begitu Airill bisa melihat batu mana saja yang
ditekan oleh Tuan Berdel. Tidak berapa lama dinding batu yang ditekan Tuan
Berdel bergeser ke arah kanan, sebuah tangga melingkar yang terbuat dari batu
menunggu di dalam.
Airill bersumpah dia bisa melihat
ada senyum mencurigakan yang dia lihat saat Tuan Berdel menuruni tangga. Dia
memeriksa senjata-senjatanya, sepasang senjata api masih dengan setia di
masing-masing sarungnya, begitu juga dengan pedang hitamnya. Ada perasaan aneh
yang menjalar di permukaan kulitnya, hawa yang menakutkan menunggu di bawah
sana. Cih, Xalios sang dewa alam bawah sana pun akan ku lawan batinnya.
Tangga itu begitu sempit,
bagaikan sebuah tong tempat penampungan air yang kemudian diberi
pijakan-pijakan, tidak mungkin dua orang berjalan beriringan di tangga ini.
Entah kenapa istana yang begitu besar ini mempunyai tangga yang tidak sepadan
untuk ukuran istana, Airill hanya bisa mengomel dalam hati.
Airill menarik nafas, memastikan
apakah penciumannya salah atau tidak. Ada bau yang sangat dia kenal, bau amis
darah dan bau busuk bangkai. Reflek dia sedikit membuka jaket dan menyembulkan
senjata api yang berada di pinggang kanannya.
“Tenang Tuan Airill. Aku
mempercayaimu, jadi aku tidak akan mempunyai pikiran bodoh untuk menjebak dan
membunuhmu.” Tuan Berdel berkata tanpa menoleh ke arah Airill yang menyusuri
tangga di belakangnya.
Memaksakan diri Airill tersenyum,
meski begitu dia tetap meningkatkan kewaspadaan. Kamu tidak akan tahu rencana
apa yang digunakan musuhmu, yang penting bersiaga, karena apapun bisa terjadi
adalah prinsipnya.
Sebuah lorong panjang kembali
menanti. Berbeda dengan di ruang utama, Airill tidak mendapati tungku-tungku
berlapis emas melainkan hanya obor biasa menerangi lorong ini. Meski tidak
terlalu terang dia bisa melihat sebuah pintu yang berukuran dua kali lipat
tubuhnya menunggu di ujung lorong. Dinding-dinding tembok dibiarkan tidak
terawat, lumut-lumut meluas dengan leluasa di tembok itu. Samar tapi dia yakin
pintu itu terbuat dari logam berwarna perak, atau dulunya berwarna perak karena
begitu dia mendekat, hanya sedikit bagian pintu itu yang menampilkan warna
perak.
Tuan Berdel mengambil sebuah
benda dari balik bajunya. Sebuah benda yang berbentuk seperti batangan besi
bulat, namun diujung berbentuk seperti bintang dengan banyak segi. Entah ada
berapa segi, Airill tidak bsia melihat dengan jelas.
Bunyi klik terdengar, bersamaan
dengan itu Tuan Berdel mendorong membuka pintu, Airill segera menahan nafasnya.
Bau yang tadi samar kini menjadi kental. Terdengar suara hiruk pikuk dari
dalam, bukan, bukan hiruk pikuk melainkan suara erangan. Perlahan mereka
melangkah masuk.
“Hmm, aku yakin sekali kamu
memang seperti yang orang-orang katakan.” Tuan Berdel memuji Airill.
Airill hanya menatap dingin, mengerti dengan
maksud Tuan Berdel. Dia dipuji karena tidak sedikitpun dia terkejut melihat
pemandangan yang terhampar di depan mereka. Puluhan batang pohon setinggi
hampir 8 kali lipat tubuhnya, berjajar dengan sengaja di ruang bawah tanah itu.
Bukan karena pohon-pohon itu tidak mempunyai sehelai daun atau karena warna
pohon itu berwarna merah darah melainkan karena apa yang menghiasi
batang-batang pohon tersebut. Puluhan wajah manusia menempel di pohon, hidup
dan merintih. Mengerang menahan perih yang tidak pernah bisa dibayangkan. Sakit
yang membuat mereka lebih baik memilih mati terpotong-potong daripada harus
berada dalam keadaan seperti ini.
#####
0 comments:
Post a Comment