Airill - Chapter 2


Angin berhembus lebih kencang dari biasanya, Airill memegang topi hitamnya. Rambut panjang coklatnya tertiup angin, searah dengan bagian bawah jaketnya yang tidak dikancingkan.

Siang ini kota terlihat lebih lengang dari biasanya, para penduduk sedang dikerja paksakan di dalam istana gubernur. Nanti sore gubernur Amperis akan kembali setelah melakukan perjalanan selama 2 bulan.

Airill menatap ke arah kedai minum tempat biasa dia minum, entah kenapa kakinya lebih mudah untuk melangkah ke arah tempat itu daripada harus berurusan dengan keadaan kota ini. Dengan malas dia melangkah menuju istana gubernur, Tuan Berdel memintanya untuk mengawasi para penduduk desa dan mengeksekusi siapa saja yang melakukan kesalahan.

Penjaga pintu istana sedang bersantai saat Airill memasuki gerbang. Dia tidak sedikitpun menegur prajurit-prajurit penjaga tersebut, langsung saja dia berjalan memasuki istana. Semakin cepat semakin baik pikirnya, dia tidak menyukai berlama-lama di tempat ini. Waktunya sudah tiba untuk pergi dari kota ini. Hari ini mungkin dia harus menyudahi semuanya.

Pintu utama istana sedang terbuka lebar, meski begitu bagian Airill tidak bisa melihat dengan jelas bagian dalam istana. Cahaya matahari yang hari ini tertutup awan mendung, membuat dia terpaksa memicingkan mata untuk melihat dengan jelas.

“Ah, Tuan Airill.” suara yang sangat Airill kenal terdengar di kupingnya saat dia baru saja beberapa langkah memasuki istana. Dia menoleh ke arah Tuan Berdel yang memanggilnya dari kejauhan, seperti biasa Tuan Berdel mengenakan pakaian yang rapi, berbahan yang mahal dan berkelas.

Airill mendekat, berjalan perlahan sambil mengamati beberapa penduduk desa yang dipaksa untuk membersihkan ruang utama istana. Perasaan geram muncul begitu dia melihat para penduduk desa tersebut. Cih, dasar anjing-anjing tidak berguna pikirnya.

“Mari, ada yang ingin aku tunjukkan padamu.” kata Tuan Berdel.

Airill hanya menganggukan kepalanya, memberi isyarat agar Tuan Berdel segera berjalan di depannya. Tuan Berdel segera membalikkan badan, tidak berbicara lebih banyak.

Airill mengamati keadaan istana, ini kali kedua dia memasuki tempat ini. Beberapa lampu api dinyalakan, menyala di atas tungku-tungku yang berlapis emas. Dinding-dinding besar dan megah dengan ukiran-ukiran besar terpampang. Dia bisa menyaksikan dengan jelas lukisan-lukisan yang menghiasi dinding-dinding tersebut, ukiran Dewa Merxuris, sang dewa pengetahuan, sedang menatap Elang peliharannya yang berdiri tegak sambil mengembangkan sayap di tangan kanan sang dewa. Kemudian di samping lukisan Dewa Merxuris, ada ukiran tentang legenda perang Afras. 

Airill tidak sempat melihat lebih banyak lukisan-lukisan yang lain karena Tuan Berdel telah berbelok memasuki salah satu lorong yang ada di ruang utama. Dia mempercepat langkahnya, meski tak urung matanya sempat melihat satu lukisan lagi. Seorang wanita yang sedang memeluk Érde, lukisan Dewi Mintia, sang Ibu Érde.

Tuan Berdel tidak sedikitpun menengok ke belakang untuk memastikan Airill tetap mengikutinya atau tidak. Hampir setengah putaran pasir mereka berjalan melewati lorong-lorong. Dengan pasti Tuan Berdel terus melangkah sampai pada ujung lorong di mana tidak terdapat jalan lain. Mengapa Tuan Berdel mengajaknya ke lorong buntu ini pikir Airill.

 Kemudian dengan cepat Tuan Berdel menekan beberapa batu tembok, meskipun begitu Airill bisa melihat batu mana saja yang ditekan oleh Tuan Berdel. Tidak berapa lama dinding batu yang ditekan Tuan Berdel bergeser ke arah kanan, sebuah tangga melingkar yang terbuat dari batu menunggu di dalam. 

Airill bersumpah dia bisa melihat ada senyum mencurigakan yang dia lihat saat Tuan Berdel menuruni tangga. Dia memeriksa senjata-senjatanya, sepasang senjata api masih dengan setia di masing-masing sarungnya, begitu juga dengan pedang hitamnya. Ada perasaan aneh yang menjalar di permukaan kulitnya, hawa yang menakutkan menunggu di bawah sana. Cih, Xalios sang dewa alam bawah sana pun akan ku lawan batinnya.

Tangga itu begitu sempit, bagaikan sebuah tong tempat penampungan air yang kemudian diberi pijakan-pijakan, tidak mungkin dua orang berjalan beriringan di tangga ini. Entah kenapa istana yang begitu besar ini mempunyai tangga yang tidak sepadan untuk ukuran istana, Airill hanya bisa mengomel dalam hati.

Airill menarik nafas, memastikan apakah penciumannya salah atau tidak. Ada bau yang sangat dia kenal, bau amis darah dan bau busuk bangkai. Reflek dia sedikit membuka jaket dan menyembulkan senjata api yang berada di pinggang kanannya.

“Tenang Tuan Airill. Aku mempercayaimu, jadi aku tidak akan mempunyai pikiran bodoh untuk menjebak dan membunuhmu.” Tuan Berdel berkata tanpa menoleh ke arah Airill yang menyusuri tangga di belakangnya.

Memaksakan diri Airill tersenyum, meski begitu dia tetap meningkatkan kewaspadaan. Kamu tidak akan tahu rencana apa yang digunakan musuhmu, yang penting bersiaga, karena apapun bisa terjadi adalah prinsipnya.

Sebuah lorong panjang kembali menanti. Berbeda dengan di ruang utama, Airill tidak mendapati tungku-tungku berlapis emas melainkan hanya obor biasa menerangi lorong ini. Meski tidak terlalu terang dia bisa melihat sebuah pintu yang berukuran dua kali lipat tubuhnya menunggu di ujung lorong. Dinding-dinding tembok dibiarkan tidak terawat, lumut-lumut meluas dengan leluasa di tembok itu. Samar tapi dia yakin pintu itu terbuat dari logam berwarna perak, atau dulunya berwarna perak karena begitu dia mendekat, hanya sedikit bagian pintu itu yang menampilkan warna perak.

Tuan Berdel mengambil sebuah benda dari balik bajunya. Sebuah benda yang berbentuk seperti batangan besi bulat, namun diujung berbentuk seperti bintang dengan banyak segi. Entah ada berapa segi, Airill tidak bsia melihat dengan jelas.

Bunyi klik terdengar, bersamaan dengan itu Tuan Berdel mendorong membuka pintu, Airill segera menahan nafasnya. Bau yang tadi samar kini menjadi kental. Terdengar suara hiruk pikuk dari dalam, bukan, bukan hiruk pikuk melainkan suara erangan. Perlahan mereka melangkah masuk.

“Hmm, aku yakin sekali kamu memang seperti yang orang-orang katakan.” Tuan Berdel memuji Airill.

Airill hanya menatap dingin, mengerti dengan maksud Tuan Berdel. Dia dipuji karena tidak sedikitpun dia terkejut melihat pemandangan yang terhampar di depan mereka. Puluhan batang pohon setinggi hampir 8 kali lipat tubuhnya, berjajar dengan sengaja di ruang bawah tanah itu. Bukan karena pohon-pohon itu tidak mempunyai sehelai daun atau karena warna pohon itu berwarna merah darah melainkan karena apa yang menghiasi batang-batang pohon tersebut. Puluhan wajah manusia menempel di pohon, hidup dan merintih. Mengerang menahan perih yang tidak pernah bisa dibayangkan. Sakit yang membuat mereka lebih baik memilih mati terpotong-potong daripada harus berada dalam keadaan seperti ini.

#####

0 comments:

Post a Comment