Amperis menarik nafas dengan perasaan senang, orang yang
menghancurkan rencananya telah bersimbah tak berdaya oleh tangannya sendiri.
Meski tidak sepadan dengan kerugian yang dia derita, Amperis tetap bisa
bergembira. Rencana untuk membuat ribuan prajurit boneka boleh tidak berhasil,
tetapi dia mendapatkan atau lebih tepanya dia menemukan kekuatan lain dari
pembiakan pohon pemakan manusia.
Wajah bukan manusia itu tersenyum, pikirannya kembali pada
waktu tidak jauh dari sekarang. Setelah jatuh tersungkur ke dalam lubang karena
serangan pemuda kampungan itu, dia tidak langsung mati. Walau darah mengucur
dan beberapa tulang dia rasakan sakit tak terkira, entah patah atau hanya
retak. Merangsek perlahan, dia bersandar, menempelkan sisi kiri tubuhnya pada
sebatang pohon besar yang penuh dengan juntaian sulur.
Samar-samar nafasnya semakin berat, namun kemauan untuk
bertahan hidup semakin membakar dari dalam diri. Amperis berusaha melepaskan
pedang panjang yang menancap erat di dada kanannya, sedikit dia menarik perih
tiada tara dia rasakan dalam sesaat itu. Pedang itu tepat menikam jantungnya,
akan fatal jika dia melepaskan pedang tersebut.
Nafasnya tinggal satu, dua. Kesadarannya diambang sirna,
akan punah bagi dirinya sesaat lagi. Amperis menutup mata, mencoba untuk
menghentikan kerja beberapa bagian tubuhnya, berharap masih ada kesempatan
menatap matahari esok. Dalam kegalauan hati, dia merasakan benda dingin kasar
namun lembut membelai tangan, kaki, badan, dan wajah. Dengan sisa kekuatan, ia
mencoba membuka mata. Belum sempat matanya melihat sedikit cahaya terang,
dengan cepat benda-benda itu mencengkeram seluruh tubuhnya. Mengikat bagai
tambang, membungkus seperti laba-laba memintal mangsanya. Tidak mengerti namun
dia bisa merasakan tubuhnya terangkat, melayang digiring ke dalam tempat yang
lebih gelap.
"Hahahaha!!" Amperis tertawa. Bertarung melawan
insting pohon pemakan manusia yang ingin mencerna dirinya, membuat dia bisa
menyerap semua kekuatan yang disimpan pohon itu. Meningkatkan kemampuan
penyembuh-diri-cepatnya, memberi kekuatan yang berlebih. Mengubah tubuhnya
menjadi bentuk yang menurut dia sangat menakjubkan, menjadi besar dan tangguh.
Bertubuh ular dari perut ke bawah, dua pasang tangan yang
kekar dan kokoh.
"Hei bodoh, sedang melamun apa?!" sebuah suara
menghentikan keramaian hati Amperis. Terkejut dia menoleh ke sampingnya,
berdiri di antara batang pohon pemakan manusia, sosok yang baru saja dia bunuh.
Ya, manusia sialan yang telah dia bunuh.
Bagaimana mungkin? pikir Amperis,
sekejap dia menoleh ke arah tangannya, tubuh lemas itu masih menancap di sana.
Amperis mempertajam matanya.
"Sial!!" teriak Amperis, tubuh itu bukan tubuh
Airill.
Dengan cepat dia menoleh Airill. Sepasang moncong senjata
api telah menghadang, sebelum mata berkedip, beberapa logam panas melesat tepat
di wajah besarnya, matanya perih dan panas. Sekarang semua menjadi gelap.
Amperis bisa merasakan Airill bergerak, melompat mendekat.
"Terimakasih telah menjaga pedangku dengan baik!"
kata Airill sebelum dia dengan paksa menarik pedang tersebut.
Amperis berteriak, suaranya membahana. Tapi kemampuan
penyembuh-diri-cepatnya bekerja dengan baik. Dia kembali bisa melihat,
logam-logam yang menancap di wajahnya dikeluarkan dengan paksa. Luka dalam oleh
pedang Airill tak lagi berbekas. Namun dia tidak bisa menemukan makhluk kotor
pembawa bencana itu.
Tidak di kiri, tidak juga di kanan. Atas dan bawah sudah dia
cermati, beberapa pepohonan terdekat Amperis tumbangkan. Bersiaga untuk mencari
kutu terkutuk itu.
"Anjing buduk! Tunjukkan dirimu?!" Amperis
meradang sangat. Seperti ada gumpalan daging menghuni rongga dadanya.
"Kamu bilang kamu pasti bisa menemukanku?!Kenapa
sekarang bertanya?!" suara Airill terdengar dari balik sebuah pohon tidak
jauh dari kanan Amperis. Melesat dia
menuju pohon tersebut, kemudian memukul dengan dua tangan
kanannya bersamaan. Pohon itu tumbang, melesatkan beberapa puing-puing tajam.
Potongan-potongan tubuh manusia berhambur, berceceran ke mana saja. Tapi Airill
tidak juga ada di situ.
"Bingung?!" ejek Airill, kali ini dari pohon tepat
di samping kiri Amperis. Tidak perlu memukul, kali ini dia melesatkan ekor
ularnya. Pohon itu juga tumbang dan jatuh berdebam dengan keras tapi tidak ada
siapapun di belakangnya. Darah dari mayat-mayat di dalam pohon mengalir
membasahi lantai.
Amperis mengerang, sebuah tebasan yang cukup dalam dia
rasakan di punggung. Hanya sekelebat bayangan dia sempat tangkap, menghilang di
antara gelapnya ruang dan pepohonan. Segera berbalik dia mengejar, meliuk
mencermati tiap jarak. Mengitari beberapa pohon untuk memastikan ada tidaknya
sang penyerang. Luka di punggungnya telah sembuh, tapi kesumat di dalam dadanya
tak juga sirna.
Kalap, Amperis menumbangkan lebih dari separuh pepohonan
yang masih berdiri, patahan kayu batang dan dahan berserakan tak beraturan.
Puluhan potongan tubuh manusia berlomba menghiasi lantai dengan darah kental
merah kehitaman mengalir. Bagai sumber mata air yang mengalir dari dalam batang
pohon yang tumbang. Kini lengang sudah ruangan itu, tinggal bagian utara yang
masih rimbun dengan pohon-pohon pemakan manusia.
Amperis meliuk perlahan, menghindari batang-batang tumbang
yang tajam. Tubuh bagian ularnya semakin licin karena bergelimang dengan darah.
Dia tidak mempedulikan itu, keinginannya untuk membunuh Airill sudah menyita
pikirannya. Semakin cepat dia membunuh kutu pengancam itu akan semakin cepat
pula baginya untuk mempertunjukkan bentuk baru dirinya pada hynrandher.
Tiba-tiba, dalam hitungan detik sebuah pikiran muncul dalam
otaknya. Sesuatu yang baru menggeliat di dalam otak manusianya. Sebuah tekanan
dahsyat, menyingkirkan beberapa kesadaran manusianya. Pertama dia tidak senang
dengan hal itu, tapi setelah dia mencerna dengan jelas. Dia sadar betapa
pentingnya hal itu. Sebuah senyum puas terbentang, kini dia merasa sangat
sempurna.
Mundur beberapa kaki, Amperis menatap hamparan pohon yang
tersisa di depannya. Matanya menatap tajam dan pasti, kemampuannya tidak bisa
lagi disamakan dengan beberapa saat yang lalu. Dengan satu kali tarikan nafas,
dia mengambil udara sebanyak-banyak hingga memenuhi ronga paru-parunya. Dadanya
mengembang, mulutnya tertutup rapat mengunci agar tidak ada satu cuil udara pun
yang keluar.
Matanya melotot, dalam hitungan detik dia menghembuskan
udara dengan kencang. Namun bukan angin yang keluar, melainkan semburan api
yang panas. Membakar tiap pohon yang terkena jilatan api tersebut. Pertama
belasan, kemudian puluhan. Merah dan panas semakin meraja, perlahan tapi pasti
membakar pohon yang ada satu persatu.
Tidak mungkin dia bisa bertahan dalam kobaran api
ini pikir Amperis. Seringai puas bertahan, dengan sabar dia menunggu
sampai Airill melompat keluar dari kobaran api karena satu-satunya jalan keluar
adalah dengan melewati dirinya.
Sebuah benda melayang melesat dari kobaran api. Amperis
tidak bergerak, dia tahu bahwa itu bukanlah Airill. Insting kreyzurenya bekerja dengan baik, otaknya bisa berimbang.
Hanya sebuah potongan kayu. Amperis semakin percaya diri, dia yakin kalau
Airill hanya mencoba untuk mengetahui posisi dia berada, dia tahu kalau Airill
tidak bisa melihat karena pandangan sang mangsa pasti tertutup kobaran api dan
asap.
Lagi, sebuah batang kayu. Kali ini cukup besar. Melesat
hampir beberapa kaki dari tempat dia berdiri. Amperis tetap menyiagakan
matanya, mengamati tiap sudut ruang gerak yang mungkin untuk Airill bisa
melesat.
Dua buah batang pohon seukuran manusia melesat, yang satu
agak dekat sementara yang satu lagi
tepat berada di depan Amperis, dia tidak bergerak. Dengan satu kibasan tangan
ringan dia menepiskan pohon itu. Sebuah batang kayu kembali dilemparkan dari
dalam kobaran api. Kali ini juga tepat ke arahnya, Amperis melakukan hal yang
sama. Dua lemparan beruntun berikutnya juga sama. Sengajakah
dia? pikirnya.
Amperis mulai tidak sabar, emosi kembali mengendalikan
dirinya. Dengan tangkas dia mengambil batang-batang pohon terdekat dan balas
melempar ke dalam kobaran api. Tidak perlu tahu apakah mengenai mangsanya atau
tidak, dia dengan membabi buta melemparkan apa yang ada di dekatnya. Belasan
sudah batang pohon dia lemparkan, tetapi tidak ada reaksi yang terjadi dari
balik kobaran api. Tapi juga tidak ada balasan dari lawan.
Hening sesaat, pikiran kecil mengusik Amperis. Matikah dia? Semudah itukah membunuhnya ternyata. Ah, sesuatu yang
sangat tidak memuaskan pikirnya. Sedikit menyesal dia menunduk,
karena hatinya berharap dia bisa lebih lama menyiksa makhluk keparat itu.
#####
0 comments:
Post a Comment