Airill – Chapter 7


Amperis menarik nafas dengan perasaan senang, orang yang menghancurkan rencananya telah bersimbah tak berdaya oleh tangannya sendiri. Meski tidak sepadan dengan kerugian yang dia derita, Amperis tetap bisa bergembira. Rencana untuk membuat ribuan prajurit boneka boleh tidak berhasil, tetapi dia mendapatkan atau lebih tepanya dia menemukan kekuatan lain dari pembiakan pohon pemakan manusia.

Wajah bukan manusia itu tersenyum, pikirannya kembali pada waktu tidak jauh dari sekarang. Setelah jatuh tersungkur ke dalam lubang karena serangan pemuda kampungan itu, dia tidak langsung mati. Walau darah mengucur dan beberapa tulang dia rasakan sakit tak terkira, entah patah atau hanya retak. Merangsek perlahan, dia bersandar, menempelkan sisi kiri tubuhnya pada sebatang pohon besar yang penuh dengan juntaian sulur.

Samar-samar nafasnya semakin berat, namun kemauan untuk bertahan hidup semakin membakar dari dalam diri. Amperis berusaha melepaskan pedang panjang yang menancap erat di dada kanannya, sedikit dia menarik perih tiada tara dia rasakan dalam sesaat itu. Pedang itu tepat menikam jantungnya, akan fatal jika dia melepaskan pedang tersebut.

Nafasnya tinggal satu, dua. Kesadarannya diambang sirna, akan punah bagi dirinya sesaat lagi. Amperis menutup mata, mencoba untuk menghentikan kerja beberapa bagian tubuhnya, berharap masih ada kesempatan menatap matahari esok. Dalam kegalauan hati, dia merasakan benda dingin kasar namun lembut membelai tangan, kaki, badan, dan wajah. Dengan sisa kekuatan, ia mencoba membuka mata. Belum sempat matanya melihat sedikit cahaya terang, dengan cepat benda-benda itu mencengkeram seluruh tubuhnya. Mengikat bagai tambang, membungkus seperti laba-laba memintal mangsanya. Tidak mengerti namun dia bisa merasakan tubuhnya terangkat, melayang digiring ke dalam tempat yang lebih gelap.

"Hahahaha!!" Amperis tertawa. Bertarung melawan insting pohon pemakan manusia yang ingin mencerna dirinya, membuat dia bisa menyerap semua kekuatan yang disimpan pohon itu. Meningkatkan kemampuan penyembuh-diri-cepatnya, memberi kekuatan yang berlebih. Mengubah tubuhnya menjadi bentuk yang menurut dia sangat menakjubkan, menjadi besar dan tangguh.
Bertubuh ular dari perut ke bawah, dua pasang tangan yang kekar dan kokoh.

"Hei bodoh, sedang melamun apa?!" sebuah suara menghentikan keramaian hati Amperis. Terkejut dia menoleh ke sampingnya, berdiri di antara batang pohon pemakan manusia, sosok yang baru saja dia bunuh. Ya, manusia sialan yang telah dia bunuh. 

Bagaimana mungkin? pikir Amperis, sekejap dia menoleh ke arah tangannya, tubuh lemas itu masih menancap di sana. Amperis mempertajam matanya.

"Sial!!" teriak Amperis, tubuh itu bukan tubuh Airill.

Dengan cepat dia menoleh Airill. Sepasang moncong senjata api telah menghadang, sebelum mata berkedip, beberapa logam panas melesat tepat di wajah besarnya, matanya perih dan panas. Sekarang semua menjadi gelap.

Amperis bisa merasakan Airill bergerak, melompat mendekat.

"Terimakasih telah menjaga pedangku dengan baik!" kata Airill sebelum dia dengan paksa menarik pedang tersebut.

Amperis berteriak, suaranya membahana. Tapi kemampuan penyembuh-diri-cepatnya bekerja dengan baik. Dia kembali bisa melihat, logam-logam yang menancap di wajahnya dikeluarkan dengan paksa. Luka dalam oleh pedang Airill tak lagi berbekas. Namun dia tidak bisa menemukan makhluk kotor pembawa bencana itu.

Tidak di kiri, tidak juga di kanan. Atas dan bawah sudah dia cermati, beberapa pepohonan terdekat Amperis tumbangkan. Bersiaga untuk mencari kutu terkutuk itu.

"Anjing buduk! Tunjukkan dirimu?!" Amperis meradang sangat. Seperti ada gumpalan daging menghuni rongga dadanya.

"Kamu bilang kamu pasti bisa menemukanku?!Kenapa sekarang bertanya?!" suara Airill terdengar dari balik sebuah pohon tidak jauh dari kanan Amperis. Melesat dia
menuju pohon tersebut, kemudian memukul dengan dua tangan kanannya bersamaan. Pohon itu tumbang, melesatkan beberapa puing-puing tajam. Potongan-potongan tubuh manusia berhambur, berceceran ke mana saja. Tapi Airill tidak juga ada di situ.

"Bingung?!" ejek Airill, kali ini dari pohon tepat di samping kiri Amperis. Tidak perlu memukul, kali ini dia melesatkan ekor ularnya. Pohon itu juga tumbang dan jatuh berdebam dengan keras tapi tidak ada siapapun di belakangnya. Darah dari mayat-mayat di dalam pohon mengalir membasahi lantai. 

Amperis mengerang, sebuah tebasan yang cukup dalam dia rasakan di punggung. Hanya sekelebat bayangan dia sempat tangkap, menghilang di antara gelapnya ruang dan pepohonan. Segera berbalik dia mengejar, meliuk mencermati tiap jarak. Mengitari beberapa pohon untuk memastikan ada tidaknya sang penyerang. Luka di punggungnya telah sembuh, tapi kesumat di dalam dadanya tak juga sirna.

Kalap, Amperis menumbangkan lebih dari separuh pepohonan yang masih berdiri, patahan kayu batang dan dahan berserakan tak beraturan. Puluhan potongan tubuh manusia berlomba menghiasi lantai dengan darah kental merah kehitaman mengalir. Bagai sumber mata air yang mengalir dari dalam batang pohon yang tumbang. Kini lengang sudah ruangan itu, tinggal bagian utara yang masih rimbun dengan pohon-pohon pemakan manusia.

Amperis meliuk perlahan, menghindari batang-batang tumbang yang tajam. Tubuh bagian ularnya semakin licin karena bergelimang dengan darah. Dia tidak mempedulikan itu, keinginannya untuk membunuh Airill sudah menyita pikirannya. Semakin cepat dia membunuh kutu pengancam itu akan semakin cepat pula baginya untuk mempertunjukkan bentuk baru dirinya pada hynrandher.

Tiba-tiba, dalam hitungan detik sebuah pikiran muncul dalam otaknya. Sesuatu yang baru menggeliat di dalam otak manusianya. Sebuah tekanan dahsyat, menyingkirkan beberapa kesadaran manusianya. Pertama dia tidak senang dengan hal itu, tapi setelah dia mencerna dengan jelas. Dia sadar betapa pentingnya hal itu. Sebuah senyum puas terbentang, kini dia merasa sangat sempurna.

Mundur beberapa kaki, Amperis menatap hamparan pohon yang tersisa di depannya. Matanya menatap tajam dan pasti, kemampuannya tidak bisa lagi disamakan dengan beberapa saat yang lalu. Dengan satu kali tarikan nafas, dia mengambil udara sebanyak-banyak hingga memenuhi ronga paru-parunya. Dadanya mengembang, mulutnya tertutup rapat mengunci agar tidak ada satu cuil udara pun yang keluar.

Matanya melotot, dalam hitungan detik dia menghembuskan udara dengan kencang. Namun bukan angin yang keluar, melainkan semburan api yang panas. Membakar tiap pohon yang terkena jilatan api tersebut. Pertama belasan, kemudian puluhan. Merah dan panas semakin meraja, perlahan tapi pasti membakar pohon yang ada satu persatu.

Tidak mungkin dia bisa bertahan dalam kobaran api ini pikir Amperis. Seringai puas bertahan, dengan sabar dia menunggu sampai Airill melompat keluar dari kobaran api karena satu-satunya jalan keluar adalah dengan melewati dirinya.

Sebuah benda melayang melesat dari kobaran api. Amperis tidak bergerak, dia tahu bahwa itu bukanlah Airill. Insting kreyzurenya bekerja dengan baik, otaknya bisa berimbang. Hanya sebuah potongan kayu. Amperis semakin percaya diri, dia yakin kalau Airill hanya mencoba untuk mengetahui posisi dia berada, dia tahu kalau Airill tidak bisa melihat karena pandangan sang mangsa pasti tertutup kobaran api dan asap.

Lagi, sebuah batang kayu. Kali ini cukup besar. Melesat hampir beberapa kaki dari tempat dia berdiri. Amperis tetap menyiagakan matanya, mengamati tiap sudut ruang gerak yang mungkin untuk Airill bisa melesat.

Dua buah batang pohon seukuran manusia melesat, yang satu agak dekat sementara  yang satu lagi tepat berada di depan Amperis, dia tidak bergerak. Dengan satu kibasan tangan ringan dia menepiskan pohon itu. Sebuah batang kayu kembali dilemparkan dari dalam kobaran api. Kali ini juga tepat ke arahnya, Amperis melakukan hal yang sama. Dua lemparan beruntun berikutnya juga sama. Sengajakah dia? pikirnya.

Amperis mulai tidak sabar, emosi kembali mengendalikan dirinya. Dengan tangkas dia mengambil batang-batang pohon terdekat dan balas melempar ke dalam kobaran api. Tidak perlu tahu apakah mengenai mangsanya atau tidak, dia dengan membabi buta melemparkan apa yang ada di dekatnya. Belasan sudah batang pohon dia lemparkan, tetapi tidak ada reaksi yang terjadi dari balik kobaran api. Tapi juga tidak ada balasan dari lawan.

Hening sesaat, pikiran kecil mengusik Amperis. Matikah dia? Semudah itukah membunuhnya ternyata. Ah, sesuatu yang sangat tidak memuaskan pikirnya. Sedikit menyesal dia menunduk, karena hatinya berharap dia bisa lebih lama menyiksa makhluk keparat itu.

#####

0 comments:

Post a Comment