Pagi baru saja menyapa, bahkan hangatnya belum menyentuh
desa Atalia sejengkalpun. Tidak ada alasan bagi seorang Iké untuk bangun sepagi
ini kecuali seorang Irene yang biasa menyiramnya dengan air ada di rumah.
Beruntung bagi dia dan anak-anak yang setipe dengan dia, hari ini Irene bersama
Ibu Lynn sedang pergi ke kota Tamanor yang
berjarak dua hari perjalanan dari desa Atalia. Namun, keberuntungannya
tidak berlangsung lama saat Karin yang sudah siap dengan pakaian untuk berjalan
membangunkannya.
"Iké, ayo bangun!" Karin menggoyang-goyangkan
badan Iké.
Iké setengah terjaga, dia hanya menatap Karin dengan sebelah
matanya saja. Dilihatnya Karin sudah berdandan rapi dengan pakaian biru putih
kesukaan gadis kecil itu.
"Karin, kenapa kamu membangunkanku sepagi ini?!"
tanya Iké yang kembali menutup matanya.
"Antarkan aku ke guild! Ini hari
pertamaku belajar di sana. Ayo, aku tidak mau terlambat!" Karin memelas,
gadis sepuluh tahun itu tahu kalau Iké paling lemah terhadap dirinya.
"Sama nenek muda saja!" elak Iké.
"Tapi Irene sedang ke kota Tamore dengan Ibu Lynn sejak
kemarin." Karin mengeryitkan dahi, memulai strategi lain untuk membuat Iké
bersedia.
"Oh iya juga." kata Iké masih dengan kedua mata
tertutup. Ia melanjutkan, "Pergi dengan Xavi saja sana!"
Karin menggeleng kencang,
"Aku tidak mau pergi dengan Exavius!" tolak Karin.
"Heh?" Iké tidak percaya dengan pendengarannya.
Dia membuka matanya, pikirannya sedikit kaget.
"Kenapa kamu
tidak mau? Bukankah Xavi lebih bisa diandalkan dari pada aku?" giliran Iké
yang mengernyitkan dahi.
Iké bangkit dari tidurnya dan duduk bersila menatap gadis
kecil yang menatapnya binar.
Karin mendekatkan wajahnya ke kuping Iké,
"Aku lebih suka berjalan dengan kamu, Exavius orangnya
terlalu serius. Dia juga kadang tidak peduli dengan teman seperjalanan. Seperti
biasa dia hanya DIAM." bisik Karin sambil menekankan kata terakhir.
"Aku lebih suka berjalan dengan kamu. Tidak seperti Exavius yang akan
melotot jika kita mengajaknya berbicara." Karin melanjutkan.
Iké tersenyum senang, akhirnya dia merasa ada bagian dari
dirinya yang lebih unggul dari Exavius, walaupun itu hanya sebagai teman
seperjalanan yang asyik dan hanya seorang Karin yang mengakuinya.
"Baiklah, aku akan bersiap!" teriak Iké sambil melompat
dan berdiri tegak di atas kasur, lupa dengan kenyataan bahwa dia berada di
tingkat bawah dari ranjang bertingkat dua di kamar itu. Sebuah suara yang keras
dan benjol di kepalanya pun tidak terhindarkan menghias kepalanya.
Karin tertawa gelak, "Ahahaha, itulah kenapa aku suka
dengan kamu. Tingkahmu yang bodoh dan konyol selalu membuat aku selalu
tertawa."
"Cih" tukas Iké sambil mengusap kepalanya.
"Aku bersiap dulu. Buatkan aku sarapan yang enak!"
lanjut Iké sambil berjalan dengan semangat keluar kamar menuju kamar mandi.
"Jangan lupa, kita akan naik kereta kuda." kata
Karin polos.
Kuping Iké bagai tersengat sihir petir Exavius begitu
mendengar kata "kereta", mendadak dunia menjadi tidak seindah tadi.
Jalannya menjadi sangat lemas.
=====
Iké merasakan harinya tidak semakin membaik, pagi yang
terganggu karena harus mengantar Karin di hari yang seharusnya dia bisa
bersantai karena tidak ada Irene, kepala yang benjol, dan yang lebih buruk dari
naik kereta kuda menuju kota Latheer adalah naik kereta bersama dengan Exavius.
Ya, rival Iké itu berada satu kereta dengan dia dan Karin.
Exavius ternyata juga akan berlatih sihir di Sothale Circle di hari yang sama.
Sebenarnya Iké sudah berusaha menolak untuk satu kereta dengan Exavius, namun
Ibu Anne yang lebih galak daripada Irene memberikan pelototan mata yang dia
sangat tahu artinya apa. Dalam kelemasannya, Iké mengumpat sejak kereta
meninggalkan desa.
Karin mencoba menghibur Iké dengan mengajak berbicara tapi
usaha itu sia-sia. Exavius bahkan tidak memperdulikan sama sekali.
"Dasar lemah!" gumam Exavius.
Iké menoleh sedikit ke arah Exavius yang duduk di
seberangnya, jika saja masih ada sedikit kekuatan dalam dirinya, ia akan
menghajar Exavius. Akhirnya dia menyadari keadaannya, "menikmati"
tiap jengkal getaran dan hentakan dari kereta penumpang berwarna coklat tua
ini. Meski saat melewati bukit-bukit pemandangan sangat bagus untuk dinikmati,
dia lebih memilih untuk memejamkan mata. Semakin dia sadar dia berada di dalam
kereta, semakin parah perasaan mual yang dideritanya. Akhirnya dia memaksakan
untuk tidur, dan entah bagaimana dia bisa tidur dan bermimpi dalam kondisi yang
tidak nyaman.
Hampir selama perjalanan, Iké tidur. Saat kota Latheer sudah
terlihat di depan mata, dia terbangun saat roda kereta secara tidak sengaja
menabrak sebuah batu dan membuat kereta bergoyang keras. Dilihatnya Karin juga
tidur, bersandar di lengannya, sementara Exavius duduk diam menatap ke arah
kota.
Iké membenarkan letak kepala Karin yang hampir tergelincir.
Namun hal itu justru membuat Karin terbangun.
"Maaf." kata Iké sambil memaksa untuk tersenyum,
"Aku hanya ingin membetulkan posisi tidurmu."
"Tidak apa." kata Karin sambil menegakkan posisi
duduknya dan mengucek-ucek kedua matanya. Sambil menguap ia berkata,
"Haphoakah hitoa hampir sampai?" dan mengakhiri dengan kata hoaem di
ujung kalimatnya.
Iké mengangguk pelan, dengan wajahnya dia menunjukkan bahwa
kota Latheer sudah terlihat. "Sebentar lagi kereta ini akan mengantar kita
tepat di depan guildyang berada di sisi timur kota."
katanya pelan.
Kereta! pikir Iké, dia lupa kalau dia
masih berada di dalam kereta. Matanya langsung membelalak dan mual langsung
menyerang perutnya. Dilihatnya Karin tersenyum kecil saat dia kembali sukses
terkapar di sandaran tempat duduk penumpang.
"Nanti kalau aku sudah mahir, aku akan menyembuhkan
sakitmu Iké." kata Karin yang disambut dengan acungan jempol oleh Iké.
Iké tidak bisa berbicara lagi, membuka mulut sama saja
dengan membuang semua sarapan yang dia makan sebelum berangkat tadi.
"Sekalian carikan sihir untuk mengobati
kebodohannya!" Exavius menimpali tanpa menoleh. Ia melanjutkan,
"Kalau memang ada sihir yang bisa menyembuhkan kebodohan mutlaknya
itu."
Iké mulai naik pitam, meski tubuhnya lemas tapi emosinya
membuat kedua tangannya memunculkan api. Namun sebelum dia berbuat lebih jauh,
Karin membisikan sesuatu untuk meredakan kemarahannya.
"Aku juga akan mencarikan sihir biar Exavius tidak
se-introvert seperti itu." Karin tersenyum sambil
mengelus-elus punggung Iké.
Iké mengacungkan jempolnya lagi setelah memadamkan api di
sepasang tangannya.
Kereta memasuki kota Latheer dan berbelok ke arah timur
sebelum masuk ke pusat kota. Tidak sampai satu putaran
pasir, kereta berhenti tepat di depan halaman gulid. Iké langsung melompat keluar dari kereta tidak
melalui pintu, dan bersujud seakan-akan memeluk tanah. Tidak ada kebahagiaan
yang lebih baginya saat ini selain kembali menginjak tanah, Bahkan Exavius yang
mengejeknya tidak bisa menghentikan kebahagiannya itu.
"Iké, ayo!" kata Karin.
Iké menoleh pada Karin yang tiba-tiba menarik lengan
kanannya dan mengajak untuk bergegas masuk ke dalam guild.
Dia menurut saja saat Karin mengamit tangannya dan menuju tempat perkumpulan
para penyihir itu.
Sebuah jalan setapak yang tidak terlalu lebar membelah dua
halaman yang dipenuhi dengan hamparan rumput terpotong rapi, beberapa ornamen
menarik hampir memenuhi kedua belah sisi taman. Iké dapat memahami perasaan
Karin yang mengagumi tempat itu. Tunggu sampai kamu melihat apa yang
ada di dalam guild pikir Iké.
Bangunan kayu besar memanjang ke belakang menunggu mereka di
depan, saat belajar di sini Iké yakin bahwa gedung itu lebih besar dari
kelihatannya. Dia yakin ada yang memberi sihir pada tempat ini. Mana
mungkin tidak pikirnya, banyak penyihir hebat yang
berkumpul di guild ini walaupun mereka hanya sebatas terkenal di daerah ini
saja. Paling tidak salah satu dari mereka pasti bisa menyihir tempat ini
menjadi lebih luas. Iké bersungut-sungut sendiri sambil mengenang
masa-masa dia masih belajar di sini.
Iké hampir saja menabrak Exavius yang berhenti mendadak di
depan rumah kuning pucat itu. Baru saja dia hendak membentak Exavius namun
pemuda berambut putih itu lebih dahulu berkata.
"Apa kamu sudah siap?" kata Exavius kepada Karin
sambil menempelkan kedua telapak tangannya di pintu berwarna jingga di depan
dan bersiap mendorongnya.
Cih, sok keren< umpat Iké dalam hati.
Dia melirik ke arah Karin yang mengangguk-angguk senang dan kagum. Dasar
anak kecil, mudah dipengaruhi dengan permen! Iké semakin mengumpat.
Exavius membuka pintu, Iké menghela nafas melihat keadaan di
dalam. Tidak ada yang berubah sejak dia meninggalkan tempat ini. Ruang tamu
yang ditata mirip dengan kedai minuman dengan meja-meja bundar dengan empat
kursi dari kayu yang senada mengelilingi tiap-tiap meja diatur dengan rapi,
jumlahnya mungkin belasan. Iké tidak pernah menghitung berapa jumlah pastinya.
Dua buah meja panjang tempat minum berada di sisi kanan dan kiri ruangan,
dipisahkan oleh sebuah jalan masuk menuju lorong yang menghubungkan ke ruang
berikutnya.
"Kiri untuk makan, kanan untuk minum." jelas
Exavius singkat seakan menjadi pemandu jalan bagi Karin.
Iké mencibir kesal pada Exavius yang berlagak keren. Dia
mengalihkan pandangan, menatap sosok-sosok yang ada di sana. Memperhatikan
beberapa orang yang sedang makan atau sekedar menikmati minuman mereka. Dia
mengenali sebagian besar dari mereka, walau kadang dia tidak tahu nama orang
itu. Sebagian kecil lagi dia sama sekali tidak mengenal mereka. Iké mengikuti
Exaviuz yang berjalan menuju lorong. Karin di depannya berjalan pelan mengagumi
ruang depan guild itu.
"Yo Iké! Lama tidak berjumpa." seorang pria dewasa
berumur 30 tahunan mendekati Iké.
Iké tersenyum masam begitu menatap pria berambut pirang
panjang yang memanggilnya itu, jaket panjang berwarna coklat muda yang sewarna
dengan topi bundarnya membuat Iké yakin dia tidak mungkin salah mengingat orang
itu.
"Hai Fliker!" Iké menjawab tanpa semangat, dia
malas bertemu dengan Fliker karena dia sering dipermainkan oleh orang itu saat
masih belajar di guild ini.
"Apa kamu ingin belajar di sini lagi? Wah..wah..aku
akan sangat senang sekali." Fliker tersenyum nakal sambil mengangkat
tangannya ke depan wajah Iké.
Iké menghindar, dan menjauh beberapa langkah dari Fliker.
Dia tidak mau terjebak lagi dalam sihir Fliker yang bisa menghipnotis orang
begitu dia menjentikkan jarinya di depan wajah korbannya. Sesuatu yang sangat
dia waspadai karena dia sudah menjadi korban beberapa kali dari sihir Fliker
ini.
"Aku cuman mengantarkan adik kesayanganku ke
sini." Iké sengaja memberi tambahan "kesayangan" agar Fliker
tidak macam-macan dengan Karin. Ia melanjutkan sambil memalingkan muka menatap
Karin, "Dia akan belajar di guild mulai hari
ini." Iké secara tidak langsung memperkenalkan Karin kepada Fliker, namun
berusaha menjaga jarak antara kedua orang itu.
Karin terpaksa mendongak menatap laki-laki yang lebih tinggi
kira-kira dua jengkal dari Iké.
"Jangan dekat-dekat dengan dia!" ketus Exavius
dari jauh. Iké tersenyum, kali ini dia sependapat dengan pemuda bermata biru
gelap itu.
Iké teringat kalau Exavius juga pernah dipermainkan oleh
Fliker. Dia menunduk sedikit untuk membisikkan sesuatu kepada Karin, namun dia
sengaja berbisik agak keras sehingga Fliker juga bisa mendengar perkataannya.
"Hati-hati! Dia adalah seorang psikopat. Dia terlihat
tua tapi kelakuannya seperti anak kecil. Mungkin dia pantasnya berteman dengan
anak-anak berumur tujuh tahunan, karena dia tidak bisa tenang kalau tidak
menjahili orang yang lebih lemah darinya." Iké menyeringai kecil sambil
melirik sedikit ke arah Fliker.
Iké memaksa Karin untuk bergegas meskipun dia tahu kalau
Karin ingin mengetahui lebih banyak tentang Fliker. Dia tidak mempedulikan
kerutan di dahi gadis kecil itu dan menarik lengan Karin untuk mendekati
Exavius yang menunggu di lorong.
Sekitar 40 kaki berjalan di lorong kayu coklat tua itu, Iké
menegur Exavius yang berjalan sedikit lebih cepat di depan dia dan Karin.
"Hei Xavi, bukankah ruang administrasi ada di pintu
ini!" Iké menunjuk ke pintu di sebelah kirinya.
"Kita akan langsung menuju ruang pengajar." kata
Exavius sambil terus berjalan. Sambil menoleh sedikit ia melanjutkan,
"Pesan Irene, kita langsung bertemu dengan Tuan Kelvor."
"Oooo..heh!" Iké kaget, dia baru sadar kalau
mereka akan menuju tempat yang paling tidak dia sukai. Roman mukanya berubah,
"Kita harus ke sana?"
"Kamu boleh menunggu di luar kalau tidak mau. Tempat
itu memang tidak cocok untuk orang dengan otak pas-pasan." ejek Exavius
dengan nada yang dingin seperti biasa.
"Cih, tidak usah mengaturku uban!" geram Iké. Baru
saja dia menutuskan untuk tidak ikut ke ruang pengajar, Karin menarik
tangannya. Memaksa Iké untuk tetap ikut menemani ke dalam ruang para pengajar.
Dia terpaksa menguatkan hati demi gadis kecil itu. Dilihatnya di depan Exavius
sudah berdiri di depan sebuah pintu lebar berwarna putih gading bersiap untuk
mengetuk pintu. Karin menarik tangannya lebih keras dan mengajak untuk bergegas.
*****
0 comments:
Post a Comment