BR - Act 11


Pepohonan semakin jarang, Irene merasakan cahaya semakin terang seiring dengan langkah kakinya menuju barat laut. Dia semakin yakin kalau dia menuju arah yang benar. Satu-satunya petinggi kerajaan ini yang bisa dia ajak bicara tentang permasalahan yang terjadi di kerajaan ini. Dia teringat ketika pertama kali bertemu dengan orang itu.

Irene menghentikan langkahnya saat sesosok makhluk berjubah dan memakai tudung kepala sedang berjongkok memeluk seorang perempuan muda beberapa kaki di depannya. Sosok itu menyadari kehadirannya dan melepaskan si perempuan muda ke tanah dengan kasar.

“Kamu! Apa yang kamu lakukan?!” teriak Irene ketika sosok itu berpaling dan menatap dirinya.
“Wah, aku tidak mengenalmu Nona. Tapi sepertinya anda mengenal saya?” sosok itu menyeringai, kemudian memamerkan deretan gigi-gigi tajam kepada Irene.

Irene berdiam sesaat, memang ini pertama kalinya dia berkunjung ke kerajaan ini. Namun cerita tentang orang di hadapannya ini pernah dia dengar, apalagi ciri-ciri yang sesuai dengan cerita orang-orang. Wajah yang dihiasi dengan semacam bedak putih, dengan sekeliling mata yang diolesi pewarna hitam.

“Reputasi anda sudah saya dengar, Tuan Smith.” Irene yakin sekali dengan dugaannya, dia menyiapkan tongkat sihirnya, dan membaca mantra hingga bagian ujung tongkat berubah menjadi tombak bermata tiga. Dia yakin sekali kalau sosok di hadapannya adalah Smith Sang Penjagal.

Entah karena jati dirinya ketahuan atau karena Irene menyiagakan tongkat, Smith secara tiba-tiba mengibaskan jubahnya, berubah menjadi kepulan asap hitam dan perlahan menghilang.

Irene urung mengejar saat gadis tadi melenguh. Dia baru menyadari kalau gadis itu bisa jadi adalah calon korban Smith. Beruntung dia berhasil menggagalkannya.

Tersentak kaget Irene begitu dia mendekat ke arah si gadis. Beberapa rajah mantra masih terlihat di sepasang tangan dan wajah sang gadis. Dia mengenali mantra sihir itu, sihir untuk menjadikan boneka siapapun yang terkena mantra.

*****
Irene berhenti sesaat, menatap sebuah rumah yang dikelilingi dengan pagar tumbuhan yang ditata dengan rapi. Dia melihat cerobong asap rumah mengeluarkan asap hitam kecil, pertanda ada seseorang di dalam. Dengan waspada, dia melangkah masuk ke halaman rumah.

Namun baru empat-lima langkah dia memasuki halaman, tiba-tiba saja dari dalam tanah dinding-dinding dari tumbuhan menyeruak membentuk lorong-lorong kecil. Irene melompat ke atas berusaha untuk mencari tahu apa yang terjadi, namun setinggi apapun dia melompat, dinding-dinding itu tetap lebih tinggi dari dirinya.

Irene kenal dengan sihir ini,

“Labirin.” gumamnya.

*****
Kira mundur beberapa langkah, membiarkan Rea bertarung dengan Smith. Sudah lebih dari tiga jam mereka bertarung dua melawan satu, namun dia merasa Smith tidak terkalahkan. Tiap kali Smith hampir dikalahkan, entah bagaimana caranya orang itu bisa mendapatkan kekuatannya kembali. Seakan-akan pria itu mempunyai kemampuan menyembuhkan diri yang cepat.

Smith terpukul mundur saat Rea memberikan sebuah serangan telak di dadanya, Kira mengambil kesempatan itu untuk membelit Smith dengan tali-air-pengikatnya. Lima tali-air-pengikat dia lesatkan dan mengikat kedua kaki, kedua tangan, dan leher Smith.

Dengan cepat Kira menoleh kepada Rea, memberi isyarat agar pemuda itu menghabisi Smith. Dia melihat pria itu langsung berkonsentrasi membaca mantra untuk mengerahkan senjata andalan. Dia mengeratkan tali-air-pengikatnya sambil menunggu serangan bom cabai dari Rea.

Aneh, Kira tidak merasakan Smith memberontak dalam jeratan tali-air-pengikat. Sesuatu yang tidak wajar, apa kali ini serangan mereka akan kembali gagal.

Kira menatap Rea yang memunculkan puluhan bom berbentuk cabai, tanpa dikomando Rea melemparkan bom-bom itu dan meledak di tubuh Smith dengan telak. Tapi dugaan jelek Kira terjadi, meskipun tubuh Sang Penjagal terlihat terluka namun wajah pria itu tidak menunjukkan rasa sakit sama sekali.

“Dasar bodoh!” jerit Smith.

“Serangan apapun yang kalian berikan, kalian tidak bisa mengalahkan aku.” kata Smith lagi sambil sesekali menjerit.

Kira melangkah dan berdiri di belakang Rea, entah kenapa dia merasakan tekanan yang sangat menakutkan dari Smith. Tanpa dia sadari dia berlindung di punggung Rea, tempat dia merasakan aman dan terlindungi seperti yang sudah-sudah.

“Selama aku mempunyai tubuh lain, aku tidak terkalahkan!” seringai Smith.

Kira sangat terkejut ketika tiba-tiba saja Rea jatuh tersungkur. Dengan segera dia memeriksa keadaan orang yang disayanginya itu, tidak ada luka baru di bagian tubuh Rea kecuali rajah-rajah sihir yang dengan cepat muncul di wajah dan tangan.

“Apa yang terjadi?” Kira panik, tidak mengerti harus berbuat apa.

“Ma-matanya..jangan menatap matanya terlalu lama!” kata Rea sesaat sebelum pandangan mata yang berubah menjadi kosong, Kira tersentak saat tangan pemuda itu mencekik lehernya.

*****
Synrio membuka matanya, cahaya temaram dari lilin-lilin kecil belum mampu membuatnya melihat dengan jelas.

“Ah, maafkan kami.” sebuah suara terdengar dari samping kanan tempat Synrio berbaring.

Gadis setengah elf itu menoleh, empat ekor pinguin sedang menatap dirinya. Salah seorang Pinguin yang memakai semacam ikat kepala maju mendekat, Synrio bisa melihat kalo Pinguin memegang semacam buku bercahaya dan pensil lilin. Dia tidak yakin dengan penglihatannya, dan mengerjapkan mata berkali-kali.
Penglihatannya benar, Synrio duduk bersila menatap ke empat makhluk kecil itu. Tidak ada yang dia kenal.
“Sebelumnya kami tidak yakin apakah dirimu adalah salah satu dari ‘mereka’, jadi kami harus menyekapmu dulu.” kata Pinguin dengan ikat kepala.

Synrio mengamati ruangan tempat dia disekap, atau sebelumnya disekap. Tidak terlalu kecil bahkan untuk ukuran tubuhnya. Beberapa kursi kayu dan meja ukuran manusia, tidak ada yang kecil. Dia menduga kalau para Pinguin ini tidak kewalahan menggunakan peralatan manusia biasa.

Tiba-tiba matanya tertuju pada satu sosok penuh dengan balutan kain, dibaringkan di dinding seberang beralaskan tumpukan jerami yang sudah diatur sedemikian rupa. Synrio berdiri, mendekat ke arah sosok itu.
“Siapakah dia?” tanya Synrio pada para Pinguin.

“Cami cuga cidak cau capa cia.” jawab Pinguin yang memakai semacam sabuk yang dipasang melintang di dadanya.

Synrio mengernyitkan dahi, mencoba mencerna perkataan si Pinguin. Bahasa ini berbeda dengan bahasa Panda yang dulu pernah dia ajak bicara. Mungkin maksud Pinguin itu, ‘kami juga tidak tahu siapa dia’ pikirnya.

“Aku sudah memberinya rumput penghayal, luka-lukanya cukup parah. Hanya itu yang bisa ku berikan sebagai penghilang rasa sakitnya.” kata Pinguin yang membawa buku bercahaya.

Synrio mengangguk pelan, dia kenal dengan tumbuhan itu. Kanavis, begitu orang-orang di tempatnya berasal menyebut tumbuhan yang bisa meredakan rasa sakit.

Dari jarak tiga-empat langkah, Synrio masih bisa merasakan kalau sosok itu bernafas dengan berat dan sangat pelan. Meski seluruh tubuh orang itu dibalut dengan kain, dia bisa mengetahui kalau sosok itu adalah seorang laki-laki. Setelah tepat berada di samping laki-laki itu, dia duduk di lantai dan meletakkan tangan kanannya di kepala si laki-laki.

“Magnus..” gumam Synrio. Dia menggunakan sihir membaca pikiran terhadap sosok itu, “Andaravus, dari keluarga Magnus. Salah satu pekerja di kebun Istana.”

Synrio pun mengorek keterangan lebih banyak dari pikiran Andravus, mencoba mencari tahu apa yang sudah menimpa terhadap sosok ini. Dan terlebih lagi, tentang apa yang terjadi di kerajaan ini.

*****
Riesling bersembunyi di antara pepohonan, melompat ke dahan salah satu pohon yang rimbun dan mengamati pertempuran yang terjadi sesaat setelah wana menghitam. Sebuah benda logam hidup berukuran raksasa bertarung dengan dua-tiga orang. Salah satunya adalah sosok berambut panjang.

Dari jalannya pertempuran Riesling mencoba mencerna apa yang sedang terjadi, saat sesosok wajah muncul dari balik awan hitam dan meniupkan angin yang sangat kencang dan dingin. Beberapa pepohonan di dekatnya tumbang. Bahkan tempat dia bersembunyi hampir saja tumbang jika dia tidak segera memunculkan ratusan sulur untuk membelit batang pohon dengan ujung lainnya menancap erat ke dalam tanah.

Beruntung dingin angin itu tidak membekukan pepohonan di dekatnya. Riesling mendengar teriakan dari pria berambut panjang. Menantang sang pengemudi benda logam itu sambil menebaskan katana panjang itu
Tiba-tiba sebuah ledakan tidak jauh menghempaskan orang itu hingga terpental jatuh ke tanah. Entah karena laki-laki lebih cepat, Riesling bisa melihat tebasan katana laki-laki itu berhasil menghentikan gerak makhluk logam itu.

Riesling membuka catatannya, dia menemukan siapa jati diri laki-laki berambut panjang itu, Alcyon Sang Penasehat Kerajaan. Sementara dari ledakan tadi, dua orang manusia terlempar dengan keras. Dengan catatannya, Riesling mencoba mencaritahu siapa kedua orang itu.

Namun Riesling tidak menyadari kehadiran orang lain sampai sebuah benda keras ditodongkan ke bagian belakang kepalanya, dia mendengar suara klik yang membuat dia yakin kalau benda itu adalah tongkat petir.

“Siapakah kamu berani-beraninya memasuki kerajaan ini tanpa ijin?” suara itu terdengar dingin dan mengancam di telinga Riesling.

Riesling berusaha melukis sesuatu, namun si pemilik suara menendang tangannya yang memegang kuas ajaib hingga kuas itu jatuh ke tanah. Dia hanya bisa memejamkan mata berharap ada keajaiban datang.

#####

0 comments:

Post a Comment