“Enam puluh satu!” teriak
Avshalom setelah menebas dua lawannya sekaligus.
Luxträgger menatap pemuda berambut
merah itu dengan sedikit senyuman tersungging, pasangan kerjanya kali ini
terlalu besemangat.
Dengan satu kali hentakan, dia
melesat menerjang beberapa lawan yang bergerak mendekat ke arah mereka.
Sayap-sayap tajam dari vouraqnya
tidak pernah mengecewakan sebagai senjata untuk menyerang sekaligus untuk
bertahan.
Lima prajurit memakai jirah
perang dengan lambang Kerajaan Nakhifan tumbang oleh serangan Luxträgger.
“Enam puluh tiga.” kata Luxträgger
dengan nada datar. Avshalom menatapnya dengan kesal, sambil memaksa menerjang
belasan prajurit Nakhifan yang menyerang.
Avshalom sudah tidak peduli lagi dengan tugas
bayaran yang diberikan oleh Orde kepada dia dan Luxträgger. Tugas yang
seharusnya untuk mencari kebenaran berita tentang akan adanya serangan
diam-diam dari Nakhifan, malah menjadi ajang kompetisi siapa yang
terkuat bagi dia. Ini adalah untuk pertama kalinya mereka dipasangkan dalam
sebuah misi.
Entah apa yang dipikirkan oleh
para Dewan Tertinggi, Avshalom menganggap ini sebagai sebuah kesempatan. Sudah sering nama Luxträgger
dielu-elukan sebagai yang terbaik di antara para ksatria Veld. Padahal dia juga
merasa dirinya tidak kurang hebat dari pemuda berambut hitam panjang itu.
Dan sejak misi pengintaian ini berubah
menjadi misi penghancuran, Avshalom menantang Luxträgger untuk beradu siapa
yang paling banyak menghabisi lawan.Seribu pasukan pertama dari Nakhifan
pun menjadi sasaran mereka berdua, Luxträgger adalah seorang keturunan bangsawan. Harga dirinya
terlalu tinggi untuk dikalahkan oleh seorang pemuda dari keturunan rakyat
biasa.
Luxträgger hanya tersenyum, melihat Avshalom
mulai memainkan pedang merahnya, merah karena Avshalom mengisikan sihir ke
dalamnya. Pedang unik yang diberikan oleh Belzer, salah seorang Dewan Tertinggi
Orde yang bersimpati kepada Avshalom. Pedang yang bisa bertambah kekuatan
sesuai dengan sihir yang dirapalkan sang pengguna, pedang bintang.
Namun begitu, Luxträgger tidak merasa kalah.
Dia mempunyai vouraq, senjata paling sempurna di Mithlerer Ostien, dan sudah menjadi pusaka di keluarganya. Sampai
sekarang belum ada yang bisa mengalahkan keunikan senjata ini. Dan tentu saja
senjatanya tidak akan kalah oleh pedang
bintang Avshalom.
Prajurit yang sengaja dijadikan sebagai
martir oleh Nakhifan menjadi bulan-bulanan. Avshalom menerjang
bagaikan seekor banteng yang marah, menerobos kerumunan prajurit sampai barisan
paling belakang. Kecepatannya membuat tidak ada satupun pedang atau tombak dari
para prajurit Nakhifan menyentuh tubuhnya. Hanya bercak-bercak darah dari
prajurit-prajurit yang terkena tebasan Pedang Bintang menempel di wajah,
pakaian, dan jubah putihnya.
“Tiga ratus empat puluh
satu!” teriak Avshalom, sedikit menyeringai.
Luxträggertidak
menjawab, dia melompat tinggi dan kemudian menukik tajam, bagaikan elang yang
menemukan puluhan tikus siap untuk diterkam. Menyabetkan sayap-sayap tajam vouraq dan kemudian menutupi tubuhnya
dengan sepasang sayap itu juga. Melindungi dirinya dari serangan lawan, tidak
ada celah bagi senjata prajurit itu untuk menyentuh tubuhnya.
Dengan satu hentakan hebat, Luxträggermerentangkan
sayap. Prajurit-prajurit Nakhifan yang mengelilinginya, terlempar ke belakang,
terjengkang ke tanah akibat tekanan angin yang tercipta dari hentakan sayap vouraq.
“Tiga ratus lima puluh tujuh.” masih Luxträgger berujar dengan nada dingin dan congkak.
Geram mendengar
perkataan Luxträgger, Avshalom mengeratkan genggaman tangan kirinya di pedangnya, dan langsung melompat
ke atas. Sihir api masih diinfuskan ke dalam pedang bintang. Sesaat dia
melayang, kemudian menebaskan pedangnya ke bawah. Bersamaan itu, bola-bola api
kecil bermunculan, melesat bagai anak panah. Dan tidak hanya itu, kumpulan bola api itu membesar dan kemudian
memecah diri menjadi puluhan bola api kecil. Melesat menghujam daratan dan para
prajurit yang tersisa.
"Ah, Hujan Merah!” Luxträgger menyebutkan nama serangan yang baru saja
dilakukan Avshalom.
Avshalom tersenyum puas
begitu mendarat, meski dia tidak tahu berapa jumlah lawan yang tewas tapi dia
yakin dia unggul jauh lebih banyak dari Luxträgger.
“Baiklah, permainan
anak kecil ini akan aku layani dengan cara yang sama!” ucap Luxträgger sambil menatap para prajurit Nafhikan yang mungkin jumlahnya tidak
mencapai dua ratus orang.
Kedua tangannya
mengepal, cahaya ungu perlahan muncul menyelimuti seluruh tubuh Luxträgger. Dalam satu gerakan cepat dia membungkukkan badan, berputar satu lingkaran
penuh sehingga sepasang sayapnya menebas secara mendatar. Melesatkan cahaya
ungu tipis berbentuk lingkaran yang berpusat dari dirinya dan membesar.
“Sial! Sabuk Semesta!”
Avshalom mengumpat dan melompat setinggi mungkin. Dia tidak mau tubuhnya
terpenggal begitu lingkaran cahaya ungu itu menyentuhnya. Luxträgger memang tidak bisa dia remehkan. Dan lagi, prajurit-prajurit yang tersisa
tidak menyadari apa yang mengenai mereka. Tubuh mereka terpenggal menjadi dua
dalam hitungan kurang dari satu kedipan mata.
“Apa kita perlu
menghitung ulang?” kata Luxträgger begitu Avshalom mendarat. Kali ini dia yang
tersenyum puas.
Baru saja Avshalom akan
membalas perkataan Luxträgger, tiba-tiba seorang prajurit bangkit dan berdiri
dari pingsan akibat ledakan Hujan Merah milik Avshalom. Dia memandang Luxträgger, hanya dari tatapan, mereka tahu bahwa pemenang untuk pertarungan ini
adalah siapa yang lebih dulu berhasil membunuh prajurit itu.
Avshalom merapal
mantra, mengubah isipedang bintang
dari sihir api menjadi sihir angin. Sementara Luxträgger sudah mengumpulkan energi sihir di salah satu sayapnya.
Keduanya kembali saling
menatap, memastikan bahwa pesaingnya belum melesatkan serangan. Tubuh mereka
bergetar tidak kuasa untuk melancarkan serangan, dan mereka pun melesatkan
serangan bersamaan.
Sayatan angin dari pedang
bintang dan sayap vouraqmelesat
dengan cepat. Prajurit yang baru saja mendapatkan penglihatannya kembali langsung
terbelalak. Tubuhnya terpenggal menjadi empat bagian terkena sayatan angin tegak
lurusdari Avshalom dan mendatar Luxträgger.
“Aku rasa bisa kita
anggap seri.” Luxträgger menggerak-gerakan sayapnya, melemaskan dan melipat logam-logam magis itu.
“Cih, cakar anginku
lebih dulu mengenai wajahnya!” Avshalom tidak mau mengalah. Dia mengelap pedang
dengan lengan kanan bajunya.
“Apa sebaiknya
kita selesaikan dengan berduel?” Luxträgger menatap Avshalom yang berdiri tidak
jauh dari dirinya.
Ksatria Veld berambut merah itu dengan cepat
menatap wajah Luxträgger, dia tahu keturunan bangsawan itu bukan orang yang
suka bercanda, namun dia khawatir kalau ini hanya sebagai ejekan belaka. Dia
sangat tahu kecongkakan Luxträgger yang sering meremehkan orang lain, terlebih
jika bukan dari kaum bangsawan.
“Jangan permainkan aku, Lux!” kata Avshalom
sambil mengacungkan pedangnya ke arah Luxträgger.
Luxträgger hanya tersenyum kecil, bergerak
sedikit mendekat ke arah Avshalom. Menatap tajam pemuda dengan jubah putih itu.
“Kerahkan semua yang kamu punya, Avsh!”
Luxträgger merentangkan sayap-sayap logamnya.
Avshalom menunduk sesaat, menurunkan cungan
tangan dan menatap pedang bintang yang masih berisikan sihir angin.
Kedua tangannya mengepal, cahaya ungu
kembali muncul. Luxträgger melayang tinggi agar Avshalom tidak bisa
menjangkaunya. Satu serangan cukup untuk melumpuhkan pemuda itu pikirnya.
Avshalom mendongak, beruntung Luxträgger
tidak sejajar dengan matahari sehingga dia masih bisa melihat dengan jelas.
Hanya ada satu yang akan tetap berdiri tegak
hari ini pikir Luxträgger dan Avshalom, bersiap untuk saling menyerang.
*****
0 comments:
Post a Comment