Airill - Chapter 5


Tuan Berdel meringis, menoleh Airill yang sedang berdiri sambil pura memegang perutnya entah pura-pura atau tidak dia tidak peduli, fokusnya hanya pada pemuda yang tadi membunuh majikannya, sementara dia melihat anak buahnya panik melihat pimpinan tertinggi mereka terbunuh dan jatuh ke lubang tempat tumbal untuk pohon manusia berada. Pemuda itu berdiri tidak jauh dari lubang, tidak mempedulikan keadaan sekitar seakan tidak percaya dengan kemenangannya.

Saat yang tepat pikir Tuan Berdel, dengan keras dia berteriak mencabut kembali pedangnya dan menerjang si pemuda, hanya butuh beberapa detik baginya untu melesat ke arah sang pemuda. Sebuah tusukan yang mudah bagi dirinya yang mempunyai kemampuan pedang yang hebat membuat pemuda itu jatuh tersungkur, tewas seketika.

Tuan Berdel menoleh ke arah Airill yang sedang tertawa menyeringai, dia yakin kalau prajurit sewaan bengal itu ikut ambil andil dalam rencana pembunuhan Sang Amperis. Dengan cepat dia mengambil sebilah pedang kecil dari balik punggungnya, dan melesat menerjang Airill yang sudah bersiap untuk menerima serangan.

Baru beberapa langkah berlari, Tuan Berdel dipaksa untuk menunduk, menghindari terjangan peluru peluru yang dimuntahkan sepasang senjata api Airill. Beruntung matanya sudah terbiasa melihat gerakan cepat bahkan secepat peluru, menghindari dengan jarak sejauh ini cukup baginya untuk berkelit menghindar. Dia melemparkan pedang kecilnya, Airill menghindar dan berlari bersembunyi dibalik kain merah. Pedang kecil melesat menusuk ruang koson dan mengenai dinding batu.

“Hei!!” teriak Tuan Berdel, memberi isyarat pada anak buahnya untuk mengepung kain merah. Bergegas prajurit-prajurit yang berada di dekat sana bergerak menuju kain merah dan berdiri berjajar, bersiap dengan tombak yang terhunus tajam di depan kain. Tuan Berdel tersenyum, tidak ada seorangpun yang bisa lepas dari tusukan puluhan tombak ini pikirnya.

“TUSUK!” teriak Tuan Berdel sambil mengayunkan pedangnya. Puluhan prajurit yang berbaris menusukkan tombak mereka berkali-kali tapi tidak seorangpun dari prajurit itu yang berhasil menusuk benda empuk dari balik kain, yang terdengar hanya bunyi dentingan logam bertemu dengan dinding batu. Tangan mereka bergetar saat ujung tombak mereka beradu dengan kerasnya bebatuan dinding.
Tuan Berdel mengumpat, beberapa kata makian terlontar. Dengan isyarat, dia kembali memerintahkan anak buahnya untuk merobek-robek kain merah tersebut. Kain merah terpotong-potong setinggi dua lipat panjang tombak, hanya bagian yang menggantung di atas yang tersisa. Kain-kain bertumpuk jatuh ke lantai, Tuan Berdel menengok ke atas. Hanya ke atas sana satu-satunya jalan bagi Airill untuk bersembunyi.

“Pemanah!” teriak Tuan Berdel memanggil pasukan pemanah, prajurit-prajurit yang dipanggil bergegas mendekati dirinya. Dengan satu isyarat, dia memerintahkan pasukan pemanah untuk menembakkan kain bagian atas yang tidak terjangkau tombak. Tapi tidak juga membuahkan hasil, anak panah-anak panah tersebut berjatuhan ke lantai, beberapa menempel di kain merah, tidak ada tanda-tanda kalau anak panah tersebut mengenai Airill.

Tuan Berdel semakin marah, tanpa sengaja matanya menatap salah satu tumpukan kain. Dengan berang dia mendekat ke arah gumpalan kain yang besar itu, pikirannya logisnya berpikir itu satu-satunya tempat yang bisa dijadikan persembunyian seseorang yang besar tubuhnya seperti Airill. Satu tusukan tegas dia berikan ke tumpukan kain, dia merasakan pedangnya menusuk benda empuk, entah itu tumpukan kain yang tebal tersebut atau orang yang dia cari-cari dia belum bisa memastikan.

Perlahan Tuan Berdel menarik pedangnya, ada bercak darah yang menempel di pedangnya. Dia tersenyum sambil menendang gumpalan kain merah tersebut hingga menampakkan sosok di dalamnya. Matanya melotot begitu mandapati bahwa yang dia tusuk hingga mati bukanlah Airill, melainkan orang lain, seorang prajurit istana jika dilihat dari tanda ditengkuk mayat itu, tanda yang sama yang diberikan pada setiap prajurit di sini. Dia menatap tajam ke semua prajurit, Airill pasti menyamar menjadi salah seorang prajurit.

Pikiran Tuan Berdel tidak lagi sehat, tanpa peringatan dia menusuk salah satu prajurit yang berada di dekatnya dan melepaskan helm pelindung prajurit itu. Begitu mengetahui yang dia tusuk bukan Airill, dia melanjutkan kepada prajurit lainnya, begitu seterusnya. Para prajurit menjadi pucat pasi dan gemetar, ingin melarikan diri tapi mereka tahu itu hanya akan menunda kematian mereka sesaat. Karena jika mereka melarikan diri, Tuan Berdel akan berpikiran kalau mereka adalah Airill yang melarikan diri. Tidak ada pilihan lain bagi mereka selain mati di tangan Tuan Berdel.

Belasan prajurit yang berdiri dekat Tuan Berdel telah mengatarkan nyawa. Nanun tidak sedikitpun Tuan Berdel menunjukkan tanda kepedulian ataupun akan berhenti melakukan kebodohan itu. Dia terus menusuk mati semua prajurit yang tadi berbaris di depan kain merah. Sekarang yang tersisanya hanya beberapa prajurit pemanah yang berada jauh dari barisan itu, dan prajurit-prajurit yang berada di tengah-tengah ruangan. Pikirannya kembali jalan, tidak mungkin Airill bisa dengan cepat menculik salah satu dari prajurit pemanah dan prajurit lainnya, jaraknya terlalu jauh.

Tuan Berdel berteriak, marah dan kesal bercampur menjadi satu.

“Pengkhianat!” teriakannya membahana.

“Aku tahu kamu yang membiarkan pemuda itu menyelinap ke tempat ini! Aku yakin kamu sengaja membiarkan pemuda itu dengan mudah membunuh Amperis!”

Tuan Berdel berjalan menuju pasukan pemanah, bukan untuk membunuh mereka namun untuk bersiap-siap untuk memanah tempat asal suara jika Airill menjawab.

“Katakan padaku Tuan Airill! Apa uang yang kami berikan masih kurang?” Tuan Berdel sengaja memancing tetapi tidak ada jawaban.

“Bodoh kamu Tuan Airill, kalau saja Amperis berhasil menjalankan rencananya, kamu akan mendapatkan kekayaan lebih dari ini!”

“Seorang raja dari belahan timur, Raja Orion telah menyetujui untuk bekerja sama dengan Sang Amperis. Dia bersedia untuk memberikan uang yang sangat banyak untuk penemuan ini. Dia juga akan memberikan beberapa daerah kekuasaan jika dia berhasil menaklukan hyrnandher dengan prajurit boneka ini!”

Para prajurit pemanah bersiaga, menajamkan mata ke setiap penjuru ruangan. Sementara prajurit-prajurit yang menggunakan tombak dan pedang bersiaga di beberapa pintu ruangan, mengantisipasi jika Airill berusaha melarikan diri.

Tuan Berdel semakin berang karena tidak sedikitpun Airill terpancing.

“Jadi, kemampuan Tuan Airill Sang Prajurit Sewaan Terhebat hanya sampai di sini saja. Dia meminta orang lain untuk melakukan pekerjaan utama, sesudahnya dia pergi meninggalkan rekannya mati begitu saja.” Tuan Berdel memutar badannya, menatap tempat-tempat yang kira-kira bisa dijadikan Airill sebagai persembunyian.

“Ck ck ck, ternyata cerita tentang kehebatan Tuan Airill hanya isapan jempol belaka. Mungkin tidak benar kamu yang membunuh Hegsar, kadal raksasa berkepala dua! Atau cerita tentang dirimu melawan Mesha, Singa Penyembur Api, juga hanya karanganmu sendiri.” bibir Tuan Berdel tersungging ke atas, tersenyum menyeringai.

“Kamu hanyalah seorang penipu, yang kemampuannya hanya bisa menyembunyikan diri! Bersembunyi di balik orang yang kamu peralat! Kamu hanya-“

Belum selesai Tuan Berdel menyelesaikan kalimatnya, sebuah gerakan tak dia duga terjadi. Kain merah yang menggantung terpotong. Potongan itu kemudian melayang dan melesat ke arahnya. Dia tidak bisa menyaksikan kejadian yang sangat cepat itu karena saat itu dia sedang membelakangi kain merah. Beruntung pasukan pemanah telah bersiaga, tanpa komando dari sang pimpinan mereka melepaskan anak panah ke arah kain merah tersebut.

Puluhan anak panah menancap di kain merah yang menggulung seperti rumah keong dan terjatuh tepat beberapa kaki melewati pasukan pemanah dan Tuan Berdel, tepat di samping tubuh Deztas yang terbujur kaku. Gulungan kain itu diam tak bergerak.

Tuan Berdel tidak berlama-lama berdiam, mendekat dia langsung mengayunkan pedang hendak membelah gulungan kain tersebut. Dalam hitungan detik, dia merasakan sakit di pergelangan tangannya, detik berikutnya perutnya terasa perih dan panas. Terpana dia menatap gulungan kain merah bergerak, berkibar dan berputar-putar. Dia yakin dia melihat sebuah benda kecil yang melesat dengan cepat ke arah matanya, benda yang dia yakini adalah sebuah peluru. Benda yang terakhir kali dia lihat sebelum jatuh berdebam, terbujur kaku di lantai bersimbah darah.

#####

0 comments:

Post a Comment