"Apakah tidak apa kita
melakukan ini?" suara lembut dan jernih seorang wanita bertanya pada
seorang laki-laki di kegelapan sebuah ruangan. Tidak ada penerangan sama
sekali, hanya sedikit cahaya nakal yang menembus celah-celah dari pintu batu,
tipis laksana benang. Namun kedua makhluk itu telah terbiasa dengan kegelapan
tersebut.
"Tenanglah istriku,"
sang suani menjawab. Meski suaranya berat dan parau tapi ada kelembutan di
dalamnya. Ia melanjutkan, "ini memang bukan satu-satunya cara. Tapi ini
adalah pilihan yang terbaik buat kita, tidak..tidak, bukan hanya buat kita
berdua, tapi buat kita semua, bukan hanya hyrnandher, tapi juga Erde."
"Ya-ya, aku tahu."
istrinya menyahut. "Maksudku apa tidak akan terjadi apa-apa pada dia?
Bagaimana kalau yang lain mengetahuinya?"
"Tidak. Tidak akan ada
siapa-siapa yang mengetahuinya. Aku yakin inland tidak
bisa membedakannya." sang suami mencoba menguatkan tekad istrinya. Jalan
mereka sudah terlalu jauh, sangat merugi jika berhenti di titik ini pikir sang
suami.
"Bayi itu- bayi yang kamu
gunakan, apakah orang tuanya tidak merasa kehilangan?" jiwa keibuan sang
istri bergejolak. Dia tentu akan merasa terpukul jika bayinya digunakan seperti
ini.
"Tidak tercintaku. Bayi ini
sudah meninggal saat aku mengambilnya. Beberapa jam setelah dia tenggelam di
lautan aku menemukannya."
Hening beberapa saat, sampai sang
suami mendehem,
"Bisakah kita melanjutkan
ini?"
Istrinya paham, itu bukan
pertanyaan tapi isyarat agar mereka berdua tidak berlama-lama lagi karena hari
ini hanya terjadi 99 tahun dan 9 bulan sekali. Hari dimana 7 dunia sejajar
dalam satu garis lurus, posisi tujuh sempurna
Mereka memulai membaca
mantra-mantra dalam bahasa kuno, tiga-empat <em>putaran pasir</em>
berlalu tapi belum juga mereka berhenti. Perlahan langit-langit ruangan
bergetar, seberkas cahaya tipis terlihat dan semakin membesar seiring dengan
pergerakan langit-langit ruangan yang terbuka ke arah yang berlawanan.
Cahaya ungu dari bulan Azur dan
Muraco yang berjajar menyeruak ke dalam ruangan yang terbuat dari batuan
berbentuk balok, dinding, lantai, langit-langit dan pintu terbuat dari batuan
yang sama, cahaya ungu mengaburkan warna asli batu-batu tersebut. Tidak ada
perabotan atau benda lain di ruangan itu kecuali sebuah meja altar tepat di
tengah ruangan dengan sepasang suami istri yang berdiri di samping altar dan
saling berseberangan. Sementara di atas meja sesosok bayi tak bernyawa seakan
sedang tertidur pulas dengan alas ratusan aksara kuno yang bereaksi terhadap
cahaya ungu dari bulan dan mantra yang sedang dibaca kedua sejoli itu.
Aksara-aksara itu kemudian
bersinar lebih terang dari sebelumnya, sang istri berhenti terlebih dahulu,
pancaran cahaya itu menyadarkannya. Sang suami mengikuti tidak berapa lama
setelahnya.
"Berhasil, mantranya
berhasil!" girang sang suami. Istrinya juga tidak kalah senang.
"Altur, apa ia akan berhasil
membaur dengan para inland?" sang istri kembali
bertanya, menatap sang suaminya penuh tanya. Cahaya dari dua bulan memperjelas
pandangannya, di seberangnya terlihat sosok suaminya dengan jelas. Tubuh tegap
besar, rambut panjang tak beraturan, mata yang tajam dan sepasang tanduk
menjulang. Bangsa Volent, bangsa yang sering orang salah
mengira dengan bangsa Malun karena perawakan dan bentuk
tubuh mereka yang hampir serupa kecuali bangsa Malun
memiliki sepasang sayap dan taring yang mencuat.
Altur berjalan perlahan mendekati
istrinya, mendekapnya dengan erat. Dia memahami perasaan seorang perempuan
seperti istrinya, dia bersyukur karena dari sang istri lah dia bisa lebih
lembut dari bangsa Volent yang lain.
"Naraka, bertahanlah. Aku
juga merasakan hal yang sama denganmu. Tapi, perlu pengorbanan untuk ini semua.
Perlu pengorbanan agar dia bisa mendapatkan kesempatan untuk hidup."
Naraka menitikkan sedikit air
mata sambil sesekai mengintip ke meja altar, dilihatnya aksara-aksara sihir
perlahan bergerak merambat ke tubuh mayat sang bayi. Melilit bagai ular dan
menghias hampir seluruh tubuh bayi tersebut, rajah yang menyelimuti dari ujung
kaki hingga kepala.
"Meski kutukan itu akan
selalu menyertai sepanjang hidupnya, aku yakin dia bisa mengatasi beban itu.
Dia akan menjadi hebat. 'Penyihir' begitu para inland
menyebutnya." Altur berucap sambil mengelus rambut Naraka.
Ritual selesai begitu
aksara-aksara yang berada di altar telah berpindah ke tubuh sang bayi. Altur
melepaskan pelukannya. Naraka bergegas mendekat ke arah sang bayi dan
menggendongnya, berharap kehidupan akan muncul di dalam pelukannya.
Selang beberapa napas baru sang
bayi menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Suami istri itu bahagia bukan main,
airmata kebahagian terpancar di kedua pasang mata mereka.
"Ini yang terakhir"
lirih Altur.
Tiba-tiba sesosok bayangan
menaungi mereka, terkejut spontan mereka serentak mendongak ke atas tempat asal
pemilik bayangan berada. Mata mereka terbelalak, sesosok tubuh tegap dengan
jaket panjang yang berkibar karena angin berdiri. Sebilah pedang panjang
menghias tangan kanannya. Meski hanya siluet, mereka berdua mengenali sosok
itu, Sang Pembantai yang berkedok sebagai prajurit bayaran.
"Waktu habis. Cerita
berakhir di sini!" sang pembantai berkata dengan dingin dan menakutkan.
#####
0 comments:
Post a Comment