BR - Act 10


Alcyon menatap pergerakan dragonfly dengan seksama, memperhatikan celah sedikitpun untuk mengalahkan mesin perang ini. Serangan secara frontal terhadap makhluk logam ini sia-sia, pun ilmu sihir juga tertahan oleh pelindung-tak-kasat-mata. Dia berpikir keras, bagaimana caranya menghajar dragonlfy atau sang pengendali yang berada di ruang yang tertutup kristal transparan di bagian “kepala”. 

Namun mesin ini sangat sempurna baik untuk bertahan maupun menyerang, walau serangan untuk jarak dekat Alcyon merasa dragonfly tidak terlalu cepat. Mungkin bagi beberapa orang serangan jarak dekat dragonfly sangat cepat tapi bagi dirinya biasa-biasa saja.

Sial! Alcyon menghindar saat sinar panas dari mulut dragonfly melesat ke arahnya. Geramnya kembali bertambah, dia mundur untuk mengatur serangan. Berdiri di atap sebuah rumah bertingkat dua, dia menatap manusia kucing masih berusaha untuk menyerang dragonfly, setengah manusia itu mencoba memecahkan kristal kaca yang melindungi pengendali logam hidup itu.

Sambil berhati-hati terhadap serangan dragonfly, Alcyon merapal mantra. Memanggil makhluk perjanjian terkuat yang dia punya, Metel sang Pengacau Cuaca. Tangan yang tidak memegang katana panjang dia angkat dengan telapak tangan menghadap ke langit. 

Beberapa kedipan mata, suara gemuruh guntur mengiringi kedatangan awan hitam. Pekat menyelimuti hampir seluruh daratan kerajaan fantasi, Alcyon menurunkan tangannya. Sang Pengacau Cuaca sebentar lagi datang, tidak perlu dia memberikan energi sihirnya lagi. Sambil mencari tempat yang cocok untuk melakukan serangan, dia mengamati dragonfly berhenti dan menatap langit. 

Alcyon tersenyum penuh kemenangan saat sesosok wajah muncul dari balik awan hitam, dengan segera meniupkan angin yang sangat dingin. Kencang. Tidak hanya membuat pepohonan tumbang tetapi juga rumah-rumah yang pondasinya tidak terlalu kuat. Dingin pun membekukan apa saja yang terkena hembusannya. Tidak terkecuali permukaan tanah yang seketika bertumpuk dengan salju. Sementara dragonfly sibuk untuk “menghangatkan” sendi-sendi kaki dengan sinar panasnya sendiri.

“Kau takkan bisa menghindar dari Metel, saudara Alfare!” teriak Alcyon sambil melesat dengan cepat menuju bagian kemudi dragonfly. 

Katana panjang itu siap untuk membelah kepala dragonfly, sihir dingin dari Metel tentu sudah mengurangi perisai-tak-kasat-mata mesin perang ini pikir Alcyon. Dia bertaruh akan berhasil menundukkan kendaraan perang yang diagung-agungkan ini. Tinggal berjarak delapan kaki, dia menebaskan katananya.

Namun sebuah ledakan tidak jauh dari tempatnya, mengacaukan konsentrasinya. Belum lagi sebuah benda besar menyeruak dan menabrak dirinya hingga terpental jatuh ke tanah. 

Alcyon dengan segera memasang kuda-kuda begtiu mendarat di tanah. Dia melihat ke atas, tebasannya hanya mengenai bagian moncong dragonfly. Tidak menghancurkan tapi menghentikan gerakkan mesin perang. Kilatan-kilatan petir kuning menyambar dari bagian moncong dragonfly.

Penasehat Kerajaan itu mengamati ke arah benda yang mengacaukan serangannya tadi. Dua orang manusia terkapar di tanah tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sang Necromancer dan Ksatria Pedang entah darimana tiba-tiba muncul dari langit. Dia mengeratkan genggaman pada katananya, merasa pertarungan ini akan menjadi semakin menarik. Tanpa sadar dia menyeringai mengerikan.

*****
Synrio berjalan perlahan, memasuki gerbang masuk ke dalam kerajaan. Sebuah suara mengusiknya, suara dari semak-semak. Dia menyiapkan sepasang belati taring harimau pedang milik, bersiaga untuk menghadapi serangan. Dia sudah mengetahui sedikit banyak tentang apa yang terjadi di kerajaan fantasi.

Tujuannya ke sini karena pesan singkat yang dikirimkan oleh Faye menggunakan sihir pesan-singkat agar bertemu di kastil kerajaan fantasi karena ada sesuatu yang sangat penting. Sebagai salah satu Jenderal Perang di kerajaan milik Faye, dia merasa ada sesuatu yang salah dan harus segera di atasi. Dan ternyata kekecauan di kerajaan inilah yang membuat sang Faye meminta bantuan dari dirinya.

Dengan waspada, dia memegang belati dengan erat. Bersiaga untuk menyerang apapun makhluk yang berada di balik semak-semak. Kakinya sudah memasang kuda-kuda yang kuat, dia melemparkan salah satu belatinya ke balik semak-semak. 

Seketika belati menembus semak-semak, seekor binatang kecil muncul. Mirip burung tapi sedikit aneh. Synrio mengenali binatang itu sebagai pinguin. Dia menurunkan penjagaannya, tidak mungkin seekor pinguin bisa menyakiti dirinya. Merasa aman, dia mendekat dan mengelus kepala pinguin itu. Kemudian dari balik semak-semak bermunculan tiga ekor lagi pinguin, seperti meminta untuk dielus kepalanya.

Synrio tersenyum, tidak semua tempat menjadi ajang perang pikirnya. Namun dia dikejutkan oleh langit yang tiba-tiba menggelap, malam masih beberapa jam lagi. Suara gemuruh membahana, dia merasakan ada aura tidak menyenangkan dari atas sana. Sesuatu yang menyeramkan. Dia berdiri bergegas untuk berlindung, tidak menyadari empat ekor pinguin itu menyerang dirinya dengan cepat. Dia pingsan dalam satu serangan kilat empat ekor pinguin.

*****
Ea menatap langit kerajaan kastil yang tiba-tiba menjadi gelap, dia sempat menyangka ada serangan terhadap kastil. Sebagai penyihir hitam, dia merasakan ada aura asing yang mengikuti gelapnya langit. Ya, aura jahat. Sesuatu yang jahat yang belum dia kenal.

Namun saat menyaksikan Metel yang muncul dari balik gumpalan awan, Ea mengernyitkan dahi. Itu adalah makhluk perjanjian milik Sang Penasehat. Tidak mungkin orang lain menggunakan makhluk perjanjian yang sama. Lantas siapa yang memanggil Metel, orang lain yang berhasil merebut makhluk itu dari Sang Penasehat ataukah,

“Tuan Alcyon, apa yang sudah terjadi pada dirimu?”

Ea merapatkan jubahnya, memasang tudung kepala. Niatnya untuk pergi menggunakan kapal milik kerajaan dia batalkan, meski dia juga memakai gelang Battle Royale entah kenapa dia tiba-tiba menjadi tidak berniat untuk melanjutkan pertarungan ini. Mungkin karena sebagian besar sihirnya masuk dalam kategori “hitam”, dia tidak ingin ada yang terluka. Sihir hitam tidak seperti sihir lain, susah untuk mendapatkan penawar jika telah terkena. Walapun sang Tabib Istana selalu menemukan penawar, namun mencari bahan-bahan yang tepat yang sangat sulit.

Bergegas Ea menuju ke bagian tengah kerajaan, tempat Metel berpusat. Paling tidak dia harus memastikan, apa yang terjadi dengan pemilik Metel. Hatinya tidak kuasa untuk tidak mempedulikan keadaan orang itu. Ya, orang yang membuatnya bertepuk sebelah tangan.

*****

Akina menghentikan langkahnya, sesosok pemuda memakai tudung kepala yang berjalan di antara bayang-bayang menarik perhatiannya. Baru saja dia datang ke dalam kastil melalui cermin pelintas, dan begitu keluar dari ruangan matanya yang awas melihat gerak-gerik tergesa dari sesosok pemuda memakai jubah ranger di lorong kastil.

Dia mengernyitkan dahi, Akina pernah melihat orang ini sebelumnya. Dan sosok itupun sepertinya mengenal dirinya, terbukti saat sang pemuda mendekat dan melepaskan tudung kepalanya. 

Setelah pemuda itu membuka jubah, yang ternyata jubah moorlokh bukan ranger seperti yang dia duga sebelumnya, Akina menatap sang pemuda dengan rambut merah tersebut. Sebuah rajah menghias bagian kiri wajah sang pemuda, dekat dengan mata.

“Lama tidak berjumpa, Akina!” pemuda itu menyapa dirinya terlebih dahulu.

Akina tersenyum, dugaannya benar.

“Ya, aku tidak menyangka masih menjumpaimu di tempat ini.” jawab Akina sambil berjalan menuju salah satu jendela tanpa pintu terdekat. Dia menatap ke arah luar, memperhatikan keanehan yang terjadi di kerajaan. Dia tahu setiap orang ini muncul, pasti ada sesuatu yang telah terjadi.

“Siapa yang akan kamu hapus kali ini?” tanya Akina. Dia tahu dengan jelas tugas seorang moorlokh adalah untuk meng”hapus”kan sesuatu atau seseorang.

Moorlokh itu tidak  menjawab, hanya mendekat dan ikut menatap ke luar, tetap bersembunyi di bayang-bayang dinding. Akina tahu pemuda itu tidak akan menjawab pertanyaannya karena memang begitulah aturan para moorlokh. Dia pun sebenarnya hanya menyampaikan sebuah pernyataan dari pertanyaannya, bahwa dia tahu bahwa ada sesuatu yang menyebabkan semua ini.

Belum sempat Akina mengatakan kata agar si pemuda segera melanjutkan pekerjaannya, dia tidak lagi melihat moorlokh itu di dekatnya. Kembali orang itu menghilang dalam bayang-bayang.

*****

Gie meringis, menahan sakit di perutnya. Jarang sekali seorang Fang menderita sakit akibat pukulan tangan kosong. Bocah dihadapannya memang tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Semenjak tatapan matanya berubah dan mengaku bernama Ziona, bocah ini bagai menjadi sepuluh kali lebih kuat dari sebelumnya. Hanya dengan tangan kosong, Ziona berhasil mendesak dirinya.

Kecepatan dirinya sebagai Fang tidak lagi menjadi keuntungan bagi Gie, Ziona dengan mudah menyerangnya. Lawannya telah mengimbangi kecepatannya sebagai Fang, entah apa yang membuat bocah itu menjadi seperti sekarang.

Dengan sangat terpaksa, Gie mundur. Bukan untuk meninggalkan Kika tapi untuk merapal mantra. Sudah lama dia tidak menggunakan sihir ini. Saat jarak mereka terpaut belasan meter, dia menjaga kuda-kudanya. Dilihatnya Ziona bergeming dihadapannya. Seolah-olah memang menunggu akan datangnya serangan.
Cih umpat Gie, emosinya memuncak diremehkan oleh bocah belasan tahun. Satu tarikan nafas dalam cukup untuk melakukan ini pikirnya. Begitu nafasnya sudah terkumpul, dia menghembuskan nafas ke arah sang lawan. Dari mulutnya muncul ratusan makhluk-makhluk kecil serupa kelelawar namun berwarna hijau transparan. Melesat menyerang Ziona. Teriakan keras Ziona terdengar di antara kerumuman kelelawar hijau itu.

“Hanya itu saja, Tante Muka Pucat?” sebuah suara yang tiba-tiba muncul dari belakang mengagetkan Gie.
Belum sempat dia berpaling, sebuah hantaman keras mendarat di kepala Gie hingga dia jatuh tertelungkup. Dan sebuah injakan keras di kepala, menahannya untuk bangun. Terpaksa dia mencicipi rasa tanah.

#####

0 comments:

Post a Comment