Siang itu, seperti siang-siang
lainnya matahari bersinar di kecerahan langit. Hanya sekumpulan awan kecil
terkadang bermain nakal dengan sang mentari. Angin bertiup kecil menghilangkan
hawa terik dari panas matahari di desa Atalia, rimbun pepohonan pinus
payung yang berjajar rapi di dekat rumah-rumah penduduk desa
menambah sejuk udara desa. Hening pun seakan satu harmoni dengan ketenangan
desa yang berada tidak jauh dari bukit-bukit yang menghijau.
Seorang lelaki di penghujung usia
40 tahun berjalan santai di jalan setapak dari arah bukit menuju desa Atalia.
Hutan pinus baru saja dia lalui, namun beberapa pinus
payung masih mengiringi sepanjang jalan setapak meski jarak antar
pohon berjauhan.
Mantel hitam yang laki-laki itu
kenakan penuh dengan lumpur dan pasir, topi penunggan kuda berwarna hitam dari
dunia barat yang ia kenakan ia anggukan tiap kali berpapasan dengan penduduk
desa, atau mereka yang sedang berladang. Senyum tipis sesekali mengembang di
bibirnya, bukan karena ia berusaha lebih ramah tetapi karena raut wajah
penduduk desa yang terkejut melihat pedang besar yang bersarung di punggungnya.
Ia maklum, masyarakat desa ini jarang melihat kedatangan prajurit kerajaan
bersenjata atau seorang prajurit bayaran seperti dirinya.
Ketenangan dan damai desa ini
membuat sang prajurit bayaran ingin menghabiskan sisa hidupnya di tempat
seperti ini, namun masih ada beberapa hal yang harus dia lakukan sebelum datang
masa damainya. Tidak lama lagi pikirnya.
Kakinya melangkah santai menuju
desa, tidak ada beban dalam tiap langkahnya walaupun tujuan laki-laki itu ke
desa ini adalah sesuatu yang sangat penting. Desa tinggal berjarak satu pusaran pasir (tiga puluh menit) lagi, dia bergegas. Sebelum malam
tiba dia harus segera menyelesaikan tugasnya.
====
"Ku hajar kau, Xavi!"
teriakan itu membahana hampir ke seluruh desa, sumbernya berasal dari sebuah
rumah besar dan tua hampir di ujung desa. Warna putih dari rumah kayu itu masih
terlihat putih walau beberapa bagian sudah tidak bisa disebut sebagai putih
lagi. Sebuah tulisan Lechadephan berwarna hijau terpampang di kayu coklat di
bagian depan rumah.
Seorang anak kecil berambut
merah, yang tadi berteriak, sedang bersitegang dengan seorang anak yang sebaya
dengannya, perawakan mereka hampir sama hanya yang jelas terlihat adalah yang
satu lagi berambut putih. Adu mulut dengan urat tegang bumbu yang tidak asing
lagi dalam perseteruan mereka. Beberapa anak yang kecil tidak berani melerai,
mereka hanya diam terpana. Ikut campur sama saja dengan cari mati pikir mereka.
"Kau lihat sendiri
kan?" seorang wanita cantik sekitar 20 tahun sedang berbicara dengan sang
prajurit bayaran di luar rumah, di dekat jendela tua yang sedikit terbuka.
Celah yang cukup untuk mengintip ke dalam rumah.
"Dia lebih dari baik-baik
saja." gadis itu berpaling menatap laki-laki di dekatnya. Ia melanjutkan,
"Sejak kedatangan Iké, peristiwa ini bagaikan agenda rutin mereka berdua.
Entah kenapa Exavius yang lebih suka berdiam mau saja berseteru dengan setan
merah kecil itu." Irene tertawa kecil.
Prajurit itu tersenyum,
"Lain kali akan aku ajarkan
pada mereka berdua bagaiman harusnya seorang laki-laki bersikap. Oh iya, Irene,
berapa umur mereka berdua sekarang?"
Irene mengernyitkan dahinya,
"Hmm, coba ku ingat-ingat.
Exavius akan berumur 14 tahun dua purnama besok, dan Iké akan berumur 13 tahun
satu purnama setelahnya."
Irene dan laki-laki itu kembali
mengamati perdebatan yang tidak jelas ujung-pangkalnya antara Iké dan Exavius.
Tidak sampai lima menit, sang prajurit memalingkan wajahnya, merogoh ke dalam
mantelnya. Sebuah kantong kecil berwarna kuning gading berada di tangan
kanannya sekarang.
Laki-laki itu menyodorkan kantung
keicl itu kepada Irene yang masih mengamati tingkah laku dua juniornya itu. Dia
menoleh pada sang prajurit dan kemudian tersenyum,
"Apakah kamu sudah
menyisakan sebagian untuk dirimu?" tanya Irene
Pria bermantel dan topi
penunggang kuda tersebut hanya tersenyum tipis.
"Aku tahu kamu snagat
mengkhawatirkan keberadaan panti asuhan ini. Tapi percayalah, kami mampu
mengatasinya, sekarang keadaan sudah membaik. Beberapa anak yang sudah cukup
kuat seperti Iké, dan Exavius ikut membantu para petani atau peternak di desa
ini. Penghasilannya lumayan." Irene menghela nafas sebentar.
"Kamu seharusnya lebih
mengkhawatirkan tentang dirimu sendiri. Mau sampai kapan kamu melakukan
pekerjaan seperti ini terus? Apa kamu tidak sayang terhadap nyawamu? Apa
hidupmu tidak lagi berarti? Apa yang akan terjadi pada Iké kalau dia tahu ada
sesuatu hal yang terjadi pada dirimu?" Irene memberondong dengan
pertanyaan-pertanyaan yang sedikit memojokkan sang laki-laki.
"Terima kasih atas
perhatianmu Irene, tapi aku tidak akan berhenti sampai aku berhasil
menemukannya. Nyawaku sudah ku tukar untuk membalaskan dendam mereka, karena
aku tidak ingin bocah itu menanggun beban ini!" Prajurit bayaran itu
memaksa Irene untuk menerima kantung kecil berisi puluhan keping koin emas.
"Terimalah! Paling tidak itu
bisa untuk menutupi kerugian karena kerusakan yang dilakukan oleh kedua bocah
tengik itu." kata laki-laki itu sambil berlalu, menjauh dari jendela dan
Irene. Tidak mempedulikan keributan yang semakin memanas di dalam rumah.
"Jangan katakan kalau aku
datang berkunjung hari ini! Dua purnama lagi aku akan kembali untuk mengajarkan
kehidupan laki-laki pada dua bocah itu!"
Irene hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya, entah apa yang akan dia katakan pada Ibu Lynn, yang mengelola panti
asuhan ini saat dia menyerahkan koin-koin emas tapi tidak boleh memberitahukan
siapa yang memberikannya.
Pikiran Irene kembali teringat
pada masa tujuh tahun lalu. Pada malam itu hujan membasahi bumi dengan
derasnya, dan petir terdengar hampir beriringan. Ya, dia ingat betul kejadian
malam itu, karena dia saat itu sedang bertugas berjaga sampai dengan Ibu Lynn.
Sebagai anak asuh tertua dia ditugaskan untuk menggantikan Ibu Anne yang sedang
pergi ke kota untuk membeli beberapa keperluan.
Irene ingat, dia sedang
membereskan ruang tengah sementara Ibu Lynn menidurkan anak-anak yang lain.
Selesai dengan tugasnya, dia beranjak menuju dapur yang tidak terlalu besar.
Sebuah perapian sebagai tempat memasak dipadukan dengan cerobong asap dari
bebatuan berada di dinding seberang dari tempat dia masuk, sementara di kirinya
lemari setinggi pinggang menempel di dinding dari satu sisi ke sisi yang lain,
tempat untuk menyimpan beberapa peralatan masak, peralatan makan, rempah, dan
sejenisnya.
Api dari lampu-lampu minyak yang
menerangi dapur bergoyang, angin dari luar menncuri-curi untuk masuk dari
jendela di dekat perapian yang tidak tertutup rapat.
Irene kecil menuju sebuah meja
bundar kecil dengan empat buah kursinya. Perlahan dia menarik salah satu kursi
dari oak terdekat. Pada saat dia hendak meletakkan pantatnya di kursi, Ibu Lynn
muncul. Tugas beliau menidurkan anak-anak tidak mengalami kesulitan, meski
cuaca seperti ini terkadang membuat beberapa anak yang masih kecil sulit untuk
tidur. Ibu Lynn memang seorang ibu yang serba bisa puji Irene dalam hati.
"Kenapa kamu tidak habiskan
saja dulu coklatnya? Kamu tidak perlu menunggu aku selesai." hangat
perkataan Ibu Lynn tidak pernah hilang dari pertama Irene kenal sampai
sekarang. Wanita itu lantas mengambil ketel yang sedari tadi berada di atas
meja dan menuangkan coklat hangat ke dalam gelas kayu.
Irene muda menggeleng,
"Tidak apa Ibu, aku juga
baru saja selesai membereskan ruang tengah." Irene mengangguk sebagai
tanda terima kasih saat Ibu Lynn menyodorkan gelas kayu yang berisi coklat.
"Sepertinya Exavius sudah
bisa beradaptasi dengan yang lain." Ibu Lynn membuka pembicaraan sambil
duduk di kursi samping kanan Irene, membelakangi perapian.
Irene mengangguk,
"Meskipun dia tidak terlalu
dekat dengan yang lain, tidak ada satupun yang bermasalah dengan dirinya. Dia
sudah bisa membaur dengan baik selama satu purnama sejak dia berada di sini.
Aku mengagumi kemampuannya untuk beradaptasi dalam waktu singkat di lingkungan
yang baru, sulit biasanya bagi anak seumuran dengannya untuk membaur dengan
hidup yang sama sekali baru tanpa ada seorang pun yang dikenal." Irene menguatkan
pendapat Ibu Lynn dengan panjang lebar sambil sesekali menyeruput coklatnya.
Ibu Lynn tertawa, Irene
mengernyitkan dahi, tidak paham dengan tawa Ibu Lynn.
"Umurmu baru 14 tahun, tapi
kamu sudah bisa berbicara seperti Ibu Anne. Apakah kamu memang setua itu Irene
sayangku?" Ibu Lynn tergelak. Irene memonyongkan bibirnya saat mendengar
dirinya disama-tuakan dengan Ibu Anne, wakil pengelola panti asuhan ini.
"Semakin kamu memonyongkan
bibirmu, akan semakin keliatan tua wajahmu." goda Ibu Lynn lagi sambil mengacak-acak
rambut coklat pendek Irene.
Angin dan suara gemuruh membuat
mereka berdua tidak menyadari pintu depan rumah digedor dengan keras oleh
seseorang. Jika guntur tidak saling bersahut-sahutan mungkin gedoran itu bisa
membangunkan seisi rumah. Irene dan Ibu Lynn masih bercengkerama sampai sebuah
tendangan keras dari sang tamu mendobrak pintu hingga terbuka lebar.
Ibu Lynn dan Irene terkejut
karena desakan angin yang masuk tibi-tiba dari luar, hembusan dinginnya terasa
sampai ke dapur, membuat beberapa lampu minyak di dinding hampir mati
karenanya. Irene bergegas lari menuju arah sumber angin, dia mengira ada
jendela yang terbuka karena hempasan angin dari luar, pikiran itu terlintas
karena dia tahu kondisi rumah yang tua ini. Namun yang dia temukan sesuatu yang
sangat mengejutkan, seorang pria bertubuh besar memakai mantel hitam dan topi
senada sudah berdiri di dalam rumah beberapa langkah dari pintu.
Lampu-lampu minyak yang
bergoyang-goyang karena tiupan angin tidak membantu penglihatan Irene.
Tiba-tiba dia merasa tubuhnya ditarik sedikit keras ke belakang oleh Ibu Lynn.
Awalnya dai tidak mengerti kenapa Ibu Lynn protektif terhadapnya padahal jarak
mereka dengan tamu tak diundang itu lebih dari 20 kaki. Tapi saat melihat
gagang pedang yang menyembul di punggung lelaki itu barulah dia paham.
"Apa yang bisa kamu bantu,
wahai pengelana?" Ibu Lynn tetap bersikap sopan, tapi Irene yang sudah
empat tahun mengenal sang pengelola panti asuhan tahu bahwa wanita tua itu
sedang bersiaga.
Laki-laki maju dua tiga langkah
dan kemudian berbalik untuk menutup pintu, dan meletakkan pedang besarnya
sebagai penggajal pintu saat dia menyadari pengaman pintu rusak karena
tendangannya. Kemudian dia meletakkan mantel dan topi di pengait di samping
pintu.
Nyala terang empat lampu minyak
di ruangan itu kembali datang, Irene bisa melihat dengan jelas banyaknya hujan
yang tamu itu derita, tetesannya bahkan membasahi lantai.
"Maafkan aku membuat kalian
takut, dan juga merusak pintu itu. Aku berjanji akan memperbaikinya."
laki-laki itu berujar masih membelakangi Irene dan Ibu Lynn.
Untuk kedua kalinya, Irene dan
ibu Lynn dibuat terkejut, hampir tidak pecaya saat pria besar itu berbalik
menghadap ke arah mereka. Sesosok bocah kecil sedang tertidur pulas, di ikat
dengan balutan-balutan kain agar tidak terjatuh, seperti sedang digendong.
"Tapi bisakah aku menitipkan
anak ini kepada kalian?"
=====
"Iké, begitu dia biasa
dipanggil. Aku tidak terlalu banyak tahu tentang kehidupan orang tua mereka
sebenarnya. Aku mengenal mereka selama 3-4 tahun, selama aku menampung di rumah
mereka. Mereka hanya tinggal berdua, membuka sebuah kedai makan kecil di pulau
mercu suar. Aku ikut membantu sebagai koki." pria itu meneguk segelas kopi
hangat yang disajikan Irene.
"Mereka orang yang ramah dan
baik, aku tidak tahu orang macam yang tega membunuh orang sebaik mereka."
laki-laki itu sedikit meradang, mencoba menahan emosinya. Irene bisa melihat
rahangnya mengeras.
Laki-laki itu melanjutkan
ceritanya,
"Saat itu aku sedang
mengajak Iké berjalan-jalan ke hutan, pada saat aku pulang. Aku sudah mendapati
mereka berdua terbunuh di rumah mereka sendiri. Beruntung aku sempat
menghalangi pandangan Iké agar tidak mengetahui apa yang terjadi."
Ibu Lynn yang duduk di atas
karpet beruang di lantai di depan perapian yang sudah dia nyalakan hanya bisa
mengutuk dalam hati karena masih ada perbuatan-perbuatan keji di luar sana.
Perlahan dia mengelus rambut acak-acakan Iké.
"Apa dia sedang sakit?"
tanya Ibu Lynn saat tangannya menyentuh dahi Iké. "Sepertinya dia
demam?"
Laki-laki itu menggeleng,
"Memang sehangat itulah
tubuhnya. Mungkin aku harus menceritakan lebih banyak lagi tentang dirinya agar
kalian bisa memahami keadaannya."
Pria itu bercerita selama 3-4 putaran pasir sebelum akhirnya meminta ijin untuk untuk
meninggalkan panti asuhan itu.
Dan sejak saat itu, orang yang
dipanggil paman oleh Iké ini secara sembunyi-sembunyi datang untuk menengok
keadaan Iké dan memberikan uang penghasilannya sebagai prajurit bayaran kepada
panti asuhan melalui Irene.
Selain Iké, prajurit bayaran itu
juga lambat laun mulai memperhatikan keadaan anak yang lain, seperti Exavius
yang menjadi lawan bertengkar Iké.
"Kak Irene!" seorang
bocah kecil berambut ikal menghentikan lamunan Irene. Dia menoleh dan kemudian
berjongkok untuk menyamakan level matanya dengan anak kecil itu.
"Ada apa?" Irene
tersenyum mencoba untuk menjadi selembut Ibu Lynn.
"Iké dan Exavius bertarung
di halaman belakang menggunakan sihir mereka!" lapor anak kecil itu, matanya
penuh dengan air mata karena ketakutan.
Irene langsung naik pitam. Sejak
kedatangan Iké, rumah ini menjadi lebih hidup dari biasanya, percekcokan antara
dua bocah itu bukan hal yang aneh lagi tapi yang tidak dia sukai adalah saat
dua bocah tengil itu beradu kekuatan sihir.
"Memangnya hanya kalian yang
punya kekuatan sihir!" geram Irene. Dia bergegas menuju halaman belakang,
tidak melewati pintu atau jendela tapi menerobos dinding-dinding rumah.
"Berhenti!" teriak
Irene sambil menghadapkan kedua telapak tangannya kepada Iké dan Exavius. Dua
buah bola energi tidak kasat mata meluncur dengan cepat dan menghantam Iké dan
Exavius hingga mereka terpental belasan kaki dan jatuh terjerembap di
rerumputan.
Exavius tidak berani melawan
balik begitu tahu yang menghajarnya adalah Irene, namun Iké tidak terima.
"Jangan ikut campur
kau!" teriak Iké sambil menyelimuti kedua tangannya dengan api dan
menerjang Irene.
Irene mengelak dan membuat
dirinya menjadi tidak bisa disentuh. Dia hanya tertawa kecil melihat Iké memukul-mukul
tubuh semu-nya dengan tangan api.
"Kurang ajar kamu pembersih
rumah!" Iké kesal karena tidak bisa balas menghajar Irene, tapi sebuah
kesalahan fatal baginya karena menghina Irene.
Irene tersenyum keji, dan
hasilnya Iké terlempar puluhan meter ke angkasa, membentuk kurva melengkung sebelum
akhirnya menghantam tanah berlumpur di depan kandang salah satu peternakan di
desa.
"Sial!" umpat Iké.
*****
0 comments:
Post a Comment