Lorike Mortes, The Fire Wanderer – 1st Fragment


Siang itu, seperti siang-siang lainnya matahari bersinar di kecerahan langit. Hanya sekumpulan awan kecil terkadang bermain nakal dengan sang mentari. Angin bertiup kecil menghilangkan hawa terik dari panas matahari di desa Atalia, rimbun pepohonan pinus payung yang berjajar rapi di dekat rumah-rumah penduduk desa menambah sejuk udara desa. Hening pun seakan satu harmoni dengan ketenangan desa yang berada tidak jauh dari bukit-bukit yang menghijau.

Seorang lelaki di penghujung usia 40 tahun berjalan santai di jalan setapak dari arah bukit menuju desa Atalia. Hutan pinus baru saja dia lalui, namun beberapa pinus payung masih mengiringi sepanjang jalan setapak meski jarak antar pohon berjauhan.

Mantel hitam yang laki-laki itu kenakan penuh dengan lumpur dan pasir, topi penunggan kuda berwarna hitam dari dunia barat yang ia kenakan ia anggukan tiap kali berpapasan dengan penduduk desa, atau mereka yang sedang berladang. Senyum tipis sesekali mengembang di bibirnya, bukan karena ia berusaha lebih ramah tetapi karena raut wajah penduduk desa yang terkejut melihat pedang besar yang bersarung di punggungnya. Ia maklum, masyarakat desa ini jarang melihat kedatangan prajurit kerajaan bersenjata atau seorang prajurit bayaran seperti dirinya.

Ketenangan dan damai desa ini membuat sang prajurit bayaran ingin menghabiskan sisa hidupnya di tempat seperti ini, namun masih ada beberapa hal yang harus dia lakukan sebelum datang masa damainya. Tidak lama lagi pikirnya. 

Kakinya melangkah santai menuju desa, tidak ada beban dalam tiap langkahnya walaupun tujuan laki-laki itu ke desa ini adalah sesuatu yang sangat penting. Desa tinggal berjarak satu pusaran pasir (tiga puluh menit) lagi, dia bergegas. Sebelum malam tiba dia harus segera menyelesaikan tugasnya.

====

"Ku hajar kau, Xavi!" teriakan itu membahana hampir ke seluruh desa, sumbernya berasal dari sebuah rumah besar dan tua hampir di ujung desa. Warna putih dari rumah kayu itu masih terlihat putih walau beberapa bagian sudah tidak bisa disebut sebagai putih lagi. Sebuah tulisan Lechadephan berwarna hijau terpampang di kayu coklat di bagian depan rumah. 

Seorang anak kecil berambut merah, yang tadi berteriak, sedang bersitegang dengan seorang anak yang sebaya dengannya, perawakan mereka hampir sama hanya yang jelas terlihat adalah yang satu lagi berambut putih. Adu mulut dengan urat tegang bumbu yang tidak asing lagi dalam perseteruan mereka. Beberapa anak yang kecil tidak berani melerai, mereka hanya diam terpana. Ikut campur sama saja dengan cari mati pikir mereka.

"Kau lihat sendiri kan?" seorang wanita cantik sekitar 20 tahun sedang berbicara dengan sang prajurit bayaran di luar rumah, di dekat jendela tua yang sedikit terbuka. Celah yang cukup untuk mengintip ke dalam rumah.

"Dia lebih dari baik-baik saja." gadis itu berpaling menatap laki-laki di dekatnya. Ia melanjutkan, "Sejak kedatangan Iké, peristiwa ini bagaikan agenda rutin mereka berdua. Entah kenapa Exavius yang lebih suka berdiam mau saja berseteru dengan setan merah kecil itu." Irene tertawa kecil.

Prajurit itu tersenyum,

"Lain kali akan aku ajarkan pada mereka berdua bagaiman harusnya seorang laki-laki bersikap. Oh iya, Irene, berapa umur mereka berdua sekarang?"

Irene mengernyitkan dahinya,

"Hmm, coba ku ingat-ingat. Exavius akan berumur 14 tahun dua purnama besok, dan Iké akan berumur 13 tahun satu purnama setelahnya."

Irene dan laki-laki itu kembali mengamati perdebatan yang tidak jelas ujung-pangkalnya antara Iké dan Exavius. Tidak sampai lima menit, sang prajurit memalingkan wajahnya, merogoh ke dalam mantelnya. Sebuah kantong kecil berwarna kuning gading berada di tangan kanannya sekarang.

Laki-laki itu menyodorkan kantung keicl itu kepada Irene yang masih mengamati tingkah laku dua juniornya itu. Dia menoleh pada sang prajurit dan kemudian tersenyum,

"Apakah kamu sudah menyisakan sebagian untuk dirimu?" tanya Irene

Pria bermantel dan topi penunggang kuda tersebut hanya tersenyum tipis.

"Aku tahu kamu snagat mengkhawatirkan keberadaan panti asuhan ini. Tapi percayalah, kami mampu mengatasinya, sekarang keadaan sudah membaik. Beberapa anak yang sudah cukup kuat seperti Iké, dan Exavius ikut membantu para petani atau peternak di desa ini. Penghasilannya lumayan." Irene menghela nafas sebentar.

"Kamu seharusnya lebih mengkhawatirkan tentang dirimu sendiri. Mau sampai kapan kamu melakukan pekerjaan seperti ini terus? Apa kamu tidak sayang terhadap nyawamu? Apa hidupmu tidak lagi berarti? Apa yang akan terjadi pada Iké kalau dia tahu ada sesuatu hal yang terjadi pada dirimu?" Irene memberondong dengan pertanyaan-pertanyaan yang sedikit memojokkan sang laki-laki.

"Terima kasih atas perhatianmu Irene, tapi aku tidak akan berhenti sampai aku berhasil menemukannya. Nyawaku sudah ku tukar untuk membalaskan dendam mereka, karena aku tidak ingin bocah itu menanggun beban ini!" Prajurit bayaran itu memaksa Irene untuk menerima kantung kecil berisi puluhan keping koin emas.

"Terimalah! Paling tidak itu bisa untuk menutupi kerugian karena kerusakan yang dilakukan oleh kedua bocah tengik itu." kata laki-laki itu sambil berlalu, menjauh dari jendela dan Irene. Tidak mempedulikan keributan yang semakin memanas di dalam rumah.

"Jangan katakan kalau aku datang berkunjung hari ini! Dua purnama lagi aku akan kembali untuk mengajarkan kehidupan laki-laki pada dua bocah itu!"

Irene hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, entah apa yang akan dia katakan pada Ibu Lynn, yang mengelola panti asuhan ini saat dia menyerahkan koin-koin emas tapi tidak boleh memberitahukan siapa yang memberikannya. 

Pikiran Irene kembali teringat pada masa tujuh tahun lalu. Pada malam itu hujan membasahi bumi dengan derasnya, dan petir terdengar hampir beriringan. Ya, dia ingat betul kejadian malam itu, karena dia saat itu sedang bertugas berjaga sampai dengan Ibu Lynn. Sebagai anak asuh tertua dia ditugaskan untuk menggantikan Ibu Anne yang sedang pergi ke kota untuk membeli beberapa keperluan.

Irene ingat, dia sedang membereskan ruang tengah sementara Ibu Lynn menidurkan anak-anak yang lain. Selesai dengan tugasnya, dia beranjak menuju dapur yang tidak terlalu besar. Sebuah perapian sebagai tempat memasak dipadukan dengan cerobong asap dari bebatuan berada di dinding seberang dari tempat dia masuk, sementara di kirinya lemari setinggi pinggang menempel di dinding dari satu sisi ke sisi yang lain, tempat untuk menyimpan beberapa peralatan masak, peralatan makan, rempah, dan sejenisnya.

Api dari lampu-lampu minyak yang menerangi dapur bergoyang, angin dari luar menncuri-curi untuk masuk dari jendela di dekat perapian yang tidak tertutup rapat.

Irene kecil menuju sebuah meja bundar kecil dengan empat buah kursinya. Perlahan dia menarik salah satu kursi dari oak terdekat. Pada saat dia hendak meletakkan pantatnya di kursi, Ibu Lynn muncul. Tugas beliau menidurkan anak-anak tidak mengalami kesulitan, meski cuaca seperti ini terkadang membuat beberapa anak yang masih kecil sulit untuk tidur. Ibu Lynn memang seorang ibu yang serba bisa puji Irene dalam hati.

"Kenapa kamu tidak habiskan saja dulu coklatnya? Kamu tidak perlu menunggu aku selesai." hangat perkataan Ibu Lynn tidak pernah hilang dari pertama Irene kenal sampai sekarang. Wanita itu lantas mengambil ketel yang sedari tadi berada di atas meja dan menuangkan coklat hangat ke dalam gelas kayu.

Irene muda menggeleng,

"Tidak apa Ibu, aku juga baru saja selesai membereskan ruang tengah." Irene mengangguk sebagai tanda terima kasih saat Ibu Lynn menyodorkan gelas kayu yang berisi coklat.

"Sepertinya Exavius sudah bisa beradaptasi dengan yang lain." Ibu Lynn membuka pembicaraan sambil duduk di kursi samping kanan Irene, membelakangi perapian.

Irene mengangguk,

"Meskipun dia tidak terlalu dekat dengan yang lain, tidak ada satupun yang bermasalah dengan dirinya. Dia sudah bisa membaur dengan baik selama satu purnama sejak dia berada di sini. Aku mengagumi kemampuannya untuk beradaptasi dalam waktu singkat di lingkungan yang baru, sulit biasanya bagi anak seumuran dengannya untuk membaur dengan hidup yang sama sekali baru tanpa ada seorang pun yang dikenal." Irene menguatkan pendapat Ibu Lynn dengan panjang lebar sambil sesekali menyeruput coklatnya.

Ibu Lynn tertawa, Irene mengernyitkan dahi, tidak paham dengan tawa Ibu Lynn.

"Umurmu baru 14 tahun, tapi kamu sudah bisa berbicara seperti Ibu Anne. Apakah kamu memang setua itu Irene sayangku?" Ibu Lynn tergelak. Irene memonyongkan bibirnya saat mendengar dirinya disama-tuakan dengan Ibu Anne, wakil pengelola panti asuhan ini.

"Semakin kamu memonyongkan bibirmu, akan semakin keliatan tua wajahmu." goda Ibu Lynn lagi sambil mengacak-acak rambut coklat pendek Irene.

Angin dan suara gemuruh membuat mereka berdua tidak menyadari pintu depan rumah digedor dengan keras oleh seseorang. Jika guntur tidak saling bersahut-sahutan mungkin gedoran itu bisa membangunkan seisi rumah. Irene dan Ibu Lynn masih bercengkerama sampai sebuah tendangan keras dari sang tamu mendobrak pintu hingga terbuka lebar.

Ibu Lynn dan Irene terkejut karena desakan angin yang masuk tibi-tiba dari luar, hembusan dinginnya terasa sampai ke dapur, membuat beberapa lampu minyak di dinding hampir mati karenanya. Irene bergegas lari menuju arah sumber angin, dia mengira ada jendela yang terbuka karena hempasan angin dari luar, pikiran itu terlintas karena dia tahu kondisi rumah yang tua ini. Namun yang dia temukan sesuatu yang sangat mengejutkan, seorang pria bertubuh besar memakai mantel hitam dan topi senada sudah berdiri di dalam rumah beberapa langkah dari pintu.

Lampu-lampu minyak yang bergoyang-goyang karena tiupan angin tidak membantu penglihatan Irene. Tiba-tiba dia merasa tubuhnya ditarik sedikit keras ke belakang oleh Ibu Lynn. Awalnya dai tidak mengerti kenapa Ibu Lynn protektif terhadapnya padahal jarak mereka dengan tamu tak diundang itu lebih dari 20 kaki. Tapi saat melihat gagang pedang yang menyembul di punggung lelaki itu barulah dia paham.

"Apa yang bisa kamu bantu, wahai pengelana?" Ibu Lynn tetap bersikap sopan, tapi Irene yang sudah empat tahun mengenal sang pengelola panti asuhan tahu bahwa wanita tua itu sedang bersiaga.

Laki-laki maju dua tiga langkah dan kemudian berbalik untuk menutup pintu, dan meletakkan pedang besarnya sebagai penggajal pintu saat dia menyadari pengaman pintu rusak karena tendangannya. Kemudian dia meletakkan mantel dan topi di pengait di samping pintu. 

Nyala terang empat lampu minyak di ruangan itu kembali datang, Irene bisa melihat dengan jelas banyaknya hujan yang tamu itu derita, tetesannya bahkan membasahi lantai.

"Maafkan aku membuat kalian takut, dan juga merusak pintu itu. Aku berjanji akan memperbaikinya." laki-laki itu berujar masih membelakangi Irene dan Ibu Lynn.

Untuk kedua kalinya, Irene dan ibu Lynn dibuat terkejut, hampir tidak pecaya saat pria besar itu berbalik menghadap ke arah mereka. Sesosok bocah kecil sedang tertidur pulas, di ikat dengan balutan-balutan kain agar tidak terjatuh, seperti sedang digendong.

"Tapi bisakah aku menitipkan anak ini kepada kalian?"

=====

"Iké, begitu dia biasa dipanggil. Aku tidak terlalu banyak tahu tentang kehidupan orang tua mereka sebenarnya. Aku mengenal mereka selama 3-4 tahun, selama aku menampung di rumah mereka. Mereka hanya tinggal berdua, membuka sebuah kedai makan kecil di pulau mercu suar. Aku ikut membantu sebagai koki." pria itu meneguk segelas kopi hangat yang disajikan Irene.

"Mereka orang yang ramah dan baik, aku tidak tahu orang macam yang tega membunuh orang sebaik mereka." laki-laki itu sedikit meradang, mencoba menahan emosinya. Irene bisa melihat rahangnya mengeras.

Laki-laki itu melanjutkan ceritanya,

"Saat itu aku sedang mengajak Iké berjalan-jalan ke hutan, pada saat aku pulang. Aku sudah mendapati mereka berdua terbunuh di rumah mereka sendiri. Beruntung aku sempat menghalangi pandangan Iké agar tidak mengetahui apa yang terjadi."

Ibu Lynn yang duduk di atas karpet beruang di lantai di depan perapian yang sudah dia nyalakan hanya bisa mengutuk dalam hati karena masih ada perbuatan-perbuatan keji di luar sana. Perlahan dia mengelus rambut acak-acakan Iké.

"Apa dia sedang sakit?" tanya Ibu Lynn saat tangannya menyentuh dahi Iké. "Sepertinya dia demam?"
Laki-laki itu menggeleng,

"Memang sehangat itulah tubuhnya. Mungkin aku harus menceritakan lebih banyak lagi tentang dirinya agar kalian bisa memahami keadaannya."

Pria itu bercerita selama 3-4 putaran pasir sebelum akhirnya meminta ijin untuk untuk meninggalkan panti asuhan itu. 

Dan sejak saat itu, orang yang dipanggil paman oleh Iké ini secara sembunyi-sembunyi datang untuk menengok keadaan Iké dan memberikan uang penghasilannya sebagai prajurit bayaran kepada panti asuhan melalui Irene.

Selain Iké, prajurit bayaran itu juga lambat laun mulai memperhatikan keadaan anak yang lain, seperti Exavius yang menjadi lawan bertengkar Iké.

"Kak Irene!" seorang bocah kecil berambut ikal menghentikan lamunan Irene. Dia menoleh dan kemudian berjongkok untuk menyamakan level matanya dengan anak kecil itu.
"Ada apa?" Irene tersenyum mencoba untuk menjadi selembut Ibu Lynn.

"Iké dan Exavius bertarung di halaman belakang menggunakan sihir mereka!" lapor anak kecil itu, matanya penuh dengan air mata karena ketakutan.

Irene langsung naik pitam. Sejak kedatangan Iké, rumah ini menjadi lebih hidup dari biasanya, percekcokan antara dua bocah itu bukan hal yang aneh lagi tapi yang tidak dia sukai adalah saat dua bocah tengil itu beradu kekuatan sihir.

"Memangnya hanya kalian yang punya kekuatan sihir!" geram Irene. Dia bergegas menuju halaman belakang, tidak melewati pintu atau jendela tapi menerobos dinding-dinding rumah. 

"Berhenti!" teriak Irene sambil menghadapkan kedua telapak tangannya kepada Iké dan Exavius. Dua buah bola energi tidak kasat mata meluncur dengan cepat dan menghantam Iké dan Exavius hingga mereka terpental belasan kaki dan jatuh terjerembap di rerumputan.

Exavius tidak berani melawan balik begitu tahu yang menghajarnya adalah Irene, namun Iké tidak terima.

"Jangan ikut campur kau!" teriak Iké sambil menyelimuti kedua tangannya dengan api dan menerjang Irene.

Irene mengelak dan membuat dirinya menjadi tidak bisa disentuh. Dia hanya tertawa kecil melihat Iké memukul-mukul tubuh semu-nya dengan tangan api.

"Kurang ajar kamu pembersih rumah!" Iké kesal karena tidak bisa balas menghajar Irene, tapi sebuah kesalahan fatal baginya karena menghina Irene.

Irene tersenyum keji, dan hasilnya Iké terlempar puluhan meter ke angkasa, membentuk kurva melengkung sebelum akhirnya menghantam tanah berlumpur di depan kandang salah satu peternakan di desa.

"Sial!" umpat Iké.

*****

0 comments:

Post a Comment