Aku menatap
pisau yang sedari tadi kupegang, benda tajam yang biasa aku gunakan untuk
membuat masakan di rumah kontrakan kecilku. Aku mencoba merenung, tapi tidak
bisa. Aku memaksa untuk berpikir, tapi berujung pada kegalauan. Otakku sudah
penat, hatiku sudah lebur. Cukup sudah permasalahan hidup menerpa diriku. Hidup
tanpa belas kasih orang tua, tiada sanak saudara, dan teman untuk sekedar
mencurahkan isi hati.
Dan
kini, kejadian yang sangat menusuk dalam hatiku. Melukai telak relung-relung
jiwa. Aku sudah tidak sanggup lagi. Ya, kejadian itu. Kejadian yang hanya
beberapa jam yang lalu, yang aku saksikan dengan mata kepalaku. Semuanya
berawal dari pertemuanku dengan Mia, gadis yang mampu memikat hatiku. Gadis
yang membuatku berani menjadi diriku sendiri.
Hanya
inilah cara tercepat yang bisa aku lakukan.
*****
Juni
setahun yang lalu, itulah pertama kali aku melihatnya. Aku tidak mengenalnya,
bahkan tahu namanya pun tidak. Dia seorang gadis yang terlihat sederhana,
datang untuk menanyakan informasi tentang kuliah di kampusku.
Datang
sendiri dengan memakai jeans dan
dengan jumper yang di dominasi warna
biru, aku yakin gadis itu pasti penggemar biru setelah aku melihat case HP-nya
juga berwarna biru.
Aku
kurang beruntung. Saat itu bukan aku yang bertugas menjaga informasi
pendaftaran di kampus, tapi Akira, teman satu kelasku. Beruntung sekali dia
bisa berbicara dengan gadis itu, aku tidak mau kalah. Berlagak cuek, aku datang sambil membawa dua
botol softdrink, menawarkan pada Akira,
dan duduk disampingnya sambil menguping pembicaraan mereka.
Dari
situlah aku mendapatkan nama lengkap dan nomor HP-nya. Mungkin sedikit tidak
etis sebagai panitia dari mahasiswa yang dipercaya oleh pihak kampus karena menggunakan
data-data pribadi calon mahasiswa baru ini. Namun, aku sudah terpikat pada seorang
Mia. Ya, walau dibilang berlebihan, tapi aku jatuh cinta pada pandangan
pertama.
Sejak
saat itu, aku mulai berkirim SMS dengan Mia. Baik untuk sekedar menghasut
dirinya untuk menjadi mahasiswi di kampusku atau sekedar bertanya kabar dan
basa-basi lainnya. Hubungan ini akhirnya berlanjut semenjak Mia benar-benar
menjadi mahasiswi di kampusku.
Waktu
dan bulan berlalu, tanpa terasa hampir satu tahun kami berstatus sebagai
sepasang kekasih. Cerita cinta manis dan penuh canda adalah hari-hari kami. Tidak
ada permasalahan yang tidak bisa kami lalui saat itu. Semua kami atasi dengan
tenang tanpa menimbulkan masalah lagi.
Bermula
ketika aku mulai membutuhkan uang lebih untuk masa akhir studiku, penelitian untuk
skripsiku membutuhkan dana yang tidak sedikit. Aku tidak berhasil mendapatkan
dana dari pihak kampus. Akhirnya, aku terpaksa memperbanyak shift kerja paruh waktuku. Dan itu
berarti semakin sedikit waktuku untuk bertemu dengan Mia.
Perdebatan
pun terjadi akibatnya jarangnya komunikasi, hal-hal kecil sebagai benih ketidakpercayaan
mulai muncul. Entah aku yang menuduh, atau dia yang memulai. Yang jelas, cinta
tidak lagi seindah di awalnya.
Puncaknya
adalah tadi malam, tepat jam tujuh malam saat aku secara tiba-tiba berkunjung
ke indekos Mia. Memang tidak biasanya
aku berkunjung hari kamis malam, namun hanya waktu ini yang aku punya dalam
minggu ini. Lagipula sudah tiga minggu aku tidak bertatap muka dengan dirinya,
sejak pertengkaran terakhir yang berakhir dengan kata ‘terserah’.
Dan
di malam itu pula aku mendapati dirinya tidak sedang sendiri, kedatangan yang
sengaja tidak aku beritahukan membuat mataku terbuka. Di dalam kamar kecil
berukuran 4 x 4 meter itu, dia sedang asyik berpelukan dan bercumbu dengan
seorang cowok yang tidak aku kenal.
Aku
pun berlalu, meninggalkan wajah melongo Mia yang melihat kedatangan diriku saat
aku dengan tiba-tiba membuka pintu dan langsung pergi dengan bantingan pintu
yang keras. Melesatkan motor berputar entah ke mana, akhirnya aku memutuskan
untuk kembali ke kontrakanku. Tempat yang membuat aku merasa paling nyaman.
Sesampainya
di kontrakan, aku langsung menuju dapur untuk mengambil sekaleng softdrink yang
ada di dalam kulkas. Aku melirik jam bulat besar di dinding dapur, tepat di
atas kulkas. Sudah lebih dari lima jam sejak kejadian itu, HP sengaja kumatikan
karena aku tidak ingin Mia menghubungiku setelah apa yang dia lakukan di belakangku.
Dan aku sengaja baru pulang setengah jam yang lalu, agar Mia tidak bisa lagi
menemuiku di sini. Dia punya jam malam di indekosnya.
Amarah,
sedih, semua emosi bercampur aduk. Tidak bisa kulukiskan dengan jelas apa yang
sedang aku rasakan. Aku hanya berharap bahwa ini hanya mimpi. Ya, mimpi buruk yang
akan berlalu begitu aku bangun esok pagi.
Tidak!
Ini bukan mimpi, yang terjadi bukan mimpi. Aku harus bertindak, aku harus
melakukan sesuatu. Balas dendam, atau mendapatkan dirinya lagi dengan paksa.
Ya, memaksa dia. Dan cara yang tercepat adalah….
****
Berjalan
aku membawa pisau berukuran sedang itu menuju ruang tamu. Sengaja aku menuju
tempat itu, agar begitu Mia datang, dia bisa langsung tahu apa yang terjadi. Aku
menegarkan hatiku, berharap Mia bisa kudapatkan kembali.
Aku
duduk di sofa biru tua yang sudah agak usang. Dengan satu kali sayatan, nadi
pergelangan tangan kiri kuiris. Tidak terlalu dalam, namun juga bukan luka
ringan. Perih dan sakit. Dan tanganku terasa lemas dan pegal. Keringat dingin
menjalar di belakang leher, jantungku langsung berdegup kencang.
Sengaja
darah yang keluar dari tangan aku biarkan menetes ke lantai, biar Mia tahu
sudah berapa banyak darah yang keluar. Namun, aku memegang bagian atas lengan,
biar aku tidak cepat kehabisan darah.
Entah
sudah berapa menit berlalu, yang jelas aku merasakan lemas. Sangat lemas dan mengantuk.
Ya, mengantuk sekali. Sambil menahan kantuk dan darah yang menetes, aku
berharap Mia akan datang tergopoh-gopoh membuka pintu dan melihat keadaan
diriku. Setelah dia tahu betapa aku rela mati demi cintanya, dia pasti akan
menerimaku kembali.
****
Aku
terbangun dengan keadaan lemas. Darah masih mengalir dari nadi pergelangan
tangan kiriku, sudah lebih dari setengah jam. Seharusnya Mia sudah sampai di
kontrakanku dan—astaga, aku baru sadar. Aku belum menyalakan HP dan menghubungi
dia.
Dengan
segera aku mengambil HP yang ada di saku celanaku dan memencet angka delapan untuk
speed dial ke HP Mia, nomor
kesukaannya.
Tidak
ada jawaban. Entah sudah tidur atau apa, aku tidak tahu. Yang jelas,
panggilanku tidak diangkat. Akhirnya aku SMS berkali-kali, bahkan aku kirimkan
foto tanganku yang sedang berdarah agar dia percaya. Bahkan aku menyempatkan
untuk meng-upload foto itu ke
facebook.
Dan
aku terpaksa harus menunggu lagi, paling tidak menunggu dua puluh menit sampai
Mia datang ke sini. Rasa kantuk kembali datang, aku biarkan diriku kembali
terlelap. Lagipula, barusan aku sudah SMS Akira, untuk datang ke sini jika
dalam satu jam aku tidak menelepon atau tidak mengangkat telepon.
Kembali
aku terbangun. Lima belas menit sejak aku mengirimkan pesan kepada Mia, suara
gaduh terdengar dari pintu depan. Suara dua orang, yang satu laki-laki dan yang
satu lagi perempuan. Suara Mia dan entah siapa, mungkin Akira. Aku tidak begitu
mempedulikan, akhirnya aku bisa tersenyum saat mengetahui kedatangan Mia.
Pintu
ditendang dengan keras. Pandangan mataku kabur, tapi aku yakin itu adalah Mia
yang masuk begitu pintu terbuka. Dia datang bersama seseorang, aku tidak
mengenalnya. Sama sekali tidak.
“Anda,
apa yang kamu lakukan?” kata Mia sambil mendekat ke arahku.
Aku
mencoba menjawab, tapi mulutku tidak kuasa bergerak. Bahkan anggota tubuhku
tidak bisa aku gerakkan sama sekali, aku kaku membujur. Belum mati karena aku
yakin aku masih bisa melihat dan bernafas.
“Wah
wah, kamu sengaja mengiris nadimu ya? Demi aku?” ucap Mia datar. Seakan tidak
peduli dengan keadaanku. Sosok sang pria mendekat. Aku bisa melihatnya dengan
jelas tapi tetap saja aku tidak kenal dengan laki-laki itu.
“Hhm
… kebetulan sekali, Anda. Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku
bisa lepas dari kamu. Aku sudah bosan dengan dirimu yang tidak bisa menyayangi
aku sepenuhnya lagi. Aku butuh seseorang yang bisa memanjakan aku,” kata Mia
sambil memeluk pria itu dari samping, pelukan mesra yang pernah aku rasakan
saat kami masih saling mencinta.
“Dengan
kematianmu, paling tidak aku tidak perlu repot memikirkan perasaan Papa dan
Mama yang sudah menyukai dirimu.” Mia tersenyum menyeringai.
Sambil
mendekat ke arahku, Mia berkata, “Aku akan menunggu kematianmu di sini, dan aku
akan melaporkan bahwa kamu sudah meninggal saat kami datang ke sini.”
Mia
tertawa kecil dan menjauh beberapa langkah.
“Kemudian
aku dan Ray bisa bersama seperti orang pacaran umumnya,” lanjut Mia sambil
mengecup mesra pipi Ray.
Aku
membelalakkan mata dan….
Aku
terbangun, rupanya aku bermimpi. Sekarang baru sepuluh menit berlalu sejak aku
mengirimkan pesan terakhir kepada Mia, tidak ada suara gaduh terdengar dari
pintu depan seperti yang aku impikan. Aku menyandarkan punggung sambil
menghembus nafas, darah mengalir sangat lambat. Beruntung aku tadi sempat
mengikat tanganku dengan tali seerat mungkin.
Suara
pintu sedang didorong terdengar, suara anak kunci dimasukkan mengiringi. Akira
atau Mia yang mungkin datang, mereka berdua memang aku beri duplikat kunci
depan.
Akira
muncul, membuka pintu perlahan mengira aku sedang tidur di kamar. Namun,
rokoknya yang tadi menempel di mulutnya jatuh ke lantai begitu mendapati diriku
yang sedang duduk di sofa dengan tangan penuh dengan darah.
“Cih,
setan apa yang merasuki kamu, Nda?!” bentak Akira dan langsung mencari kain
yang kemudian dibalutkan ke pergelangan tanganku. Dia merebahkan aku di sofa dan
meletakkan sebuah bantal kecil untuk meninggikan posisi tangan kiriku.
Aku
hanya tersenyum dan menatap Akira yang sedang sibuk menelepon sahabat-sahabatku.
Dan atas saran salah satu sahabatku yang dia ajak bicara lewat telpon, dia
kemudian menelepon rumah sakit terdekat untuk meminta agar aku dijemput
ambulans.
“Kenapa?”
tanya Akira singkat seperti biasa.
“Mia
selingkuh,” jawabku setelah sekian lama berdiam.
Sebuah
tamparan kecil mendarat di samping keningku, Akira menatap mataku tajam.
Meskipun dia tidak berkata-kata, aku mengerti bahwa dia sangat membenci aku yang
melakukan ini hanya karena patah hati. Ah, kalau saja Akira tahu bagaimana hati
ini untuk Mia. Aku menarik nafas dan mengalihkan pandangan mataku.
Mataku
terasa sangat berat, aku membiarkan diriku tertidur. Akira pasti akan
menjagaku, seperti biasanya. Ya, dia memang sahabat yang bisa aku andalkan
kapan saja. Samar-samar aku mendengar Akira sedang berbicara dengan seseorang
melalui telepon, entah kenapa aku merasa sangat familiar dengan suara dari seberang
itu. Itu adalah suara--
“Mia!”
Aku terkejut dan terbangun, mengerjapkan mata berkali-kali. Memandang keadaan
sekeliling. Aku bermimpi kembali, melihat
jam yang berlalu sepuluh menit sejak aku mengirimkan pesan kepada Mia,
tidak ada Akira di sudut mana pun ruangan ini.
Beberapa
saat kemudian pintu di buka dengan tergesa, pandangan mataku kabur tapi aku
yakin itu adalah Mia dan Akira. Mungkin Akira memberi tahu Mia kalau ada
sesuatu yang aneh dengan SMS-ku. Aku tersenyum saat mengetahui Mia akhirnya
datang, juga Akira.
Mia
langsung memelukku, aku tidak kuasa berkata kecuali mengelus kepalanya. Aku
dengar Akira sedang panik menelepon rumah sakit atau siapa, aku tidak begitu
jelas mendengarnya.
Dengan
telaten Mia merebahkan diriku di
sofa, mengambil kain yang terasa hangat, dan meletakkan tangan kiriku setinggi
bahunya saat dia duduk di sofa. Aku merasakan kesemutan, perih sudah tidak lagi
aku rasakan.
Mia
meminta maaf berkali-kali sambil menangis, Akira menatap kami berdua dari
kejauhan sambil menelepon beberapa sahabat untuk membantu.
Aku tersenyum.
Meskipun harus begini, tapi aku senang bisa mendapatkan Mia kembali. Kali ini,
tidak akan aku lepaskan lagi. Akira menggeleng dan berlalu ke dapur, membuat
minuman atau kopi seperti yang biasa dia lakukan jika berkunjung ke tempatku.
Aku memejamkan mata untuk menunggu kedatangan ambulans yang tadi sudah diminta
oleh Akira melalui telepon.
****
Akira baru
saja mengeluarkan motor dari garasinya. Belum juga dia menyalakan motor,
Mia datang tergopoh-gopoh dari arah luar.
“Eh,
Ra!” kata Mia sambil mengatur nafas. Akira hanya membalas angguikan dan
melepaskan helm yang sudah dia pasang dari tadi. Dia mengernyitkan dahi, kenapa
Mia datang sepagi ini? Dan kenapa gadis itu datang sendiri tanpa Anda? Tidak biasanya.
“Anda
tidak apa-apa kan, Ra?” kata Mia lagi, kali ini nafasnya sudah lebih teratur.
“Emangnya
kenapa?” tanya Akira sambil mengambil rokok yang dari tadi dia selipkan di mulut.
Dia mematikan rokok karena Mia tidak suka dengan asap rokok.
“Tadi
malam, em… itu, em--“ Mia tidak melanjutkan kata-katanya. Perempuan itu hanya berdiam, menunduk,
dan menangis.
Akira merasakan
sesuatu yang aneh, dan memaksa Mia untuk menceritakan semuanya. Dia bagaikan
disambar petir saat mendengar cerita dari Mia. Akira yakin Anda pasti akan
melakukan sesuatu yang bodoh. Ya, dia juga pasti akan melakukan hal yang sama aneh.
“Pantas
aku tidak bisa meneleponnya tadi malam,” kata Akira lirih.
“Aku
juga tidak bisa meneleponnya semalaman ini. Bahkan aku tidak menemuinya tadi
malam, aku menunggu sampai jam sebelas malam di kontrakannya, tapi dia tidak
pulang-pulang.” Mia menambahkan, masih dengan isak tangis.
Akira mengisyaratkan
Mia untuk menaiki motor. Begitu dia memahami maksud Akira, Mia langsung duduk di
tempat duduk belakang. Akira pun langsung menyalakan motor dan langsung
meluncur menuju rumah Anda.
Sial
kamu, Anda! Kenapa kamu tidak cerita kepadaku, sahabatmu ini? Aku harap
kamu tidak melakukan perbuatan bodoh. Pikiran Akira berkecamuk, memikirkan hal yang
terburuk. Dia mempercepat laju motor menuju jalan-jalan sempit untuk memotong
jalan menuju rumah kontrakan Anda.
Tidak
sampai sepuluh menit, Akira dan Mia sudah sampai di kontrakan Anda. Belum sempat dia memarkir motor, Mia sudah melompat, melesat, dan menggedor pintu. Tidak ada
jawaban dari dalam. Akira memperhatikan lampu teras yang masih menyala. Sesuatu yang
tidak biasa karena Anda selalu mematikan lampu teras tiap jam enam pagi.
Akira bergegas menuju pintu, rupanya Mia tidak membawa kunci duplikat. Beruntung
kunci duplikat kontrakan Anda, dia jadikan satu gantungan dengan kunci motor.
Tergesa Akira membuka pintu depan kontrakan Anda, dan….
****
Puluhan
orang berkerumun di luar rumah Anda, memenuhi halaman kecil yang telah dibatasi
dengan garis polisi. Mia menangis meraung-raung saat seorang petugas memasukkan
jenazah Anda ke dalam kantung plastik mayat. Beberapa petugas mendokumentasikan
keadaan ruang tamu, salah seorang petugas sedang menanyakan beberapa hal
kepada Akira.
Akira menjawab semua yang dia tahu, meski dia tidak tahu apakah jawabannya memuaskan atau
tidak. Pikirannya tidak berada di ruangan ini sekarang, dia hanya memikirkan
tentang apa yang Anda pikirkan. Memotong nadinya, mematikan HP, dan membiarkan
dirinya sendiri membujur kaku di sofa biru tua itu. Bahkan tidak ada kata
perpisahan baik lewat SMS atau telepon. Sial kamu, Anda! Hidup ini bukan
sekedar untuk wanita saja.
#####
0 comments:
Post a Comment