Trilogi Bintang


 Seribu Bintang

Aku berdiri di tembok pembatas gedung berlantai lima, kantorku sendiri. Dengan gelisah aku memegang sebuah mangkuk akuarium kecil. Tidak ada yang salah dengan benda ini, kecuali kenangan yang hanya mengingatkanku pada kesedihan terbesar sepanjang hidupku. Kenangan dalam seribu benda di dalam mangkuk ini.

Pecandu! Ya, itulah aku. Seorang pecandu. Hidup sebagai mahasiswa yang tidak pernah mendapat kasih sayang dari orang tua membuatku memilih jalan hidup penuh dengan kesenangan ini. Betul, menyenangkan sekali. Saat merasa tinggi, saat itulah perasaan senang yang sangat menyenangkan datang. Tidak bisa aku ceritakan dengan kata-kata.

Kuliah terbengkalai, hidup tidak terurus. Namun begitu, untuk mencari uang dan narkotika aku seakan mendapat pencerahan dan semangat pantang mundur. Demi benda menggiurkan itu, aku melakukan banyak hal. Yah, paling tidak aku berusaha untuk sesuatu.

Gadis, perempuan cantik berkulit kuning langsat. Mahasiswi yang kata dia satu kelas denganku. Cih, aku tidak tahu dia berkata jujur atau tidak. Saat itu aku yakin, dia hanyalah seorang munafik yang ingin menyadarkan aku agar dia mendapat penghargaan dari lembaga-lembaga entah apalah namanya. Yang mengurus pecandu seperti aku.

Berkali-kali dia mendekatiku, berkali-kali juga aku mengabaikannya. Bahkan tidak jarang aku mengumpat Gadis di depan orang banyak. Aku muak dengan orang-orang sok baik seperti dia, tidak ada orang yang baik di dunia ini. Para Nabi sudah tidak diturunkan lagi oleh Tuhan.

Tapi ternyata aku salah, Gadis tidak henti untuk mengembalikanku ke jalan yang benar. Aku tidak menyadari kalau dia ternyata bukan dari lembaga-lembaga itu. Dia adalah Gadis, seorang gadis yang jatuh cinta terhadapku. 

Ya, Gadis pernah bercerita kalau aku pernah menolong kami saat masih duduk di bangku SMU. Meski kami tidak satu sekolah, tapi aku pernah menolong dia saat dia hampir saja menjadi korban tawuran antara sekolahku dengan sekolah dia. Walau tidak aku pungkiri, aku adalah salah satu pelajar yang ikut tawuran.

Entah kenapa hatiku sedikit terketuk, mungkin karena ini kali pertama aku merasakan kasih sayang yang tulus. Sejak orangtuaku bercerai, tidak pernah sedikitpun aku merasakan kehangat kasih sayang. Namun Gadis, dengan sabar menyayangi aku tanpa perlu aku minta.

Minggu demi minggu berlalu, perlahan aku mengurangi kebiasaan mengonsumsi narkotika. Gadis membawaku ke pusat rehabilitasi. Dan aku tidak tahu bagaimana kejadiannya, yang aku ingat hanya Gadis saat itu memberikan senyuman paling indah. Sementara aku masih terbaring di sebuah ranjang salah satu kamar pusat rehabilitasi.

“Selamat datang kembali, Malaikat.” kata Gadis.

Rehabilitasi masih berjalan, meski aku sudah tidak perlu lagi di rawat di tempat itu. Kami pun banyak menghabiskan waktu untuk berdua. Setiap hari kami selalu bertemu, hingga kami menjadi sepasang kekasih. Namun, selama tiga tahun kami tidak pernah bosan untuk selalu bertemu tiap hari. Dan bersyukur karena tidak pernah ada permasalahan besar selama kami berpacaran.

Tapi Dia memang tidak bisa dipercaya. Ya, Dia. Dia yang kalian sebut Tuhan, entah apapun label nama yang kalian berikan. Dia mengambil Gadis dariku. Selang satu bulan setelah perayaan tiga tahun hubungan kami, Dia memberikan hadiah istimewa berupa leukemia.

Pikiranku menjadi kacau, tidak ada kenangan hari-hari itu yang ingin aku ingat kembali. Kecuali hari pada saat dia memberikan sebuah mangkuk akuarium kecil. Tidak ada air dan ikan di dalamnya, hanya tumpukan bintang-bintang kecil yang dibuat oleh Gadis. 

“Seribu bintang untuk menjagamu.” kata Gadis.

Saat itu aku tidak mengerti ucapannya, namun saat aku melihat lebih jelas. Seribu bintang itu dibuat dengan kertas yang berisikan seribu pesan untukku. Seribu pesan untuk mengingatkanku agar menghargai hidup. Seribu pesan tentang perasaan cinta Gadis kepadaku. Seribu pesan tentang kenangan kami bersama.

Dan malam itu, Gadis menemui Dia.

Semilir angin menyadarkanku dari lamunan. Kota Yogyakarta menjauhkanku dari kenangan bersama Gadis di Bandung. Namun seribu bintang ini tetap menyakitkan untuk dikenang. Kemarahanku terhadap Tuhan belum juga reda. Semoga dengan ini, aku bisa melangkah lagi.

Mangkuk aku balikkan, menumpahkan seribu cinta dari Gadis. Tertiup angin, hingga semuanya bertebaran mengikuti kemana angin membawa. Semoga ini menjadi yang terakhir. Tinggal dua benda lagi yang perlu aku buang.

*****

 Sepasang Cincin


Berdiri di tembok pembatas gedung berlantai lima, aku menatap gelisah sepasang cincin yang dijalin dengan sebuah kalung perak yang disepuh dengan warna biru. Dua cincin yang harusnya untuk dua orang yang saling cinta, dua benda sebagai tanda setia sampai akhir hayat. Namun cincin-cincin ini hanya membawa kesedihan sepanjang hidupku.

Adalah Salsa, seorang gadis yang tidak terlalu menonjol di kampus. Dia tidak cantik, juga tidak jelek. Aku mengenalnya saat dia duduk termenung di depan pintu asrama, tempat tinggal para mahasiswi ini. Sementara teman-temannya asyik bercanda denganku. Saat itu aku baru saja ditinggalkan oleh Gadis, seorang gadis yang bisa membuatku jatuh cinta. 

Ya, sebelumnya aku adalah seorang pecandu. Namun Gadis bisa membuatku lepas dari kelamnya duniaku, dan memberikan aku arti cinta yang tulus. Sayang, Tuhan berkata lain. Dia mengambil Gadis setelah tiga tahun aku menjalin cinta.

Salsa masih saja termenung, aku menghentikan leluconku dengan teman-teman Salsa.

“Kenapa dia?” tanyaku sambil duduk di selasar depan kantor.

“Ah, dia sedang patah hati Mister. Cowoknya selingkuh.” kata seorang gadis manis berambut panjang, aku memanggilnya Iit.

“Eh, bukankah mereka baik-baik saja kemaren?” tanyaku lagi, sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong jaket coklatku.

“Ya, kejadian setelah itu. Cowoknya ketangkap basah sedang merayu cewek lain lewat sms. Parahnya lagi, cewek yang dirayu adalah teman sekamar Salsa.” Ade, gadis mungil berambut sebahu, menimpali.
“He? Serius?” aku kaget menatap satu persatu empat gadis yang dekat denganku itu. Mereka mengangguk hampir bersamaan.

Entah kenapa hatiku terenyuh, aku tahu rasanya dikhianati. Dan bukan oleh manusia, tapi Tuhan mengkhianati saat aku percaya padaNya bahwa Gadis akan selalu bersamaku.

Tanpa sadar aku melangkah, mendekati Salsa yang menatap dalam aku yang sedang berjalan menuju dirinya. Aku sempat melihat reaksi kagetnya saat aku tanpa basa-basi duduk berjongkok di sampingnya dan kemudian menyalakan sebatang rokok.

“Malam, Sa.” sapaku, sambil menghembuskan asap rokok ke arah yang berlawanan dengan Salsa.

“Ma-malam, Mister.” jawab Salsa. Suaranya getir.

“Kata anak-anak, kamu patah hati?” aku langsung bertanya.

Salsa menunduk, hening. Aku merasa dia menangis dalam diam.

Dan sejak itulah aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Beruntung, dalam beberapa bulan dia sudah menyelesaikan kuliah. Pendekatanku pun berakhir, kami meresmikan hubungan kami sebagai sepasang kekasih.

Kemudian tiba pada saat dia di terima di sebuah perusahaan di Jakarta. Hubungan jarak jauh terpaksa kami lalui, namun ini tidak menyurutkan keinginanku untuk memilikinya seumur hidup. Ya, aku berencana untuk menikah dengan Salsa, begitu juga dia. Kami pun berjanji untuk saling setia, dan sabar menunggu.

Bulan demi bulan berjalan dengan lambat. Selain permasalahan jarak dan waktu, muncul permasalahan baru. Uang. Hidup di kota besar memang tidak mudah, Salsa kesulitan dengan ekonomi di sana. Apalagi dia harus menjalani pelatihan selama tiga bulan, tanpa gaji. Akhirnya aku merelakan sebagian dari gajiku untuk kehidupan dia di sana. Bahkan beberapa barang sempat aku jual untuk menafkahi gadis itu. Toh, aku saat itu berpikir dia akan menjadi istriku kelak. Aku percaya pada cinta dan janjinya.

Enam bulan berlalu, dia diterima sebagai pekerja. Sulit hidup di kota besar perlahan berhasil dia atasi, kecuali masalah perbedaan jarak dan waktu antara aku dan dia.  

Hubungan kami berjalan lancar, atau setidaknya menurutku berjalan lancar. Aku terlalu naïf saat itu. Lebaran adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi dia di Jakarta, sebelum ke Bandung aku mampirkan diriku ke Jakarta. Hari itu seharusnya aku membawa sepasang cincin ini untuk kupasangkan di jari manis tangan kiri Salsa.

Namun malang tak dapat di tolak, kedatanganku ke rumah kontrakan Salsa tanpa kabar justru menjadi petaka bagiku. Sengaja aku membuat kejutan kepadanya, namun dia lah membuat aku terkejut. Pada saat aku datang dan membuka pintu kamar tidurnya, Salsa sedang asyik berpelukan manja dengan seorang laki-laki. Mencumbu dengan mesra, dan kemudian terkejut tak terkira melihat kedatanganku yang tiba-tiba.
Ya, itulah buah hasil dari kesabaran dan kesetiaanku. Bodohnya, aku masih berharap akan datang keajaiban yang akan mengembalikan dia kepadaku. Tapi keajaiban itu tidak juga datang. Aku pun sadar, sudah saatnya aku membuang dia dan sepasang cincin ini.

Seiring dengan doa agar Tuhan mengutuk dia, aku lemparkan cincin-cincin ini sejauh mungkin. Tinggal satu benda lagi yang harus kubuang.

*****


Dia

Aku masih berdiri di tembok pembatas gedung kantorku yang berlantai lima, sudah dua benda menyakitkan aku buang. Tinggal satu benda lagi yang harus aku buang, yang paling menyakitkan di antara yang lain.

Sebut gadis itu Dia, rambut hitam lurus sebahu. Kulit kuning langsat khas orang dari Jawa Timur. Dia datang tepat setelah aku tidak mempercayai lagi wanita. Setelah hubunganku kandas karena pengkhianatan Salsa, aku tidak bisa lagi percaya kepada wanita. Bagiku, mereka hanya memanfaatkan setiap laki-laki yang ada di dekatnya untuk kepentingan pribadi mereka. Setidaknya, itulah yang aku tanamkan di otakku.

Dia tidak seperti yang lain, atau mungkin karena saat itu aku sedang merindukan memiliki seseorang yang berarti. Tidak ada yang istimewa tentang pendekatanku, kecuali hanya dengan rajin menghubungi dia dengan sms atau telepon. Hal yang biasa dilakukan. Sampai hubungan itu berlanjut pada acara jalan bersama, makan bersama, atau menonton film di cinema.

Aku memberanikan diri untuk mengatakan kalau aku menyukai dia. Dia tidak menjawab. Diam saat aku mengungkapkan perasaanku. Beberapa menit, mulutnya berbicara. Bukan menolak perasaanku, melainkan untuk mengatakan dia juga menyukai diriku. Namun, dia sudah memiliki seorang kekasih di kampung halamannya.

Diam kini menghampiriku, bukan karena dia mengatakan dia sudah mempunyai kekasih. Melainkan karena dia juga menyukai aku, menginginkan aku sebagaimana aku menginginkan dia. Akhirnya aku memberanikan keputusan untuk menjalin hubungan rahasia dengan Dia. Kali ini, aku yang berselingkuh. Aku tidak mengerti apa ini jalan yang Tuhan maksudkan.

Dua bulan berlalu, tidak ada yang tahu tentang hubungan kami. Bahkan teman-teman akrab Dia pun tidak tahu. Beruntung aku dekat beberapa teman Dia, sehingga tidak ada yang curiga kalau aku dekat dalam artian lain dengan Dia.

Kemudian datanglah seorang pria lain, orang yang Dia bilang hanya sebagai teman dekat. Namun firasatku mengatakan lain. Aku sering mengatakan tentang firasatku, tapi Dia mengelak. Dia mengatakan tidak ada hubungan apa-apa dengan pria itu. Aku pun percaya, sebagaimana dulu aku percaya pada Salsa yang mengkhianatiku, sebagaimana aku percaya pada Tuhan yang mengambil Gadis dariku.

Namun, sekali lagi kepercayaanku diuji. Dia mengirimkan SMS yang seharuisnya untuk pria lain tersebut kepada diriku. Ya, Dia salah kirim. Dan dipesan itu, tertulis ‘Dia Sayang Kamu’ di ujung pesan untuk pria tersebut.

Aku memejamkan mata, kemudian dalam satu tekan tombol aku menelpon Kepala Departemen tempat aku bekerja. Aku meminta ijin untuk mengundurkan diri, dan pergi ke Australia untuk mengambil beasiswa S2-ku. Bos-ku tidak mengerti dengan maksud permintaanku, dia memintaku untuk menemuiku dua hari lagi. Saat dia sudah kembali dari luar kota.

Aku berpamitan kepada teman-temanku, yang sebagian juga adalah teman-teman Dia. Sengaja Dia tidak aku hubungi. Aku hanya mengirimkan kembali SMS salah kirim dari dia, dan menambahkan kata ‘Terimakasih. Selamat tinggal.’

Berkali-kali dia menghubungiku, puluhan SMS dia kirimkan kepadaku sebagai permintaan maaf dan memintaku untuk tetap tinggal. Hatiku saat itu sudah bulat.

“Apa kamu mau meninggalkan pria itu demi aku?” kataku saat aku menerima telepon dari Dia.

“Ya, akan aku lakukan.” jawab Dia dari seberang sana.

“Apa buktinya? Setelah aku percaya dengan dirimu, dan kamu khianati? Kamu tidak beda dengan Salsa!” tegasku.

“Beri aku waktu, beri aku waktu untuk benar-benar mencintaimu. Hanya kamu.” Dia menangis.

“Sudahlah. Cukup. Kamu sudah punya pacar di kampung halamanmu. Di sini juga sudah ada pria itu. Buat apa kamu mempertahankan aku?” jawabku datar.

“Aku butuh kamu.” lirih Dia.

“Butuh? Kamu hanya butuh aku? Oke, baiklah. Berarti nanti ada saat dimana kamu tidak butuh aku lagi?”
Dia terdiam.

“Dua minggu. Keberangkatanku dua minggu lagi. Buktikan kata-katamu kalau kamu memang BUTUH aku di hidupmu. Makasih. Selamat Malam.” kataku sambil menutup telepon.

Setelah itu, Dia sering memberi perhatian kepadaku. Aku tidak pernah mendapati dia bertemu, atau berkomunikasi lagi dengan pria itu. Bahkan dia terkadang membiarkanku untuk membaca semua pesan yang ada di telepon seluler dia. Namun aku terlalu naif, aku melupakan jejaring sosial bernama Facebook.
Baru aku sadari, mereka saling berkomunikasi dengan cara menulis kata-kata di dinding mereka masing-masing. Sehingga tidak ada yang menyadari kalau mereka saling berkomunikasi. Tapi aku tahu, aku tahu kelakuan Dia dan pria itu.

Mendung mulai menyelimuti kota Yogyakarta, tetes-tetes kecil air perlahan mengenai wajahku. Satu benda lagi harus aku buang. Benar-benar harus dibuang karena benda ini selalu membuatku sakit teramat sangat. Dua kali aku masuk rumah sakit hanya karena teringat dengan pengkhianatan Dia. Ya, jantung ini harus segera aku buang. Kalau tidak, hidupku akan semakin menyakitkan.

Dengan mata terpejam, aku melompat. Merasakan angin yang menerpa tubuhku. Terasa sangat sejuk. Sampai suara keras itu terdengar. Dan semua menjadi gelap.

#####

0 comments:

Post a Comment