Seribu Bintang
Aku
berdiri di tembok pembatas gedung berlantai lima, kantorku sendiri. Dengan
gelisah aku memegang sebuah mangkuk
akuarium kecil. Tidak ada yang salah dengan benda ini, kecuali kenangan yang
hanya mengingatkanku pada kesedihan terbesar sepanjang hidupku. Kenangan dalam
seribu benda di dalam mangkuk ini.
Pecandu!
Ya, itulah aku. Seorang pecandu. Hidup sebagai mahasiswa yang tidak pernah
mendapat kasih sayang dari orang tua membuatku memilih jalan hidup penuh dengan
kesenangan ini. Betul, menyenangkan sekali. Saat merasa tinggi, saat itulah
perasaan senang yang sangat menyenangkan datang. Tidak bisa aku ceritakan
dengan kata-kata.
Kuliah
terbengkalai, hidup tidak terurus. Namun begitu, untuk mencari uang dan
narkotika aku seakan mendapat pencerahan dan semangat pantang mundur. Demi
benda menggiurkan itu, aku melakukan banyak hal. Yah, paling tidak aku berusaha
untuk sesuatu.
Gadis,
perempuan cantik berkulit kuning langsat. Mahasiswi yang kata dia satu kelas
denganku. Cih, aku tidak tahu dia berkata jujur atau tidak. Saat itu aku yakin,
dia hanyalah seorang munafik yang ingin menyadarkan aku agar dia mendapat
penghargaan dari lembaga-lembaga entah apalah namanya. Yang mengurus pecandu
seperti aku.
Berkali-kali
dia mendekatiku, berkali-kali juga aku mengabaikannya. Bahkan tidak jarang aku
mengumpat Gadis di depan orang banyak. Aku muak dengan orang-orang sok baik
seperti dia, tidak ada orang yang baik di dunia ini. Para Nabi sudah tidak
diturunkan lagi oleh Tuhan.
Tapi
ternyata aku salah, Gadis tidak henti untuk mengembalikanku ke jalan yang
benar. Aku tidak menyadari kalau dia ternyata bukan dari lembaga-lembaga itu.
Dia adalah Gadis, seorang gadis yang jatuh cinta terhadapku.
Ya,
Gadis pernah bercerita kalau aku pernah menolong kami saat masih duduk di
bangku SMU. Meski kami tidak satu sekolah, tapi aku pernah menolong dia saat
dia hampir saja menjadi korban tawuran antara sekolahku dengan sekolah dia.
Walau tidak aku pungkiri, aku adalah salah satu pelajar yang ikut tawuran.
Entah kenapa hatiku sedikit terketuk, mungkin karena ini
kali pertama aku merasakan kasih sayang yang tulus. Sejak orangtuaku bercerai,
tidak pernah sedikitpun aku merasakan kehangat kasih sayang. Namun Gadis,
dengan sabar menyayangi aku tanpa perlu aku minta.
Minggu
demi minggu berlalu, perlahan aku mengurangi kebiasaan mengonsumsi narkotika.
Gadis membawaku ke pusat rehabilitasi. Dan aku tidak tahu bagaimana
kejadiannya, yang aku ingat hanya Gadis saat itu memberikan senyuman paling
indah. Sementara aku masih terbaring di sebuah ranjang salah satu kamar pusat
rehabilitasi.
“Selamat
datang kembali, Malaikat.” kata Gadis.
Rehabilitasi
masih berjalan, meski aku sudah tidak perlu lagi di rawat di tempat itu. Kami
pun banyak menghabiskan waktu untuk berdua. Setiap hari kami selalu bertemu,
hingga kami menjadi sepasang kekasih. Namun, selama tiga tahun kami tidak
pernah bosan untuk selalu bertemu tiap hari. Dan bersyukur karena tidak pernah
ada permasalahan besar selama kami berpacaran.
Tapi
Dia memang tidak bisa dipercaya. Ya, Dia. Dia yang kalian sebut Tuhan, entah
apapun label nama yang kalian berikan. Dia mengambil Gadis dariku. Selang satu
bulan setelah perayaan tiga tahun hubungan kami, Dia memberikan hadiah istimewa
berupa leukemia.
Pikiranku
menjadi kacau, tidak ada kenangan hari-hari itu yang ingin aku ingat kembali.
Kecuali hari pada saat dia memberikan sebuah mangkuk akuarium kecil. Tidak ada
air dan ikan di dalamnya, hanya tumpukan bintang-bintang kecil yang dibuat oleh
Gadis.
“Seribu
bintang untuk menjagamu.” kata Gadis.
Saat
itu aku tidak mengerti ucapannya, namun saat aku melihat lebih jelas. Seribu
bintang itu dibuat dengan kertas yang berisikan seribu pesan untukku. Seribu
pesan untuk mengingatkanku agar menghargai hidup. Seribu pesan tentang perasaan
cinta Gadis kepadaku. Seribu pesan tentang kenangan kami bersama.
Dan
malam itu, Gadis menemui Dia.
Semilir
angin menyadarkanku dari lamunan. Kota Yogyakarta menjauhkanku dari kenangan
bersama Gadis di Bandung. Namun seribu bintang ini tetap menyakitkan untuk dikenang.
Kemarahanku terhadap Tuhan belum juga reda. Semoga dengan ini, aku bisa
melangkah lagi.
Mangkuk
aku balikkan, menumpahkan seribu cinta dari Gadis. Tertiup angin, hingga
semuanya bertebaran mengikuti kemana angin membawa. Semoga ini menjadi yang terakhir.
Tinggal dua benda lagi yang perlu aku buang.
*****
Sepasang Cincin
Berdiri
di tembok pembatas gedung berlantai lima, aku menatap gelisah sepasang cincin
yang dijalin dengan sebuah kalung perak yang disepuh dengan warna biru. Dua
cincin yang harusnya untuk dua orang yang saling cinta, dua benda sebagai tanda
setia sampai akhir hayat. Namun cincin-cincin ini hanya membawa kesedihan
sepanjang hidupku.
Adalah
Salsa, seorang gadis yang tidak terlalu menonjol di kampus. Dia tidak cantik,
juga tidak jelek. Aku mengenalnya saat dia duduk termenung di depan pintu
asrama, tempat tinggal para mahasiswi ini. Sementara teman-temannya asyik
bercanda denganku. Saat itu aku baru saja ditinggalkan oleh Gadis, seorang
gadis yang bisa membuatku jatuh cinta.
Ya,
sebelumnya aku adalah seorang pecandu. Namun Gadis bisa membuatku lepas dari
kelamnya duniaku, dan memberikan aku arti cinta yang tulus. Sayang, Tuhan
berkata lain. Dia mengambil Gadis setelah tiga tahun aku menjalin cinta.
Salsa
masih saja termenung, aku menghentikan leluconku dengan teman-teman Salsa.
“Kenapa
dia?” tanyaku sambil duduk di selasar depan kantor.
“Ah,
dia sedang patah hati Mister. Cowoknya selingkuh.” kata seorang gadis manis
berambut panjang, aku memanggilnya Iit.
“Eh,
bukankah mereka baik-baik saja kemaren?” tanyaku lagi, sambil mengeluarkan
sebungkus rokok dari kantong jaket coklatku.
“Ya,
kejadian setelah itu. Cowoknya ketangkap basah sedang merayu cewek lain lewat
sms. Parahnya lagi, cewek yang dirayu adalah teman sekamar Salsa.” Ade, gadis
mungil berambut sebahu, menimpali.
“He?
Serius?” aku kaget menatap satu persatu empat gadis yang dekat denganku itu.
Mereka mengangguk hampir bersamaan.
Entah
kenapa hatiku terenyuh, aku tahu rasanya dikhianati. Dan bukan oleh manusia,
tapi Tuhan mengkhianati saat aku percaya padaNya bahwa Gadis akan selalu
bersamaku.
Tanpa
sadar aku melangkah, mendekati Salsa yang menatap dalam aku yang sedang
berjalan menuju dirinya. Aku sempat melihat reaksi kagetnya saat aku tanpa
basa-basi duduk berjongkok di sampingnya dan kemudian menyalakan sebatang
rokok.
“Malam,
Sa.” sapaku, sambil menghembuskan asap rokok ke arah yang berlawanan dengan
Salsa.
“Ma-malam,
Mister.” jawab Salsa. Suaranya getir.
“Kata
anak-anak, kamu patah hati?” aku langsung bertanya.
Salsa
menunduk, hening. Aku merasa dia menangis dalam diam.
Dan sejak
itulah aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Beruntung, dalam beberapa
bulan dia sudah menyelesaikan kuliah. Pendekatanku pun berakhir, kami
meresmikan hubungan kami sebagai sepasang kekasih.
Kemudian
tiba pada saat dia di terima di sebuah perusahaan di Jakarta. Hubungan jarak
jauh terpaksa kami lalui, namun ini tidak menyurutkan keinginanku untuk
memilikinya seumur hidup. Ya, aku berencana untuk menikah dengan Salsa, begitu
juga dia. Kami pun berjanji untuk saling setia, dan sabar menunggu.
Bulan
demi bulan berjalan dengan lambat. Selain permasalahan jarak dan waktu, muncul
permasalahan baru. Uang. Hidup di kota besar memang tidak mudah, Salsa
kesulitan dengan ekonomi di sana. Apalagi dia harus menjalani pelatihan selama
tiga bulan, tanpa gaji. Akhirnya aku merelakan sebagian dari gajiku untuk kehidupan
dia di sana. Bahkan beberapa barang sempat aku jual untuk menafkahi gadis itu. Toh,
aku saat itu berpikir dia akan menjadi istriku kelak. Aku percaya pada cinta
dan janjinya.
Enam
bulan berlalu, dia diterima sebagai pekerja. Sulit hidup di kota besar perlahan
berhasil dia atasi, kecuali masalah perbedaan jarak dan waktu antara aku dan
dia.
Hubungan
kami berjalan lancar, atau setidaknya menurutku berjalan lancar. Aku terlalu
naïf saat itu. Lebaran adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi dia di
Jakarta, sebelum ke Bandung aku mampirkan diriku ke Jakarta. Hari itu
seharusnya aku membawa sepasang cincin ini untuk kupasangkan di jari manis
tangan kiri Salsa.
Namun
malang tak dapat di tolak, kedatanganku ke rumah kontrakan Salsa tanpa kabar
justru menjadi petaka bagiku. Sengaja aku membuat kejutan kepadanya, namun dia
lah membuat aku terkejut. Pada saat aku datang dan membuka pintu kamar
tidurnya, Salsa sedang asyik berpelukan manja dengan seorang laki-laki.
Mencumbu dengan mesra, dan kemudian terkejut tak terkira melihat kedatanganku
yang tiba-tiba.
Ya,
itulah buah hasil dari kesabaran dan kesetiaanku. Bodohnya, aku masih berharap
akan datang keajaiban yang akan mengembalikan dia kepadaku. Tapi keajaiban itu
tidak juga datang. Aku pun sadar, sudah saatnya aku membuang dia dan sepasang
cincin ini.
Seiring
dengan doa agar Tuhan mengutuk dia, aku lemparkan cincin-cincin ini sejauh
mungkin. Tinggal satu benda lagi yang harus kubuang.
*****
Dia
Aku
masih berdiri di tembok pembatas gedung kantorku yang berlantai lima, sudah dua
benda menyakitkan aku buang. Tinggal satu benda lagi yang harus aku buang, yang
paling menyakitkan di antara yang lain.
Sebut
gadis itu Dia, rambut hitam lurus sebahu. Kulit kuning langsat khas orang dari
Jawa Timur. Dia datang tepat setelah aku tidak mempercayai lagi wanita. Setelah
hubunganku kandas karena pengkhianatan Salsa, aku tidak bisa lagi percaya
kepada wanita. Bagiku, mereka hanya memanfaatkan setiap laki-laki yang ada di
dekatnya untuk kepentingan pribadi mereka. Setidaknya, itulah yang aku tanamkan
di otakku.
Dia
tidak seperti yang lain, atau mungkin karena saat itu aku sedang merindukan
memiliki seseorang yang berarti. Tidak ada yang istimewa tentang pendekatanku,
kecuali hanya dengan rajin menghubungi dia dengan sms atau telepon. Hal yang
biasa dilakukan. Sampai hubungan itu berlanjut pada acara jalan bersama, makan
bersama, atau menonton film di cinema.
Aku
memberanikan diri untuk mengatakan kalau aku menyukai dia. Dia tidak menjawab.
Diam saat aku mengungkapkan perasaanku. Beberapa menit, mulutnya berbicara.
Bukan menolak perasaanku, melainkan untuk mengatakan dia juga menyukai diriku.
Namun, dia sudah memiliki seorang kekasih di kampung halamannya.
Diam
kini menghampiriku, bukan karena dia mengatakan dia sudah mempunyai kekasih.
Melainkan karena dia juga menyukai aku, menginginkan aku sebagaimana aku
menginginkan dia. Akhirnya aku memberanikan keputusan untuk menjalin hubungan
rahasia dengan Dia. Kali ini, aku yang berselingkuh. Aku tidak mengerti apa ini
jalan yang Tuhan maksudkan.
Dua
bulan berlalu, tidak ada yang tahu tentang hubungan kami. Bahkan teman-teman
akrab Dia pun tidak tahu. Beruntung aku dekat beberapa teman Dia, sehingga
tidak ada yang curiga kalau aku dekat dalam artian lain dengan Dia.
Kemudian
datanglah seorang pria lain, orang yang Dia bilang hanya sebagai teman dekat.
Namun firasatku mengatakan lain. Aku sering mengatakan tentang firasatku, tapi
Dia mengelak. Dia mengatakan tidak ada hubungan apa-apa dengan pria itu. Aku
pun percaya, sebagaimana dulu aku percaya pada Salsa yang mengkhianatiku,
sebagaimana aku percaya pada Tuhan yang mengambil Gadis dariku.
Namun,
sekali lagi kepercayaanku diuji. Dia mengirimkan SMS yang seharuisnya untuk
pria lain tersebut kepada diriku. Ya, Dia salah kirim. Dan dipesan itu,
tertulis ‘Dia Sayang Kamu’ di ujung pesan untuk pria tersebut.
Aku
memejamkan mata, kemudian dalam satu tekan tombol aku menelpon Kepala
Departemen tempat aku bekerja. Aku meminta ijin untuk mengundurkan diri, dan
pergi ke Australia untuk mengambil beasiswa S2-ku. Bos-ku tidak mengerti dengan
maksud permintaanku, dia memintaku untuk menemuiku dua hari lagi. Saat dia
sudah kembali dari luar kota.
Aku
berpamitan kepada teman-temanku, yang sebagian juga adalah teman-teman Dia.
Sengaja Dia tidak aku hubungi. Aku hanya mengirimkan kembali SMS salah kirim
dari dia, dan menambahkan kata ‘Terimakasih. Selamat tinggal.’
Berkali-kali
dia menghubungiku, puluhan SMS dia kirimkan kepadaku sebagai permintaan maaf
dan memintaku untuk tetap tinggal. Hatiku saat itu sudah bulat.
“Apa
kamu mau meninggalkan pria itu demi aku?” kataku saat aku menerima telepon dari
Dia.
“Ya,
akan aku lakukan.” jawab Dia dari seberang sana.
“Apa
buktinya? Setelah aku percaya dengan dirimu, dan kamu khianati? Kamu tidak beda
dengan Salsa!” tegasku.
“Beri
aku waktu, beri aku waktu untuk benar-benar mencintaimu. Hanya kamu.” Dia
menangis.
“Sudahlah.
Cukup. Kamu sudah punya pacar di kampung halamanmu. Di sini juga sudah ada pria
itu. Buat apa kamu mempertahankan aku?” jawabku datar.
“Aku
butuh kamu.” lirih Dia.
“Butuh?
Kamu hanya butuh aku? Oke, baiklah. Berarti nanti ada saat dimana kamu tidak
butuh aku lagi?”
Dia
terdiam.
“Dua
minggu. Keberangkatanku dua minggu lagi. Buktikan kata-katamu kalau kamu memang
BUTUH aku di hidupmu. Makasih. Selamat Malam.” kataku sambil menutup telepon.
Setelah
itu, Dia sering memberi perhatian kepadaku. Aku tidak pernah mendapati dia
bertemu, atau berkomunikasi lagi dengan pria itu. Bahkan dia terkadang
membiarkanku untuk membaca semua pesan yang ada di telepon seluler dia. Namun
aku terlalu naif, aku melupakan jejaring sosial bernama Facebook.
Baru
aku sadari, mereka saling berkomunikasi dengan cara menulis kata-kata di
dinding mereka masing-masing. Sehingga tidak ada yang menyadari kalau mereka
saling berkomunikasi. Tapi aku tahu, aku tahu kelakuan Dia dan pria itu.
Mendung
mulai menyelimuti kota Yogyakarta, tetes-tetes kecil air perlahan mengenai
wajahku. Satu benda lagi harus aku buang. Benar-benar harus dibuang karena
benda ini selalu membuatku sakit teramat sangat. Dua kali aku masuk rumah sakit
hanya karena teringat dengan pengkhianatan Dia. Ya, jantung ini harus segera
aku buang. Kalau tidak, hidupku akan semakin menyakitkan.
Dengan
mata terpejam, aku melompat. Merasakan angin yang menerpa tubuhku. Terasa
sangat sejuk. Sampai suara keras itu terdengar. Dan semua menjadi gelap.
#####
0 comments:
Post a Comment