I am a cat: I was a boy, and I will be dead soon


Aku berlari dengan cepat, saking cepatnya hingga menabrak apapun yang ada di jalurku berlari. Terutama saat aku membelokkan tubuhku dengan kecepatan yang luar biasa. Ya, kamupun pasti akan berlari secepat ini, jika seseorang mengejar dirimu dengan niat yang sangat absolut. MEMAKANMU!

Aku tahu mungkin kalian tidak percaya dengan ceritaku ini. Bagi manusia ceritaku ini sangat tidak masuk akal. Ya, aku pun pasti tidak akan percaya karena dulu aku manusia. Well, dulunya adalah seorang manusia tapi sekarang aku adalah seekor kucing. Ya, kucing. Hewan berkaki empat yang banyak disukai manusia. Itulah diriku sekarang, dan sebentar lagi aku mungkin akan menjadi tidak bernyawa.

Aku tidak ingat lagi sudah berapa lama aku menjadi seperti ini, aku hanya ingat pada sebuah benda terkutuk yang membuatku berubah menjadi seekor kucing. Sebuah bando telinga kucing misterius yang didapatkan adikku sehari sebelum dia ulang tahun.

Gadis, nama adikku, mendapat sebuah paket yang tidak jelas siapa pengirimnya. Hanya tertanda nama sebuah toko yang dia sendiri juga tidak tahu. Yang jelas, pada bagian pembungkus tertulis TOKO PETZUIT,sebuah toko untuk perlengkapan pesta yang berada di Jakarta.

“Jakarta? Siapa yang mengirimkan ini?” aku bertanya pada Gadis, kebetulan aku yang menerima paket itu dari kurir pos.

Gadis menggeleng, dia juga sama bingungnya denganku. Tidak ada satupun sanak keluarga kami yang ada di Jakarta selain di Bandung.

“Apa kamu memesan lewat online?” tanyaku lagi.

“Aku mana punya uang lagi Kak. Untuk pesta besok saja aku sudah mengambil hampir semua isi tabunganku.” Gadis membela diri karena merasakan nada suaraku yang berubah.

“Mungkin ada kartu ucapan di dalamnya.” aku mengisyaratkan agar membuka paket tersebut. Berharap akan mengetahui identitas pengirim paket itu.

Dengan perlahan Gadis membuka pembungkus paket, tipe cewek yang sangat rapi. Sangat mirip dengan almarhum Papa.

Setelah paket terbuka, Gadis mengeluarkan isinya. Carikan-carikan kertas sebagai pengaman dan satu kantung plastik bersegel. Tidak ada apapun lagi di dalamnya, Gadis memperlihatkan isi kotak. Aku sedikit kecewa, berharap tahu siapa yang mengirimkan bedan itu.

Akhirnya aku tidak mempermasalahkan lagi, Gadis membuka plastik. Aku tidak terlalu peduli, pikiranku masih berkutat untuk pesta ultah adikku yang ke 17. Sweet seventeen, yang biasanya dihebohkan anak muda. Meski aku hanya berjarak dua tahun, namun aku tidak pernah merayakan ulang tahun lagi sejak Papa meninggal sepuluh tahun yang lalu. Mungkin karena aku seorang cowok plus kurang menyukai keramaian, agak risih dengan perayaan-perayaan seperti ini.

Berbeda dengan aku, adikku merupakan sosok yang lumayan populer di sekolahnya. Karena itu, aku ingin adikku bisa memiliki kenangan indah pada perayaan ultahnya ini. Yah, meski hidup keluarga kami tidak bisa dibilang kaya tapi untuk hal seperti ini kami bisa menyisihkan sedikit uang kami. Yang kumaksud kami adalah aku, Gadis, dan Mama. Oh, dan juga sahabatku Bintang yang baru-baru ini mulai menuju tahap pacaran dengan Gadis.

“Kyaaa, lucunya!” teriak Gadis membuyarkan lamunanku.

Aku menoleh, dia mengeluarkan beberapa buah bando. Ada empat bando dengan telinga kucing dengan warna-warna yang berbeda. Merah, hijau, biru, dan jingga. Sebenarnya perasaanku sudah merasa tidak enak pada saat itu, bukan karena kutukan akan terjadi setelahnya. Namun karena Gadis merencanakan agar aku, Bintang, Mama, serta dirinya sendiri memakai bando telinga kucing itu. 

Aku menghembuskan nafas, apapun demi adik kesayanganku ini. Beruntung, tidak ada warna pink.

*****
Aku meletakkan tumpukan piring kotor terakhir ke tempat cucian kemudian duduk di salah satu kursi meja makan. Menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lebih, lebih dari dua jam pesta berlangsung.

“Capek?” tanya Mama yang datang sambil membawa nampan dengan gelas-gelas kotor di atasnya.

Aku hanya bisa tersenyum, walau sebenarnya badanku sangat capek. Mempersiapkan pesta dari pagi berdua dengan Mama sementara Gadis tidak kami perbolehkan membantu karena dia harus tetap masuk sekolah.

“Sudah, kamu istirahat lebih awal saja. Bukankah kamu ada kegiatan di kampusmu besok pagi-pagi sekali? Lagian ada Bintang yang membantu.” Mama mendekat dan mengelus kepalaku.

“Ah!” aku menepuk dahiku. Beruntung Mama mengingatkanku, “Apa tidak apa-apa aku tinggal tidur Ma?”
Mama menepuk-nepuk kepalaku.

“Sudah, jangan pikirkan!” Mama memaksa.

Aku tidak berani berdebat, lagipula tubuhku memang sudah terlalu lelah. Aku ke ruang depan dan berbicara sebentar kepada Bintang dan Gadis, meminta Bintang untuk membantu membereskan rumah dan meminta maaf karena harus tidur lebih dulu.

Bintang hanya mengacungkan jempol, seperti yang biasa dia lakukan. Gadis pun tidak keberatan, dia sudah tahu aku melakukan ini lebih dari yang dia tahu. Aku tersenyum, dan sedikit terhibur melihat mereka berdua masih memakai bando telinga kucing Merah dan Hijau. Aku juga baru tersadar kalau Mama masih memakai bando Biru, dan aku juga belum melepas bando jingga ini. 

Sambil berjalan menuju kamarku di lantai dua, aku sempat melirik cermin besar yang berada di kamarku. Keren juga aku ternyata dengan memakai ini, pantas tadi beberapa teman cewek Gadis sempat melirik-lirik ke arahku sambil tersenyum pada saat pesta.

Mataku semakin berat, tanpa berganti pakaian aku langsung melemparkan diriku ke kasur dan segera berlayar menuju dunia mimpi.

*****

Aku menyipitkan mata, cahaya matahari begitu menyilaukan. Aku kaget, mengira aku sudah terlambat untuk acara pertemuan di kampus. Sial, aku mengumpat karena lupa memasang alarm. Aku tidak menyalahkan Mama dan Gadis karena mereka juga pasti kelelahan. Lagipula ini hari Sabtu, mereka pasti ingin istirahat lebih lama.

Aku bergesa berlari menuju kamar mandi yang berada di lantai bawah, melompat dari kasur dan berlari menuruni tangga. Berlari dengan cepat dengan keempat kakiku, dan melesat menuju kamar mandi yang berada di dekat ruang makan, melewati meja dan kursi raksasa dan-

Hei, tunggu empat kaki? Apa aku bilang empat kaki? Meja dan kursi raksasa?

Tiba-tiba saja aku menyadari sesuatu yang sangat janggal. Aku mengitarkan pandangan, melihat seisi ruang makan dengan level mata yang jauh lebih rendah dari biasanya. Semuanya menjadi besar dan tinggi.

Aku menoleh ke arah tanganku yang menapak ke lantai keramik biru pucat rumahku, menatap sepasang KAKI dengan BULU-BULU putih dan jingga. Dan dari pantulan keramik aku bisa melihat kalau aku adalah seekor KUCING.

Pasti aku sedang bermimpi. Pyuh, untunglah. Berarti aku tidak terlambat menuju kampus. Kalau begitu sudah saatnya untuk bangun.
 
Aku memerintahkan otakku untuk bangun tapi sepertinya sangat susah melakukan itu. Aku mencoba berkali-kali sampai sebuah cubitan besar di leher belakangku terasa sangat nyata.

Gadis mengangkatku dan membalikkan tubuhku sehingga kami saling berhadapan. Ini semua terasa nyata, sangat nyata. Tangannya yang menyentuh tubuhku amat sangat nyata. Ini bukan mimpi, dan aku tahu ini benar-benar terjadi. Aku telah menjadi seekor kucing.

“Wah lucu sekali siapa namamu?” tanya Gadis gemas sambil mengoyang-goyangkan tubuhku.

Aku sangat panik, tidak tahu harus bagaimana. Tidak tahu harus menjawab apa, saking paniknya aku sampai lupa bagaimana suara kucing.

“Nyaaw?” jawabku sambil memiringkan sedikit kepala. Eh, gaya ini kan gaya anjing. Ah, masa bodoh. Toh, Gadis tidak menyadari.

*****
“Mana Kakakmu?” tanya Mama yang baru saja masuk ke ruang makan sekaligus dapur kami.

“Sudah berangkat mungkin.” jawab Gadis singkat. Dia sedang asyik bermain dengan Jet, nama kucing barunya. Ya nama baruku, aku mencoba protes dan berbicara dengan Gadis sejak dari tadi tapi yang keluar dari mulutku hanya “nyaaww” atau sejenisnya.

“Eh, kamu sedang apa?” tanya Mama baru menyadari kalau gadis sedang bermain dengan aku, err kucing maksudku.

“Ini Ma, ada kucing lucu yang masuk ke dalam rumah.” kata Gadis sambil memamerkan aku ke hadapan Mama. “Lucu banget kan Ma. Boleh ya kita piara?” lanjutnya.

“Isshh, jangan ah. Tidak baik buat cewek. Sudah keluarkan saja sana!” Mama mengernyitkan dahi, dia memang tidak terlalu suka dengan hewan piaraan. Selucu apapun mereka.

Gadis memasang muka memelas, namun Mama adalah Mama yang tidak bisa diganggu gugat keputusannya. Akhirnya Gadis menyerah, dan setelah dia memberi aku sepotong ayam goreng dia mengeluarkan aku ke halaman depan.

Aku berusaha menyelinap masuk namun Gadis kembali menangkapku dan kali ini meletakkan aku ke halaman depan. Aku berusaha untuk kembali masuk, namun pintu ditutup sehingga sia-sia aku berlari ke sana. Gadis membuka pintu perlahan sambil terus mengamati aku, dan dia dengan segera menutup pintu.

“Mama! Gadis! Ini aku. Tolong aku! Bukakan pintunya.” teriakku. Namun bahkan telingaku bisa mendengar kalau yang terdengar hanya suara kucing.

“Tolong aku Mama! Gadis..tolong aku nyaaw..” suaraku mulai melemah. Aku menunduk dan berusaha menguatkan hati untuk tetap berteriak sampai ada yang menyadari. Namun bukan Mama dan Gadis yang menyadari teriakanku, melainkan tetangga sebelah yang dengan sukses menyiram aku dengan air. 

Aku berlari panik, 

“Kucing benci air, nyaaw!”

*****

Aku mengibaskan bulu-buluku, agak tidak nyaman dengan sedikit bulu basah. Sambil berjalan menuju rumah Bintang, aku mencoba menikmati menjadi seekor kucing. Meski tubuhku jauh lebih kecil dari tubuh manusiaku, aku merasa kuat. Ya, kuat seperti Superman. 

Tubuhku terasa sangat santai, bukan, bebas lebih tepatnya. Benar-benar seperti Superman. Ada luapan percaya diri yang sangat berlebih, seakan-akan perasaan takut itu hanya seujung kuku. Apapun masalah yang akan aku hadapi, aku tidak akan takut. Aku akan selalu siap bertarung melawan musuh-musuhku bahkan jika harus mati.

Aku mulai menyusuri trotoar, rumah Bintang tidak terlalu jauh. Ya, menurut ukuran manusia tidak terlalu jauh tapi aku tidak mengerti butuh waktu berapa lama dengan tubuh kucing ini.

Penglihatanku pun menjadi lebih tajam daripada mata manusiaku. Dan yang aneh, di dalam otakku tertanam otak kucing yang entah bagaimana seperti sudah menjadi bagian diriku sejak aku dilahirkan. Ya, pikiran yang tertarik dengan hal-hal yang tidak menarik bagi manusia. GERAKAN. Ya, aku jadi menyukai gerakan. Sekecil apapun gerakan itu, tidak akan lepas dari mataku.

Aku menikmati semua perubahan inderaku dengan melihat, mengendus, dan mendengarkan apapun yang menarik bagi otak kucingku. Bahkan gerakanku amat sangat lincah. Lentur dan juga ringan, benar-benar kucing. Entah apa maksud perkataanku, aku juga tidak tahu.

Aku melompat ke sebuah pagar setinggi kira-kira sebahu tubuh manusiaku, mungkin satu meter. Dan, wah, dengan sekali lompatan ringan aku bisa mencapai puncak pagar yang mungkin empat-lima kali lipat tubuhku.
“Aku menjadi Spideman, nyaaw.” girangku. Belum lagi aku bisa dengan cepat berjalan di titian yang lebarnya hanya sedikit lebih besar dari tapak kakiku. Ini benar-benar menakjubkan.

Aku terhenti, tersadar dari kesenangan ini begitu melihat orang-orang berjalan. Melakukan kegiatan biasa, berjalan menuju kantor, kampus, sekolah. Sesuatu yang sangat biasa namun sekarang menjadi sesuatu yang sangat berharga bagiku. 

Aku dengan segera menuju ke rumah Bintang, hanya dia satu-satunya harapan walau aku ragu dia juga akan mengerti kata-kata yang keluar dari mulutku. 

*****

Aku membelok melalui jalan-jalan kecil, beruntung aku sedikit tahu beberapa jalan pintas. Dan sekarang aku bisa berjalan melalui atap rumah, sangat-sangat pintas. Aku meloncat turun ke halaman rumput, tinggal tiga rumah lagi sebelum mencapai rumah Bintang.

Tiba-tiba aku mencium sesuatu, sesuatu yang sangat menarik tiang listrik di depanku. Aku mengendus-endus mencoba mencerna. Dan akhirnya, otakku bisa menyimpulkan bahwa bau itu adalah bau kencing kucing jantan. Ya, kucing jantan yang menguasai daerah ini. Aku tidak ada urusan dengan si kucing jagoan ini tapi aku harus berhati-hati. Perasaan waspada muncul, dan lagipula aku belum pernah bertarung dengan tubuh kucing. 

Lebih waspada dari tadi, aku mendekat ke rumah Bintang. Beruntung kucing jagoan itu sedang tidak berada di dekatku. Iseng, aku ikut menandai di daerah kekuasaannya. Mau mengetahui bagaimana reaksi si kucing jagoan.

Jendela kamar Bintang terbuka, pertanda dia masih di rumah. Dengan beberapa kali lompatan, aku menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Begitu sampai di jendela, aku bisa melihat Bintang sedang tertidur pulas.
“Bintang bangun, nyaaw!” teriakku.

Tidak ada reaksi. Setelah dua kali mencoba, akhirnya aku melompat dan mendarat dengan keras di tubuhnya. Berhasil, dia terbangun.

“Arrrghh!” teriak Bintang.

Aku melompat dari kasur, dan mendarat di depan lemari. Biintang menatap diriku, dan aku balas menatapnya. Meski agak gelap, aku masih bisa melihat dengan tajam. Bahkan aku bisa melihat kernyitan dahinya. Ya, aku pun pasti akan bingung jika tiba-tiba dibangunkan oleh seekor kucing dan kemudian kucing itu berdiri dengan dua kaki. 

Sengaja aku mempertahankan pose ini agak lama, agar Bintang menyadari aku bukan sekedar seekor kucing. Aku menunjuk ke arah komputernya, memberi isyarat agar dia menyalakan computer yang ada di meja belajarnya.

Sedikit tidak percaya, Bintang menurut saja. Begitu komputer menyala, aku melompat ke atas meja. Tepat di depan keyboard. Segera aku membuka software pengolah kata, mengetikkan namaku dengan keyboard.
Bintang menganga begitu melihat aku mengetikkan namaku, matanya melolot hampir keluar menatapku. Aku tersenyum.

“Halo Bintang, bisakah kamu membantuku?” kataku dan tidak lupa mengakhiri dengan ‘nyaaw’. Entah kenapa kata itu selalu meluncur begitu saja.

*****

Aku merasakan ancaman, secepat kilat aku menoleh. Bulu-bulu di punggungku berdiri tegak, begitu juga dengan ekorku. Cakar-cakar dan taring-taringku aku pamerkan terhadap apapun ancaman itu. Seakan-akan secara otomatis aku berada dalam mode tempur.

Baru kali ini aku merasa takut, tidak seperti saat aku mengendus bau kucing jantan lain yang menguasai jalanan dekat rumah Bintang. Namun takut ini juga disertai dengan perasaan amarah. Kemarahan yang dengan jelas terpampang di seluruh bagian tubuhku. JANGAN MACAM-MACAM DENGANKU!

Seorang pria bertubuh gemuk melayangkan pisau daging besar ke arahku. Aku menerjang tepat di wajahnya, mencakar dan kemudian langsung melesat menjauh. 

“Hei, kucing manis. Keluarlah, Papa punya sesuatu yang lezat buat kamu.” suara berat seorang Pria terdengar, nafasnya tersengal. Badannya yang tambun sudah mulai lelah mengejarku.

Aku berlari dengan cepat, saking cepatnya hingga menabrak apapun yang ada di jalurku berlari. Terutama saat aku membelokkan tubuhku dengan kecepatan yang luar biasa. Ya, kamupun pasti akan berlari secepat ini, jika seseorang mengejar dirimu dengan niat yang sangat absolut. MEMAKANMU!

Pria ini adalah seorang pemilik toko, toko PETSUITE yang dulu mengirimkan paket berisi bando. Di balik itu, pria tambun ini juga seorang maniak yang sangat suka memakan kucing, dan yang jelas dia bukanlah Papaku. 

Aku masuk ke dalam sebuah ruangan di dalam toko, bersembunyi dalam gelap, di bawah sebuah lemari. Beruntung Bintang mematikan saklar utama listrik toko, mata kucing ini bisa melihat berkali-kali lipat di dalam gelap daripada manusia. Aku mengitarkan pandanganku sekitar, dan aku terkejut saat melihat di ruangan seberang sana sebuah wajah yang aku kenal. 

Bintang sedang tidak sadarkan diri, dia dihajar sang pemilik toko. Aku menyesal karena membuatnya menjadi seperti sekarang, hanya karena ingin membantuku mengatasi kutukan ini. Memaksanya untuk pergi meninggalkan rumah, meninggalkan Bandung.

Setelah “berbicara” dengannya melalui komputer, dia menjadi tahu tentang siapa diriku. Dan ide dari dirinyalah untuk menyelidiki asal muasal kejadian ini. Setelah lewat berapa hari penyelidikan dia, dia menyimpulkan bahwa ini bermula dari bando misterius walau dia tidak mengerti kenapa hanya diriku yang terkena kutukan.

Bintang dan aku sengaja tidak menceritakan ini kepada Mama dan Gadis, mereka sudah cukup sibuk dengan polisi-polisi yang sedang berusaha mencari diriku yang di anggap hilang. Seberapa kuatnya mereka, aku tidak mau kalau harus mengatakan “Mama, Gadis, aku sekarang menjadi kucing. Jadi tolong biarkan aku mengejar tikus-tikus di rumah kita”.

 Sepasang kaki memasuki ruangan, mendekat berusaha mencari-cari diriku. Aku mengerutkan tubuhku hingga menjadi sekecil mungkin, menyembunyikan tepat di ujung pojok jauh. Sehingga meski pria tambun itu mencoba menggapaiku, dia tidak akan berhasil.

Pria itu menyerah, dia berlalu. Namun kejadian berikutnya sangat mengejutkanku. Dia memasangkan sebuah bando kepada Bintang yang masih tidak sadarkan diri. Aku membelalak, tidak percaya kalau hal ini bisa terjadi.

Kemarahanku kembali muncul, dan tanpa bisa aku kendalikan tubuhku melesat menuju pria gemuk. Mencakar tangan dan menggigitnya tanpa ampun. Anehnya pria itu hanya tertawa, padahal aku sangat yakin cakar dan taringku menancap dengan tajam. Dengan tangan yang lain, dia mencengkeramku. Seranganku tidak berarti baginya.

“Nah, kucing manis. Lebih baik kamu diam saja. Aku sudah terbiasa dengan cakar dan gigitan kucing.” Wajah gemuknya menyeringai.

Dia membawaku menjauh dari Bintang, menuju sebuah tempat yang aku yakini dapur. Hidungku mengendus bau amis, amis yang sangat kentara meski tidak terlihat ada bekas darah di tempat ini. Aku yakin ini adalah tempat penjagalan kucing, karena di tempat sampah di ujung sana aku melihat dua-tiga ekor panjang menyembul. Ekor kucing.

Pria gendut itu meletakkan aku di atas sebuah meja, dia menahanku dengan satu tangan besarnya sementara tangan yang lain sudah siap dengan pisau daging besar. Aku tidak punya kekuatan lagi untuk meronta. Aku hanya bisa berharap ini hanya sebuah mimpi. Aku berharap setelah ini aku akan terbangun. Namun rasa sakit yang tidak bisa aku lukiskan sangat nyata begitu saat pisau besar itu memotong bagian atas kepalaku. 

Belum, aku belum mati. Sakit ini jauh lebih sakit dari apapun rasa sakit yang pernah ada, sakit ini membuatku merasakan aku belum mati walau aku amat sangat ingin mati. Aku merasakan basah dan lengket mengenai bulu-buluku, seiring dengan putusnya kuping dan bagian tempurung kepalaku. Dan aku juga tidak terbangun, ini sangat nyata.

“Otak paling lezat kalau dimakan saat masih segar.” kata Pria gendut itu. Kemudian dia tertawa sambil berusaha mengeluarkan otakku dengan pisaunya yang lain.

Tiba-tiba, Bintang muncul dan memukul bagian belakang pria gendut itu dengan logam yang besar. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Yang aku tahu, Bintang meraih tubuhku dan berlari keluar toko. Berlari kemana saja berusaha menjauh dari toko itu dan bersembunyi di hiruk pikuknya kota Jakarta di malam hari.

*****

Entah sudah berapa lama aku terbaring di kamar sewaan, jam dinding menunjukkan sepuluh menit berlalu dari pukul dua pagi. Bintang tertidur di lantai, tepat di sebelahku. Dengan cermat dia menjaga dan merawatku. Tubuhnya masih terlihat normal, aku lihat sebuah bando tergantung di gagang pintu lemari. Sepertinya dia berhasil melepaskan bando itu sebelum berubah menjadi kucing.

Aku berdiri, bangun dengan tubuh manusiaku dan menatap ke arah cermin yang berada di samping lemari. Aku tidak tahu dengan jelas apa yang terjadi tapi tubuhku kembali normal. seperti seorang manusia lainnya. Tidak satupun kurang, telinga dan kepalaku normal. Well, mungkin tidak se-normal biasanya. Ya, penglihatan, penciuman, pendengaran, dan kelincahan seekor kucing masih kurasakan. Atau ini hanya sekedar perasaanku saja.

Aku membuka jendela, menatap ke arah kota Jakarta, jalan kecil di samping hotel ini sepi sekali. Gelapnya malam tidak mempengaruhi penglihatanku. Bintang terjaga mendengar suara jendela yang terbuka, dia tidak percaya kalau aku sudah kembali menjadi manusia.

Aku tersenyum dan melompat melalui jendela. Aku tahu bahwa ini adalah lantai tiga tapi kucing dalam diriku mengatakan ini bukanlah masalah. Setelah mendarat sempurna, aku mendongak ke atas. Bintang menatapku dari jendela, mulutnya sedikit menganga.

“Tunggu di sana sebentar.” kataku sedikit berteriak. Aku mengacungkan jempolku seperti yang biasa dia lakukan, “Ada urusan yang harus diselesaikan, nyaaw!”

Bintang balas mengacungkan jempolnya.

Nah pemilik toko, kita lihat kehebatanmu melawan kucing besar ini! Aku merasakan kekuatanku jauh lebih kuat daripada saat menjadi kucing. Pria gendut itu bukanlah apa-apa. Aku pasti akan membinasakannya dengan mudah. Oh iya, hampir lupa. “Nyaaw!”

#####

0 comments:

Post a Comment