Aku berlari dengan cepat, saking
cepatnya hingga menabrak apapun yang ada di jalurku berlari. Terutama saat aku
membelokkan tubuhku dengan kecepatan yang luar biasa. Ya, kamupun pasti akan
berlari secepat ini, jika seseorang mengejar dirimu dengan niat yang sangat
absolut. MEMAKANMU!
Aku tahu mungkin kalian tidak
percaya dengan ceritaku ini. Bagi manusia ceritaku ini sangat tidak masuk akal.
Ya, aku pun pasti tidak akan percaya karena dulu aku manusia. Well, dulunya adalah seorang manusia
tapi sekarang aku adalah seekor kucing. Ya, kucing. Hewan berkaki empat yang
banyak disukai manusia. Itulah diriku sekarang, dan sebentar lagi aku mungkin
akan menjadi tidak bernyawa.
Aku tidak ingat lagi sudah berapa
lama aku menjadi seperti ini, aku hanya ingat pada sebuah benda terkutuk yang
membuatku berubah menjadi seekor kucing. Sebuah bando telinga kucing misterius
yang didapatkan adikku sehari sebelum dia ulang tahun.
Gadis, nama adikku, mendapat
sebuah paket yang tidak jelas siapa pengirimnya. Hanya tertanda nama sebuah
toko yang dia sendiri juga tidak tahu. Yang jelas, pada bagian pembungkus
tertulis TOKO PETZUIT,sebuah toko untuk perlengkapan pesta yang berada di
Jakarta.
“Jakarta? Siapa yang mengirimkan
ini?” aku bertanya pada Gadis, kebetulan aku yang menerima paket itu dari kurir
pos.
Gadis menggeleng, dia juga sama
bingungnya denganku. Tidak ada satupun sanak keluarga kami yang ada di Jakarta
selain di Bandung.
“Apa kamu memesan lewat online?” tanyaku lagi.
“Aku mana punya uang lagi Kak.
Untuk pesta besok saja aku sudah mengambil hampir semua isi tabunganku.” Gadis
membela diri karena merasakan nada suaraku yang berubah.
“Mungkin ada kartu ucapan di
dalamnya.” aku mengisyaratkan agar membuka paket tersebut. Berharap akan
mengetahui identitas pengirim paket itu.
Dengan perlahan Gadis membuka
pembungkus paket, tipe cewek yang sangat rapi. Sangat mirip dengan almarhum
Papa.
Setelah paket terbuka, Gadis
mengeluarkan isinya. Carikan-carikan kertas sebagai pengaman dan satu kantung
plastik bersegel. Tidak ada apapun lagi di dalamnya, Gadis memperlihatkan isi
kotak. Aku sedikit kecewa, berharap tahu siapa yang mengirimkan bedan itu.
Akhirnya aku tidak
mempermasalahkan lagi, Gadis membuka plastik. Aku tidak terlalu peduli,
pikiranku masih berkutat untuk pesta ultah adikku yang ke 17. Sweet seventeen, yang biasanya
dihebohkan anak muda. Meski aku hanya berjarak dua tahun, namun aku tidak
pernah merayakan ulang tahun lagi sejak Papa meninggal sepuluh tahun yang lalu.
Mungkin karena aku seorang cowok plus kurang menyukai keramaian, agak risih
dengan perayaan-perayaan seperti ini.
Berbeda dengan aku, adikku
merupakan sosok yang lumayan populer di sekolahnya. Karena itu, aku ingin
adikku bisa memiliki kenangan indah pada perayaan ultahnya ini. Yah, meski
hidup keluarga kami tidak bisa dibilang kaya tapi untuk hal seperti ini kami
bisa menyisihkan sedikit uang kami. Yang kumaksud kami adalah aku, Gadis, dan
Mama. Oh, dan juga sahabatku Bintang yang baru-baru ini mulai menuju tahap
pacaran dengan Gadis.
“Kyaaa, lucunya!” teriak Gadis
membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh, dia mengeluarkan
beberapa buah bando. Ada empat bando dengan telinga kucing dengan warna-warna
yang berbeda. Merah, hijau, biru, dan jingga. Sebenarnya perasaanku sudah
merasa tidak enak pada saat itu, bukan karena kutukan akan terjadi setelahnya.
Namun karena Gadis merencanakan agar aku, Bintang, Mama, serta dirinya sendiri
memakai bando telinga kucing itu.
Aku menghembuskan nafas, apapun
demi adik kesayanganku ini. Beruntung, tidak ada warna pink.
*****
Aku meletakkan tumpukan piring
kotor terakhir ke tempat cucian kemudian duduk di salah satu kursi meja makan.
Menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lebih, lebih
dari dua jam pesta berlangsung.
“Capek?” tanya Mama yang datang
sambil membawa nampan dengan gelas-gelas kotor di atasnya.
Aku hanya bisa tersenyum, walau
sebenarnya badanku sangat capek. Mempersiapkan pesta dari pagi berdua dengan
Mama sementara Gadis tidak kami perbolehkan membantu karena dia harus tetap
masuk sekolah.
“Sudah, kamu istirahat lebih awal
saja. Bukankah kamu ada kegiatan di kampusmu besok pagi-pagi sekali? Lagian ada
Bintang yang membantu.” Mama mendekat dan mengelus kepalaku.
“Ah!” aku menepuk dahiku.
Beruntung Mama mengingatkanku, “Apa tidak apa-apa aku tinggal tidur Ma?”
Mama menepuk-nepuk kepalaku.
“Sudah, jangan pikirkan!” Mama
memaksa.
Aku tidak berani berdebat,
lagipula tubuhku memang sudah terlalu lelah. Aku ke ruang depan dan berbicara
sebentar kepada Bintang dan Gadis, meminta Bintang untuk membantu membereskan
rumah dan meminta maaf karena harus tidur lebih dulu.
Bintang hanya mengacungkan
jempol, seperti yang biasa dia lakukan. Gadis pun tidak keberatan, dia sudah
tahu aku melakukan ini lebih dari yang dia tahu. Aku tersenyum, dan sedikit
terhibur melihat mereka berdua masih memakai bando telinga kucing Merah dan
Hijau. Aku juga baru tersadar kalau Mama masih memakai bando Biru, dan aku juga
belum melepas bando jingga ini.
Sambil berjalan menuju kamarku di
lantai dua, aku sempat melirik cermin besar yang berada di kamarku. Keren juga
aku ternyata dengan memakai ini, pantas tadi beberapa teman cewek Gadis sempat
melirik-lirik ke arahku sambil tersenyum pada saat pesta.
Mataku semakin berat, tanpa
berganti pakaian aku langsung melemparkan diriku ke kasur dan segera berlayar
menuju dunia mimpi.
*****
Aku menyipitkan mata, cahaya
matahari begitu menyilaukan. Aku kaget, mengira aku sudah terlambat untuk acara
pertemuan di kampus. Sial, aku mengumpat karena lupa memasang alarm. Aku tidak
menyalahkan Mama dan Gadis karena mereka juga pasti kelelahan. Lagipula ini
hari Sabtu, mereka pasti ingin istirahat lebih lama.
Aku bergesa berlari menuju kamar
mandi yang berada di lantai bawah, melompat dari kasur dan berlari menuruni
tangga. Berlari dengan cepat dengan keempat kakiku, dan melesat menuju kamar
mandi yang berada di dekat ruang makan, melewati meja dan kursi raksasa dan-
Hei, tunggu empat kaki? Apa aku bilang empat kaki? Meja dan kursi raksasa?
Tiba-tiba saja aku menyadari
sesuatu yang sangat janggal. Aku mengitarkan pandangan, melihat seisi ruang
makan dengan level mata yang jauh lebih rendah dari biasanya. Semuanya menjadi
besar dan tinggi.
Aku menoleh ke arah tanganku yang
menapak ke lantai keramik biru pucat rumahku, menatap sepasang KAKI dengan
BULU-BULU putih dan jingga. Dan dari pantulan keramik aku bisa melihat kalau
aku adalah seekor KUCING.
Pasti aku sedang bermimpi. Pyuh, untunglah. Berarti aku tidak terlambat
menuju kampus. Kalau begitu sudah saatnya untuk bangun.
Aku memerintahkan otakku untuk
bangun tapi sepertinya sangat susah melakukan itu. Aku mencoba berkali-kali
sampai sebuah cubitan besar di leher belakangku terasa sangat nyata.
Gadis mengangkatku dan
membalikkan tubuhku sehingga kami saling berhadapan. Ini semua terasa nyata,
sangat nyata. Tangannya yang menyentuh tubuhku amat sangat nyata. Ini bukan
mimpi, dan aku tahu ini benar-benar terjadi. Aku telah menjadi seekor kucing.
“Wah lucu sekali siapa namamu?”
tanya Gadis gemas sambil mengoyang-goyangkan tubuhku.
Aku sangat panik, tidak tahu
harus bagaimana. Tidak tahu harus menjawab apa, saking paniknya aku sampai lupa
bagaimana suara kucing.
“Nyaaw?” jawabku sambil
memiringkan sedikit kepala. Eh, gaya ini
kan gaya anjing. Ah, masa bodoh. Toh, Gadis tidak menyadari.
*****
“Mana Kakakmu?” tanya Mama yang
baru saja masuk ke ruang makan sekaligus dapur kami.
“Sudah berangkat mungkin.” jawab
Gadis singkat. Dia sedang asyik bermain dengan Jet, nama kucing barunya. Ya
nama baruku, aku mencoba protes dan berbicara dengan Gadis sejak dari tadi tapi
yang keluar dari mulutku hanya “nyaaww” atau sejenisnya.
“Eh, kamu sedang apa?” tanya Mama
baru menyadari kalau gadis sedang bermain dengan aku, err kucing maksudku.
“Ini Ma, ada kucing lucu yang
masuk ke dalam rumah.” kata Gadis sambil memamerkan aku ke hadapan Mama. “Lucu
banget kan Ma. Boleh ya kita piara?” lanjutnya.
“Isshh, jangan ah. Tidak baik
buat cewek. Sudah keluarkan saja sana!” Mama mengernyitkan dahi, dia memang
tidak terlalu suka dengan hewan piaraan. Selucu apapun mereka.
Gadis memasang muka memelas,
namun Mama adalah Mama yang tidak bisa diganggu gugat keputusannya. Akhirnya
Gadis menyerah, dan setelah dia memberi aku sepotong ayam goreng dia
mengeluarkan aku ke halaman depan.
Aku berusaha menyelinap masuk
namun Gadis kembali menangkapku dan kali ini meletakkan aku ke halaman depan.
Aku berusaha untuk kembali masuk, namun pintu ditutup sehingga sia-sia aku
berlari ke sana. Gadis membuka pintu perlahan sambil terus mengamati aku, dan
dia dengan segera menutup pintu.
“Mama! Gadis! Ini aku. Tolong
aku! Bukakan pintunya.” teriakku. Namun bahkan telingaku bisa mendengar kalau
yang terdengar hanya suara kucing.
“Tolong aku Mama! Gadis..tolong
aku nyaaw..” suaraku mulai melemah. Aku menunduk dan berusaha menguatkan hati
untuk tetap berteriak sampai ada yang menyadari. Namun bukan Mama dan Gadis
yang menyadari teriakanku, melainkan tetangga sebelah yang dengan sukses
menyiram aku dengan air.
Aku berlari panik,
“Kucing benci air, nyaaw!”
*****
Aku mengibaskan bulu-buluku, agak
tidak nyaman dengan sedikit bulu basah. Sambil berjalan menuju rumah Bintang,
aku mencoba menikmati menjadi seekor kucing. Meski tubuhku jauh lebih kecil
dari tubuh manusiaku, aku merasa kuat. Ya, kuat seperti Superman.
Tubuhku terasa sangat santai,
bukan, bebas lebih tepatnya. Benar-benar seperti Superman. Ada luapan percaya
diri yang sangat berlebih, seakan-akan perasaan takut itu hanya seujung kuku.
Apapun masalah yang akan aku hadapi, aku tidak akan takut. Aku akan selalu siap
bertarung melawan musuh-musuhku bahkan jika harus mati.
Aku mulai menyusuri trotoar,
rumah Bintang tidak terlalu jauh. Ya, menurut ukuran manusia tidak terlalu jauh
tapi aku tidak mengerti butuh waktu berapa lama dengan tubuh kucing ini.
Penglihatanku pun menjadi lebih
tajam daripada mata manusiaku. Dan yang aneh, di dalam otakku tertanam otak
kucing yang entah bagaimana seperti sudah menjadi bagian diriku sejak aku
dilahirkan. Ya, pikiran yang tertarik dengan hal-hal yang tidak menarik bagi
manusia. GERAKAN. Ya, aku jadi menyukai gerakan. Sekecil apapun gerakan itu,
tidak akan lepas dari mataku.
Aku menikmati semua perubahan
inderaku dengan melihat, mengendus, dan mendengarkan apapun yang menarik bagi
otak kucingku. Bahkan gerakanku amat sangat lincah. Lentur dan juga ringan,
benar-benar kucing. Entah apa maksud
perkataanku, aku juga tidak tahu.
Aku melompat ke sebuah pagar
setinggi kira-kira sebahu tubuh manusiaku, mungkin satu meter. Dan, wah, dengan
sekali lompatan ringan aku bisa mencapai puncak pagar yang mungkin empat-lima
kali lipat tubuhku.
“Aku menjadi Spideman, nyaaw.” girangku. Belum lagi aku bisa dengan
cepat berjalan di titian yang lebarnya hanya sedikit lebih besar dari tapak
kakiku. Ini benar-benar menakjubkan.
Aku terhenti, tersadar dari
kesenangan ini begitu melihat orang-orang berjalan. Melakukan kegiatan biasa,
berjalan menuju kantor, kampus, sekolah. Sesuatu yang sangat biasa namun
sekarang menjadi sesuatu yang sangat berharga bagiku.
Aku dengan segera menuju ke rumah
Bintang, hanya dia satu-satunya harapan walau aku ragu dia juga akan mengerti
kata-kata yang keluar dari mulutku.
*****
Aku membelok melalui jalan-jalan
kecil, beruntung aku sedikit tahu beberapa jalan pintas. Dan sekarang aku bisa
berjalan melalui atap rumah, sangat-sangat pintas. Aku meloncat turun ke
halaman rumput, tinggal tiga rumah lagi sebelum mencapai rumah Bintang.
Tiba-tiba aku mencium sesuatu,
sesuatu yang sangat menarik tiang listrik di depanku. Aku mengendus-endus
mencoba mencerna. Dan akhirnya, otakku bisa menyimpulkan bahwa bau itu adalah
bau kencing kucing jantan. Ya, kucing jantan yang menguasai daerah ini. Aku
tidak ada urusan dengan si kucing jagoan ini tapi aku harus berhati-hati.
Perasaan waspada muncul, dan lagipula aku belum pernah bertarung dengan tubuh
kucing.
Lebih waspada dari tadi, aku
mendekat ke rumah Bintang. Beruntung kucing jagoan itu sedang tidak berada di
dekatku. Iseng, aku ikut menandai di daerah kekuasaannya. Mau mengetahui
bagaimana reaksi si kucing jagoan.
Jendela kamar Bintang terbuka,
pertanda dia masih di rumah. Dengan beberapa kali lompatan, aku menuju kamarnya
yang berada di lantai dua. Begitu sampai di jendela, aku bisa melihat Bintang
sedang tertidur pulas.
“Bintang bangun, nyaaw!”
teriakku.
Tidak ada reaksi. Setelah dua
kali mencoba, akhirnya aku melompat dan mendarat dengan keras di tubuhnya.
Berhasil, dia terbangun.
“Arrrghh!” teriak Bintang.
Aku melompat dari kasur, dan
mendarat di depan lemari. Biintang menatap diriku, dan aku balas menatapnya. Meski
agak gelap, aku masih bisa melihat dengan tajam. Bahkan aku bisa melihat
kernyitan dahinya. Ya, aku pun pasti akan bingung jika tiba-tiba dibangunkan
oleh seekor kucing dan kemudian kucing itu berdiri dengan dua kaki.
Sengaja aku mempertahankan pose
ini agak lama, agar Bintang menyadari aku bukan sekedar seekor kucing. Aku menunjuk ke arah komputernya, memberi
isyarat agar dia menyalakan computer yang ada di meja belajarnya.
Sedikit tidak percaya, Bintang
menurut saja. Begitu komputer menyala, aku melompat ke atas meja. Tepat di
depan keyboard. Segera aku membuka
software pengolah kata, mengetikkan namaku dengan keyboard.
Bintang menganga begitu melihat
aku mengetikkan namaku, matanya melolot hampir keluar menatapku. Aku tersenyum.
“Halo Bintang, bisakah kamu
membantuku?” kataku dan tidak lupa mengakhiri dengan ‘nyaaw’. Entah kenapa kata
itu selalu meluncur begitu saja.
*****
Aku merasakan ancaman, secepat
kilat aku menoleh. Bulu-bulu di punggungku berdiri tegak, begitu juga dengan
ekorku. Cakar-cakar dan taring-taringku aku pamerkan terhadap apapun ancaman
itu. Seakan-akan secara otomatis aku berada dalam mode tempur.
Baru kali ini aku merasa takut,
tidak seperti saat aku mengendus bau kucing jantan lain yang menguasai jalanan
dekat rumah Bintang. Namun takut ini juga disertai dengan perasaan amarah.
Kemarahan yang dengan jelas terpampang di seluruh bagian tubuhku. JANGAN
MACAM-MACAM DENGANKU!
Seorang pria bertubuh gemuk
melayangkan pisau daging besar ke arahku. Aku menerjang tepat di wajahnya,
mencakar dan kemudian langsung melesat menjauh.
“Hei, kucing manis. Keluarlah,
Papa punya sesuatu yang lezat buat kamu.” suara berat seorang Pria terdengar,
nafasnya tersengal. Badannya yang tambun sudah mulai lelah mengejarku.
Aku berlari dengan cepat, saking cepatnya
hingga menabrak apapun yang ada di jalurku berlari. Terutama saat aku
membelokkan tubuhku dengan kecepatan yang luar biasa. Ya, kamupun pasti akan
berlari secepat ini, jika seseorang mengejar dirimu dengan niat yang sangat
absolut. MEMAKANMU!
Pria ini adalah seorang pemilik
toko, toko PETSUITE yang dulu mengirimkan paket berisi bando. Di balik itu, pria
tambun ini juga seorang maniak yang sangat suka memakan kucing, dan yang jelas
dia bukanlah Papaku.
Aku masuk ke dalam sebuah ruangan
di dalam toko, bersembunyi dalam gelap, di bawah sebuah lemari. Beruntung Bintang
mematikan saklar utama listrik toko, mata kucing ini bisa melihat berkali-kali
lipat di dalam gelap daripada manusia. Aku mengitarkan pandanganku sekitar, dan
aku terkejut saat melihat di ruangan seberang sana sebuah wajah yang aku kenal.
Bintang sedang tidak sadarkan
diri, dia dihajar sang pemilik toko. Aku menyesal karena membuatnya menjadi
seperti sekarang, hanya karena ingin membantuku mengatasi kutukan ini. Memaksanya
untuk pergi meninggalkan rumah, meninggalkan Bandung.
Setelah “berbicara” dengannya
melalui komputer, dia menjadi tahu tentang siapa diriku. Dan ide dari
dirinyalah untuk menyelidiki asal muasal kejadian ini. Setelah lewat berapa
hari penyelidikan dia, dia menyimpulkan bahwa ini bermula dari bando misterius
walau dia tidak mengerti kenapa hanya diriku yang terkena kutukan.
Bintang dan aku sengaja tidak
menceritakan ini kepada Mama dan Gadis, mereka sudah cukup sibuk dengan
polisi-polisi yang sedang berusaha mencari diriku yang di anggap hilang.
Seberapa kuatnya mereka, aku tidak mau kalau harus mengatakan “Mama, Gadis, aku
sekarang menjadi kucing. Jadi tolong biarkan aku mengejar tikus-tikus di rumah
kita”.
Sepasang kaki memasuki ruangan, mendekat
berusaha mencari-cari diriku. Aku mengerutkan tubuhku hingga menjadi sekecil
mungkin, menyembunyikan tepat di ujung pojok jauh. Sehingga meski pria tambun
itu mencoba menggapaiku, dia tidak akan berhasil.
Pria itu menyerah, dia berlalu.
Namun kejadian berikutnya sangat mengejutkanku. Dia memasangkan sebuah bando
kepada Bintang yang masih tidak sadarkan diri. Aku membelalak, tidak percaya
kalau hal ini bisa terjadi.
Kemarahanku kembali muncul, dan
tanpa bisa aku kendalikan tubuhku melesat menuju pria gemuk. Mencakar tangan
dan menggigitnya tanpa ampun. Anehnya pria itu hanya tertawa, padahal aku
sangat yakin cakar dan taringku menancap dengan tajam. Dengan tangan yang lain,
dia mencengkeramku. Seranganku tidak berarti baginya.
“Nah, kucing manis. Lebih baik
kamu diam saja. Aku sudah terbiasa dengan cakar dan gigitan kucing.” Wajah
gemuknya menyeringai.
Dia membawaku menjauh dari
Bintang, menuju sebuah tempat yang aku yakini dapur. Hidungku mengendus bau
amis, amis yang sangat kentara meski tidak terlihat ada bekas darah di tempat
ini. Aku yakin ini adalah tempat penjagalan kucing, karena di tempat sampah di
ujung sana aku melihat dua-tiga ekor panjang menyembul. Ekor kucing.
Pria gendut itu meletakkan aku di
atas sebuah meja, dia menahanku dengan satu tangan besarnya sementara tangan
yang lain sudah siap dengan pisau daging besar. Aku tidak punya kekuatan lagi
untuk meronta. Aku hanya bisa berharap ini hanya sebuah mimpi. Aku berharap
setelah ini aku akan terbangun. Namun rasa sakit yang tidak bisa aku lukiskan
sangat nyata begitu saat pisau besar itu memotong bagian atas kepalaku.
Belum, aku belum mati. Sakit ini
jauh lebih sakit dari apapun rasa sakit yang pernah ada, sakit ini membuatku
merasakan aku belum mati walau aku amat sangat ingin mati. Aku merasakan basah
dan lengket mengenai bulu-buluku, seiring dengan putusnya kuping dan bagian
tempurung kepalaku. Dan aku juga tidak terbangun, ini sangat nyata.
“Otak paling lezat kalau dimakan
saat masih segar.” kata Pria gendut itu. Kemudian dia tertawa sambil berusaha
mengeluarkan otakku dengan pisaunya yang lain.
Tiba-tiba, Bintang muncul dan
memukul bagian belakang pria gendut itu dengan logam yang besar. Aku tidak bisa
melihat dengan jelas. Yang aku tahu, Bintang meraih tubuhku dan berlari keluar
toko. Berlari kemana saja berusaha menjauh dari toko itu dan bersembunyi di
hiruk pikuknya kota Jakarta di malam hari.
*****
Entah sudah berapa lama aku
terbaring di kamar sewaan, jam dinding menunjukkan sepuluh menit berlalu dari
pukul dua pagi. Bintang tertidur di lantai, tepat di sebelahku. Dengan cermat
dia menjaga dan merawatku. Tubuhnya masih terlihat normal, aku lihat sebuah
bando tergantung di gagang pintu lemari. Sepertinya dia berhasil melepaskan
bando itu sebelum berubah menjadi kucing.
Aku berdiri, bangun dengan tubuh
manusiaku dan menatap ke arah cermin yang berada di samping lemari. Aku tidak
tahu dengan jelas apa yang terjadi tapi tubuhku kembali normal. seperti seorang
manusia lainnya. Tidak satupun kurang, telinga dan kepalaku normal. Well, mungkin tidak se-normal biasanya.
Ya, penglihatan, penciuman, pendengaran, dan kelincahan seekor kucing masih
kurasakan. Atau ini hanya sekedar perasaanku saja.
Aku membuka jendela, menatap ke
arah kota Jakarta, jalan kecil di samping hotel ini sepi sekali. Gelapnya malam
tidak mempengaruhi penglihatanku. Bintang terjaga mendengar suara jendela yang
terbuka, dia tidak percaya kalau aku sudah kembali menjadi manusia.
Aku tersenyum dan melompat
melalui jendela. Aku tahu bahwa ini adalah lantai tiga tapi kucing dalam diriku
mengatakan ini bukanlah masalah. Setelah mendarat sempurna, aku mendongak ke
atas. Bintang menatapku dari jendela, mulutnya sedikit menganga.
“Tunggu di sana sebentar.” kataku
sedikit berteriak. Aku mengacungkan jempolku seperti yang biasa dia lakukan,
“Ada urusan yang harus diselesaikan, nyaaw!”
Bintang balas mengacungkan
jempolnya.
Nah pemilik toko, kita lihat kehebatanmu melawan kucing besar ini! Aku merasakan kekuatanku jauh lebih kuat
daripada saat menjadi kucing. Pria gendut itu bukanlah apa-apa. Aku pasti akan
membinasakannya dengan mudah. Oh iya, hampir lupa. “Nyaaw!”
#####
0 comments:
Post a Comment