Fantasi Fiesta 2012 - Empat Tanduk

Aku adalah Panglima Pasukan Langit dari Kerajaan Nuwr. Adalah tanggung jawabku untuk menjaga negeri dan sang Ratu, pemimpin Nuwr. Selama bertahun-tahun, aku memenangi semua pertempuran. Ambisi untuk meraih kejayaan tidak dapat aku hindari. Namun seiring berjalannya waktu, ambisiku berubah kepada obsesi untuk memenangkan hati sang Ratu. Apapun aku lakukan demi memuaskan keinginan sang Ratu.

Kemenangan-kemenanganku membuat jarak dengan sang Ratu semakin dekat sehingga membuatku hanya sedikit peduli pada yang lain. Sampai sesuatu yang tidak terduga akan membuatku mati.
Namaku adalah Ninnoer, aku sudah memberikan segalanya. Namun itu belum cukup.

-----
Aku melompat dan melayang, memenggal leher terakhir dari ular berkepala tujuh. Darah pekat merah menyembur dari makhluk yang berbadan singa ini. Percikan darah masuk ke dalam mulutku saat aku berteriak dan menebaskan pedang cambukku, rasanya ganyir dan pahit. Segera setelah mendarat, aku melompat cepat berusaha untuk menghindari tubuh dan kepala monster yang jatuh. Kemudian bersiaga beberapa kaki dari tumpukan bangkai binatang besar ini.

Gemuruh pertempuran masih menggaung, aku menoleh ke arah belakang. Meskipun jumlah pasukan Langit-ku lebih sedikit tapi mereka merajai pertarungan melawan para siluman banteng, puluhan raksasa bermata satu, dan ratusan siluman babi. Meski begitu, entah mengapa hatiku merasa tidak tenang. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang janggal dibalik penyerang makhluk-makhluk lemah ini.

Dugaanku benar, dari ufuk barat aku melihat beberapa benda hitam terbang menuju kancah peperangan. Tidak butuh lama bagiku untuk menyadari kedatangan monster bersayap dan bertanduk empat itu.
“NAGAAA!” teriakku dengan sangat lantang, menghentikan semua gerak mereka yang sedang bertempur. Semua tatapan mata tertuju searah pandangan mataku.

Aku mengeratkan genggamanku pada pedang cambuk, cenderasa cahaya yang bagian tajamnya adalah cahaya yang bisa digerakkan lentur seperti cambuk. Meskipun senjata ini digdaya tapi aku sedikit ragu, apakah pedang yang hanya boleh dimiliki Pemimpin legiun Langit ini bisa melawan para Naga. Monster tertua yang masih hidup sampai sekarang.

Bergegas aku melompat, melayang dan menunggu datangnya lawan. Riuh pertarungan kembali menggema. Dengan baju perang yang dilengkapi dengan sepasang sayap logam dan cahaya, belasan pasukan Langit mengawang di sampingku.

Tujuh ekor Naga yang sangat besar semakin dekat. Aku dan pasukanku menyiagakan diri, mengucap mantra agar zirah kami menutup seluruh permukaan tubuh. Suara logam berdesing ringan terdengar diikuti dengan suara raungan para kadal raksasa bersayap.

“Demi Nuwr! Demi Ratu!” teriakku sambil melesat maju, diiringi dengan teriakan dan lesatan Pasukan Langit di belakang.

-----

Sang Ratu memasuki Aula Utama Istana Nuwr, memakai gaun putih gading dengan hiasan keemasan yang diambil dari sinar matahari pagi. Dengan gaya yang selalu anggun, dia berjalan menuju singgasana. Rambut panjang dia biarkan tergerai, sebuah tiara kecil menghiasi kepala. Tidak pernah satu kali pun aku tidak terpesona dengan penampilan Ratu.

Aku menegapkan badan, berjalan ke bagian tengah aula yang dihamparkan karpet merah, sedikit melirik ke arah legiun Langit yang berbaris. Dengan tenang aku melangkah menuju Ratu yang berdiri di depan takhta. Menunduk untuk meletakkan helm perang sekaligus memberi hormat, begitu aku berada kira-kira sepuluh langkah di hadapan Ratu.

“Kamu boleh berdiri,” ucap Ratu ringan, ratu penyihir daun semanggi berkelopak empat ini membuat suaranya terdengar ke semua orang yang berada di dalam Aula Utama.

Aku pun berdiri, wanita itu menatapku dalam. Dengan pandangan penuh keinginan merasakan kasih sayangnya, aku balas menatap tepat ke arah mata keemasan Ratu. Dia menyunggingkan sedikit senyum, yang hanya aku bisa melihatnya. Wanita itu masih terlihat cantik dalam usianya yang mendekati tiga puluh. Keangguan tubuhnya semakin indah. Sama seperti saat aku jatuh cinta kepadanya. Sewaktu aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Semasa aku menginginkannya. Kala aku menggandrunginya.

“Aku telah mendengar kabar,” Ratu mengitarkan pandangan dan kemudian kembali berhenti untuk menatapku. Dia melanjutkan, “Legiun Langit berhasil menahan serangan makhluk-makhluk dari Kerajaan Hidn. Untuk yang ketiga kalinya.” Ratu meninggikan nada suaranya.

Sorak sorai membahana, prajurit-prajurit Langit dengan sekejap melupakan lelah dan derita pertempuran empat hari yang lalu. Aku menoleh ke belakang, menatap pasukan yang selalu tunduk pada komandoku.

Aku kembali menatap Ratu saat dia menggerakkan tangan kanannya. Seberkas cahaya panjang muncul dan dengan cepat berubah menjadi sebuah tongkat kesayangannya, berwarna perak dengan bagian ujung terdapat ukiran empat hati yang membentuk daun semanggi. Satu gerakan kecil, dia menghentak bagian bawah tongkat ke lantai. Suaranya yang keras mengisyaratkan agar semua berlaku tenang.

“Dan itu berkat jasa Panglima kita.” ucap Ratu setelah teriakan kebanggaan usai. Dia berjalan mendekat ke arahku dan berhenti tepat di hadapanku. Ini untuk pertama kalinya dia berada dalam jarak kurang dari enam langkah. Tangannya bergerak perlahan memegang pipi kananku. Terasa hangat, lembut, dan wangi.
“Berlutut.” bisik Ratu. Aku pun segera melakukan perintahnya.

“Sudah sepantasnya, Nuwr berterimakasih kepada dia yang berjasa besar pada negeri ini. Sudah sepantasnya, aku berterimakasih kepada orang ini.” ucap Ratu lantang. Dia memindahkan tangannya di atas kepalaku. Meski tidak terlihat tapi aku menyadari dia sedikit mengelus rambut hitam ikalku.

“Aku, Pewaris Tahta Kerajaan Nuwr, menganugerahkan Tarnhelm. Pelindung kepala yang bisa membuat penggunanya tidak kasat mata, dan mampu berubah bentuk.” sabda Ratu, segerea setelah itu dari tangannya muncul cahaya keemasan. Seketika aku merasakan beban kecil di kepala, sebuah benda terpasang dengan erat.

Sorak semarai kembali menggema, membahana bahkan hampir saja memekakkan pedengaranku. Sebuah pesan masuk ke dalam pikiranku, telepati oleh Ratu yang ditujukan hanya kepadaku. Meminta untuk bertemu, hanya aku dan dia. Berdua. Walau aku tahu tidak mungkin Ratu memiliki perasaan terhadapku, tapi aku merasa bahagia bisa berdua dengan orang yang ku inginkan sejak bertahun-tahun silam. Ratu kembali ke takhtanya, dan seremoni kemenangan pun kembali dilanjutkan.

-----

Gelap, malam ini tidak ada bulan yang menerangi. Aku mencoba mereka-reka apa yang akan dibicarakan Ratu secara pribadi. Puluhan tahun mengabdi sebagai pengawal pibadi pada saat Ratu masih seorang Putri, membuatnya mengerti hampir seluruh sifat sang Ratu.

Sang Ratu Kerajaan Nuwr, walau sebenarnya dia lebih layak dikatakan sebagai seorang puteri. Peperangan dengan Kerajaan Hidn menewaskan semua kerabat kerajaan mulai dari Raja beberapa tahun yang silam, membuat kekuasaan tertinggi Nuwr jatuh ke dalam genggaman tangan wanita yang baru saja masuk dalam usia dua puluh tahun. Gelar Ratu pun dititahkan kepada wanita berparas cantik, dengan kulit sekuning langsat.

Akulah orang yang dengan berani maju dan menancapkan janji mati di depan semua petinggi Kerajaan saat semua orang merendahkan umur sang Ratu yang dianggap belia dalam memimpin kerajaan.
Namun bukan sekarang janjiku bukan untuk Kerajaan melainkan karena denyut kecil di dalam lubuk hatinya yang memaksa dia untuk menjaga sang Ratu. Putri yang selalu dia sayangi. Kepada sang Ratulah dia mengabdi, bukan kepada takhta ataupun Nuwr.

Aku berhenti, menatap ruangan di depanku. Sepasang pintu besar berwarna biru cerah dengan puluhan ukiran daun clover berwarna putih menghadangnya. Perlahan aku mengetuk pintu dengan irama ketukan yang biasa aku lakukan, ketukan yang mereka hapal. Pintu terbuka sendiri.
“Masuklah.” telepati sang Ratu masuk ke dalam kepalaku.

Aku melangkah masuk, kamar megah ini terlihat sepi. Tidak ada siapapun, bahkan dayang pribadinya juga tidak terlihat. Sebuah pesan mengarahkan aku agar menuju ke arah peraduan. Dia bersandar di pembaringan, menatapku lekat dengan keayuan wajah yang tidak bisa aku lukiskan.

“Kemarilah.” ucapnya pelan.

Aku canggung, posisinya sebagai Ratu membuatku segan untuk mendekat. Namun keelokannya tidak bisa aku tolak. Akhirnya aku mendekat dan duduk di sampingnya. Tiba-tiba dia dengan cepat memelukku dengan erat, membuatku semakin bingung.

Tidak lama aku mendengar suara isakan, dia menangis. Aku gugup, tidak tahu harus berbuat apa. Ingin mengelus rambut dan balas memeluk, tapi aku berusaha menjaga diri. Lama dia menangis sambil memeluk diriku.

“Noer?” katanya pelan begitu tidak lagi menangis.

“Ya, Yang Mulia.” aku berusaha menutupi kegelisahanku.

“Maukah kamu melakukan sesuatu yang aku minta dan tidak mengatakannya kepada siapapun?” ucap Ratu sambil melepaskan pelukan dan menatap mataku dalam.

Godaan semakin berat aku rasakan, peluh dingin perlahan menjalar di tengkuk.

“A-apakah itu Ratu-ku?” ujarku.

“Berjanjilah dulu?” pintanya.

Aku mengangguk pelan, meski tidak tahu apa yang dia mau.

“Baiklah, aku percaya kamu tidak pernah mengkhianatiku.” dia tersenyum. Dia turun dari peraduan, berdiri dan menarik lenganku untuk mengikuti dia.

Aku menurut saja, menunggu apa yang akan dia katakan.

Ratu membawaku mendekati pintu kamar. Aku mengira dia akan mengajak keluar dari kamar. Namun beberapa langkah mendekati pintu, dia berhenti dan memosisikan diri tepat berhadapan denganku.
“Pergilah ke Hidn, ambilkan aku Naar, sumber kekuatan Kerajaan Hidn!” tegasnya.

Aku tersentak, sesuatu yang sangat tidak bisa aku percaya. Ratu memintaku masuk ke kerajaan yang selama ini menjadi musuh bebuyutan, untuk mengambil pusaka mereka seorang diri. Ini gila, benar-benar tidak masuk di akal.

Meski begitu, perasaan yang dinamakan cinta ini telah membutakanku. Aku seperti tersihir oleh pesona jelita wanita ini.

“Aku bisa saja menggunakan Tarnhelm untuk menghilangkan diri dan masuk ke Hidn sendirian. Tapi, bagaimana dengan pasukan Langit. Mereka tentu akan bertanya-tanya jika aku menghilang?” aku menunggu petunjuk dari Ratu.

“Itu gampang,” katanya sambil memelukku. Dia menarik lenganku untuk memeluk dirinya. Aku menuruti saja. Ratu melanjutkan, “percayakan padamu!”

“Bawakan Naar, dan aku akan memilihmu sebagai pendampingku.” kata Ratu. Dengan gerakan cepat, dia memaksa tanganku untuk merobek pakaian dia sendiri, membuka pintu, dan berteriak untuk memanggil para pengawal.

Cerdik. Dengan begini aku akan di angkat penjahat dan terpaksa melarikan diri. Begitu para pengawal datang dan melihat keadaan ini, aku merapal agar Tarnhelm menghilangkanku dari pandangan.

-----

Satu purnama berlalu, aku berhasil memasuki Kerajaan Hidn dengan Tarnhelm. Kekuatan magisku menjadi berkuran begitu memasuki negeri ini. Aku menyembunyikan zirah dan helm perang, menggantinya dengan jubah merah tua yang ku dapat dari mayat di pinggiran kerajaan ini.

Aku berjalan mengendap bersama gerakan bayangan. Kerajaan ini sangat lapang, entah kemana ratusan siluman yang biasa menyerang Nuwr. Waspada aku bergerak menuju istana tempat pusaka yang Ratu inginkan berada. Bercak-bercak darah terlihat di mana-mana, dengan pasir dan debu yang tebal menempel.
Tidak seperti Nuwr yang penuh dengan cahaya, gemilau, dan peradaban. Hidn adalah kebalikan itu semua. Suram, penuh hawa kegelapan, dan biadab. Jelas sekali penduduk bangsa ini bahkan akan tega membunuh sesama. Tulang belulang, tumpukan mayat di beberapa tempat adalah bukti nyata. Kerajaan ini lebih pantas dimusnahkan saja. Batinku semakin mendidih melihat kezaliman makhluk-makhluk ini.

Tepat di bagian tengah kerajaan, aku mendapati sebuah bangunan besar yang menyeramkan. Sekali lihat saja, aku tahu bahwa itu adalah istana milik kerajaan ini. Menghemat energi sihir, aku mengendap perlahan tanpa menggunakan helm magis dan baju perang. Beberapa siluman berjaga-jaga. Beruntung aku juga menguasai kemampuan membunuh dalam bayangan. Siluman yang sedang sial, dengan mudah aku lumpuhkan dengan pedang cambuk.

”Di mana letak Naar berada?!” ancamku pada salah satu makhluk yang sengaja aku tanya.
Siluman anjing ini hanya menggeram dalam kuncianku.

“Katakan, dan aku akan memperpanjang waktu hidupmu!” gertakku sambil mengeratkan belitan pedang cambuk pada lehernya.

“Le-letaknya di bawah istana.” dia terengah menjawabku, nafasnya semakin redup.

“Tepatnya di mana?!” aku tidak mau menghabiskan waktu menyusuri ruangan luas ini.

“Ka-kamu akan mengetahui, lubang hitam pekat di lantai adalah pintu masuknya.” jawabnya.
Aku menyeringai. Siluman itu membeliakkan mata.

“Bu-bukankah kamu bilang akan memperpanjang hidupku?!” katanya mengiba.

“Iya, aku sudah melakukan itu!” kataku sambil menarik pedang cambuk sehingga kepala itu terlepas dari badannya.

Aku memasang helm sihir, mengubah diri menjadi wujud siluman anjing. Dengan begini aku bisa leluasa mendekati tempat Naar berada.

Tidak lama kemudian aku menemukan ruangan dengan lubang hitam, tidak ada penjaga di sana. Sekali lagi aku heran. Istana Nuwr penuh dengan pengawal, tapi tempat ini bagaikan tempat pembuangan. Bahkan aku tidak menemukan kursi kerajaan di sini. Apa benar ini sebuah istana? pikirku.

Aku melompat masuk ke dalam lubang hitam tanpa berpikir panjang. Aku tidak tahu apa yang ada di sisi sebelah sana, aku berharap Tarnhelm ini berguna.

Hawa dingin langsung menyerang begitu aku diambangkan ke bawah oleh lubang hitam. Hanya ada cahaya remang, tapi aku tahu aku sedang berada di tempat yang penuh dengan es. Ya, dingin ini adalah es.

“Selamat datang Tuan Ninoer.” sebuah suara berat dan serak menyapaku. Entah dari mana asalnya aku tidak bisa mengetahuinya. Yang membuatku lebih kaget adalah pemilik suara itu mengetahui siapa aku sebenarnya.

“Tunjukkan wajahmu!” teriakku sambil membatalkan mantra helm magis, dan kembali ke wujud asli. Dengan segera aku merapal sihir untuk memasang baju perang. Pedang cambuk aku siagakan.

“Kemarilah!” kata suara itu lagi.

Aku berdiam sejenak, mencoba mencari tahu asal suara.

“Jangan takut, aku tidak akan memakanmu. Belum.” katanya sambil tertawa keras.

Aku mendekat saat sebuah cahaya memancar dari arah samping kananku. Cahaya kecil itu cukup bagiku untuk melihat siapa pemilik suara. Apalagi jarak aku dan makhluk itu hanya kurang dari sepuluh kaki.

Makhluk itu besar, perawakannya sama dengan kami. Tidak seperti para siluman yang ada di sini. Makhluk itu duduk bersila, beberapa bagian tubuhnya terikat dengan rantai besar yang kokoh. Terpatri dalam ke es-es pejal ini. Aku yakin bahkan makhluk sebesar ini tidak mungkin bisa melepaskan rantai-rantai itu.

“Siapa kamu?” tanyaku.

“Aku adalah yang kamu cari.” dia terkekeh.

“Kamu. Kamu Naar?” aku bingung. Selama ini aku mengira Naar adalah sebuah benda.

“Ya. Aku adalah Naar.” dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Berusaha agar aku bisa melihat dia dengan jelas. Mungkin dia menyadari aku tidak bisa menatap wajahnya dengan jelas.

Aku mengernyitkan dahi, tidak ada kebohongan dalam tatapan matanya. Yah, aku tahu jika ada seseorang bohong, bahkan makhluk-makhluk seperti mereka.

“Ceritakan kenapa kamu dibelenggu seperti ini?” aku mengitari dirinya. Mencoba mencerna keadaan makhluk ini.

“Apa kamu yakin ingin mendengarnya sekarang? Atau pergi dari tempat ini dahulu dan aku ceritakan semuanya dalam perjalanan menuju Nuwr?” dia balik bertanya. Aku berpikir sejenak, menatap lekat mata Naar.

“Dengan tubuh sebesar ini?” tanyaku.

Naar tertawa kecil,

“Setelah kamu melepaskan rantai-rantai ini, aku akan kembali ke tubuh asliku. Sihirku akan mengembalikan wujud asliku.” ucap Naar.

“Baiklah, kita pergi dari tempat ini saja dulu.” kataku sambil menyiapkan pedang cambuk yang dikatakan bisa memotong benda apa saja. Ini adalah saatnya untuk membuktikan kebenarannya.

Satu ayunan keras aku lesatkan, salah satu belenggu putus. Aku tersenyum senang.

“Bagaimana kamu tahu aku akan ke sini?” saat aku akan melesatkan pedang cambuk untuk yang kedua kali.
“Sang Puteri Nuwr yang meramalkan ini.” kata Naar, seolah-olah dia mempercayai ketepatan ramalan sang Ratu.

“Puteri Nuwr? Kamu mengenal Ratu?” aku berhenti. Firasatku merasakan ada sesuatu yang aneh.

“Aku berubah pikiran, ceritakan semuanya padaku Naar!” gumamku, sambil menatam tajam.

-----

Hampir dua purnama berlalu sejak Ratu meminta Ninnoer menyelamatkan Naar di Kerajaan Hidn. Perasaan bersalah mendera dirinya. Dia tidak ingin melakukan ini, tapi hanya Ninnoer yang bisa melakukan ini. Kejayaan demi kejayaan yang diraih oleh Panglima legiun Langit ini adalah buktinya.

Ratu berdiri di balkon istana, menatap ke ufuk barat. Tempat negeri Hidn berada. Seekor kucing putih bersayap terbang mendekat. Dia mengangkat tangan kanan. Kucing itu hinggap, berjalan pelan menuju pundaknya, melingkarkan diri di lehernya bagaikan sebuah mafela. Suara dengkuran terdengar. Dia tersenyum kecil sambil mengelus kepala kucing.

“Puteri?” sebuah suara serak terdengar dari arah samping.

Kucing terbang terbangun, dan langsung beranjak pergi. Ratu menoleh. Dia mengenali suara itu. Suara yang sudah lama tidak dia dengar, tapi dia tidak menemukan pemilik suara itu.
“Naar?” ucap Ratu lembut.

Sesosok tubuh muncul dari ketiadaan, Ratu menatap Naar melepaskan helm bertanduk empat. Dia tidak ingat kapan pria itu memiliki pelindung kepala dengan empat tanduk. Wanita itu tidak peduli, dia terlalu merindukan sosok Naar.

Dilihatnya pria itu tidak  jauh berbeda dengan saat terakhir dia lihat. Meski beberapa lebam dan bekas luka menghiasi tubuhnya. Ratu bergegas mendekat dan memeluk Naar.

“Inikah kenapa kamu tidak memilih seorang pendamping?” tanya Naar.

Ratu tidak menyimak dengan jelas,

“Kamu adalah cinta pertamaku, Naar. Tidak mungkin aku bisa bersama dengan orang lain.” Ratu mengeratkan pelukannya. Dia ingin menumpahkan semua kerinduannya.

“Bukankah Nuwr mempunyai Panglima yang hebat?” tanya Naar. Ratu merasakan ada nada dingin dalam pertanyaan itu. Entah itu cemburu atau apa, dia tidak mengetahui.

“Apa kamu lupa janjimu terhadap seseorang?!” lanjut pria itu.

“Demi Dewa Malliv! Aku melupakan Ninnoer.” Ratu hampir saja menjerit. Dia melepaskan dekapannya, dan menatap Naar.

“Dia berhasil menyelamatkan diri bersama kamu kan?” sedikit berbinar matanya menanyakan itu kepada Naar. Ratu merasa sangat bermasalah telah mengkhianati kepercayaan Ninnoer.

Ratu menatap lekat. Naar menunduk, dan menggeleng. Wanita itu tidak percaya dengan kenyataan bahwa Ninnoer tidak berhasil menyelamatkan diri.

 “Apa dia ma-“ Ratu tidak melanjutkan pertanyaannya.

“Tidak. Dia masih hidup. Hanya saja, dia memilih untuk tidak pergi.” jawab Naar.

“Memilih untuk tidak pergi?” Ratu mengernyitkan dahi.

“Jika dia ada di sini, apa dia akan diam saja melihat kamu bersama dengan aku?” tanya Naar.

Ratu menggeleng,

“Aku sudah mengumumkan dia sebagai pengkhianat di Kerajaan Nuwr. Dia memaksa untuk memilikiku demi menjadi seorang Raja.” Ratu berkata datar agar Naar tidak mengetahui kebenarannya.

“Beginikah perlakuanmu terhadap orang yang sudah memberikan segalanya buat kamu!” Ratu tersentak saat Naar membentak

Dia menatap heran pria di depannya itu. Dilihatnya Naar mengangkat kepala dan balas menatap dengan tatapan penuh amarah.

Naar mendorong Ratu. Wanita itu kaget sekaligus tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Apa Naar sudah menjadi tidak waras setelah bertahun-tahun disekap di Kerajaan Hidn.

“Ingatkah kamu siapa yang membela kamu saat kamu memilih untuk menjadi pemimpin kerajaan ini? Apakah kamu lupa siapa yang memberikan kemenangan-kemenangan ata semua pertempuran yang terjadi?” teriak Naar.

Ka-kamu bukan Na…” ucapan Ratu tertahan. Dia menatap pria itu.

Tarnhelm, helm bertanduk dua untuk mengubah wujud dan membuat tidak kasat mata.” Orang yang Ratu sangka adalah Naar berkata.

Drauhjalmr, pelindung kepala yang juga memiliki dua tanduk. Berguna untuk membuat replika pemakainya.” lanjut orang itu.

“Aku sebenarnya setengah percaya dengan cerita dari Naar. Tentang kisah cinta kalian.” Pria bergerak mendekat ke arah Ratu.

“Akhirnya aku mengambil Drauhjalmr milik Naar. Menyatukannya dengan Tarnhelm, menjadi pelindung kepala dengan empat tanduk. Membuatku bisa mengubah diri menjadi Naar, dan membuat tubuh bayangan untuk mencari tahu kebenarannya dari mulutmu sendiri.” ucap pria yang ternyata adalah Ninnoer.

Ratu merasakan lemas semua persendiannya, tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Kerinduannya yang mendalam membuat dia melupakan kemampuan sihir dirinya sendiri begitu melihat sosok Naar. Dia jatuh bersimpuh

“A-apa kamu membunuh Naar?” Ratu merasakan air matanya menggenang.

“Tidak. Aku tidak membunuh dia. Belum.” seringai Ninnoer dalam sosok Naar. Dia melanjutkan, “Jika aku tidak bisa memilikimu, maka tidak ada seorang pun yang boleh!”

Segera setelah mengatakan itu, Ratu melihat sosok Ninnoer dalam tubuh Naar menghilang. Perasaan aneh bergejolak di dalam hati dan pikirannya. Dia berharap ini semua hanya mimpi. Tapi semuanya adalah kenyataan. Ini adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan.

Ratu menjerit, berteriak dan menangis sejadi-jadinya.

-----

Namaku adalah Ninnoer, aku sudah memberikan segalanya. Namun itu belum cukup. Cintaku dibalas dengan pahitnya pengkhianatan.
Tidak bisa memiliki wanita yang aku cintai, bagiku ini sama saja dengan mati.
Aku menatap Naar yang masih terbelenggu.
“Tidak ada yang boleh mencintai Ratu selain aku!”

#####

==================================================================
Cerita ini diikutsertakan dalam ajang lomba menulis cepen Fantasi Fiesta 2012
==================================================================

0 comments:

Post a Comment