Fantasi Fiesta 2011 - Tiga Rajah

Julukanku adalah Eziele, dan percaya atau tidak bahkan aku sendiri tidak tahu nama asliku. Aku adalah seorang Moorlakh, seseorang yang terlatih untuk membunuh secara diam-diam dengan senjata dan sihir.

Aku telah melihat berbagai cerita di Mithlerer Ostien, sejak umur limabelas tahun aku telah menyelesaikan ujian terakhirku sebagai Moorlakh. Aku mengetahui banyak tentang keburukan yang ada di daratan Mithlerer Ostien, beberapa cerita terkadang sengaja disebarkan beberapa lagi disimpan dengan rapat.

Apa yang akan aku ceritakan pada kalian, adalah sesuatu yang tidak pernah kalian pikirkan sebelumnya, kebenaran yang tersembunyi di balik sebuah sejarah. Sebelum masaku berakhir, biar kalian mengetahui kebenaran tentang sesuatu yang kalian sebut Iblis. Aku bukan orang terpilih, dan aku juga bukan orang yang hidup terakhir untuk menyelamatkan dunia.

=====
Berawal pada saat kematian penguasa negeri Syrien yang menderita penyakit lepra, Orde Hemiel, Rediel sang pimpinan Orde Hemiel memanggilku untuk mengamankan Etwi-zin-biekh, sihir legenda yang konon bisa membangkitkan pasukan-tak-bisa-mati dan mengendalikannya.

“Namun sebelum sihir ini ada yang menggunakan, seseorang memecah menjadi sihir itu menjadi tiga bagian, menjadi tiga rajah.” Rediel berkata membelakangiku, menghadap jendela kaca besar dan menerawang jauh ke luar.

“Orde kita adalah salah satu penerus dari ketiga orde penjaga Tiga Rajah.” Rediel menempelkan telapak tangannya ke kaca jendela. Aku menatap pria paruh baya bertubuh agak kurus itu sambil memperhatikan rambut pendeknya yang penuh dengan rambut putih.

“Apa yang terjadi?” aku akhirnya membuka mulut setelah orang di hadapanku itu lama terdiam, aku merasa telah terjadi sesuatu.

“Orde Veld, penjaga rajah di daratan Terkiyen telah diserang. Tidak ada yang tersisa, semua hangus terbakar. Bangunan, perkamen, bahkan penghuninya-“ Rediel tidak meneruskan.

“Semua yang berada di sana, tidak ada yang bisa menatap matahari lagi.” Rediel memukul kayu penyangga kaca.

“Salah satu dari Tiga Rajah lenyap. Kabar mengatakan, seorang telah dengan sengaja ingin mengumpulkan Etwi-zin-biekh.”

“Yang satu lagi?” Eziele mulai mengerti, meskipun dia mempunyai jabatan tinggi di Orde ini dia sama sekali tidak mengetahui tentang hal ini.

“Belum ada kabar dari Orde Naar yang menjaga rajah ketiga. Naar memang Orde yang paling tersembunyi, jarang yang mengetahui tempat keberadaan mereka.”

“Bahkan anda dan para dewan?” Aku mengernyitkan dahi, sedikit tidak percaya orang-orang tertinggi di Hemiel bahkan tidak mengetahui tentang keberadaan Naar.

Aku melihat Rediel menggelengkan kepala perlahan, nampaknya sang petinggi Naar memang benar-benar kesulitan mendapatkan informasi tentang Orde penjaga terakhir. Hebat sekali Orde Naar itu sampai-sampai Orde yang lain tidak bisa menemukan mereka pikirku.

Etwi-zin-biekh terlalu berbahaya untuk digunakan manusia. Misimu adalah untuk menemukan kedua rajah yang lain lalu hancurkan. Karena hanya pada saat Tiga Rajah disatukan, mereka bisa dihancurkan.
“Kenapa tidak dilakukan sejak dulu?” aku balik bertanya, karena sangat klise sekali jika orang-orang baru sekarang memikirkan untuk menghancurkan rajah-rajah itu.

“Tidak ada yang bisa menghancurkan Tiga Rajah, dari dulu sampai sekarang. Beberapa sudah berusaha mencobanya.” sebuah suara muncul dari pintu dibelakangku. Aku menoleh ke arah wanita yang terlihat seperti wanita berumur 40 tahun yang berjalan perlahan mendekat tapi percayalah Numian, wanita ini umurnya sudah di atas 100 tahun.

“Kalau begitu, apa aku akan bisa menghancurkannya?” Aku membalikkan wajah dan menatap Rediel yang sekarang berhadapan dengan diriku. Aku melihat sedikit keraguan dalam pandangannya, Rediel berdiam dan mengalihkan pandangan menatap Numian.

Aku kembali menoleh ke arah Numian sang peramal, pandangannya hampir sama dengan pandangan Rediel. Aku merasakan sesuatu hal yang buruk akan terjadi pada diriku.

Numian berbicara denganku melalui pikiran, sebenarnya bukan berbicara karena Numian mengirimkan gambar-gambar bergerak ke dalam pikiranku. Sesuatu yang harus aku lakukan, akan aku lakukan dan apa yang akan terjadi pada diriku setelah itu di”bicara”kan dengan jelas oleh Numian di dalam kepalaku.

*****

Tiga purnama berlalu sejak aku meninggalkan Syrien, sekarang aku melanjutkan perjalanan menuju Karin tetap dengan berjalan kaki. Sengaja aku memilih tidak melalui jalan yang biasa digunakan orang. Karin adalah perkampungan terakhir yang belum aku kunjungi di daerah Kilikiyan ini.

Di pagi hari ketiga ini Karin hanya berjarak satu-dua jam lagi, namun firasatku mengatakan ada sesuatu yang aneh. Gerakan angin dan hewan-hewan mempertegas firasat burukku. Aku pun berlari menuju Karin dengan tubuh angin.

Karin terbakar, semua terbakar. Beberapa mayat bergelimpangan di dekat gerbang, rumah dan bangunan terbakar. Tidak ada satu makhluk hidup tersisa, aku mengirim tubuh maya-ku untuk memeriksa keadaan di dalam kobaran api sementara aku berada tidak jauh dari gerbang masuk perkampungan.

Dengan tubuh maya, aku bisa melihat mayat-mayat penduduk kota yang tidak hangus terbakar, tubuh mereka tercabik-cabik seperti terkena gigitan hewan. Deskripsi yang sama dengan cerita Rediel tentang penyerangan terhadap Orde Veld. Tiba-tiba aku merasakan panas dari rajahku, konsentrasiku menjadi terganggu, tubuh mayaku dengan cepat melesat kembali ke tubuhku hingga aku hampir terpental ke belakang.

Numian pernah mengatakan, rajah Tiga Rajah akan bereaksi jika berdekatan dengan rajah yang lain. Aku bersiaga, belum yakin apakah rajahku merasakan rajah dari Orde Naar atau rajah yang dicuri dari Orde Veld. Aku mengerahkan tiga tubuh maya untuk mengitari sekeliling perkampungan sementara aku bersembunyi dengan jubah-tak-kasat-mata.

Sebuah bayangan melesat menjauh dari Karin di sisi timur, salah satu tubuh maya-ku melihat sosok itu berlari memasuki hutan sebelah timur. Segera aku melepaskan mantra tubuh maya, dan mengejar orang yang aku yakini ada hubungannya dengan Tiga Rajah.

Beruntung staminaku masih cukup kuat untuk mengejar setelah menggunakan mantra tiga tubuh maya sekaligus. Kemampuanku sebagai Moorlakh adalah nomor satu di Hemiel, mengejar orang ini tidak begitu susah. Dengan segera aku sudah berjarak dengan sosok yang aku duga adalah seorang anak muda karena postur tubuhnya. Aku melihat noda-noda darah di pakaiannya. Aku mengira dialah sang pembantai penduduk desa Karin.

Dengan satu lesatan, aku berhasil meraih bahunya. Seketika itu juga aku membalikkan tubuhnya dan mendorong anak muda itu hingga terjatuh ke tanah. Tangan kiriku dengan sigap menempelkan akinaka di lehernya. Aku yakin anak muda itu juga menyadari ketajaman belatiku ini.

“Bernafas maka kamu mati!” ancamku. Namun yang membuat aku sangat terkejut bukan karena anak muda ini mempunyai rajah di pergelangan kanannya tetapi juga karena anak ini bukanlah manusia. Perawakannya memang mirip dengan manusia, namun kupingnya berujung lancip. Dan saat dia berusaha memberontak, aku melihat deretan gigi runcing di dalam mulutnya. Warna kulit hijau pucat, bola mata mirip dengan mata ular.
Belum selesai aku mencerna makhluk apakah dia, sebuah hembusan angin keras menerpaku dari belakang seiring dengan tumbang-tumbangnya beberapa batang pohon. Dengan cepat aku menoleh, dan menghindar saat sesuatu yang sangat besar menerjangku.

Aku mengambil salah satu dari sepasang kilij yang bersarung di punggungku, menyiagakan di tangan kanan dengan tangan kiri masih memegang akinaka. Namun aku kira dua benda itu tidak akan dengan mudah mengalahkan makhluk itu, bukan mengalahkan anak muda berkuping lancip tadi melainkan seekor naga yang dengan gagahnya melindungi tuannya.

Tidak perlu berpikir dua kali, aku melesat mundur jauh ke belakang.  Moorlach tidak seperti Magi, penyihir tingkat tinggi, atau Palatine, ksatria terkuat. Kami di ajarkan untuk menyerang tidak secara terang-terangan, bukan beradu otot dengan bertatap muka langsung. Meski aku tidak menyukai ini tapi menyelamatkan diri lebih penting.

Sambil menghindar ke belakang, aku menyerang dengan sihir jarak jauh untuk membuat anak muda dan naga itu kewalahan. Jubah-tak-kasat-mata aku gunakan bersamaan dengan meledakkan kilat cahaya untuk menyilaukan pandangan lawan. Aku berhasil melarikan diri. Namun lebih tepatnya aku lihat lawan-lawanku itu tidak berusaha mengejarku karena aku melihat bayangan hitam besar melesat di angkasa menjauh dari diriku, menjauh dari Karin.

Aku kembali menuju Karin, menatap perkampungan yang perlahan-lahan berubah menjadi puing-puing menghitam. Petunjuk yang seharusnya bisa aku temukan di tempat ini, kini tidak lagi bisa membantu. Aku memutuskan untuk mengejar anak muda pemilik rajah penunggang naga. Dia adalah satu-satunya petunjuk yang aku punyai, naga, mayat-mayat tercabik di Karin dan Veld, serta satu bagian Tiga Rajah di tangannya pasti berhubungan.

*****

Pelacakanku terhadap anak muda penunggang naga selama lebih dari dua purnama membawaku menuju Terkiyen, tempat salah satu dari Tiga Rajah yang hilang. Kota Tujuh Bukit, sebuah kota megah tempat Orde Veld berpusat, salah satu kota besar di negeri Terkiyen. Namun sejak menghilangnya rajah Tiga Rajah dan dibantainya semua penduduk kota tanpa kecuali, tidak ada seorang pun yang berani mendekat. Kota ini telah menjadi kota hantu.

Aku berjalan mengendap dalam bayangan, sesuai dengan ajaran kami sebagai Moorlakh. Di kota yang sekarang lapang ini bukan berarti tidak ada bahaya yang mengintai. Dengan waspada aku bergerak menuju kediaman Orde Veld, berbeda dengan Orde Naar dan Hemiel yang sengaja merahasiakan diri, Veld secara terang-terangan membuka dirinya kepada masyarakat. Beruntung Veld adalah Orde para Palatine, jadi orang tidak akan mencibir mereka. Tidak seperti dengan Naar dan Hemiel yang bergerak dalam “bayangan”
.
Bercak-bercak darah masih terlihat, meski pasir dan debu menempel tebal di kota ini. Aku menuju bagian tengah kota, di mana sebuah bangunan besar dengan kubah besar berwarna putih dengan hiasan emas berdiri. Aku mengitari beberapa gedung di sekeliling kediaman Orde Veld. Setelah menemukan celah dan meyakini tidak ada tanda-tanda mencurigakan, aku menyelinap masuk ke dalam gedung Orde Veld.

Menghemat energi sihir, aku mengendap perlahan tanpa menggunakan jubah-tak-kasat-mata menuju ruang utama. Aku berusaha untuk mencari tahu apa yang terjadi di tempat ini, bekas pertarungan terlihat jelas antara para ksatria Veld dengan satu orang lawan. Ya, aku hanya mendapati jejak satu orang lawan.

Belum sempat aku mencerna, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Pemilik suara berjalan dengan tenang seakan merasa aman di tempat ini. Dengan perlahan aku bersembunyi di dekat sebuah tiang besar, memakai jubah-tak-kasat-mata dan menajamkan pandangan. Sosok itu tidak lain adalah anak muda yang aku lacak jejaknya. Tidak lupa aku mengitarkan pandangan untuk merasakan keberadaan sang naga, aku tidak ingin dikagetkan lagi.

Rajahku terasa panas, sama seperti ketika aku berada dekat dengan anak muda ini di Karin dulu. Tiba-tiba dia berhenti dan menatap ke arah langit-langit ruang utama, bagian dalam kubah yang sebagian terbuat kaca. Aku mengira dia merasakan panas di rajahnya, namun aku salah.

Sesuatu melesat dari atas memecahkan kaca-kaca dan mendarat dengan keras di lantai. Seorang pemuda yang sebaya dengan diriku, berdiri tegak menatap sang anak muda. Wajahnya terlihat sangat rupawan dengan rambut hitam panjang berurai.

Aku menatap sosok itu, dia memakai pakaian dari bahan logam berwarna hitam. Logam-logam itu terlihat kokoh tapi juga ringan karena dia bisa bergerak bebas. Pakaian itu mirip dengan jirah perang, menutup hampir semua bagian tubuh. Yang aku takjub adalah sepasang sayap yang terbuat dari logam yang sama di bagian punggung orang itu. Sayap logam itu bergerak bebas seperti layaknya sayap burung.

Aku mengenal pakaian tempur itu, vouraq. Senjata yang sudah tidak pernah terlihat lagi di dunia sejak ratusan tahun yang lalu.

Mereka saling berpandangan, ada kebencian yang tersirat di mata kedua orang itu.

“Kamu! Apa yang kamu lakukan di sini Luxträgger?” kata si anak muda itu sambil mengeraskan rahang dan mengepalkan kedua tangannya.

 “Arziele,” suara terkesan angkuh seorang bangsawan terdengar dari mulut Luxträgger si pemakai vouraq. “senang sekali berjumpa dengan dirimu lagi.”

“Aku tidak punya waktu untuk melayani omong kosongmu!” Arziele menarik lengan bajunya, menunjukkan rajah Tiga Rajah kepada Luxträgger.

“Aku menginginkan rajahmu!” teriak Arziele.

“Cih, kamu pikir kamu bisa mengambil rajah milikku seperti kamu mengambil dari Naar?” ejek Luxträgger.
Aku sedikit kaget, anak muda itu bisa dengan mudah mengambil rajah Tiga Rajah milik Orde Naar yang bahkan aku sebagai Moorlakh terbaik di Mithlerer Ostien ini tidak bisa menemukan kaum Naar. Tapi bocah semuda itu bisa dengan mudah merebut rajah yang dirahasiakan.

“Aku juga bisa mendapatkan rajah milikmu kalau saja kamu tidak melarikan diri.” Arziele balas mengejek.
“Apa Maki, naga tunggangan masih hidup?” Luxträgger tertawa menyeringai.

Arziele semakin marah, aku menduga mereka pernah bertarung dan si naga tewas di tangan Luxträgger.
“Tapi aku tidak percaya kamu tega membiarkan penduduk kota ini mati agar kamu bisa melarikan diri.” Arziele semakin geram.

“Makhluk pemakan manusia sepertimu tidak pantas berkata seperti itu. Menyelamatkan rajah ini lebih baik daripada harus memberikannya padamu.” kata Luxträgger merentangkan sayapnya, ekspresi wajahnya tetap dingin. Sayap-sayap yang tadi bergerak lembut, sekarang menjadi keras dan terlihat kokoh. Ujung-ujungnya terlihat sangat tajam.

Dengan sekali gerakan Luxträgger menggerak-gerakkan sayapnya bersiap untuk menyerang. Arziele melayani dengan membuka lengan baju tangannya yang satu lagi. Dari kejauhan aku bisa melihat itu tangan itu berbeda dengan tangan Arziele yang satunya, tangan itu berwarna merah dengan pendaran garis-garis berwarna biru. Aku yakin itu bukanlah tangan dari makhluk yang ada di dunia ini.

Pertarungan pun terjadi, benturan dan hantaman berlangsung. Kilatan-kilatan cahaya, desakan angin, dan beberapa ledakan dari mantra sihir beradu tak kunjung berhenti sampai matahari. Tangan merah Arziele seakan memuat banyak ilmu sihir.

Aku mulai menyiapkan senjata, pembicaraan mereka dalam pertarungan itu membuat aku memahami apa sebenarnya di balik keinginan mereka. Arziele, salah satu penerus klan naga ingin membangkitkan para naga yang pernah dibantai oleh para manusia. Sementara Luxträgger adalah menginginkan kekuatan ini untuk kepentingan pribadinya, dan aku yakin pasti bukan sesuatu yang baik.

Pada saat Luxträgger terdesak mundur dan terjatuh, aku mengambil kesempatan itu untuk menyerang secara tiba-tiba Arziele yang tidak menyadari seranganku. Sebuah tusukan di bagian perut cukup untuk melumpuhkannya, aku masih membutuhkan dia dalam keadaan hidup untuk mengambil satu bagian dari Tiga Rajah.

Aku menarik salah satu kilij-ku, Arziele terjatuh ke lantai sementara di belakang sana Luxträgger masih tersandar di tiang besar, pingsan. Pengguna vouraq itu bukan lawan patut aku perhitungkan setelah dia kalah dalam pertempuran dengan makhluk dari klan naga ini.

Satu tendangan kerasku membuat Arziele tertelentang di lantai, aku tancapkan akinaka ku di telapak tangan-merahnya hingga menempel ke lantai. Dia berteriak berang namun tidak mampu melawan. Sementara tangan-rajahnya, aku injak kuat. Tidak ingin berlama, aku sedikit menunduk untuk membaca mantra dan memindahkan rajah itu ke lenganku. Numian sudah mengajarkan caranya, meski aku harus menghapalnya berkali-kali.

Diagram sihir muncul mengelilingi kami, bercahaya terang berbagai warna. Ritual pemindahan rajah dimulai, aku menempelkan lenganku ke lengan Arziele. Rajah milik anak muda itu perlahan bergerak berpindah menuju lenganku. Tidak begitu lama, ritual selesai. Sebuah injakan keras aku hujamkan ke ulu hatinya, Arziele langsung tak sadarkan diri.

Aku bergegas menuju Luxträgger yang masih tidak sadarkan diri karena hempasan keras dari serangan Arziele. Aku tidak pernah tahu kalau Orde Veld mempunyai seorang pengguna vouraq, pertanda mereka menyembunyikan rahasia dengan baik. Pemilik rajah yang bisa membela diri sendiri, sesuatu yang baru saja dipikirkan Ordeku saat menanamkan satu bagian dari Tiga Rajah ke tubuhku.

Saat aku berjalan mendekat ke arah, aku merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Panas di dua bagian dari Tiga Rajah yang menyatu di lenganku semakin hebat, kali ini panasnya menjalar hampir ke seluruh tubuhku. Sambil menguatkan diri, aku mendekat ke arah Luxträgger dan menusukkan kilij di bagian bahu kiri, di atas jantungnya.

Dia tersadar dan langsung mencengkeram kilij-ku yang sudah menembus bahu dengan kedua tangannya. Sayapnya berusaha untuk menyerangku, namun tiang besar menahan sepasang sayap logam itu untuk mengembang. Aku mengambil sebilah kilij yang masih bertenger di punggungku kemudian menusukkan pedang lengkung itu ke pergelangan tangan kanan Luxträgger. Pedang itu menembus tangan, dada kanan dan menancap ke tiang.

Perlahan aku mendekat untuk membuka pelindung tangan sebelah kiri Luxträgger yang aku tahan dengan tanganku, bagian terakhir dari Tiga Rajah terlukis di sana. Ritual kembali aku lakukan, meski panas dari dua rajah semakin tidak tertahankan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, aku hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Numian dan Radiel, mengumpulkan Tiga Rajah dalam diriku.

Segera setelah aku mendapatkan semua bagian Tiga Rajah, aku melangkah hendak meninggalkan kedua orang ini.

“Se-selamatkan anak..” lirih Luxträgger. Membuatku terpaksa menghentikan langkah.

Aku menoleh, dengan segenap tenaga orang itu itu berusaha untuk berbicara.

“Tolong selamatkan anak-anakku. Si-siapapun kamu..” akhirnya dia bisa berbicara setelah lama berdiam untuk mengumpulkan nafas.

“Kenapa aku harus melakukan itu?” tanyaku.

Luxträgger kembali terdiam, bernafas pelan kemudian batuk dengan sedikit darah mengalir di bibirnya.

“Apakah kamu tahu rasanya menjadi seorang ayah yang tidak berdaya untuk menyembuhkan putra-putranya dari tidur yang panjang?” katanya lagi sambil berusaha untuk berbicara dengan cepat namun jelas terdengar.
Aku berdiam, mencoba mengingat kembali perasaan kasih sayang yang dulu pernah aku punya. Hanya saja, aku mendapatkannya dari seorang guru di Hemiel.

“Kamu pasti akan melakukan apa saja, dari yang paling licik sampai paling kejam sekalipun. Seperti aku yang mengkhianati Orde dengan melarikan Rajah saat Arziele menyerang.” gumam Luxträgger seakan menyesali perbuatannya.

Aku mendekat dan menunduk mensejajarkan pandangan mata dengan Luxträgger, wajahnya semakin pucat. Waktunya sudah dekat. Aku mengira dia berkata jujur, karena kebanyakan orang menjelang ajalnya pasti tidak akan bercerita bohong.

“Mantra apa yang harus aku ucapkan?” entah kenapa tanpa sadar aku berucap. Seakan ada suatu kekuatan dari dalam hatiku untuk mengatakan itu. “Apa yang harus aku rapal untuk melepaskan kutukan terhadap anak-anakmu?” lanjutku sambil melepaskan sepasang kilij yang menancap di tubuhnya.

Luxträgger menatapku perlahan, seakan bertemu dengan seorang malaikat.

“Odsie Ouysa Revethawsie; Lliwsie Ouysa Revethawsie; Noitovedsie Ymsa Rofsie Noitidnocsa Onsie Niatniamsa Isie; Ycremsie Fosa Ekassie Ehtsa Rofsie Pihsrowsa Tonsie Odsa Isie. Enosie Ehtsa Tubsie Gnihtynasa Pihsrowsie Lliwsa Isie.” Luxträgger membacakan mantra dengan perlahan sehingga aku tidak salah menyebutkan.

Aku mundur beberapa langkah, merapal mantra sesuai dengan rapalan yang dikatakan oleh Luxträgger.
Tiga Rajah di tanganku berpendar. Perlahan lingkaran sihir kecil muncul di lantai mengelilingiku, cahaya-cahaya dari lingkaran itu menjalar hingga membentuk lingkaran sihir yang lebih besar begitu seterusnya hingga hampir semua lantai ruang utama ini penuh dengan lingkaran sihir.

Secara tiba-tiba cahaya itu menyala dengan terang, menyilaukan mataku. Lantai yang ku pijak bergetar dengan hebat, dan sesuatu menyeruak dari bawah. Sebuah benda besar berwarna putih gading menerobos dari dalam tanah, aku terpental beberapa meter. Benda itu semakin menjulang hingga menghancurkan kubah.
Aku berusaha untuk melompat menjauhi benda itu sambil mencari di mana Luxträgger dan Arziele. Sejak cahaya itu menyilaukan mata, aku tidak melihat keberadaan mereka. Setelah keluar dari gedung, aku melesat menaiki sebuah gedung yang tidak jauh dari kediaman Orde Naar, dan menatap ke arah benda besar yang menghancurkan gedung kediaman Orde Naar.

“Gerbang Neraka.” sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh, Arziele sudah berdiri di sampingku.
“Kerja bagus, Moorlakh.” katanya dengan nada mengejek.

“Nah, sekarang apa kamu akan bertanggung jawab terhadap kebodohan yang kamu buat?” seringai Arziele terlihat berkat bulan purnama malam ini.

Aku kembali menatap Gerbang Neraka, sesosok makhluk hitam melesat dan berdiri tegak di atasnya. Perlahan sepasang pintu gerbang bergerak terbuka.

“Siapa dia sebenarnya?” tanyaku.

Arziele menyiagakan tangan merahnya, luka sudah sembuh. Dia mengembalikan akinaka milikku.
“Dia adalah yang kalian panggil sebagai Iblis.” desisnya sambil bersiap untuk menghajar anak-anak Iblis yang akan muncul dari balik gerbang.

Aku menggegam erat sepasang kilij-ku.

Aku adalah Eziele, seorang Moorlakh. Aku bukan orang terpilih, dan aku juga bukan orang yang hidup terakhir untuk menyelamatkan dunia. Aku hanya berusaha menyelesaikan masalahku dengan sang Iblis.
=====
Cerita ini diikutsertakan dalam Lomba Fantasy Fiesta 2011 di www.kastilfantasi.com

0 comments:

Post a Comment