Jimmy Zombie - Chapter 1


Not Just Zombie at School

Zombie tidak bisa menulis? Wah, itu salah besar teman.Banyak cerita yang salah tentang kami, seperti yang mungkin ditayangkan di film, ditulis di novel, atau apapun yang tersebar di masyarakat.  Hmm, daripada aku menjelaskan ini satu persatu, lebih baik aku katakan apa yang aku ingat saja, secara acak. Otak kami sudah tidak bisa berfungsi layaknya manusia normal, jadi aku tidak bisa berpikir terlalu keras.

Hmm, mari kita lihat. Ah iya, makanan. Kalian pasti menduga kami memakan cacing, bangkai, atau daging. Ugh, itu menjijikan sekali. Perlu aku tegaskan, itu tidak benar.Setidaknya aku dan orang-orang yang aku kenal tidak melakukan itu.Kami makan, namun hanya yang sangat mudah di cerna, sereal atau bubur untuk bayi. Yah, tubuh kami tidak sanggup untuk melakukan proses pelumatan makanan seperti saat kami hidup.

Tunggu sebentar, aku harus membenahi pakaianku dulu.Sekolahku tinggal beberapa meter lagi.
“Jim!” seorang remaja berumur enam belas tahun memanggilku. Meskipun kami satu kelas, tapi aku tidak akan memanggilnya sebaya. Umurku, jauh-jauh-jauh di atas Daniel, remaja yang memanggilku.
Aku hanya menoleh dan mengangguk.Bukan karena aku tidak bersemangat, tapi menjadi remaja berumur tujuh belas tahun entah sudah berapa puluh kali membuatku sedikit kehilangan emosi, atau aku pikir aku masih punya sedikit emosi di dalam tubuh ini.

Daniel, sudah menjadi temanku sejak dia masih duduk di kelas delapan.Tidak ada yang spesial tentang dia, seperti bocah yang tidak menonjol lainnya. Tapi, di antara manusia lainnya di sekolah  ini, hanya Daniel yang mengetahui kalau aku adalah zombie. Yup, dia tahu betul bahwa aku bukan manusia.Bukan karena dia mempunyai kemampuan penyelidik, atau cenayang. Ayah Daniel, Bernie adalah kenalan kaum kami. Atau lebih tepatnya, kami adalah pelanggan Bernie.

Menjadi zombie adalah sesuatu yang sangat-sangat mahal.Tidak seperti para pengisap darah, kaum zombie tidak mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan diri sendiri.Kami tetap menua, bukan, menua bukan kata yang tepat. Membusuk! Ya, membusuk adalah kata yang tepat.

Pembusukan atau kejadian tidak menyenangkan lain seperti tangan atau kaki putus, luka yang dalam, atau hal-hal yang serupa dengan itu adalah musibah bagi kaum zombie. Bukan karena kami akan tewas atau apa, tapi karena kami harus memperbaiki diri kami. Benar, memperbaiki. Tidak berbeda jika motor atau mobilmu penyok atau penyok, kami harus membawa tubuh kami ke bengkel untuk mengganti suku cadang anggota badan atau ke body shop hanya untuk sekedar mempercantik tampilan luar kami.

Nah, Bernie adalah seorang penjual suku cadang yang cukup terkenal dikalangan para zombie.Entah darimana dia mendapatkan anggota tubuh manusia itu, yang jelas dia orang yang handal dalam memasang ulang anggota tubuh.Tidak diragukan lagi kualitas pemasangan oleh Bernie.Meski suku cadang yang dia jual tidak selalu bermutu bagus.Paling tidak, para zombie menyukai sentuhan tangannya dalam mereparasi tubuh.

Waktu itu, aku baru saja mengalami kecelakaan yang mengakibatkan aku kehilangan sepasang kaki.Aku pun pergi ke bengkel Bernie, dan sialnya, saat itu Daniel sedang dilatih oleh Bernie untuk menjadi pengganti dia kelak.Daniel yang mengenaliku karena kami berada di satu kelas, terdiam saat menatap ayahnya memasang sepasang kaki untukku.

Beruntung, Daniel sudah mendapat didikan dari ayahnya untuk tidak menceritakan kepada siapapun tentang para zombie, atau pekerjaan sampingan Bernie ini. Walau begitu, Daniel sering mempermainkanku dengan mengancam akan mengatakan kepada semua bahwa aku adalah seorang zombie.
Bisa saja aku mengelak dengan cara pindah dari tempat ini, tapi aku terlanjur menyukai tempat ini. Lagipula, aku baru saja mengganti suku cadangku dengan tubuh dan wajah baru. Akan menghabiskan banyak biaya untuk pindah ke kota lain hanya untuk ancaman seorang Daniel. Yah, paling tidak karena aku dan dia sering dianggap tidak pernah ada oleh teman-teman satu sekolah kami, aku merasa sedikit aman. Daniel juga akan berpikir puluhan kali sebelum mengatakan hal yang bisa membuat dia semakin dianggap aneh oleh yang lain.

Baiklah, ini adalah hari pertama kami menjadi murid baru di high school.Kata orang, hari pertama menjadi murid SMU adalah hari yang paling penting. Karena ini akan menandakan kamu akan dikenal sebagai apa sampai akhir hidupmu di sekolah ini. Apakah akan menjadi golongan kaum pesolek, tukang pamer pekakas mahal dan bermerek, golongan penggaet, bocah-bocah steroid, atau para kutu buku. Di sinilah para remaja membuat lingkaran kelompok mereka masing-masing.

Yah, selama tiga belas kali aku menjadi siswa SMU, tidak ada kesulitan.Ke-tidak-terkenalan-ku merupakan senjata ampuh, selain karena memang aku berusaha untuk tidak menonjol dan menyendiri.  Tubuhku yang bisa dibilang sedikit kecil, penampilan yang lusuh, kulit terlihat dekil, agak bau, muka pucat dengan garis hitam di bawah mata, bisa dibilang adalah alat penghilang alami jika kamu sedang berada di masa SMU. Tapi kali ini, aku merasa tahun-tahun di masa SMU akan berbeda. Bukan karena aku kembali menjadi teman satu sekolah dengan Daniel, melainkan karena kali ini para kaum bukan-manusia yang lain entah sengaja atau tidak sengaja, ikut meramaikan menjadi murid tahun pertama di sekolah ini.

Aku hanya bisa memaksa otak untuk memikirkan rencana agar tidak tersangkut-paut dengan apapun yang akan terjadi dengan kumpulan makhluk-makhluk itu. Walau firasatku mengatakan akan terjadi sesuatu hal yang membuatku akan sangat menyesal karena aku membatalkan niat untuk meninggalkan kota ini.

Yah, aku tidak tahu apakah pilihanku ini benar atau tidak. Alasanku untuk tetap bertahan selama beberapa tahun di kota ini adalah Claire, gadis berambut pirang yang sangat supel. Meskipun dia termasuk dari keluarga yang berada, gadis riang bertubuh semampai itu telah membuat jantung kembali berdegup.Yah, mungkin kali mengira aku berlebihan dengan mengatakan jantungku kembali berdetak.Tapi, perasaan yang disebut cinta ini datang begitu saja.Kalau para penghisap-darah, dan para manusia-serigala bisa merasakan cinta, kenapa kami kaum zombie tidak?

Daniel menyenggol lenganku pelan, terkadang dia harus mengurangi kekuatannya.Dia sangat takut jika aku menjadi rusak karena hal itu.Padahal tubuh kami masih bisa menahan jika hanya sekedar pukulan atau tendangan, dan hei, bahkan kami tidak merasakan sakit.

Aku melirik Daniel, pandangan matanya mengarah ke satu titik. Aku mengikuti dan, sebuah desiran kecil melewati rongga dada.Seakan saat jantung kamu berhenti kemudian ada yang melakukan CPR dan jantungmu kembali berdetak.

Claire Hamilton, gadis yang sejak dua tahun lalu pindah ke kota ini dan satu kelas dengan aku dan Daniel saat SMP. Sekarang, dia satu sekolah dengan kami. Atau tepatnya aku memaksakan diri untuk satu sekolah yang sama dengannya.

Saking terpesona dengan kedatangan Claire, aku tidak sengaja menabrak seseorang yang sedang berbincang-bincang dengan teman-temannya di dekat pintu masuk.

“Ah, maaf.” aku reflek berucap, salah satu cara untuk menghindari masalah lebih lanjut.

“Maaf?” pemuda itu segera membalikkan badan.

“Wah..wah..wah, lihat ini. Anak baru.Santapan yang lezat di hari pertama sekolah.” ucap pemuda yang bertubuh lebih besar dariku dan Daniel itu.Aku rasa dia adalah senior di sekolah ini. Hah, kalau saja menjadi makhluk lain bukan hal menakutkan, akan aku tunjukkan surat tanda kelahiranku.

Teman-temannya tertawa, firasatku tidak enak. Daniel berusaha menarik lenganku untuk bergegas masuk.Tapi sepasang tangan kekar menahan pundakku.Pemuda itu mendekatkan wajahnya ke wajahku kemudian berkata pelan, “Masih ada lima belas menit sebelum upacara penyambutan.Mari kita bermain sebentar, adik kecil.”

Entah kenapa aku merasa bergidik, bukan karena aku takut akan di sakiti. Tapi aku merasa, bocah ini juga bukan manusia.Aku mendengar sedikit eraman saat dia berbicara.Aku sangat yakin kalau orang ini adalah werewolf.

Segera saja dia menarik jaket biru usangku dan bergegas membawaku entah kemana.Teman-temannya mengikuti, aku lirik salah satunya mengancam Daniel agar tidak mengikuti.Tiba-tiba, sebuah cengkraman kuat mendarat di salah satu tangan di pemuda yang menarikku.

“Hentikan, Tim. Dia sudah meminta maaf.” kata pemuda yang baru saja datang.

Pemuda yang di panggil Tim terdiam, menatap sang penolongku.

“Hei, Scott. Masih berlagak menjadi seorang penyelamat?” balas Tim. Mereka berdua saling menatap tajam satu sama lain. Mereka hanya berpandangan tanpa ada kata-kata selama dua detik, namun bagiku terasa seperti dua jam.Teman-teman Tim mendekat, dan aku mendengar lebih banyak eraman.  Scott hanya seorang diri, namun dia tidak merasa takut akan hal ini.

Dan wow, aku merasakan hawa aneh yang menakutkan muncul dari kedua orang itu.Kali ini sesuatu yang tidak aku bayangkan terjadi.Scott juga bukan manusia, bola matanya yang berwarna coklat terang tiba-tiba berubah menjadi merah pekat seperti darah.Scott adalah seorang vampire.

Aduh, sepertinya ini tidak akan berhenti hanya dengan perkataan, “Maaf, aku harus pergi ke toilet.”

Yup, benar sekali.Meski kalimat bodoh itu tidak sengaja aku lontarkan namun Tim dan Scott masih tetap saling beradu pandang. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Bisa saja aku menghantamkan kepalaku ke kepala Tim, atau memberikan gigitan di lengan kekarnya.Walau gigitan kami tidak sekuat gigitan manusia serigala, paling tidak kami menggigit lebih keras daripada manusia.

“Scott! Tim!” sebuah suara lantang entah dari arah mana.Aku tidak bisa mengetahui persis, dan sepertinya kedua ‘teman’ baruku ini juga begitu. Aku sempat berpikir kalau ada seorang Esper, sebutan untuk orang  yang punya kemampuan paranormal, sedang berbicara ke dalam pikiran kami. Tapi ternyata tidak.

Perempuan berusia paruh baya itu berdiri sambil dengan tangan berdekap tangan.Memakai pakaian berwarna abu-abu gelap, pakaian formal seorang pekerja.Mungkin dia seorang guru atau mungkin kepala sekolah.Aku tidak mengenalnya.Meski aku sudah puluhan kali bersekolah, namun ini pertama kalinya aku bersekolah di sini.

Scott dan Tim sepertinya kenal betul dengan wanita itu, atau mungkin lebih tepatnya segan.Aku terkekeh dalam hati.Aku tidak perlu melakukan sesuatu yang bisa membuat aku menjadi terkenal. Yah, di sekolah menengah kamu akan menjadi sorotan karena menjadi yang terbaik, atau menjadi obyek bully terbaik.

Tim melepaskan genggaman tangannya, seiring dengan Scott yang menarik cengkeraman di tangan manusia serigala itu.Daniel tergopoh-gopoh menerobos teman-teman Tim, bergegas menarik lenganku yang terdiam.

“Selamat Pagi, Ms. Anna!” sapa Scott sambil berlalu.Sementara aku lirik, Tim dan teman-temannya langsung pergi menjauh dari Ms. Anna.

Daniel terus membawaku berlari, menuju aula utama sekolah.Tidak ada yang aku kenali di sekolah ini. Meski sudah banyak sekolah yang aku masuki, namun sekolah ini tegolong baru di kota. Walau begitu, tempat ini selalu menjadi favorit bagi penduduk kota ini. Yah, kecuali kami.Tidak ada zombie yang mau masuk sekolah yang penuh dengan remaja-remaja yang ingin menjadi keren.

Sepasang pintu biru pucat menanti di akhir koridor, entah sudah berapa jauh Daniel menarik lenganku.Kalau dilihat dari nafas Daniel, seperti lumayan jauh. Aku tidak bisa mengira karena kami zombie tidak mengenal yang namanya lelah atau kehabisan nafas.Satu lagi keuntungan menjadi seorang zombie.

Daniel mendorong pintu dengan bahu, setelah melepaskan tanganku.Sedikit keras, namun tidak membuat murid-murid baru yang sudah berada di dalam ruangan kaget. Aku tidak ingin kami menjadi pusat perhatian, dan Daniel juga mengetahui itu.

Di depan sana, beberapa pejabat sekolah sudah berada di atas sebuah panggung permanen setinggi satu meter. Satu buah mimbar kayu berwarna biru gelap diletakkan tepat di tengah panggung dengan sebuah mikropon kecil.Beberapa kursi lipat berjajar di bagian belakang panggung.

Aku segera mengambil earphone dari dalam tas. Meski ini baru pertama kali aku bersekolah di sini, aku yakin ceramah sambutan yang akan diberikan tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolahku dulu. Lagipula, aku berdandan ala anak emo. Pasti tidak ada yang akan protes kalau aku lebih memilih mendengarkan musik dari iPod putih gading kesayanganku. Sementara aku lihat Daniel terlihat senang. Untuk pertama kalinya dia akan menjadi siswa sekolah menengah. Yeah, aku hanya tersenyum sinis.Tunggu sampai kamu berpuluh-puluh kali menjadi remaja, Daniel batinku.

***

Walaupun SMA ini adalah sekolah favorit, namun kota kecil tetaplah kota kecil. Tahun ini secara keseluruhan hanya ada kurang dari empat ratus murid, dan itu sudah termasuk dengan mereka-mereka yang sudah di drop-out ataupun tidak pernah menampakkan batang hidungnya namun masih terdaftar sebagai murid.Yeah, walaupun ini bisa jadi keuntungan bagiku karena lebih sedikit orang, lebih sedikit tingkat ke-populer-an-ku.

Daniel mengajakku ke kamar kecil setelah acara penyambutan selesai. Aku menunggu di depan wastafel, menatap bayangan diriku di depan cermin besar.  Aku menghembuskan nafas secara tidak sadar, beruntung tidak ada orang lain. Daniel juga sedang berada di dalam toilet.

Tidak ada yang aneh dengan wajahku, selain kulit yang tidak lagi segar dan pucat dengan pelupuk mata yang menghitam. Yah, kalau saja sedikit gemuk mungkin aku bisa dibilang mirip dengan Billi Joel-nya Green Day. Senyumku mengembang sedikit, mungkin jika aku manusia normal aku pasti akan mendapat tonjokan keras dari teman-temanku karena merasa mirip dengan seorang artis. Ya, kalau saja aku normal.

Suara siraman air di toilet terdengar, tidak lama Daniel keluar.Aku bergegas menjauh dari wastafel, meski wajah ini tidak lagi bisa dengan mudahnya menampakkan raut muka, namun aku berusaha agar Daniel tidak mendapati wajah meratapi-penderitaan-sebagai-seorang-zombie-ku.

“Jim …” ucap pelan Daniel pelan.Aku menghentikan langkah sesaat sebelum mendorong pintu kamar kecil, dan berbalik ke arah Daniel yang berada di belakang.Wajahnya menampakkan dia ingin mengatakan sesuatu yang serius.

“Ma-af,”  Daniel menundukkan wajah. Aku hapal dengan gerakan ini.Pasti ini sesuatu yang sangat penting dan berhubungan dengan aku.Aku hanya berdiam dan menunggu kalimat selanjutnya dari dia.
“A-ku lupa membawa bekal. Padahal tadi Mom sudah menyiapkannya untukku.” aku menangkap ada getaran dalam nada bicaranya.Aku yakin dia pasti takut dan menyesal.

Ya, mungkin bagi kalian lupa membawa bekal adalah sesuatu yang biasa saja.Sesuatu yang mungkin tidak perlu kalian ributkan.Mungkin hanya seperti saat kalian lupa membawa buku pelajaran, atau lupa membawa dompet.

Tidak bagi kami. Terutama bagi aku, ini sama saja seperti mendekatkan diri ke ujung jurang. Berlebihan?Bisa saja kalian menganggap ini berlebihan, tapi bagiku ini bukan masalah sepele.Aku memang bisa bertahan tidak makan selama beberapa lagipula aku sudah menghabiskan dua kotak sereal tadi pagi.Namun tidak bagi Daniel, dia sedikit punya masalah dengan perutnya.Jadi, dia harus makan teratur kalau tidak, dia bisa saja pingsan dan harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit.

Apa hubungannya Daniel yang lupa membawa bekal dengan aku? Yah, jika dilihat-lihat tidak ada hubungan langsung.  Singkatnya begini, Daniel tidak membawa bekal sama saja dengan Daniel harus membeli makan, dan tempat membeli makan adalah di kantin. Aku yakin kalian semua pasti tahu, kantin sekolah adalah miniatur kecil dari kesenjangan sosial yang ada di masyarakat. Walaupun bukan itu yang aku bahas, melainkan keramaian yang ada di sana. Keramaian adalah pantangan bagi kami kaum zombie, kecuali kalau kamu sedang berkumpul ramai dengan saudara sesame zombie.Itu tidak masalah.
Aku yakin Daniel bisa menatap pandangan tidak mengenakkan dari mataku.Dari seumur pertemanan kita, kamu harus memilih hari ini untuk kelupaan membawa bekal. Daniel! Ini hari pertama sekolah.Begitu arti tatapan mataku.

Daniel memonyongkan bibirnya sedikit, aku tidak melanjutkan lagi ‘pesan’ mataku.Pilihannya adalah Daniel pergi ke kantin sendirian, yang aku yakin sekali dia tidak mau.Atau aku berusaha menjadi invisible boy, dan berusaha menghilang dari radar semua orang.

Aku membalikkan badan, mendorong pintu dan keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai.Daniel bergegas mengejarku.

“Aku berani pergi sendirian.” bisik Daniel setelah menjajariku.

Aku menoleh sambil tersenyum.

“Tidak apa Daniel, selama puluhan tahun aku berhasil selamat dari sekolah menengah. Dan kali ini pun pasti tidak akan jauh berbeda. Satu kali ke kantin tentu tidak akan menyakitkan.”Aku berusaha menyemangati Daniel, atau sebenarnya aku sedang menyemangati diriku sendiri.Semoga saja kawanan manusia serigala itu tidak sedang berada di kantin.

Tepat di ujung pertigaan koridor, sepasang pintu senada pintu aula menanti.Jendela bundar dari kaca menghias di masing-masing pintu.Sepertinya tidak banyak orang yang sedang berada di kantin.Aku tidak melihat keramaian, atau mungkin jarakku masih terlalu jauh untuk bisa melihat ke bagian dalam.
Daniel mempercepat langkah, aku rasa dia sudah tidak tahan lagi.Dia mendorong pelan pintu kantin sebelah kanan.Aku melirik dari celah pintu yang dibuka Daniel. Benar saja, kantin ini adalah medan yang penuh ranjau bagiku. Meski besar, tapi sangat-sangat ramai. Entah kemana masa-masa dimana semua orang lebih memilih makan di taman, di meja dan bangku kayu di bawah pohon.

Aku termangu sementara Daniel bergegas menuju antrian. Lebih cepat dia mengantri, akan lebih baik. Namun menunggu di sini bukan ide yang bagus, dan di antara tiga pintu masuk menuju kantin, kenapa Tim dan kawan-kawannya harus memilih pintu yang sama.

“Selamat berjumpa lagi, bocah!” ucap Tim pelan sambil mencengkeram bahuku dari belakang.

###

0 comments:

Post a Comment