Before Feast

Hari ini seperti hari kemarin. Juga seperti hari sebelum kemarin, dan juga hari sebelum hari sebelum itu. Langit yang ternoda oleh asap hitam, dan segerombolan walking decease yang “bersitegang” dengan pasukan tentara yang memakai persenjataan lengkap. Gemuruh. Menderu. Kedua belah pihak berusaha untuk bertahan hidup dari serangan pihak lawan.

Tıap hari aku berusaha bertahan hidup, menjauh dari suara tembakan dan apapun yang mengerikan. Aku yakin di mana terdengar suara gaduh, pasti kekacauan terjadi. Aku tidak mau menjadi bagian dari peristiwa itu, aku bisa bertahan sendiri.

Suara rentetan tembakan dan erangan serta teriakan terdengar, aku mendongak berusaha memperjelas pendengaranku, tapi tak bisa. Bunyi itu terdengar keras, aku yakin tidak jauh dari sini. Aku berjalan pelan, berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Maju dengan pelan menuju tempat yang lebih dalam, agar tidak ada yang bisa mencium keberadaanku.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku bersembunyi di tempat gelap dan kumuh ini. Sebulan? Sepuluh bulan? Setahun? Mungkin lima tahun, aku tidak ingat. Lupa dengan apapun yang berbau dengan waktu. Sekarang hanya ada dua waktu bagi kami, aku dan pacarku, yaitu waktu aman dan tidak aman.

Waktu aman adalah saat kami bisa berjalan sambil mengendap-endap agar tidak terlibat dari kekacauan yang sedang terjadi. Sedang tidak aman, adalah tidak pergi kemanapun dan menutup semua akses masuk ke rumah, barak, atau di mana pun tempat persembunyian yang kami temukan.

Sekarang adalah saat aman, aku tahu dari suara hening. Tidak ada rentetan senjata api, atau teriakan dan erangan lagi. Aku menyeret sosok itu, aku tidak mengenal pria ini. Mungkin dia tetangga seseorang, rekan kerja dari cabang luar kota, atau salah seorang dari survivor entah dari daerah mana. Aku berharap bisa membawa dia ke parit besar tempat persembunyian aku dan pacarku sekarang. Semoga saja jejakku tidak tercium oleh mereka.

Aku tidak begitu mengerti asal mula semua ini terjadi. Saat itu aku sedang bermesraan dengan pacarku di apartemen kecil di dekat Tulane University, tempat kuliahku. Kami sedang asyik bercumbu dan membiarkan televisi menyala dengan suara yang lumayan keras, untuk menyamarkan suara-suara yang kami buat saat bercinta.

Tidak ada yang menarik dari acara yang ditayangkan. Jelas tidak ada yang lebih menarik daripada bercinta dengan orang yang dicintai. Aku hanya menangkap beberapa kata yang keluar dari pengeras suara televisi.
Orang-orang yang menggila. Virus rabies. Tanaman. Bio-Weapon.

Entah kenapa otakku menangkapnya sebagai gabungan film “The Happening”, “Resident Evil” dan permainan “Plants vs Zombies”. Aku tidak begitu memikirkan, toh¸ nanti aku akan bisa meminjam film ini di rental terdekat. Saat ini aku sedang sibuk membuka celana jeans pacarku dan akan bercinta sampai larut malam. Aku mendengar suara gaduh tetangga. Kami tidak peduli.

Baru keesokan paginya aku menyadari, “film” yang aku dengar kemarin “ditayangkan ulang” hampir di semua stasiun televise Bukan di saluran entertainment, tapi di saluran berita. Sesuatu yang diberi label wabah, sudah menjalar ke berbagai tempat. Tidak hanya di New Orleans ini, tapi di beberapa negara bagian juga.

Pacarku terbangun saat aku lebih mengeraskan suara dari televisi yang sedang menayangkan rekaman-rekaman dari video amatir tentang “kekacauan” yang terjadi. Ini nyata. Ini bukan cerita fiksi lagi. Pacarku hampir saja muntah saat melihat video yang menayangkan dua-tiga orang sedang mengejar dan “memakan” hidup-hidup orang yang lain. Zombie. Ini benar-benar terjadi.

Dugaan para ilmuwan, beberapa tumbuhan melancarkan gas yang menyerang bagian otak manusia saat terhirup. Virus yang mirip dengan rabies. Kejadian ini berlangsung sangat cepat. Tidak butuh waktu lama seseorang yang terjangkit mengalami perubahan perilaku.

Aku menatap pacarku, keringat dingin menjalar. Berharap ini hanya mimpi buruk, tapi tidak. Ini kenyataan. Tanpa aba-aba, kami bergegas mengambil koper dan segala apapun yang bisa kami bawa dan masukan ke dalam mobil kami. Tidak tahu akan pergi kemana, tapi kami harus pergi ke tempat yang aman.

Tepat pada saat aku memasukan beberapa lembar pakaian, suara sirine nyaring terdengar dari luar. Keras dan bersahut-sahutan. Aku berlari menuju jendela, dan melihat ke jalan. Beberapa mobil polisi, pasukan tentara, dan entah apa lagi aku tidak menanggapinya.

“Kepada semua warga. Daerah ini dinyatakan sebagai daerah tidak aman. Kami ulangi daerah tidak aman.” Sebuah suara dari salah satu pengeras suara yang berada di mobil mengumumkan sesuatu.

“Kami perintahkan semua warga yang masih berada di tempat ini, untuk segera melakukan evakuasi. Kami ulangi, segera evakuasikan diri anda dan keluarga anda. Bawa barang-barang seperlunya.” perintah mereka.
Ya, aku sudah tahu. Meski aku bukan penggemar film mayat hidup, aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku meneruskan mengepak barang-barang penting. Setelah ini kami akan menuju asrama tempat pacarku tinggal untuk mengambil barang-barang dia. Kebetulan searah dengan daerah bandara Louis Armstrong.

Ternyata banyak juga yang berpikiran sepertiku, atau mungkin aku yang terlambat. Karena begitu banyak mobil yang parkir tidak beraturan di depan Bandar Udara. Aku mencari celah kosong terdekat untuk memarkirkan mobil, lumayan tidak terlalu jauh. Aku membawa satu tas punggung dan dua koper, sementara pacarku membawa satu tas besar. Memang aku meminta seperti itu.

Penuh perjuangan kami menuju pintu masuk terminal, keadaan tidak jauh berbeda dengan parkir mobil d luar. Semuanya bertumpuk dan berjejal, berusaha untuk berada di barisan paling depan antrian pembelian tiket go show.

Dari pintu masuk kaca, aku hanya bisa masuk sekitar duapuluh kaki dari pintu. Tidak heran jika ada pemakan daging manusia berkeliaran di sekitarmu. Aku yakin kamu mungkin tidak akan memikiran itu.
Tahukah apa yang terjadi saat kamu sudah mengantri selama tiga jam berdesak-desakkan. Tiket untuk semua tujuan habis. Tidak sampai satu kedipan mata, massa berubah menjadi liar. Berdesakan maju dan berteriak, menyumpah, mencaci, beberapa tangisan mulai terdengar. Bayi, anak kecil, bahkan yang dewasa. Berusaha untuk meminta jatah agar diperbolehkan menaiki pesawat.

Saat itu aku pikir tidak mungkin ada yang lebih buruk dari itu, suara teriakan yang sangat nyaring terdengar dari luar. Membuat hening suasana dalam terminal keberangkatan yang tadi gaduh. Sontak semua mata memandang ke arah sumber suara yang berada di luar sana. Sambil menggumam kami berjalan mendekat ke dinding-dinding kaca. Tiga –empat orang berlari menuju bandara, sepertinya satu keluarga. Mereka di kejar oleh belasan orang lain, aku tidak yakin mereka orang.

Satu orang pemuda berlari lebih cepat dari yang lain, sudah berada kira-kira empat puluh kaki dari pintu masuk terminal bandara Louis Armstrong, yang dua tidak berada jauh di belakang menyusul sementara yang satu tidak secepat yang lainnya.

Tangis panik dan teriakan nanar memecahkan sunyi. Bahkan beberapa ada yang menahan nafas. Aku juga, sembari memegang erat tangan pacarku.

Bagaimana tidak, jika kamu secara langsung melihat seorang gadis manis dengan jeans biru dan jumper biru muda mungkin berumur di bawah dua puluh tahun di tangkap oleh belasan makhluk-makhluk itu, berteriak, menangis, mengerang saat para zombie itu membelah dadanya dengan jari-jari mereka. Darah menyembur saat dia berusaha untuk kembali melarikan diri. Namun cengekeraman-cengkeraman kasar menarik kakinya hingga dia kembali terjatuh. Sebuah gigitan mengoyak lehernya. Kini dia berjuang melawan kematian. Mengejang. Masih dalam keadaan sadar saat tubuhnya menjadi santapan para zombie.

Beberapa dari kami berusaha untuk menyelamatkan, namun beberapa lagi berusaha untuk menutup erat pintu masuk terminal. Pilihan akhirnya jatuh pada menyelamatkan diri kami sendiri. Kami menutup pintunya, dan menjauh dari kaca.

Sebentar, akan aku lanjutkan ceritanya nanti. Sekarang aku harus memanggul orang ini, dia akan sangat membantu kami. Jalan menuju parit yang berada di bawah jembatan batu tidak memungkinkan bagiku untuk menyeretnya. Lagipula aku tidak mau jejak kami tercium.

Oke, sampai di mana tadi. Oh, mengungsi. Akhirnya aku dan pacarku berhasil melarikan diri dari bandara Louis Armstrong, berkumpul bersama ratusan orang lainnya di Callender Field. Daerah militer yang ada di Belle Chase. Sedikit menyusahkan karena kami harus memarkir mobil sekitar empat mil dari garis
pertahanan yang sudah dibuat oleh para tentara. Tapi itu lebih baik daripada di kejar para pemakan manusia. Kami di kumpulkan di dalam, dekat hanggar dan landasan pacu, agar cepat memasuki pesawat yang akan mengevakuasi kami ke tempat lain.

Sebuah pesawat mendarat, di pangkalan udara militer terdekat. Aku menggenggam erat pacarku, sambil mengitarkan pandangan ke sekumpulan survivor di Belle Chase, Lousiana.  Callender Field menjadi satu-satunya harapan setelah Bandara Louis Armstrong resmi di tutup karena serangan para zombie. Kami berdiri, berbarengan dengan para penduduk yang lain. Para tentara yang menjaga sekeliling, mengeratkan senjata mengetahui beberapa dari kami berusaha untuk berebutan menaiki pesawat.

Oke. Aku terpaksa berhenti. Aku mendengar suara yang terbawa angin. Aku tidak dapat mengetahui dari mana. Ah, di sana ada sebuah lubang cukup besar untuk bersembunyi. Di bawah pohon dengan akar besar yang menyembul. Aku meletakkan sosok ini jauh ke dalam, berdempetan di celah yang ternyata tidak cukup besar untuk bersembunyi berdua.

Puluhan langkah kaki aku rasakan dari getaran, sepertinya terburu-buru. Aku menduga itu pasukan tentara. Masih ada yang mau berjuang sampai ke daerah ini. Yeah, aslinya aku juga tidak begitu mengetahui aku berada di mana.

Setelah aku dan pacarku masuk ke dalam pesawat penyelamat, satu kejadian yang mengubah hidup kami berdua dan beberapa yang lainnya terjadi. Makhluk-makhluk terinfeksi virus itu mendadak “bangkit”, menyerang siapa saja yang bisa mereka raih. Pernahkah kamu membayangkan kejadian seperti itu saat sedang berada di dalam pesawat? Well, jika kalian kebetulan mengalaminya bisakah kalian memberitahu kami harus melarikan diri ke mana?

Zombie-zombie menangkap, merobek, dan menggigit siapa saja yang mereka kejar atau yang berani melawan. Aku pikir pesawat kecil yang sedang terbang dengan belasan zombie di dalamnya bukan suatu pertarungan yang bisa kamu menangkan.

Selanjutnya begitu kepanikan mendera, pesawat kami terjatuh dan sekarang entah berada di mana aku tidak tahu. Begitu pesawat mendarat darurat, aku dan pacarku tidak mengingat banyak hal selain berdesakan lari keluar. Kemudian tahu-tahu, aku dan pacarku terbangun di parit yang berada di bawah jembatan batu kecil di sebuah hutan. Hanya ada kami berdua.

Begitulah peristiwa yang masih aku ingat. Sekarang aku harus membawa orang ini menuju tempat persembunyian. Tentu pacarku akan sangat senang saat dia mengetahui aku membawa pemuda ini.
Suara langkah kaki tidak lagi terdengar, aku kembali memapah orang ini. Hanya seperempat mil kaki lagi aku akan tiba di “rumah” kami. Aku tidak sabar ingin membawa berita bahagia ini kepada pacarku. Kami mendapatkan seorang manusia.

Terang matahari masih bisa menembus celah celah daun pepohonan. Aku bisa melihat pacarku berjaga di “pintu masuk”, aku pikir dia melihatku yang mengendap-endap. Dia mengangguk memberikan tanda bahwa keadaan aman.

Aku pun mendekat dengan cepat, melewati dirinya dan masuk ke bagian dalam parit. Aku sudah sangat lapar, entah berapa lama aku berada di luar sana. Begitu sampai di dalam, aku melemparkan pemuda berambut coklat ikal itu. Dia mengerang.

Aku dan pacarku saling bertatapan, kemudian aku langsung menerjang. Aku mencengkeram kemeja birunya dan menancapkan gigiku ke daging yang terasa hangat. Darah segar dari lehernya yang aku gigit memenuhi mulutku. Satu potongan besar daging dan kulit aku jejalkan ke dalam mulutku.

Tangan pemuda itu berusaha untuk menyerangku sesaat dia tersadar karena seranganku. Beruntung pacarku dengan sigap menangkapnya dan menggigit kuat pergelangan tangan laki-laki itu. Dia berteriak, berusaha untuk memberontak. Tapi virus yang menginfeksi kami membuat kami jauh lebih kuat dari manusia biasa. Apalagi ada dua orang dari jenis kami, dan dia hanya satu orang manusia. Ya, virus ini telah menghilangkan kepercayaan lama kami. Kami menjadi bebas. Menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Pacarku menggigit habis semua jemari salah satu tangan mangsa kami, dan melanjutkan dengan jari-jari di tangan yang satunya lagi. Kami sangat lapar, tidak ada makanan manusia yang bisa memenuhi nafsu makan kami yang begitu besar. Menggebu setiap saat. Membuat kami menjadi lebih agresif. Tetangga.Rekan kerja. Saudara. Tidak peduli. Bagi kami, mereka adalah makanan. Dan tidak ada satupun yang bisa menghentikan kami meski kami sadar bahwa kami memakan sesama kami, atau tepatnya pernah satu jenis dengan kami.
Mungkin aku sudahi dulu ceritaku, ada makan besar yang harus kami rayakan hari ini.

###

0 comments:

Post a Comment