Beat The Wolves Bite
Werewolf. Serigala jadi-jadian. Lycan.
Manusia serigala. Banyak nama panggilan untuk makhluk-makhluk seperti Tim dan
temannya ini. Namun kaum kami menamai mereka Wilkar,- dia yang terkutuk oleh darah serigala.Entah sejak kapan
mereka berjalan bersama manusia normal, aku kurang mengetahui.Toh, aku juga
tidak ingin mengetahui.Kapasitas memori otakku tidak perlu aku penuhi dengan
hal-hal yang tidak begitu penting.Yah, mungkin bagi dziekan, para tetua kaum zombie, sejarah para Wilkar mempunyai
manfaat untuk diketahui.
Banyak hal yang
sering dilebih-lebihkan tentang para Wilkar.
Yah, aku akui mereka memang kuat. Bagi yang tubuhnya berotot seperti Tim dan
kawan-kawannya yang kebetulan para pemain Football kebanggaan sekolah ini.
Setidaknya itulah tadi yang disampaikan oleh Kepala Sekolah. Tim adalah Kapten
Football, sekaligus Gelandang terbaik di tingkat SMA.Tapi tidak semua Wilkar bertubuh kekar.Ya, tidak
semua.Aku pernah melihat Wilkar yang perawakannya tidak jauh berbeda dengan
aku.
Oke, kembali ke
masalah manusia serigala. Banyak yang mengira mereka bisa berubah bentuk
menjadi seekor serigala besar? Aku hanya bisa bilang waw. Apa kamu percaya dengan itu? Kalau iya, berarti kamu termakan
oleh cerita-cerita sebelum tidur. Hei, realistis! Jika memang benar para Wilkar bisa berubah bentuk, tentu aku
adalah zombie yang menu hariannya adalah otak dan daging.Otak dan daging, huh,
entah kenapa para pendongeng memberikan kedua benda itu sebagai makanan favorit
kami. Seandainya aku tahu siapa orangnya, pasti akan aku kunyah sampai
mati karena pencemaran nama baik.
Para Wilkar memang berubah bentuk, tapi tidak
se-ekstrem yang kalian bayangkan. Perubahan hanya terjadi pada otot-otot mereka
yang membesar, bahkan satu cerita aku dengar pernah ada yang sampai membengkak.
Kuping lancip, gigi taring, dan kuku-kuku tajam itu hanya imajinasi para
penulis buku. Jangan bayangkan juga mereka berubah menjadi makhluk dua
kaki dengan tubuh yang penuh bulu
dan mempunyai moncong. Menurutku
itu menjijikan.
Hmm, satu hal
yang aku akui sangat keren dari para Wilkar adalah peningkatan kemampuan
indera penciuman, penglihatan, dan pendengaran mereka. Jauh di atas manusia
normal. Bahkan insting mereka benar-benar seperti seekor serigala. Jadi,
serigala jadi-jadian yang asli hanyalah manusia yang tiba-tiba menjadi kekar, kuat, dan cepat. Tidak jauh
berbeda dengan para pemakai steroid.Bukan
makhluk yang bisa berubah menjadi serigala saat purnama ataupun cerita-cerita
lainnya. Ah, heran kenapa terkadang mereka terlihat lebih keren di dalam cerita daripada kehidupan nyata.
Sayang, kemampuan berpikir mereka tidak mengalami
peningkatan. Mungkin jika kemampuan otak mereka bisa membesar seperti
otot-otot mereka, keadaan akan
menjadi lebih baik. Tidak seperti empat kawanan yang dengan suka ria sedang menarik,
atau tepatnya menggeretku menuju satu tempat di sekolah ini yang aku yakini
pasti sepi. Yah, sepertinya jaman sekarang para remaja sangat suka
dengan yang namanya penggencetan. Entah kapan dan siapa yang menemukan ide
brilian ini, yang jelas hampir semua remaja di sekolah melakukannya.
Trend ini juga tidak lepas dari empat sekawan Tim, Greg,
Paul, dan Brad.Aku hanya mengetahui Tim, yang lain hanya
aku tahu dari cara mereka memanggil. Tidak sempat untuk berpikir siapa pemilik
nama siapa. Mereka memegangku dari belakang, dan mendorong aku maju ke suatu
tempat.Hanya Tim yang berjalan dengan angkuh di depanku dan tiga temannya.Aku
yakin dia adalah pimpinan kawanan kecil Wilkar
ini.Semua perintah yang dia katakan, tidak pernah dibantah oleh tiga lainnya.
Beberapa siswa lain hanya menatapku dengan berbagai
pandangan, ada yang merasa iba, ada yang tertawa, ada juga pandangan yang
merendahkan. Entah merendahkan aku yang lemah, atau kelakuan konyol Tim dan
teman-temannya.Semoga saja pilihan yang kedua.
Yah, kemungkinan untuk menjadi siswa autis dan tidak
disadari kehadirannya sepertinya akan berakhir dalam hitungan menit. Meskipun aku sudah menunduk agara tidak
ada yang bisa melihat wajahku dengan jelas, namun sepertinya Tim tidak akan membawaku ke tempat yang
sepi. Karena jalan yang kami lalui
semakin ramai dengan para siswa.Ini bukan balas dendam berupa adu jotos, ini
adalah balas dendam dengan mempermalukan aku di depan semua orang.
“Timothy Williams!”sebuah
suara tegas terdengar sesaat sebelum Tim dan kawanannya membawaku menuju
halaman di samping sekolah. Tempat yang memungkinkan semua orang bisa melihatku
dipermalukan. Aku heran, kenapa Tim tidak mempermalukan aku di kantin saja.
Toh, di sana juga banyak orang.
Tim berhenti
begitu mendengar suara tadi, tiga temannya juga langsung berhenti. Aku masih menunduk,
berusaha menyembunyikan diri. Seandainya aku seekor burung Onta, aku akan
dengan mudah memasukkan kepalaku ke dalam tanah.
Aku tidak begitu
mengerti, tapi seseorang berhasil membuat Tim berhenti. Dari suara yang
memanggil, aku yakin itu suara perempuan. Aku teringat pada Ms. Anna Green,
wanita yang menegur Tim dan Scott tadi pagi. Perempuan yang ternyata adalah Wakil Kepala Sekolah,
tidak heran dua makhluk-bukan-manusia itu tidak berani melawan.
Suara langkah
kaki mendekat dengan cepat menggaung di koridor.
“Gregory Sullivan, Paul Simmons, Bradley Wilson!” jelas sekali sang pemilik suara hafal
dengan nama-nama setiap siswa di sekolah ini. Sungguh kemampuan yang
menakutkan.
Aku merasakan
cengkeraman-cengkeraman yang memegang kedua lenganku berkurang setelah
nama-nama tadi terlontar dari mulut seorang yang aku kira adalah Ms. Anna.
Aku mendongak
perlahan, namun yang aku dapati pertama kali bukanlah kaki jenjang seorang
wanita dewasa dengan sepatu hak tinggi. Melainkan sepatu kets berwarna biru dengan paduan putih, dan jeans biru. Semakin aku
menaikkan pandanganku, terlihat jelas pakaian yang dikenakan adalah pakaian
remaja. Dan tentu saja, bukan Ms. Anna yang berdiri di depan kami.
Claire Hamilton, gadis
berambut panjang hitam yang membuatku terpesona setiap kali melihat dia kini
berhenti, dan berdiri tepat di depan kami. Baru kali ini aku bisa berada dalam
jarak yang sangat dekat dengan Claire. Ya, bagiku sepuluh kaki adalah jarak
yang sangat dekat. Mungkin kalau lebih dekat lagi, aku tidak yakin bisa menahan
rahangku untuk tidak menganga, dan meneteskan air liur, secara harfiah.
Aku seakan
melupakan sekitar, menguatkan kuda-kuda untuk berdiri tegap. Menarik kasar
tanganku dari cengkeraman tangan entah Greg, Paul, atau Brad. Heran, mereka
juga tidak melakukan tindakan apa-apa. Seakan sama terpananya dengan aku.
Keheningan
terjadi selama beberapa detik. Aku membenarkan jaket, dan merapikan rambutku.
Kabel earphone terlepas dari iPod, beruntung masih mengait di jaketku. Aku bisa
saja berjalan pelan, dan pergi dari tempat ini. Namun, aku masih ingin melihat
Claire lebih lama. Sangat jarang kesempatan ini ada.
“Selamat siang, Mr.
Jimmy Zakrzewski.” sapa Claire.
Aku yakin sekali
mataku terbelalak. Claire tahu nama lengkapku, atau nama lengkap samaranku. Ah,
tapi sepertinya tidak masalah bagi dia. Baru saja dia mengucapkan empat nama senior di sekolah ini secara lengkap.
Aku tidak tahu ada hubungan apa di antara mereka. Demi bubur gandum dengan
madu, aku sangat-sangat ingin mengetahui lebih banyak tentang Claire.
“Apa yang hendak
kamu lakukan dengan murid baru ini?” tanya Claire sambil berkacak pinggang.
“Er, tidak ada
Ms. Anna. Ka-kami hanya sedang bermain. Bukan begitu, um, Ji-Jim?” Tim tergagap
sambil menoleh ke arahku dengan tatapan mengharap kerjasama.
Aku mengernyitkan
dahi. Bukan karena si gagah Tim menjadi si gagap Tim, melainkan karena kata
‘Ms. Anna’ yang dia sebutkan. Apa dia sudah rabun atau gila? Aku semakin
bingung. Pertama kenapa Claire bisa tahu tentang nama-nama lengkap kami. Kedua,
bagaimana mungkin gadis yang berbadan lebih kecil dari Tim dan teman-temannya
itu bisa dengan mudah membuat mereka gugup. Apalagi empat pemuda ini adalah Wilkar. Dan kenapa pula Tim memanggil
Claire dengan sebutan ‘Ms. Anna.’?
Belum hilang
kebingunganku, Claire melototkan mata. Memberi isyarat kepada Tim dan yang lain
agar segera menjauh. Empat sekawan itu segera melangkah pergi, aku mendengar
gerutuan kecil. Salah satu dari tiga orang yang berada di belakangku dengan
sengaja menabrak punggung kiriku. Beruntung kuda-kudaku masih kuat.
Aku baru saja
hendak bergegas melangkah menjauh setelah memeriksa barang-barangku. Barangkali
ada yang hilang. Benar saja, iPod-ku tidak ada di
mana-mana, tidak di saku jaket atau di kantung celana jeansku. Hanya earphone-nya saja yang tertinggal.
“Kehilangan
sesuatu, Mr. Zakrzewski?” kata Claire sambil mendekat. Mengetahui aku sedang
merogoh-rogoh semua saku yang ada di pakaian. Dia menjulurkan tangan, dengan
sebuah iPod berwarna putih milikku.
“Ah, terima
kasih!” kataku sambil mengambil iPod dari tangan Claire. Tangannya terasa lembut,
atau mungkin hanya perasaanku saja yang membuatnya terasa berlebihan.
“Hati-hati dalam memilih teman di masa SMA ini, Jimmy.” nasihat Claire
pelan. Entah kenapa dia berbicara dengan nada formal, sok dewasa dan berkuasa.
Apa memang dia seperti ini aslinya? Yah, kamu tidak perlu mengatakan itu
Claire. Aku sangat-sangat memilih dalam hal pertemanan.
“Baik Ms. Hamilton. Sekali lagi, terimakasih. Untuk hal dengan Tim
tadi.” kataku sambil memasang earphone ke lubang keluaran audio iPad.
Claire yang sudah berbalik dan hendak berlalu, tiba-tiba menghentikan
langkah dan kambli membalikkan badan. Menatapku dengan tatapan tajam.
“Kamu panggil aku apa tadi?” nada suaranya sekarang berubah menjadi
nada seperti remaja umumnya.
“Ms. Hamilton.
Ka-kamu Claire Hamilton kan?” aku sedikit panik. Akan aku gigit sampai mati diriku
sendiri jika aku salah mengenali siapa nama asli Claire yang sebenarnya.
“C-claire. Si-.
Apa kamu sebenarnya?!” Claire, atau entah siapa dia sebenarnya, terbelalak.
Segera dia
menarik lenganku, sedikit kasar namun tidak sekasar para Wilkar tadi. Sampai pada koridor yang sepi, dia mendorong tubuhku
masuk ke dalam ruang tempat peralatan kebersihan.
Gadis itu ikut
masuk, segera menutup pintu. Gelap. Namun terang langsung datang. Tapi bukan
dari lampu yang ada di dalam ruangan ini. Melainkan dari seberkas api kecil
biru terang yang muncul dari tangan wanita yang aku kenal sebagai Claire.
“Katakan apa kamu
sebenarnya?! Kenapa sihirku tidak berlaku padamu, Tuan Zakrzewski?!” kata gadis
api itu pelan namun terasa sangat mengancam. Apalagi aku sangat yakin kalau api
sihir itu tidak hanya digunakan sebagai penerang.
Oke, sihir. Ini hal yang baru buatku. Entah aku harus
bergembira atau merasa takut. Sekarang aku tahu rasanya saat seorang
sukarelawan diminta untuk naik ke atas panggung untuk menjadi sasaran lempar
pisau di acara sirkus pada saat karnaval.
“A-ku Jimmy. Jimmy Zakrzewski,” ucapku pelan. Suaraku tercekat di tenggorokan.
“Bodoh. Aku bertanya APA KAMU ITU SEBENARNYA?!” Claire
memegang leherku, mendorongku hingga aku tersandar pada dinding ruangan kecil
ini. Dia mengangkat tangan apinya, bersiap untuk menghajarku dengan itu.
Aku akui aku sangat takut, tapi aku juga senang. Berduaan
dengan Claire di tempat yang sepi, ditemani dengan nyala api. Jika matanya
tidak melotot, mungkin benar-benar akan terkesan romantis.
“Tidak ada satu makhluk bernafas pun yang bisa menangkal
sihirku. Kecuali mereka yang juga mempunyai kekuatan yang sama hebatnya
denganku, atau lebih hebat,” geram Claire. Meski cahaya api tidak memberikan
penerangan yang cukup, aku yakin aku melihat guratan-guratan hitam di wajah
Claire.
Baiklah, itu menjelaskan segalanya. Claire adalah seorang
penyihir. Mungkin dia tadi memberikan semacam hocus pocus kepada Tim dan teman-temannya. Sehingga mereka melihat
Ms. Anna yang menegur mereka. Sihirnya bekerja dengan baik, untuk yang
bernafas. Sayangnya, aku bukan makhluk hidup lagi.
Tidak ada cara lain menjelaskan kepada gadis ini kecuali
berkata jujur. Toh, aku tidak mau mati
konyol dengan dibakar. Lagipula, Claire seorang penyihir. Tentu dia mengerti
tentang menyembunyikan identitas diri terhadap para manusia.
“Aku adalah zombie," kalimat itu meluncur begitu saja.
Bukan karena aku lebih takut mati
lagi, melainkan karena suatu perasaan yang membuatku sangat lega saat
mengatakan rahasia ini kepada orang
yang aku rasa aku punya perasaan terhadap dirinya.
“Bóg-wąż? Kamu
seorang bangkai-berjalan?” Claire
mengerti nama asli kaum kami. Walau aku tidak begitu suka dengan sebutan dia
yang kedua.
Dia menarik lengannya yang mencengkeram leherku, bergumam
berkali-kali. Aku tidak begitu mendengar begitu jelas kecuali kata ‘Sial’,
‘Pantas saja’, ‘Bodoh’. Aku hanya menunggu sampai dia selesai bergelut dengan
pikirannya sendiri.
Claire menatap lekat diriku.
“Baiklah Jimmy. Kamu sekarang tahu siapa aku sebenarnya, dan
begitu juga aku. Jadi aku harap kita sama-sama menjaga privasi kita ini. Oke?” nadanya setengah mengancam.
“Tidak,” kataku spontan.
“Apa maksudmu?” Claire mengira aku akan melakukan ancaman
balik.
“Aku tidak tahu siapa kamu yang sebenarnya,” aku mengangkat
kedua alisku. Meski aku ragu Claire bisa melihat jelas wajahku di tempat yang
tidak terlalu terang ini.
“Cih, aku pikir apa!” Claire mematikan apinya. Berbalik dan
membuka pintu perlahan, mengintip dari celah apakah ada orang lain di koridor.
Dia dengan cepat membuka pintu. Aku simpulkan tidak ada orang lain.
Claire menarikku keluar tergesa, kemudian mengajakku
berjalan berdampingan.
Aku mengikuti saja. Toh, aku memerlukan dia untuk
melindungiku dari kawanan Wilkar yang
sekarang entah berada di mana.
“Anu, Claire atau siapapun nama kamu sebenarnya …” aku
mendekatkan kepala saat berbisik. Claire mendeham.
“Kamu sekarang jadi siapa? Ms. Anna, atau Claire si gadis
berambut panjang yang aku su-, eh maksudku yang sering aku lihat saat SMP?”
bahkan aku sangat merasa pertanyaan ini konyol sekali.
“Kenapa kamu mementingkan hal itu?” Claire balik bertanya.
“I-itu, kalau kamu jadi Ms. Anna, tentu semua orang akan
bertanya-tanya. Aku terlibat kasus apa sampai seorang Wakil Kepala Sekolah
menggiringku,” aku menarik nafas sejenak. Dia tidak berkomentar. Aku
melanjutkan, “Kalau kamu menjadi gadis cantik yang bernama Claire, semua orang
juga akan bertanya-tanya. Kenapa si cantik mau berjalan berdampingan dengan si
buruk rupa.”
Claire berhenti sejenak. Aku ikut berhenti. Sebelum dia
sempat berkomentar, aku melanjutkan. “Maaf, tapi kedua-duanya bukan pilihan
yang bagus buat aku. Kamu tahu kan, orang
seperti aku harus berada di bawah radar semua orang. Kedua pilihan itu tentu
akan membuat aku popular di sekolah ini.”
Dia tersenyum dan memegang pundakku.
“Tenang, Jim. Aku hanya seorang petugas kebersihan sekolah,”
ucapnya sambil kembali berjalan.
“Tentu tidak ada yang akan bertanya-tanya,
kan?”
Aku mengangguk. Aku menjadi semakin tertarik saja dengan
gadis ini.
Claire sengaja memperlambat langkahnya, berusaha untuk tidak
menarik perhatian orang lain. Mungkin juga dia sedang waspada agar tidak
bertemu dengan sosok petugas kebersihan asli yang dia tiru wajahnya. Aku
tersenyum kecil, sepertinya dia menyadari hal itu.
Dia menoleh dan sedikit melotot, alisnya naik sebelah.
“Apa yang kamu bayangkan, Bóg-wąż?” ucapnya pelan. Hanya sedikit lebih keras dari bisikan.
Beruntung saat itu Daniel datang tergopoh-gopoh, dengan
membawa satu kantung makanan. Entah apa isinya, aku harap dia membawakan
sesuatu buat aku.
“Hei, Jim. Kemana saja kamu?” ucapnya setelah mendekat,
sesekali melihat Claire dalam rupa petugas kebersihan sekolah.
“Siapa dia?” dia bertanya padaku dengan nada sedikit tidak
menghormati.
“Taman Kota. Kolam angsa. Jam 7 nanti malam.” kali ini
Claire berbisik.
“Bukan siapa-siapa,” jawab Claire sambil berlalu sebelum aku mengiyakan.
Daniel melongo. Tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Teman, kamu kehilangan momen menarik,” kataku sambil
menepuk bahu Daniel. Dia semakin bingung, ada kejadian apa antara aku dengan
petugas kebersihan sekolah ini.
***
Oke, aku yakin kalian punya banyak pertanyaan tentang kami
para zombie, atau Bóg-wąż seperti
yang Claire katakan. Ketahuilah, tidak semua pertanyaan kalian ada jawaban.
Bahkan para dziekan tidak mempunyai
semua jawaban. Hei, kami tidak punya kemampuan untuk banyak mengingat. Jadi,
berbaik hatilah.
Baik. Baik. Aku akan menceritakan beberapa hal yang aku
ketahui saja. Lainnya mungkin aku tidak tahu atau sengaja kami rahasiakan agar kalian tidak menggunakan itu sebagai cara
untuk melawan kami.
Berbicara? Hm, itu mudah. Semua indera kami bekerja dengan
normal, penglihatan, pendengaran, bahkan rasa. Yah, tidak jauh berbeda dengan
manusia. Walau beberapa hal jauh berbeda.
Contohnya, sakit. Kami tidak lagi mengenal rasa sakit. Tubuh
kami akan lebam, tulang kami bisa patah, atau berlubang jika tertusuk, tapi
kami tidak merasakan sakit. Jadi sebenarnya aku tidak perlu takut jika harus
berkelahi dengan Tim. Namun yang perlu kami
khawatirkan adalah kerusakan setelah
itu.
Bengkel tubuh
memang selalu sedia, namun tidak semua suku
cadang sesuai dengan yang kita inginkan. Belum lagi proses pemasangan tubuh memakan waktu lama
sampai benar-benar terhubung. Tidak
segampang Plug n Play di komputer.
Ah, sudah jam enam sore. Aku harus bergegas ke Taman Kota.
Tidak perlu aku ceritakan lagi kenapa aku harus bertemu dengan Claire malam
ini. Mungkin hanya aku yang berpikiran kalau ini adalah kencan.
Aku pamit kepada Mom. Aku bilang aku akan main ke tempat
Daniel. Beruntung Daniel mau di ajak bekerjasama. Sementara Dad baru saja
berangkat ke tempat kerja. Oh iya, Dad bekerja di Dinas Pekerjaan Umum, dan dia
selalu mengambil shift malam.
Sehingga tidak banyak yang bertanya-tanya, dan kebanyakan kaum kami juga
mengikuti jejak Dad.
Aku melangkah sedikit cepat, jarak antara rumah dengan Taman
Kota lumayan jauh jika di tempuh dengan berjalan kaki. Jadi nanti aku akan
mampir ke rumah Daniel, kebetulan satu arah jika ingin menuju ke Taman Kota.
Yah, paling tidak aku tidak berbohong sepenuhnya kepada Mom.
Dari sana aku akan minta antar ke Taman Kota. Itu juga kalau
Daniel diperbolehkan memakai mobil ayahnya. Kadang aku merasa ayah Daniel lebih
menyayangi mobil klasik itu daripada anaknya sendiri. Mungkin mobil itu cinta
pertamanya.
Dua puluh menit sudah aku berjalan, beberapa menit lagi
sebelum aku sampai di rumah Daniel. Namun suara mobil yang melaju kencang
dengan ban yang berdecit saat berbelok, mengagetkanku. Ya, zombie juga bisa
kaget. Jangan tanya kenapa.
Kekagetanku bukan karena mobil yang dikendarai ugal-ugalan
itu, melainkan karena itu adalah mobil ayah Daniel. Saat melewatiku, aku melihat
dua orang pemuda yang tidak aku kenal, dan noda darah di kaca samping mobil.
Mulutku spontan bergumam,
“Daniel!”
####
0 comments:
Post a Comment