Jimmy Zombie - Chapter 2


Beat The Wolves Bite

Werewolf. Serigala jadi-jadian. Lycan. Manusia serigala. Banyak nama panggilan untuk makhluk-makhluk seperti Tim dan temannya ini. Namun kaum kami menamai mereka Wilkar,- dia yang terkutuk oleh darah serigala.Entah sejak kapan mereka berjalan bersama manusia normal, aku kurang mengetahui.Toh, aku juga tidak ingin mengetahui.Kapasitas memori otakku tidak perlu aku penuhi dengan hal-hal yang tidak begitu penting.Yah, mungkin bagi dziekan, para tetua kaum zombie, sejarah para Wilkar mempunyai manfaat untuk diketahui.

Banyak hal yang sering dilebih-lebihkan tentang para Wilkar. Yah, aku akui mereka memang kuat. Bagi yang tubuhnya berotot seperti Tim dan kawan-kawannya yang kebetulan para pemain Football kebanggaan sekolah ini. Setidaknya itulah tadi yang disampaikan oleh Kepala Sekolah. Tim adalah Kapten Football, sekaligus Gelandang terbaik di tingkat SMA.Tapi tidak semua Wilkar bertubuh kekar.Ya, tidak semua.Aku pernah melihat Wilkar yang perawakannya tidak jauh berbeda dengan aku.

Oke, kembali ke masalah manusia serigala. Banyak yang mengira mereka bisa berubah bentuk menjadi seekor serigala besar? Aku hanya bisa bilang waw. Apa kamu percaya dengan itu? Kalau iya, berarti kamu termakan oleh cerita-cerita sebelum tidur. Hei, realistis! Jika memang benar para Wilkar bisa berubah bentuk, tentu aku adalah zombie yang menu hariannya adalah otak dan daging.Otak dan daging, huh, entah kenapa para pendongeng memberikan kedua benda itu sebagai makanan favorit kami. Seandainya aku tahu siapa orangnya, pasti akan aku kunyah sampai mati karena pencemaran nama baik.

Para Wilkar memang berubah bentuk, tapi tidak se-ekstrem yang kalian bayangkan. Perubahan hanya terjadi pada otot-otot mereka yang membesar, bahkan satu cerita aku dengar pernah ada yang sampai membengkak. Kuping lancip, gigi taring, dan kuku-kuku tajam itu hanya imajinasi para penulis buku. Jangan bayangkan juga mereka berubah menjadi makhluk dua kaki dengan tubuh yang penuh bulu dan mempunyai moncong. Menurutku itu menjijikan.

Hmm, satu hal yang aku akui sangat keren dari para Wilkar adalah peningkatan kemampuan indera penciuman, penglihatan, dan pendengaran mereka. Jauh di atas manusia normal. Bahkan insting mereka benar-benar seperti seekor serigala. Jadi, serigala jadi-jadian yang asli hanyalah manusia yang tiba-tiba menjadi kekar, kuat, dan cepat. Tidak jauh berbeda dengan para pemakai steroid.Bukan makhluk yang bisa berubah menjadi serigala saat purnama ataupun cerita-cerita lainnya. Ah, heran kenapa terkadang mereka terlihat lebih keren di dalam cerita daripada kehidupan nyata.

Sayang, kemampuan berpikir mereka tidak mengalami peningkatan. Mungkin jika kemampuan otak mereka bisa membesar seperti otot-otot mereka, keadaan akan menjadi lebih baik. Tidak seperti empat kawanan yang dengan suka ria sedang menarik, atau tepatnya menggeretku menuju satu tempat di sekolah ini yang aku yakini pasti sepi. Yah, sepertinya jaman sekarang para remaja sangat suka dengan yang namanya penggencetan. Entah kapan dan siapa yang menemukan ide brilian ini, yang jelas hampir semua remaja di sekolah melakukannya.

Trend ini juga tidak lepas dari empat sekawan Tim, Greg, Paul, dan Brad.Aku hanya mengetahui Tim, yang lain hanya aku tahu dari cara mereka memanggil. Tidak sempat untuk berpikir siapa pemilik nama siapa. Mereka memegangku dari belakang, dan mendorong aku maju ke suatu tempat.Hanya Tim yang berjalan dengan angkuh di depanku dan tiga temannya.Aku yakin dia adalah pimpinan kawanan kecil Wilkar ini.Semua perintah yang dia katakan, tidak pernah dibantah oleh tiga lainnya.

Beberapa siswa lain hanya menatapku dengan berbagai pandangan, ada yang merasa iba, ada yang tertawa, ada juga pandangan yang merendahkan. Entah merendahkan aku yang lemah, atau kelakuan konyol Tim dan teman-temannya.Semoga saja pilihan yang kedua.

Yah, kemungkinan untuk menjadi siswa autis dan tidak disadari kehadirannya sepertinya akan berakhir dalam hitungan menit. Meskipun aku sudah menunduk agara tidak ada yang bisa melihat wajahku dengan jelas, namun sepertinya Tim tidak akan membawaku ke tempat yang sepi. Karena jalan yang kami lalui semakin ramai dengan para siswa.Ini bukan balas dendam berupa adu jotos, ini adalah balas dendam dengan mempermalukan aku di depan semua orang.

“Timothy Williams!”sebuah suara tegas terdengar sesaat sebelum Tim dan kawanannya membawaku menuju halaman di samping sekolah. Tempat yang memungkinkan semua orang bisa melihatku dipermalukan. Aku heran, kenapa Tim tidak mempermalukan aku di kantin saja. Toh, di sana juga banyak orang.

Tim berhenti begitu mendengar suara tadi, tiga temannya juga langsung berhenti. Aku masih menunduk, berusaha menyembunyikan diri. Seandainya aku seekor burung Onta, aku akan dengan mudah memasukkan kepalaku ke dalam tanah.

Aku tidak begitu mengerti, tapi seseorang berhasil membuat Tim berhenti. Dari suara yang memanggil, aku yakin itu suara perempuan. Aku teringat pada Ms. Anna Green, wanita yang menegur Tim dan Scott tadi pagi. Perempuan yang ternyata adalah Wakil Kepala Sekolah, tidak heran dua makhluk-bukan-manusia itu tidak berani melawan.

Suara langkah kaki mendekat dengan cepat menggaung di koridor.

Gregory Sullivan, Paul Simmons, Bradley Wilson!” jelas sekali sang pemilik suara hafal dengan nama-nama setiap siswa di sekolah ini. Sungguh kemampuan yang menakutkan.

Aku merasakan cengkeraman-cengkeraman yang memegang kedua lenganku berkurang setelah nama-nama tadi terlontar dari mulut seorang yang aku kira adalah Ms. Anna.

Aku mendongak perlahan, namun yang aku dapati pertama kali bukanlah kaki jenjang seorang wanita dewasa dengan sepatu hak tinggi. Melainkan sepatu kets berwarna biru dengan paduan putih, dan jeans biru. Semakin aku menaikkan pandanganku, terlihat jelas pakaian yang dikenakan adalah pakaian remaja. Dan tentu saja, bukan Ms. Anna yang berdiri di depan kami.

Claire Hamilton, gadis berambut panjang hitam yang membuatku terpesona setiap kali melihat dia kini berhenti, dan berdiri tepat di depan kami. Baru kali ini aku bisa berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Claire. Ya, bagiku sepuluh kaki adalah jarak yang sangat dekat. Mungkin kalau lebih dekat lagi, aku tidak yakin bisa menahan rahangku untuk tidak menganga, dan meneteskan air liur, secara harfiah.
Aku seakan melupakan sekitar, menguatkan kuda-kuda untuk berdiri tegap. Menarik kasar tanganku dari cengkeraman tangan entah Greg, Paul, atau Brad. Heran, mereka juga tidak melakukan tindakan apa-apa. Seakan sama terpananya dengan aku. 

Keheningan terjadi selama beberapa detik. Aku membenarkan jaket, dan merapikan rambutku. Kabel earphone terlepas dari iPod, beruntung masih mengait di jaketku. Aku bisa saja berjalan pelan, dan pergi dari tempat ini. Namun, aku masih ingin melihat Claire lebih lama. Sangat jarang kesempatan ini ada.

“Selamat siang, Mr. Jimmy Zakrzewski.” sapa Claire.

Aku yakin sekali mataku terbelalak. Claire tahu nama lengkapku, atau nama lengkap samaranku. Ah, tapi sepertinya tidak masalah bagi dia. Baru saja dia mengucapkan empat nama senior di sekolah ini secara lengkap. Aku tidak tahu ada hubungan apa di antara mereka. Demi bubur gandum dengan madu, aku sangat-sangat ingin mengetahui lebih banyak tentang Claire.

“Apa yang hendak kamu lakukan dengan murid baru ini?” tanya Claire sambil berkacak pinggang.
“Er, tidak ada Ms. Anna. Ka-kami hanya sedang bermain. Bukan begitu, um, Ji-Jim?” Tim tergagap sambil menoleh ke arahku dengan tatapan mengharap kerjasama.

Aku mengernyitkan dahi. Bukan karena si gagah Tim menjadi si gagap Tim, melainkan karena kata ‘Ms. Anna’ yang dia sebutkan. Apa dia sudah rabun atau gila? Aku semakin bingung. Pertama kenapa Claire bisa tahu tentang nama-nama lengkap kami. Kedua, bagaimana mungkin gadis yang berbadan lebih kecil dari Tim dan teman-temannya itu bisa dengan mudah membuat mereka gugup. Apalagi empat pemuda ini adalah Wilkar. Dan kenapa pula Tim memanggil Claire dengan sebutan ‘Ms. Anna.’?

Belum hilang kebingunganku, Claire melototkan mata. Memberi isyarat kepada Tim dan yang lain agar segera menjauh. Empat sekawan itu segera melangkah pergi, aku mendengar gerutuan kecil. Salah satu dari tiga orang yang berada di belakangku dengan sengaja menabrak punggung kiriku. Beruntung kuda-kudaku masih kuat.

Aku baru saja hendak bergegas melangkah menjauh setelah memeriksa barang-barangku. Barangkali ada yang hilang. Benar saja, iPod-ku tidak ada di mana-mana, tidak di saku jaket atau di kantung celana jeansku. Hanya earphone-nya saja yang tertinggal.

“Kehilangan sesuatu, Mr. Zakrzewski?” kata Claire sambil mendekat. Mengetahui aku sedang merogoh-rogoh semua saku yang ada di pakaian. Dia menjulurkan tangan, dengan sebuah iPod berwarna putih milikku.

“Ah, terima kasih!” kataku sambil mengambil iPod dari tangan Claire. Tangannya terasa lembut, atau mungkin hanya perasaanku saja yang membuatnya terasa berlebihan.

“Hati-hati dalam memilih teman di masa SMA ini, Jimmy.” nasihat Claire pelan. Entah kenapa dia berbicara dengan nada formal, sok dewasa dan berkuasa. Apa memang dia seperti ini aslinya? Yah, kamu tidak perlu mengatakan itu Claire. Aku sangat-sangat memilih dalam hal pertemanan.

“Baik Ms. Hamilton. Sekali lagi, terimakasih. Untuk hal dengan Tim tadi.” kataku sambil memasang earphone ke lubang keluaran audio iPad.

Claire yang sudah berbalik dan hendak berlalu, tiba-tiba menghentikan langkah dan kambli membalikkan badan. Menatapku dengan tatapan tajam.

“Kamu panggil aku apa tadi?” nada suaranya sekarang berubah menjadi nada seperti remaja umumnya.

“Ms. Hamilton. Ka-kamu Claire Hamilton kan?” aku sedikit panik. Akan aku gigit sampai mati diriku sendiri jika aku salah mengenali siapa nama asli Claire yang sebenarnya.

“C-claire. Si-. Apa kamu sebenarnya?!” Claire, atau entah siapa dia sebenarnya, terbelalak.

Segera dia menarik lenganku, sedikit kasar namun tidak sekasar para Wilkar tadi. Sampai pada koridor yang sepi, dia mendorong tubuhku masuk ke dalam ruang tempat peralatan kebersihan. 

Gadis itu ikut masuk, segera menutup pintu. Gelap. Namun terang langsung datang. Tapi bukan dari lampu yang ada di dalam ruangan ini. Melainkan dari seberkas api kecil biru terang yang muncul dari tangan wanita yang aku kenal sebagai Claire.

“Katakan apa kamu sebenarnya?! Kenapa sihirku tidak berlaku padamu, Tuan Zakrzewski?!” kata gadis api itu pelan namun terasa sangat mengancam. Apalagi aku sangat yakin kalau api sihir itu tidak hanya digunakan sebagai penerang.

Oke, sihir. Ini hal yang baru buatku. Entah aku harus bergembira atau merasa takut. Sekarang aku tahu rasanya saat seorang sukarelawan diminta untuk naik ke atas panggung untuk menjadi sasaran lempar pisau di acara sirkus pada saat karnaval.

“A-ku Jimmy. Jimmy Zakrzewski,” ucapku pelan. Suaraku tercekat di tenggorokan.

“Bodoh. Aku bertanya APA KAMU ITU SEBENARNYA?!” Claire memegang leherku, mendorongku hingga aku tersandar pada dinding ruangan kecil ini. Dia mengangkat tangan apinya, bersiap untuk menghajarku dengan itu.

Aku akui aku sangat takut, tapi aku juga senang. Berduaan dengan Claire di tempat yang sepi, ditemani dengan nyala api. Jika matanya tidak melotot, mungkin benar-benar akan terkesan romantis.

“Tidak ada satu makhluk bernafas pun yang bisa menangkal sihirku. Kecuali mereka yang juga mempunyai kekuatan yang sama hebatnya denganku, atau lebih hebat,” geram Claire. Meski cahaya api tidak memberikan penerangan yang cukup, aku yakin aku melihat guratan-guratan hitam di wajah Claire.

Baiklah, itu menjelaskan segalanya. Claire adalah seorang penyihir. Mungkin dia tadi memberikan semacam hocus pocus kepada Tim dan teman-temannya. Sehingga mereka melihat Ms. Anna yang menegur mereka. Sihirnya bekerja dengan baik, untuk yang bernafas. Sayangnya, aku bukan makhluk hidup lagi. 

Tidak ada cara lain menjelaskan kepada gadis ini kecuali berkata jujur. Toh, aku tidak mau mati konyol dengan dibakar. Lagipula, Claire seorang penyihir. Tentu dia mengerti tentang menyembunyikan identitas diri terhadap para manusia.

“Aku adalah zombie," kalimat itu meluncur begitu saja. Bukan karena aku lebih takut mati lagi, melainkan karena suatu perasaan yang membuatku sangat lega saat mengatakan rahasia ini kepada orang yang aku rasa aku punya perasaan terhadap dirinya.

“Bóg-wąż? Kamu seorang bangkai-berjalan?” Claire mengerti nama asli kaum kami. Walau aku tidak begitu suka dengan sebutan dia yang kedua.

Dia menarik lengannya yang mencengkeram leherku, bergumam berkali-kali. Aku tidak begitu mendengar begitu jelas kecuali kata ‘Sial’, ‘Pantas saja’, ‘Bodoh’. Aku hanya menunggu sampai dia selesai bergelut dengan pikirannya sendiri.

Claire menatap lekat diriku.

“Baiklah Jimmy. Kamu sekarang tahu siapa aku sebenarnya, dan begitu juga aku. Jadi aku harap kita sama-sama menjaga privasi kita ini. Oke?” nadanya setengah mengancam.

“Tidak,” kataku spontan.

“Apa maksudmu?” Claire mengira aku akan melakukan ancaman balik.

“Aku tidak tahu siapa kamu yang sebenarnya,” aku mengangkat kedua alisku. Meski aku ragu Claire bisa melihat jelas wajahku di tempat yang tidak terlalu terang ini.

“Cih, aku pikir apa!” Claire mematikan apinya. Berbalik dan membuka pintu perlahan, mengintip dari celah apakah ada orang lain di koridor. Dia dengan cepat membuka pintu. Aku simpulkan tidak ada orang lain.

Claire menarikku keluar tergesa, kemudian mengajakku berjalan berdampingan.

Aku mengikuti saja. Toh, aku memerlukan dia untuk melindungiku dari kawanan Wilkar yang sekarang entah berada di mana.

“Anu, Claire atau siapapun nama kamu sebenarnya …” aku mendekatkan kepala saat berbisik. Claire mendeham.

“Kamu sekarang jadi siapa? Ms. Anna, atau Claire si gadis berambut panjang yang aku su-, eh maksudku yang sering aku lihat saat SMP?” bahkan aku sangat merasa pertanyaan ini konyol sekali.

“Kenapa kamu mementingkan hal itu?” Claire balik bertanya.

“I-itu, kalau kamu jadi Ms. Anna, tentu semua orang akan bertanya-tanya. Aku terlibat kasus apa sampai seorang Wakil Kepala Sekolah menggiringku,” aku menarik nafas sejenak. Dia tidak berkomentar. Aku melanjutkan, “Kalau kamu menjadi gadis cantik yang bernama Claire, semua orang juga akan bertanya-tanya. Kenapa si cantik mau berjalan berdampingan dengan si buruk rupa.”

Claire berhenti sejenak. Aku ikut berhenti. Sebelum dia sempat berkomentar, aku melanjutkan. “Maaf, tapi kedua-duanya bukan pilihan yang bagus buat aku. Kamu tahu kan, orang seperti aku harus berada di bawah radar semua orang. Kedua pilihan itu tentu akan membuat aku popular di sekolah ini.”

Dia tersenyum dan memegang pundakku.

“Tenang, Jim. Aku hanya seorang petugas kebersihan sekolah,” ucapnya sambil kembali berjalan. 
“Tentu tidak ada yang akan bertanya-tanya, kan?”

Aku mengangguk. Aku menjadi semakin tertarik saja dengan gadis ini.

Claire sengaja memperlambat langkahnya, berusaha untuk tidak menarik perhatian orang lain. Mungkin juga dia sedang waspada agar tidak bertemu dengan sosok petugas kebersihan asli yang dia tiru wajahnya. Aku tersenyum kecil, sepertinya dia menyadari hal itu.

Dia menoleh dan sedikit melotot, alisnya naik sebelah.

“Apa yang kamu bayangkan, Bóg-wąż?” ucapnya pelan. Hanya sedikit lebih keras dari bisikan.

Beruntung saat itu Daniel datang tergopoh-gopoh, dengan membawa satu kantung makanan. Entah apa isinya, aku harap dia membawakan sesuatu buat aku.

“Hei, Jim. Kemana saja kamu?” ucapnya setelah mendekat, sesekali melihat Claire dalam rupa petugas kebersihan sekolah.

“Siapa dia?” dia bertanya padaku dengan nada sedikit tidak menghormati.

“Taman Kota. Kolam angsa. Jam 7 nanti malam.” kali ini Claire berbisik.

“Bukan siapa-siapa,” jawab Claire sambil  berlalu sebelum aku mengiyakan.

Daniel melongo. Tidak mengerti dengan apa yang terjadi.

“Teman, kamu kehilangan momen menarik,” kataku sambil menepuk bahu Daniel. Dia semakin bingung, ada kejadian apa antara aku dengan petugas kebersihan sekolah ini.

***

Oke, aku yakin kalian punya banyak pertanyaan tentang kami para zombie, atau Bóg-wąż seperti yang Claire katakan. Ketahuilah, tidak semua pertanyaan kalian ada jawaban. Bahkan para dziekan tidak mempunyai semua jawaban. Hei, kami tidak punya kemampuan untuk banyak mengingat. Jadi, berbaik hatilah.

Baik. Baik. Aku akan menceritakan beberapa hal yang aku ketahui saja. Lainnya mungkin aku tidak tahu atau sengaja kami rahasiakan agar kalian tidak menggunakan itu sebagai cara untuk melawan kami.
Berbicara? Hm, itu mudah. Semua indera kami bekerja dengan normal, penglihatan, pendengaran, bahkan rasa. Yah, tidak jauh berbeda dengan manusia. Walau beberapa hal jauh berbeda.

Contohnya, sakit. Kami tidak lagi mengenal rasa sakit. Tubuh kami akan lebam, tulang kami bisa patah, atau berlubang jika tertusuk, tapi kami tidak merasakan sakit. Jadi sebenarnya aku tidak perlu takut jika harus berkelahi dengan Tim. Namun yang perlu kami khawatirkan adalah kerusakan setelah itu.

Bengkel tubuh memang selalu sedia, namun tidak semua suku cadang sesuai dengan yang kita inginkan. Belum lagi proses pemasangan tubuh memakan waktu lama sampai benar-benar terhubung. Tidak segampang Plug n Play di komputer.

Ah, sudah jam enam sore. Aku harus bergegas ke Taman Kota. Tidak perlu aku ceritakan lagi kenapa aku harus bertemu dengan Claire malam ini. Mungkin hanya aku yang berpikiran kalau ini adalah kencan. 

Aku pamit kepada Mom. Aku bilang aku akan main ke tempat Daniel. Beruntung Daniel mau di ajak bekerjasama. Sementara Dad baru saja berangkat ke tempat kerja. Oh iya, Dad bekerja di Dinas Pekerjaan Umum, dan dia selalu mengambil shift malam. Sehingga tidak banyak yang bertanya-tanya, dan kebanyakan kaum kami juga mengikuti jejak Dad.

Aku melangkah sedikit cepat, jarak antara rumah dengan Taman Kota lumayan jauh jika di tempuh dengan berjalan kaki. Jadi nanti aku akan mampir ke rumah Daniel, kebetulan satu arah jika ingin menuju ke Taman Kota. Yah, paling tidak aku tidak berbohong sepenuhnya kepada Mom.
Dari sana aku akan minta antar ke Taman Kota. Itu juga kalau Daniel diperbolehkan memakai mobil ayahnya. Kadang aku merasa ayah Daniel lebih menyayangi mobil klasik itu daripada anaknya sendiri. Mungkin mobil itu cinta pertamanya.

Dua puluh menit sudah aku berjalan, beberapa menit lagi sebelum aku sampai di rumah Daniel. Namun suara mobil yang melaju kencang dengan ban yang berdecit saat berbelok, mengagetkanku. Ya, zombie juga bisa kaget. Jangan tanya kenapa.

Kekagetanku bukan karena mobil yang dikendarai ugal-ugalan itu, melainkan karena itu adalah mobil ayah Daniel. Saat melewatiku, aku melihat dua orang pemuda yang tidak aku kenal, dan noda darah di kaca samping mobil.

Mulutku spontan bergumam,

“Daniel!”

####

0 comments:

Post a Comment